Keira datang lebih awal pagi itu. Ia segera mencari keberadaan Wina. Menanyakan banyak hal tentang tugasnya. Tak lupa seperti anak baru magang Keira membuat catatan kecil agar mudah mengingat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan.
Pagi itu Wina masih seperti biasa. Terlihat tak bersahabat dengan raut judesnya. Meski tak nyaman, Keira mengesampingkan rasa itu, berusaha bersikap profesional.
“Mbak Wina, kalau sudah semua aku mau kembali ke meja kerjaku. Ya!” pintaku dengan sedikit memelas mencoba mengambil hatinya.
“Tidak perlu meminta ijin, kamu ‘kan anak emas, atau bahkan simpanan Pak Revan pun kita tak pernah tahu. Lakukan saja sesukamu,” ucapnya ketus, dengan tatapan tak suka begitu mengiris.
Gadis belia itu hanya menanggapi biasa saja, ia bersikap kooperatif jika itu menyangkut pekerjaan bahkan memaksakan senyuman kecil untuk wanita yang membencinya. Mencoba acuh meski sebenarnya kesal.
Jam dinding menunjukkan pukul 07.00 WIB.
Keira menatap layar sambil membuka email masuk sesuai yang diajarkan oleh Wina. Entah kenapa pagi ini baginya hari yang berbeda. Sebelumnya, atas dorongan keras dari sang kakak ia menghubungi Bramantyo Baskara.
PING!!!
Bramantyo Baskara
“Pagi cantik, hari ini jadi ‘kan? Ketemu aku. Katanya mau obrolin tentang proyek boss kamu yang kemarin tersendat?”
“Oke, saya siapkan dulu berkasnya, Pak. Setelah itu saya berangkat. Kirimkan saya alamatnya, biar saya cari sendiri naik taxi.”
Gadis itu segera menjawab pesannya via WhatsApp sambil merapikan meja. Sebelum pergi meninggalkan kantor ia menyempatkan meninggalkan pesan singkat di sebuah kertas yang ia tempelkan di layar laptop milik Revan bertuliskan, “Aku sedang menemui Pak Bram, untuk menebus kesalahanku pada Bapak.”
PING!!!
Pertanda pesan masuk dari Bramantyo lagi. Keira begitu gemetar, meski begitu ia segera membaca isi pesan yang dikirim pria pribumi itu.
“Tidak perlu repot-repot mencari, aku sudah menunggumu di depan resort milik Revan segera .”
Dug!!!
Jantung Keira berdegup begitu kencang. Ia begitu terkejut bahkan tidak menduga, seorang pria yang memiliki kedudukan penting sebagai penanam saham langsung datang sendiri menjemputnya.
“ok, aku segera datang.”
Ia segera membalas pesan tersebut dengan cepat. Malam sebelumnya, ia sempat meminta pertolongan Alan untuk menanyakan kepada Revan tentang berkas yang mana yang harus ia bawa. Sehingga tidak begitu kerepotan ketika sudah bertemu Bram nantinya.
Dengan langkah sedikit berlari Keira menyusuri koridor ‘Permata Beach Hotel and Resort’. Sesampainya di trotoar, ia melihat mobil BMW merah milik Bram. Oh ternyata dia parkir di bahu jalan.
Buru-buru Keira mendekatinya. Ia melihat Bram sedang sibuk dengan benda tipis berbentuk persegi di tangannya di balik kemudi.
Melihat kedatangan Keira, ia segera membukakan kunci agar gadis itu bisa masuk dan duduk tepat di sampingnya.
Sambil tersenyum, Keira menyapa lelaki muda, tampan, maskulin, meski kulitnya sawo matang ciri khas keturunan pribumi sambil mengaitkan seat belt di tubuhnya.
Aroma parfum seketika menguar menusuk hidung. Aromanya terasa harum dan menenangkan. Bram segera menstarter mobilnya dan melaju menerobos kawasan Kuta yang ramai.
Bip Bip Bip Bip
Suara ponselnya terus berdering di atas dashboard. Entah kenapa Bram mendiamkan tanpa mengangkatnya sekalipun. Membuat Keira justru tak nyaman dan membuka suara.
“Pak, kok gak diangkat telponnya? Siapa tahu itu penting,” kata Keira heran melihat reaksi Bram yang tak acuh dengan ponselnya.
“Ummm … enggak apa-apa, itu … anu, keluargaku yang telepon,” jawabnya singkat, meskipun begitu menyiratkan guratan kebingungan.
“Ya. Angkat saja, Pak. Siapa tahu itu penting,” desak Keira masih dengan wajah ramahnya.
