Alice mengajak Bara berkeliling kantor dengan perasaan dongkol. Dia benar-benar kesal dengan semua ucapan Bara. Bukan hanya ucapan yang selalu menusuk, dia juga benci dengan pandangan dingin Bara yang tampak begitu menyebalkan. Dalam hati dia selau berkata bahwa semua penilaian papanya mengenai Bara semuanya salah. Jelas, karena Bara selalu bertingkah menyebalkan jika bersama dengannya.
Alice menghentikan langkahnya ketika berada di sebelah pintu ruangan bertuliskan ‘wakil kepala cabang’ dan langsung membukanya. Menghadirkan sebuah ruangan yang cukup luas dengan sofa di bagian dekat pintu. Setelahya, ada meja lengkap dengan komputer di bagian lain ruangan. Bara langsung masuk mengikuti langkah Alice yang semakin membuatnya melangkah lebih dalam.
“Ini ruanganmu. Aku harap kamu bisa betah kerja di sini,” ucap Alice sembari membalik tubuh dan menatap Bara yang ada di belakangnya.
Bara hanya diam dan melihat seisi ruangan yang tampak menakjubkan. Meski desain yang diterapkan di kantor tersebut masih minim, dia tetap saja menyukainya. Matanya menatap jendela dan segera melangkah ke sana. Dari ruangannya dia bisa melihat taman kantor yang terletak di sebelah gedung.
“Baiklah. Ada yang mau ditanya lagi? Aku mau kembali ke ruangan,” celetuk Alice dan langsung melangkah keluar. Namun, ketika dia baru memegang gagang pintu, dia kembali berhenti karena ucapan Bara.
“Di mana ruanganmu?” tanya Bara yang sudah menatap Alice dengan wajah datar.
Alice menatap Bara dengan kening bekerut. Rasanya aneh memang ketika Bara yang bertingkah dingin merasa peduli dengan ruangannya. Alice menghela napas perlahan dan tersenyum. “Ruanganku ada di sebelah ruanganmu, Bara,” jawab Alice dengan senyum manis yang dipaksakan.
“Oke,” sahut Bara singkat.
“Hanya oke dan kamu gak mau ucapin hal lain, begitu?” tanya Alice dengan mata memicing, meneliti Bara yang sudah menatapnya dengan tampang bingung.
Bara diam sejenak dan berpikir apa yang masih kurang. Setelahnya, dia menatap Alice dengan pandangan yang masih datar. “Iya, aku cuma mau bilang ini ruanganku. Jadi kamu bisa keluar dari sini dan kembali ke ruanganmu sendiri. Aku ingin bekerja dan menyelesaikan tugasku,” ujar Bara dengan mata meneliti ekspresi Alice.
Alice yang mendengar langsung menghela napas perlahan dan membuangnya. Bara berhasil membuatnya merasakan emosi menggebu di pagi yang begitu cerah. Padahal biasanya dia selalu merasa bahagia ketika berada di kantor. Setidaknya di tempat tersebut dia merasa diakui oleh kehidupan.
“Terima kasih,” ujar Alice memberikan penekanan dalam kalimatnya.
“Sama-sama,” jawab Bara tanpa dosa.
Alice yang mendengar menghentakan kaki kesal dan segera melangkah keluar. Dia bahkan menutup pintu dengan cukup keras dan lebih tepatnya membanting. Bara yang melihat sedikit tersentak dan menggeleng pelan.
“Dasar gadis bar-bar,” kata Bara tanpa rasa bersalah sama sekali.
Bara menghela napas perlahan dan kembali menatap ke arah taman kantor yang tampak begitu indah. “Maafkan aku, Alice. Aku memang tidak ingin bersikap baik kepada siapa pun. Aku tidak ingin dekat degan wanita mana pun. Karena aku hanya ingin hidup sendiri,” ucap Bara mengakui tingkah menyebalkannya.
*****
Alice mendengus kesal mengingat tingkah Bara yang begitu menyebalkan. Padahal dia masih ingat bahwa Bara tidak pernah bertingkah semenyebalkan ini ketika dulu mereka bertemu. Meski sikap dinginnya masih ada. Namun, saat ini bahkan bukan hanya sifat yang sama, tetapi ucapannya juga sama menyakitkan.
"Aku benar-benar ingin membuangnya," ujar Alice dengan wajah kesal.
Alice menatap ponsel di dekathya dan langsung meraihnya, menekan satu nomor yang begitu sering dihubungi.
“Halo, Dara,” ucap Alice ketika sudah tersambung.
“Hai, Alice. Bagaimana dengan pekerjaan barumu di sana?” tanya Dara yang berada di ujung panggilan.
Alice menghela napas keras dan manyun. “Menyebalkan,” jawabnya dengan rasa malas.
“Kenapa? Ada yang gak suka sama kamu?”
