Malam yang Kacau
“Aku tidak ingin melihatmu lagi.”
Eleanor tak kuasa menahan putranya yang semakin menjauh. Ia sebelumnya sudah menduga akan ada hari ini tapi meskipun begitu ia sangat sedih.
“Aku…aku minta maaf.”
Kael langsung mendengar permintaan maaf Eleanor.
“Apa kau pikir aku bisa begitu saja menerima kata-kata itu?” Suara Kael terdengar rendah.
“Kael, aku tahu telah membuat kesalahan. Aku…”
“Mengabaikan anakmu sendiri dan memperlakukannya seolah dia tidak ada, menurutmu itu hanya kesalahan? Hanya? aku mengingatnya dengan jelas, Eleanor. Setiap kali kau menatapku, seolah-olah aku adalah kutukan yang mengingatkanmu pada kehidupan yang tidak kau pilih!”
Eleanor terdiam. Air mata mulai mengenang di matanya.
“Aku menyesal Kael.”
Kael tetap diam. Di dalam dirinya, anak kecil yang pernah terabaikan itu masih berteriak masih penuh kebencian.
“Kael aku tahu aku tak bisa mengubah masa lalu tapi aku ingin menebus semuanya meskipun aku terlambat.”
Hening. Kael mengalihkan pandangannya, tidak ingin menunjukkan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.
“Penyelasalanmu terlambat. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu.”
Kael pada akhirnya pergi dan untuk pertama kali meskipun samar bayangan kebencian yang mengikat Kael pada masa lalunya mulai sedikit terkikis. Kael langsung pergi ke kamar anak-anaknya untuk menjemput Aeliana.
“Aeliana.”
“Ya?”
“Apa anak-anak sudah tidur?”
“Ya.”
“Ayo ke kamar kita.”
Aeliana langsung menggandeng tangan Kael, mengusap punggung tangannya dengan lembut. Kael menatap tangan istrinya yang dipegangnya erat-erat seolah-olah ia bergantung padanya. Ia sangat nyaman memegang tangan mungil dan lembut ini.
Begitu mereka memasuki kamar tidur, Kael menutup pintu setelah itu langsung memeluk Aeliana dari belakang. Ia butuh lebih banyak kenyamanan. Ia ingin lebih merasakan Aeliana.
“Kael..?”
“Tolong tetaplah seperti ini. Sebentar saja.”
Kael membenamkan hidungnya di leher Aeliana. Ia ingin menyingkirkan kenangan masa lalu yang terus menghantuinya. Ia ingin hidup di masa kini bersama istrinya dan putra-putrinya bukan masa lalunya yang penuh kesedihan dan belum terselesaikan.
Aeliana yang sempat terkejut, akhirnya menganggam tangan suaminya yang melingkari pinggangnya. Ia berharap dapat bertemu dengan suaminya saat ia masih kecil. Saat itu, ia akan memeluknya dan bersyukur bahwa ia telah lahir.
“Kau tak perlu menahannya sendirian.”
“Aku baik-baik saja.”
“Kael Lancaster tidak pernah baik-baik saja setiap kali dia mengatakan hal itu.”
“Aku tidak ingin membicarakannya.”
Penolakan mutlak. Aeliana menghela napas, tahu bahwa suaminya sedang menutup diri. Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja.
“Kau tidak perlu bicara kalau tidak mau. Aku hanya ingin kau tahu, aku ada di sini.”
Aeliana tidak memaksa Kael untuk berbicara, dan Kael pun tidak berusaha menyingkirkan istrinya. Ia hanya ingin kehangatan Aeliana sedikit meradakan badai di dalam dadanya.
“Terima kasih.”
Aeliana tersenyum kecil. Jika Kael tidak siap untuk membicarakan masa lalunya sekarang, maka ia akan menunggu. Karena itulah yang dilakuan seseorang dan tetap berada di sisi orang yang mereka sayangi, apa pun yang terjadi.
...…....
Bulan menggantung di langit dengan cahaya temaram yang mencoba menyelinap melalui jendela kamar, menciptakan bayangan samar di dinding.
Aeliana membuka matanya perlahan. Tenggorokannya terasa kering, membuatnya ingin segera minum air. Ia menoleh ke samping, melihat Kael yang masih terlelap. Napasnya terdengar stabil, ekpresinya tenang, sesuatu yang jarang terlihat mengingat betapa gelisahnya ia sebelum tidur.
Aeliana berusaha menggeser tubuhnya dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Begitu berhasil, ia bangkit dan berjalan pelan menuju pintu. Begitu sampai di dapur, ia terkkejut menemukan seseorang sudah ada di sana. Seorang wanita duduk dengan sebuah gelas anggur di tangannya.
Ibu mertuanya tampak menerawang seakan sedang berpikir keras. Aeliana ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat.
“Ibu masih terjaga?”
Eleanor menoleh dan tersenyum. “Aku tidak menyangka kau akan keluar malam-malam begini. Kael pasti akan mengomel jika kau berjalan sendirian di rumah.”