Lalu Keira melihat Bram mengangkat panggilan telepon yang katanya dari keluarga. Ia hanya menjawab dengan beberapa kata singkat. Yang terdengar hanya kalimat “Ya”, “Tidak”, “Oke” dan “Loh, kenapa sekarang?”
Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Bram dengan seseorang di seberang sana. Setelah sambungan terputus, barulah wajahnya terlihat bingung dan sedikit marah.
“Keira, mamaku memintaku untuk bergabung di restoran pinggiran pantai Kuta. Dia lagi ketemuan sama temen-temennya. Dan memintaku untuk menemui salah seorang teman lamanya,” terang Bram yang terlihat takut Keira kecewa atau merasa tak nyaman nantinya.
“Ya sudah, gimana baiknya menurut Bapak. Saya bisa kok menunggu sambil sarapan pagi,” jawabnya menunjukkan sedikit nada kecewa tetapi harus pasrah.
Mau bagaimana lagi. Bramantyo Baskara adalah putra pesohor di dunia bisnis. Ia bahkan memiliki beberapa hotel yang tersebar di seluruh Indonesia. Meski begitu. Ia lebih suka mengembangkan bisnis yang ia rintis sendiri tanpa embel-embel warisan keluarga.
Mobil mereka akhirnya sampai juga di kawasan restoran seafood pinggir pantai Kuta. Bram memutar kemudi mencari tempat parkir.
Seorang petugas parkir segera melambaikan tangan melihat mobil mewah Bram melintas kebingungan. Rupanya niatnya baik ingin membantu mencarikan tempat kosong di sudut parkiran.
Bram turun sambil menggandeng Keira. Ia melihat wanita paruh baya dengan rambut yang dicat burgundy. Terlihat begitu elegan. Bentuk tubuhnya masih terlihat ramping, dandanannya lumayan memukau untuk wanita seusianya.
Kemeja putih yang dipadu padankan dengan blazer berwarna hijau lumut membuatnya terlihat benar-benar masih cantik.
Semua yang menatap, pasti mengakui jika wanita paruh baya itu sangat cantik dan berkelas.
Bram tersenyum ramah menyalami satu persatu rekan bisnis keluarganya. Tak lupa ia juga memperkenalkan Keira pada keluarga, dan juga rekan mamanya.
Salah seorang dari mereka mengutarakan niatnya ingin memberikan projectnya kepada Bram. Tapi Bram menolaknya secara halus.
Tutur katanya yang sangat sopan santun, serta tegas. Mampu membuat lawan bicaranya luluh. Usai sarapan pagi bersama, Bram mengajak Keira pindah di meja lainnya.
Ketika melangkah, Keira merasakan tangannya sedang diremas. Ia meyakini jika Bram memiliki ketertarikan sama halnya dengan bosnya.
“Kita duduk di sini saja ya,” ucap Bram sembari mengeset kursi yang akan Keira duduki.
Sikapnya begitu sopan pada wanita. Selain itu juga hangat dan menenangkan. Benar-benar sosok pria idaman. Jika saja Keira belum bekerja, hatinya pasti tertambat dan melamar pekerjaan pada Bram.
Siapa sih yang nggak ingin punya bos tampan, sopan, dan membuat kita nyaman. Tapi yang dialami Keira adalah sebaliknya. Ia selalu tertekan, ketakutan, dengan amarah Revan yang sulit dikendalikan.
Bukan itu saja, Keira juga sering menodai kesucian matanya jika terpaksa melihat Revan sedang bermesraan di depan mata dengan teman satu malamnya.
“Pak, ini berkas yang kemarin ketinggalan saat Pak Revan segera persentasi. Semoga Bapak berkenan menjadi salah satu penanam modal di perusahaan kami.”
“Dan jika aku menolak?” Bramantyo tersenyum menggoda, mencari tahu ekspresi Keira dengan penolakannya.
“Berarti kedatangan saya ke sini sia-sia,” jawab Keira singkat. Seketika rautnya berubah sendu.
“Loh kenapa menyerah? Gak mau bilang kalau kamu adik kandung Alan ?” Bramantyo membolak-balik halaman di dalam map yang dibawanya.
“Bapak tahu dari mana?” tanya Keira tersipu.
Bramantyo hanya membalasnya dengan senyuman hangat. Tentu ia sudah mencari tahu tentang latar belakang siapapun yang mampu menarik perhatiannya.
Baginya, Keira adalah gadis berbeda dari wanita kebanyakan. Mampu menjalani kenyataan pahit meski minim pendidikan, tidak malu meski sering disalahkan. Semua itu adalah nilai tersendiri dari seorang Bramantyo Baskara.
—To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments