Bramantyo Baskara, pria yang tak kalah kaya dengan Revan . Keduanya memiliki kesamaan dalam berbisnis. Sama-sama meraih sukses di usia muda dan digandrungi oleh kaum hawa.
Bedanya, Bramantyo adalah keturunan pribumi yang memiliki kulit sawo matang, berambut ikal, dan berperawakan tegap. Hanya dari segi fisik.
Namun, meski ia terlahir sebagai pria lokal, parasnya yang menawan masih sanggup mengalahkan kharismatik seorang Revan Halim .
Mata tajam Bramantyo, tidak sedikitpun melepaskan tatapan matanya pada Keira yang terus menundukkan wajahnya sembari memilin ujung kain yang dikenakannya.
“Inikah sikapmu sebagai seorang pria? Meski kamu Boss, tidak seharusnya kamu membiarkan wanita cantik berdiri di sampingmu sedangkan kamu malah duduk bersantai di atas lelahnya.” Suara parau berat khas Bramantyo bagaikan petir menyambar telinga pendengarnya.
Klien barunya ini, ternyata memiliki sikap tak biasa. Ia berbeda dengan lainnya. Kepeduliannya begitu tinggi. Membuat Revan geram dan sedikit tidak suka dengan sikapnya yang sok tahu dan perhatian dengan Keira.
“Keira, duduk!” perintah Revan , tak acuh setelah menarik kursi yang baru saja ia duduki dengan bibirnya mengerucut.
Sejenak Revan menghela napasnya yang mulai tak beraturan. Gusar. Belum pernah ada seorangpun yang mampu membuatnya segugup ini. Pria di hadapannya begitu sombong dan angkuh. Entah mengapa, Revan merasa jika ia tidak bisa dijadikan sebagai rekan melainkan saingan.
Menit kemudian, Revan ikut duduk di sebelahnya. Lalu menatap lekat wajah Keira yang terlihat panik hingga meninggalkan rona merah di wajahnya.
“Berkasnya?” tangan Revan terulur ke arah Keira yang masih tercenung karena belum terbiasa bekerja.
“Keira!” pekik Revan . Membuat Keira berjingkat dengan mata melotot menelan ludah akibat kebingungan.
“Um … ya, Pak. Berkas yang mana ya?” Keira membuka setiap tumpukan map yang semula dibawanya.
“Sial!” Revan berdecak kesal sembari memijit pelipisnya melirik Keira yang gugup mencari map yang diinginkan Revan .
Dia lupa memberi tahu Keira, map yang mana yang seharusnya dia bawa. Tetapi, bukan salah Keira juga jika ia kebingungan. Sebab Revan mengerjakan pekerjaan tersebut sendiri tanpa membebani asisten pribadi barunya yang dianggap belum mampu dalam tugas ini.
Revan kembali berdecak kesal sembari mengibaskan tangannya. “Penting bagi kamu bertanya dulu sebelum bekerja! Jangan ketika sudah di depan klien seperti ini. Seharusnya perjanjian kerja sama ini akan menguntungkan bagi saya, tetapi karena kecerobohan kamu, entah apa jadinya.”
Bramantyo masih mengamati mimik kesal dari raut Revan . Tidak biasa pria keturunan indo itu memarahi yang membantunya dalam pekerjaan, terlebih asisten pribadi yang seharusnya memiliki kedekatan dengannya.
“Permisi, maaf saya menyela. Asisten Pak Revan baru ‘kan? Gimana kalau Bapak sendiri yang cari berkasnya di map warna apa? Pasti inget dong! Yang bikin ‘kan Bapak?”
Revan terkesiap. Ia tidak menyangka jika semuanya terbaca oleh Bram—calon kliennya.
Mendadak Keira merasa ngeri dengan amukan Revan yang bahkan tidak memikirkan perasaannya saat di depan umum. Orang seperti dia bisa melakukan apapun ketika sedang nekad.
Tipikal orang yang suka menindas untuk melancarkan keinginannya. Sama persis dengan karakter Revan saat ini. Nama baiknya runtuh di depan Bram saat ia lalai dan bersikap kasar pada Keira.
“Keira, tolong kemarikan map berwarna merah. Di tumpukan nomor dua!” perintah Revan , datar. Tidak ada rasa kasihan seperti sebelumnya. Teguran dari Bram tidak sedikitpun mengubah sikapnya.
Keira begitu gugup, menyodorkan setelah membuka lembaran pertama. Kemudian tanpa disadari, ia menumpahkan segelas teh yang letaknya tak jauh dari map diletakkan.
“Ma-maaf, Pak—“ ucapan Keira yang tergagap akhirnya terhenti, matanya mulai berkaca-kaca.
Bramantyo segera beranjak dari tempat duduknya. Ia tersenyum ke arah Keira sembari memberikan sebuah kartu nama miliknya. Kemudian menepuk bahu Revan .
