Matahari mulai merangkak naik, menyebarkan sinarnya ke seluruh penjuru langit yang biru cerah. Terik yang hangat menyeruak ke dalam kamarnya, menyentuh kulit Laura yang masih nyaman terbungkus selimut. Dia terbangun dengan perasaan bahagia, sebuah perasaan yang jarang di rasakan. Dia merasa lebih baik setelah keluar dari rumah.
Laura duduk di tepi ranjang, menggelengkan kepala untuk mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Dengan jari-jari yang lentik, dia menyibakkan tirai. Cahaya mentari melimpahi ruangan, membuatnya semakin segar.
Laura lalu melangkah ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Setelah itu dia berpakaian rapi. Bau wangi nasi uduk yang tercium dari dapur menggelitik perutnya.
“Wah, kok baunya enak banget ya?” gumam Laura, sambil melangkahkan kakinya ke luar kamar, menuju ke arah suara riuh yang dia dengar.
Laura melihat Ratna, mamanya Adam, yang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu terlihat energik, menghidangkan berbagai bahan masakan dengan cekatan, seolah setiap gerakannya sudah dipersiapkan dengan sempurna. Laura mengelus perutnya yang mulai bersuara, dia mendekat.
“Selamat pagi, Tante!” sapa Laura ceria.
“Oh, selamat pagi, Laura! Tidurnya nyenyak?” jawab Ratna sambil tersenyum.
“Iya, Tante. Tidurku sangat nyenyak. Aroma masakan ini bikin aku makin lapar!” balas Laura sambil tertawa kecil.
Ratna tertawa, matanya yang penuh kasih itu memancarkan kehangatan. “Kalau begitu, Tante butuh bantuanmu untuk menyiapkan sarapan. Kamu bisa bantu bikin nasi uduk dan lauknya?”
“Ayo, Tante! Saya siap membantu! Tante bisa mengatakan apa saja yang harus aku lakukan!” seru Laura dengan semangat. Dia selalu senang memasak, dan momen ini menjadi kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. Di rumahnya memasak memang tugasnya dari usia dua belas tahun.
Laura melipat lengan kaosnya dan mulai mencari-cari bahan yang diperlukan. Ratna memanggilnya sambil menunjukkan beras yang sudah dicuci.
“Kalau gitu, kamu bisa mulai mempersiapkan berasnya, ya. Kita mau bikin nasi uduk yang wangi ini,” kata Ratna sambil menunjukkan panci beras yang telah disiapkan.
Laura mengambil beras, mengamatinya seperti seorang juru masak profesional. “Berapa porsi yang kita masak, Tante?”
“Untuk berenam saja, tambah bibi dan mamang, sepertinya tiga cup cukup. Kita juga bisa bikin beberapa lauk pendamping,” jawab Ratna.
Laura mulai menakar beras dengan rapi. Dia merasakan kebersamaan yang hangat, penuh kasih sayang dan keceriaan. Dalam hati, ia merindukan suasana semacam ini di rumahnya sendiri. Tapi, itu mustahil. Ibunya tak pernah mau dekat dengannya.
“Tante, sepertinya kita harus menambahkan santan untuk nasi uduknya, ya?” lontarnya sambil tersenyum lebar. Laura bertanya karena takut salah.
“Betul sekali! Dan jangan lupa daun pandan, ini yang bikin wangi,” Ratna menjelaskan sambil memberikan beberapa lembar daun pandan yang sudah dicuci bersih. “Kamu ada pengalaman masak nasi uduk sebelumnya?”
“Pernah, Tante. Tapi aku takut salah," jawab Laura.
“Tenang saja, kita belajar sama-sama. Kamu bisa tambahkan sedikit garam untuk beri rasa,” tegas Ratna sambil mengukur takaran secukupnya.
Laura mengangguk, merasakan keseruan saat bekerjasama membuat nasi uduk bersama ibu Adam. Ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih dekat dengan keluarga Adam saat itu.
“Tante, lauk apa yang mau kita siapkan?” tanya Laura saat mereka sudah selesai menyiapkan nasi uduk.
“Oh, kita bisa bikin telur dadar, tempe mendoan, dan sambal terasi, bagaimana?” Ratna menawarkan.
“Sangat setuju, Tante! Ayo kita buat!” Laura bersorak, sambil mencuci tangan sebelum mulai. Dia bersemangat tak sabar untuk ikutan.
Setelah menyiapkan semua bahan, Ratna mulai menggoreng tempe mendoan yang sudah diaduk bersama bumbu. Laura mengamati setiap langkah Ratna dengan seksama.
“Tante, kok bisa masak seenak ini ya?” puji Laura dengan kekaguman di wajahnya.
“Iyalah, Laura! Setelah bertahun-tahun, pasti ada hasilnya. Ini semua berkat latihan,” jelas Ratna sambil tersenyum. “Kamu harus sering-sering latihan biar bisa masak enak juga. Lagipula, masak itu seni, lho!”
“Senang sekali bisa belajar dari Tante. Nanti saya mau masakin Adam juga!” Laura menjawab dengan antusias. Walau dia yang selalu masak di rumah, tapi tak mau mengatakannya. Dia ingin percakapan terus berlanjut. Jika jujur, takut Mamanya Adam tak lagi melanjutkan obrolan.
Ratna tersenyum bangga, “Bagus! Kalau perlu kita ajari dia juga, biar dia tahu enaknya masakan kita.”
“Ya, tentu saja, Tante. Dan aku akan bilang dia harus masak sendiri nanti!” seru Laura sambil tertawa.
Beberapa saat berlalu, semua lauk sudah siap. Nasi uduk pun sudah matang dan terlahirkan wangi yang menggoda dari dalam panci. Ratna mulai mengatur meja dengan piring-piring penuh makanan.
“Wah, Tante! Nasi uduk kita tampak luar biasa!” puji Laura saat melihat meja makan yang penuh dengan hidangan.
“Kalau begitu, mari kita sajikan,” jawab Ratna dengan semangat.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki. “Heeeey! Pagi!” teriak Adam sembari masuk dengan t-shirt dan celana pendeknya yang santai.
“Selamat pagi Adam!” sambut Laura dengan bersemangat.
“Wah, aroma apa ini?” Adam melangkah lebih dekat ke meja makan, terpesona melihat hidangan yang telah disiapkan.
“Kami masak nasi uduk, telur dadar, tempe mendoan, dan sambal terasi, mau langsung sarapan?” tanya Laura sambil tersenyum manis.
“Ngomong-ngomong, ini makanan terbaik yang pernah aku lihat!” balas Adam, sambil menyenggol bahu Laura. “Tapi jujur, aku tidak percaya kamu bisa masak juga.”
Laura tersenyum manis, “Tenang, hasilnya pasti enak. Coba liat dulu!”
Adam duduk di kursi sambil memperhatikan Ratna dan Laura bersiap-siap menyajikan makanan ke piringnya. Senyum bangga tersungging dari wajah Ratna mendengar pujian dari anaknya. “Beruntunglah kamu, Adam! Hari ini kita akan menikmati sarapan enak.”
Setelah semua makanan terhidang, mereka bertiga berkumpul di meja makan. Laura melayani Adam dengan sepiring nasi uduk dan lauknya.
“Baiklah, selamat menikmati!” ujar Laura, seraya merasa bersemangat melihat reaksi Adam saat mencicipi masakannya.
Adam mengambil suap pertama, matanya melotot kaget. “Wow! Ini enak, Laura! Serius, kamu harus masak lebih sering. Papa mana, Ma. Kenapa kita tak sarapan bareng?" tanya Adam.
"Papa masih di ruang kerja. Dia sudah berpesan agar kita sarapan duluan," jawab Mama Ratna.
"Kenapa tak menunggu Om saja, Tante?" tanya Laura. Dia pikir papanya Adam itu belum pulang dari luar kota sehingga tadi tak menanyakan tentang papanya pria itu.
Belum sempat Mama Ratna menjawab, terdengar langkah kaki mendekati. Laura memandangi tanpa kedip ke arah seorang pria dewasa yang berjalan mendekat. Entah mengapa jantungnya berdetak lebih cepat.
"Selamat Pagi ...," sapa Ariel. Ya, pria itu adalah papanya Adam.
"Mas, ayo sekalian sarapan. Katanya Mas tadi masih banyak kerjaan?" tanya Mama Ratna.
"Aku tinggalkan saja. Wangi masakanmu lebih menggoda," jawab Ariel dengan senyuman. Laura memandangi tanpa kedip. Sikap Ariel begitu ramah dengan istrinya, berbeda dengan ayah saat bicara dengan ibunya.
"Mas, ini Laura. Kakaknya Nayla, calon istri Adam," ucap Mama Ratna.
Pandangan Ariel lalu tertuju pada gadis itu. Keduanya tampak terpaku saat pandangan mata mereka bertemu. Rasa ada ikatan antara keduanya. Mereka berdua sama-sama terdiam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Maria Kibtiyah
mungkin adam bukan anak kandung ariel mangkanya gk begitu dekat bisa jdi siratna mandul gak bisa punya anak jd si ariel kena karma gk bisa punya anak dari ratna karena dia menyianyiakan anaknya laura
2025-03-08
3
Rani Kamila
naaah kan.
pasti c Ariel inget mantannya dulu liat laura
2025-03-08
2
mams dimas
semoga aja lauran dan Adam bukan saudara se ayah..biar mereka bisa menikah dan Bu Sumarni pasti syok
2025-03-08
1