Ibu Sumarni menatap Laura dengan tatapan sendu. Sepertinya ada rasa iba dan penyesalan di hatinya, tapi itu hanya sesaat. Kemudian dia membuang tatapannya. Menarik napas dalam.
"Kehadiran kamu memang tak aku harapkan. Laki-laki itu hanya mau menabur benihnya tanpa mau bertanggung jawab. Seharusnya kau bersyukur karena ayah mau mengakui kamu sebagai anaknya," ucap Ibu Sumarni.
Dada Laura terasa sesak mendengar ucapan ibunya. Tak menyangka wanita itu akan berkata jujur begitu. Berarti kehadiran dirinya memang tak pernah diinginkan.
"Kenapa Ibu tak membuang'ku saja dari pada menyiksa aku begini?" tanya Laura dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
Ibu Sumarni hanya diam tak mau menjawab. Duduknya gelisah, seperti kurang nyaman. Mungkin karena kamar yang Laura tempati begitu kecil dan sempit.
"Sekarang katakan siapa nama ayahku dan dimana ayahku tinggal?" tanya Laura.
"Percuma kamu mencarinya. Dia tak akan mau mengakui kamu. Masih dalam kandungan saja dia sudah menolak kehadiran kamu!" jawab Ibu Sumarni.
Tak ada sedikitpun dia memikirkan perasaan Laura saat mengatakan itu. Tanpa ada rasa iba melihat sang putri yang telah menangis.
"Kenapa Ibu tidak bunuh aku atau menggugurkan kandungan saja, kalau memang kehadiran aku tak diinginkan?" Kembali Laura bertanya hal yang sama. Rasanya tak ada pertanyaan yang pantas dia tanyakan selain itu.
Rasa sakit dan sedih begitu dia rasakan. Jika dulu dia masih bisa bertahan karena berharap suatu saat nanti ayah dan ibunya akan berubah, menyayangi dirinya. Namun, mendengar jawaban dari sang ibu, dia mengerti jika keinginan itu tak mungkin bisa terkabul.
"Sudahlah, Laura. Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan? Jika kau hanya ingin bertanya kenapa aku tak membunuhmu, lebih baik aku pergi. Aku tak mau menyakiti kamu lebih dalam lagi," ucap Bu Sumarni.
"Katakan siapa nama ayahku dan dimana dia tinggal?" tanya Laura.
"Jika kau masih tetap penasaran dengannya, baiklah akan aku katakan siapa ayahmu dan dimana dia tinggal, tapi kau jangan kecewa jika nanti dia juga tak menganggap'mu bahkan mungkin tak mengakui kamu sebagai darah dagingnya!" seru Bu Sumarni.
"Jika memang dia tak menganggap'ku sebagai darah dagingnya, aku akan menghilang dari kehidupannya selamanya. Aku tak akan menggangunya lagi. Cukup sudahi pencarian ku. Aku akan sadar diri," balas Laura.
Laura memang telah bertekad kuat untuk mencari keberadaan sang ayah kandung. Jika benar apa yang ibunya katakan, dia adalah anak yang tak diinginkan, dia akan pergi jauh dari ayah dan ibunya. Mungkin memang takdirnya begitu.
Bu Sumarni lalu menyebutkan nama ayah kandungnya Laura dan alamat dia tinggal. Setelah itu dia langsung berdiri dan berjalan menuju pintu keluar dengan tergesa.
"Aku harap kamu tak akan kecewa setelah menemukan ayahmu dan ternyata dia lebih parah dari ayahmu di sini. Semoga pria itu telah berubah!" seru Bu Sumarni.
Sumarni berjalan cepat menuju kamarnya. Dia memilih duduk di tepi ranjang. Masih terdengar suara-suara para tamu undangan di luar sana. Tak pernah dia berpikir jika akan terjadi hal seperti ini.
Di sudut kamar, perempuan itu terdiam, tubuhnya kaku di tepi ranjang. Matanya nanar, melintasi dinding-dinding yang seakan menertawakan keadaannya. Di belakangnya, cermin besar memantulkan sosok yang dahulu penuh semangat, kini berubah menjadi gambaran menyedihkan. Rambutnya sudah acak-acakan, wajahnya pucat, dan air mata mengalir tanpa permisi.
“Kenapa, Marni?” gumamnya pelan, seakan bertanya pada sosok dirinya yang lain. “Kenapa aku harus merasa sepi seperti ini?”
Segera, ingatan tentang Ariel, kekasih yang pernah menghangatkan hatinya, melintas. Senyumnya yang menawan, tawanya yang menggelitik, dan semua janji yang terucap saat mereka masih berada di puncak cinta. Tapi keindahan itu sirna setelah dirinya mengetahui kabar yang mengguncangkan hidupnya—kehamilan yang tak pernah direncanakan.