“Siapkan dahulu semuanya, baru kemudian undang saya!” ucap Bramantyo. Entah kenapa, Revan merasa dirinya direndahkan saat mendengarnya.
Revan gusar. Ia berulang kali mengacak-acak rambutnya sendiri. Menit kemudian berusaha mengangkat wajah dan terus menatap Bramantyo yang mulai menghilang dari pandangannya.
“Pak—“ tangan Revan kembali terangkat, seperti memberikan peringatan agar gadis itu berhenti berbicara.
Melihat hal itu Keira menunduk sambil menahan tangis. Dan merasa bersalah atas kebodohannya. Jika saja ia selangkah lebih pandai dari Wina, yang merupakan sekretaris Revan . Semua ini tidak akan terjadi.
“Nanti malam, antarkan dua porsi makan malam di apartemen milik saya. Jangan lupa belikan pengamanan yang mereknya berkualitas,” ucap Revan. Kemudian berlalu pergi.
Mendengar kata pengaman, jantung Keira hampir saja meledak. Duuuh, mungkinkah ia akan jadi sasaran singa lapar malam ini. Mungkinkah Keira akan dicabik-cabik oleh amarah Revan?
Memikirkan saja Keira bergidik ngeri. Apa lagi harus datang malam nanti untuk memenuhi permintaan Revan .
**
Keira masih mondar-mandir di apartemen yang diberikan oleh Revan untuknya. Ia bahkan menggigit kuku jari karena cemas.
‘Kak Alan, aku harus apa?’
Keira melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Ia segera memoles wajahnya dengan riasan tipis.
Kemudian beranjak pergi membelikan pesanan Revan . Suara pria itu, serasa terngiang-ngiang berulangkali. Ada rasa jijik ketika Keira harus menenteng kantung plastik berisi pengaman atau alat kontrasepsi. Ia bahkan harus meminta tolong dengan terpaksa pada tukang parkir untuk membeli benda menjijikkan itu. Meski ia ditertawakan pun rela demi maaf Boss galaknya.
Langkah kakinya mulai mengendur di depan apartemen Revan . Dengan tangan gemetar, ia menekan bel sekali. Lalu memutuskan untuk menunggu.
Tak lama kemudian, seorang wanita yang hanya mengenakan pakaian transparan membuka pintu untuk Keira, dan menggapai barang belanjaan yang masih menggantung di genggaman Keira.
Si gadis tersenyum getir. Mengabaikan Keira yang masih termangu. Ia masih tidak percaya, jika issue yang di dengar belakangan terakhir benar adanya. Jika Revan memang suka mesum dan bergonta-ganti pasangan setiap malam.
“Keira, sedang apa kamu di sana! Lekas pergi! Aku mau bersenang-senang! Hariku hancur seharian ini karena ulah kamu! Dasar … pembawa sial!” teriaknya.
Siapa sangka, jika ucapan menyakitkan yang keluar dari bibir Revan ini disimpan Keira sebagai luka yang membuatnya membenci. Hatinya begitu perih.
Keira kembali ke apartemennya dengan langkah lunglai dan derai air mata. Masih segar di ingatannya, jika wanita yang tak tahu malu itu mengenakan pakaian transparan bergelayut manja.
Tak lama kemudian, Keira berbalik kembali ke apartemen Revan . Entah apa yang membuatnya menjadi berubah pikiran.
“Well, saya bisa jadi apapun yang Pak Revan mau malam ini! Tapi saya gak mau Bapak menghancurkan nama baik yang sejak lama dibangun dengan susah payah. Apa lagi hanya karena saya, keluar, Pak!” Keira menggedor pintu apartemen Revan berulangkali sambil berteriak lantang.
Revan membuka daun pintu sembari membantingnya. Ia butuh waktu untuk bernapas panjang. Kemudian ia memberikan perintah pada sang gadis yang berada di kamarnya agar segera pulang. Revan mencoba berpikir keras tentang keinginan Keira.
“Apa kamu yakin dengan penawaran gila kamu? Sudah kamu pikirkan masak-masak? Bagaimana kalau Alan menyalahkan saya nantinya! Apakah kamu juga berniat merusak persahabatan kami?” cerocos Revan sambil menatap tajam hingga mengguncangkan tubuh mungil gadis di hadapannya.
“Jika saya menolak? Dan mengurungkan sebagian keinginan saya? Beri saya sedikit waktu untuk berpikir jernih, Pak.”
“No way. Putuskan sekarang.”
“Jika saya mengurungkan niat, dan menolaknya?”
“Well, saya bisa cari wanita lain yang bisa melakukannya,” jawab Revan penuh penekanan kemudian melenggang menjauhi pintu.
—To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
qiuqiu
Endingnya bikin nagih.
2025-03-14
0