Alice menggeleng. Dia sampai lupa jika itu tidak akan pernah terlihat oleh Dara. “Pegawai baru yang aku ceritakan kemarin, dia menyebalkan. Selalu saja bersikap dingin dan berkata tajam. Aku benar-benar membencinya. Aku pikir dia adalah orang baik yang bisa aku ajak untuk bekerja sama. Gak taunya dia lebih menyebalkan dari siapa pun,” cerocos Alice dengan suara kesal.
“Woow, woow, sabar Alica,” ujar Dara merasa heran dengan sikap Alice, “aku jadi penasaran. Aku akan datang ke kantormu dan melihat seperti apa orang yang bisa membuat seorang yang ramah seperti Alice menjadi memiliki ekpresi lain.”
Alice yang mendengar langsung berdecih kesal. “Sudahlah, aku menghubungimu bukan untuk menyuruhmu datang. Aku mau bertemu. Bisa?”
“Di mana?”
“Di cafe dekat kantorku. Lagian jarak kantor kita itu cuma delapan menit. Jadi, jangan banyak alasan,” celetuk Alice yang sudah merasa kesal karena Dara akan menolak.
Dari seberang terdengar tawa Dara yang begitu renyah. “Baiklah, Alice. Karena kamu sudah menebak apa yang ada di otakku, aku akan datang. Dua jam lagi aku ke sana.”
“Oke,” sahut Alice yang langsung mematikan panggilannya. Dia segera membuka komputer dan menyelesaikan tugas. Dia ingin bertemu dengan Dara dan mengatakan semua tentang hatinya yang benar-benar dongkol.
*****
Dave melangkah sembari membawa nampan berisi makanan dengan wajah santai. Beberapa pasang mata menatap dan memuji penampilannya. Gaya rambut dengan tatanan rapi membuatnya tampil dengan sempurna di mata semua wanita. Di tambah senyum yang sejak tadi tidak juga luntur dari bibirnya, membuat Dave tampak lebih menawan.
Dave menghela napas perlahan dan duduk di bangku yang dipilihnya. “Selamat makan, Dave,” ucap Dave seorang diri.
Masih asyik menikmati makanan dengan ponsel yang masih terus berada di genggaman, memantau penjualan mengenai produk makanan yang dipasarkan membuat Dave melupakan sekitar.
“Boleh kami menumpang duduk?”
Pertanyaan lembut tersebut membuat Dave mengalihkan pandangannya dan mendongak. Menatap dua wanita yang saat ini ada di depannya. Dave tidak langsung menjawab dan malah menatap sekeliling ruangan yang memang penuh. Akhirnya, Dave menatap gadis di hadapannya dengan ramah.
“Silahkan,” ucap Dave dengan begitu ramah, membuat kedua orang yang ada di depannya merasa begitu nyaman.
“Terima kasih,” jawab dua gadis tersebut dan mendapat anggukan dari Dave. Hari ini dia memang memilih untuk makan di cefe tidak jauh dari kantor. Sesekali menikmati suasana tanpa tumpukan berkas memang diperlukan.
“Anda bekerja di perusahaan dekat sini, Tuan?” tanya seorang gadis berkacamata yang sudah menatap Dave penasaran.
Yang ditanya langsung mendongak dan tersenyum. “Perkenalkan, aku Dave Wijaya. Kamu bisa memanggilku Dave. Seperti yang kamu lihat, aku tidak berada di sekitaran sini,” jawab Dave sembari mengacungkan kartu tanpa karyawannya dan tersenyum. Dia memang membutuhkan waktu sampai sepuluh menit untuk cafe yang saat ini disinggahinya.
Gadis tersebut tersenyum dan menatap Dave ramah. “Aku Dara. Ini temanku, Alice,” ucap Dara dengan suara senang dan senyum menawan.
Dave yang mendengar mengangguk dan menatap Alice dengan mata menyipit. Dia meraa mengingat wajah Alice yang pernah ditemuinya. Alice sendiri hanya diam, dia masih benar-benar ingat peristiwa enam tahun lalu ketika dia merampok Dave dengan rasa percaya diri yang tinggi.
“Kamu bukannya pewaris keluarga Pranata, kan?” tanya Dave dengan wajah mengamati. “Sepertinya aku pernah bertemu denganmu,” lanjut Dave dengan wajah mengingat Alice.
Alice yang mendengar langsung menunduk semakin turun. Dia belum siap jika harus malu di hadapan temannya.
Mati aku. Selamatkan aku, Tuhan, batin Alice dengan senyum canggung.
_____
💞💞💞💞
Selamat membaca sayang. Jangan lupa tinggalkan like, comment, tambah ke favorit, vote dan follow Kim. See you next chapter.
💞💞💞💞
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Rita
awas bara klo jodoh gak kemana
2023-04-02
0
KOCAK GAMING
namanya bara sikapnya dingin..hahahah
2021-07-18
0
😘 sweet baby😘
wow..6 thn msh inget aja kamu babang Dave😱😱😱
2020-11-29
0