“Tidak ada kata terlambat untuk kita, Marni. Kita akan baik-baik saja,” suara Ariel terngiang dalam benaknya, tetapi nada itu cepat berubah menjadi dingin. “Tapi aku tidak bisa bertanggung jawab. Ini bukan waktu yang tepat. Aku belum siap, Marni. Lebih baik kamu gugurkan saja anak itu!"
Air mata Sumarni semakin deras. Betapa menyakitkan saat orang yang dicintai justru menghindar. Berharap Ariel akan mengulurkan tangan untuk menawannya dari keterpurukan, dia malah ditinggalkan. Mundur, pergi tanpa minta maaf, tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Tanpa sadar, Sumarni meraih ponselnya, tangan bergetar. Dia ingin menghubungi Ariel, memastikan jika nomor itu masih aktif untuk mengabari tentang Laura anaknya yang ingin bertemu. Tapi disaat jari-jarinya hampir menyentuh layar, pikirannya kembali tajam menyadari—awalnya memang indah, tapi kini semua terasa salah. Bahkan tanyanya hanya akan berujung pada sakit yang sama.
"Aku takut dia masih tak bisa menerima kehadiran Laura," gumam Bu Sumarni pada dirinya sendiri. Kembali dia menarik napas dalam, mengingat semua penolakan pria itu saat dia tahu kalau benihnya ada di rahimnya.
"Kita melakukan semua atas suka sama suka, Marni. Kenapa aku yang harus bertanggung jawab? Seharusnya kamu tau konsekuensi dari apa yang kamu lakukan? Kenapa tidak menggunakan pengaman?" Bu Sumarni masih ingat ucapan Ariel saat dia mengatakan kehamilannya.
“Ya Tuhan, beri aku kekuatan,” desahnya lirih, wajahnya tertutup dengan telapak tangan. Hatinya penuh dengan kesedihan, dan keputusasaan menyergapnya silih berganti.
"Maafkan Ibu, Laura. Setiap melihat wajahmu selalu terbayang ayahmu. Wajahmu begitu mirip dengannya. Jika saja Darimi tak mencegahku, mungkin kita telah berada di alam sana," ucap Bu Sumarni pada dirinya sendiri.
Bu Sumarni teringat saat-saat kelam di masa lalunya. Dia masih ingat betapa sakit dan putus asanya ketika keluarganya mengusirnya karena dia hamil di luar nikah. Dia merasa seperti tidak memiliki harapan lagi, dan pikiran untuk bunuh diri mulai menghantui dirinya.
Tapi, saat itu, Darimi datang menolongnya. Dia menemukan Bu Sumarni yang sedang berada di tepi jurang, siap untuk melompat dan mengakhiri hidupnya. Darimi langsung menarik Bu Sumarni dan membawanya ke tempat yang aman.
Setelah itu, Darimi mengatakan kepada Bu Sumarni bahwa dia akan bertanggung jawab atas kehamilan Bu Sumarni, walau bukan dia ayah kandung dari anak Bu Sumarni itu. Dia meminta agar Bu Sumarni tidak berniat bunuh diri lagi, dan dia akan melakukan apa saja untuk membantu Bu Sumarni melalui masa-masa sulit itu.
Bu Sumarni masih ingat betapa beratnya hatinya saat itu, tapi dia juga ingat betapa baiknya Darimi yang telah menolongnya. Dia merasa seperti telah diberi kesempatan kedua untuk hidup, dan dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
Itulah kenapa Bu Sumarni begitu menurut dengan apa yang Darimi katakan. Saat pria itu tak menyukai kehadiran Laura, dia juga melakukan hal yang sama.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Pak Darimi.
Lamunan Bu Sumarni tentang masa lalunya buyar saat mendengar suara suaminya. Dia menghapus air mata dan berusaha tersenyum.
"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tak terima ucapanku tadi?" tanya Pak Darimi lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Eka ELissa
kpok....tu...karma yg kmu dpt syangin yg ktya ank halal....eh tau nya di ambil yg pnya....bhkn ank yg ktya haram GK di anggep aj bkln prgi ninggalin kmu juga.....bntr lagi kmu dn suami gila mu itu dunia mu juga bkln jungkir balik....
2025-03-06
1
Apriyanti
tteh saja kalian berdua sebagai org tua salah SDH menyakiti hati anak yg tak berdosa,,benar kata Laura knp TDK menggugurkan atau membunuh saja di sewaktu kecil drpd hidup jg tersiksa,, lanjut thor
2025-03-06
1
mams dimas
Bu Sumarni adalah sosok seorang ibu yg kejam bagi anak nya dia lebih memilih suami yg bila berpisah akan jadi mantan dibandingkan anak nya yg selama nya ga akan ada kata mantan anak
2025-03-06
1