Aeliana menatap ibu mertuanya. Dia minum begitu banyak hingga wajahnya tampak bengkak.
“Ibu,” Aeliana memanggil dengan khawatir.
“Apa kau mau minum bersamaku?”
“Aku tidak bisa minum ibu. Ibu sepertinya banyak minum jadi sebaiknya ibu naik sekarang.”
“Apakah kau membenciku?”
Aeliana menggeleng cepat. “Tidak ibu.”
“Kalau begitu minumlah ini untukku.” Eleanor bersikeras.
Akhirnya Aeliana tidak punya pilihan selain duduk di depan ibu mertuanya.
“Ibu sebaiknya berhenti minum.”
“Terima kasih sudah bertahan di sisinya.”
“Bertahan?”
“Kau mungkin sudah tahu aku bukan ibu yang baik untuknya.”
Aeliana ingin menghentikan Eleanor karena ia tidak tahan lagi melihatnya.
“Aku…aku tahu aku jahat. Aku tahu aku telah bersikap kejam padanya. Kenapa? Aku tidak merasa seperti itu saat dia lahir…”
Dia adalah anak kecil pertama yang pernah digendongnya. Dia menangis tersedu-sedu saat menerima anak itu. Namun ketika bayi itu membuka mata yang cerah. Eleanor menyadari, anak yang dilahirkannya bukanlah anak dari Raefan yang dicintainya. Melainkan anak dari saudara laki-lakinya, Arsen. Kenyataan yang mengerikan menimpanya.
Kebencian terhadap suaminya semakin tumbuh seiring berjalannya waktu, dan kebencian itu tujunkan pada anaknya.
“Aku begitu jahat…aku bahkan meninggalkannya di taman.”
Elenaor menunduk menatap tangannya sambil terisak. Aeliana menggigit bibirnya saat mendengar pengakuannya.
“Awalnya aku mengira masalahnya adalah dia tidak sepenuhnya mirip Raefan tapi seiring berjalannya waktu, masalahnya ternyata dia begitu mirip dengan Raefan. Saat aku menatap wajahnya, aku tidak bisa melupakan wajah yang kukenal yang kubenci sekaligus kurindukkan di saat yang bersamaan. Itu sebabnya aku tidak bisa melihata anakku.”
“Aku benar-benar ingin melihat Raefan.”
Aeliana tidak bisa banyak bereaksi. Ia sulit untuk menaggapi ibunya. Aeliana ingin menghibur ibu mertuanya yang sedang tenggalam dalam emosi sendiri.
“Dia bilang mencintaiku tapi dia meninggalkanku.”
Elenaor membeni Raefan yang masih hidup di dalam hatinya bahkan setelah 30 tahun.
...…...
Aeliana memanggil para pelayan untuk membawa Eleanor yang sudah tak sadarkan diri karena mabuk. Ia dapat menebak masa lalu suaminya melalui cerita ibu mertuanya. Ia merasa kasihan pada ibu mertua dan suaminya.
Aeliana terhuyung-huyung dan berusaha menjaga kesadarannya. Kepalanya berputar, kakinya seperti kapas. Ia membuka pintu kamarnya namun ia tidak menyadari Kael sudah terbangun dan duduk di tepi ranjang dengan ekpresi gelap.
“Aeliana.” Suara rendahnya terdengar tajam di udara.
“Hmm?”
Kael langsung menuju kearahnya dan tangannya menangkup wajah mungil Aeliana.
“Kau mabuk.”
Aeliana mengerjapkan mata. “Aku tidak mabuk. Aku hanya sedikit pusing.”
“Kau tidak bisa mentolerir alkohol, kenapa kau minum?”
Nada suaranya terdengar marah tapi di baliknya ada kecemasan yang tak bisa disembunyikan.
“Aku terbangun karena haus lalu aku minum.”
“Pasti ada yang meminta kau minum.”
Aeliana mengerucutkan bibirnya. “Kenapa kau tahu?”
Kael menghela napas lagi. Ia bisa melihat istrinya memerah, matanya berkabut. Ia harus menahan diri agar tidak memarahi istrinya lebih keras. Ia meletakkan Aeliana di atas ranjang dengan hati-hati kemudian ia menarik selimut dan menyelimutinya.
“Kael, kau marah padaku?”
“Aku khawatir.”
“Kau selalu khawatir.”
“Tentu saja, karena kau adalah milikku.”
Kael berbaring di samping istrinya membiarkan Aeliana menyandarkan kepalanya di dadanya.
“Ini nyaman.”
“Tidurlah.”
Dalam beberapa detik, napasnya teratur menandakan bahwa ia tertidur. Kael masih kesal tapi lebih dari itu ia lega Aeliana baik-baik saja. Ia memastikan kejadian ini tidak terulang lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Han Sung hwa
kael itu gengsinya segede gunung everest
2025-03-15
0
Han Sung hwa
1vote untukmu kak...
2025-03-15
0
Quenby Unna
2 iklan untukmu kak
2025-03-08
0