Kata yang Tak Tersampaikan
Pintu depan rumah terbuka perlahan dan Aeliana masuk dengan langkah sedikit ragu. Udara dalam rumah terasa hangat, lebih tenang dari sebelumnya namun masih ada ketegangan yang menggantung di sana.
Tiba-tiba suara langkah kecil terdengar di lorong, diikuti dengan suara tawa ceria.
“Ibu!!!” Teriak Juvel dengan senang, diikuti oleh Julian yang mendekat. Wajah mereka cerah penuh kebahagiaan.
Aeliana tersenyum tipis, namun senyum itu penuh keharuan. Melihat kedua anaknya berlari menuju dirinya, rasa lelah dan kesedihan yang mengendap di hatinya seakan sedikit terhapus.
Juvel dan Julian melompat ke pelukannya membuat Aeliana hampir kehilangan keseimbangan. Ia memeluk mereka dengan penuh kasih, menyandarkan kepala pada bahu mereka.
“Hore, ibu pulang!!!” Teriak Juvel
“Ibu, kamu sudah sembuh?” Tanya Julian, memandang Aeliana dengan cemas, matanya penuh perhatian meski usianya yang masih muda.
Aeliana mengusap rambut Julian dengan lembut berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.
“Ibu baik-baik saja, sayang.”
Keduanya memeluk lebih erat, seolah-olah ingin memastiskan bahwa ibunya memang kembali. Aeliana merasa lebih tenang dengan kehadiran mereka. Ia harus kembali ke kenyataan demi anaknya. Ia bukan lagi seorang wanita muda yang emanangis dan meratap karena Kael tidak mencintainya. Ia sekarang akan menjadi ibu untuk Juvel dan Julian. Aeliana yang sangat mencintai sudah pergi sambil menangis di malam kemarin.
Kael tersenyum sedikit saat melihat Aeliana dikelilingi oleh anak-anak mereka. Meski ada beban berat di hatinya, ia mencoba untuk tetap tenang.
“Aku akan membawa barang-barangmu ke atas,” kata Kael.
Aeliana hanya mengangguk. Di lantai atas, Kael meletakkan tas Aeliana kamarnya dengan hati-hati. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Suara istrinya yang membahas dia tidak mencintainya tadi malam, terngiang-ngiang di telinganya. Dia agak kesal karena harus berhadapan dengan masalah lain yang tidak terjawab lagi.
“Cinta…”
Ia bahkan ingin bertanya pada orang lain. Apa definisi cinta. Jika apa yang ia lakukan tidak dianggap cinta lalu apa itu cinta? Ia mengutamakan dalam hal perhatian, melindungi dan memastikan semua aman bahkan ia menekan perasaannya sendiri agar Aeliana merasa nyaman.
...…...
Meja makan keluarga Lancaster malam itu penuh dengan hidangan yang disiapkan oleh pelayan rumah. Cahaya lampung gantung menyinari ruang makan dengan kehangatan. Aeliaan duduk diantara Juvel dan Julian dengan Kael di sisi lain meja. Mereka berbicara ringan tapi di dalam hati Aeliana, ia merasakan perasaan yang sangat berbeda. Perasaan ini belum selesai. Perasaan ini masih belum tahu arah tujuan.
Namun satu hal yang jelas anak-anaknya Julian dan Juvel adalah pelabuhan yang paling aman di dunia ini. Mereka adalah alasan mengapa Aeliana merasa bertahan.
“Juvel jangan tinggalkan brokolimu.”
Aeliana memperlakukan Kael seolah pria itu tidak ada.
“Ya, Juvel. Kamu harus memakan brokolimu.”
Kael mencoba ikut dalam percakapan namun mata emerald Aeliana tidak pernah sekalipun menoleh ke arahnya.
“Juvel, makan yang banyak.”
“Ya ibu.”
Kael terdiam, menatap ke arah Aeliana yang dengan sengaja tidak memberinya ruang dalam percakapan. Setiap Kael mencoba berbicara pada Aeliana, istrinya akan menjawab dengan singkat.
Aku harusnya minta maaf atas kejadian kemarin.
Kegelisahan Kael berangsur-angsur meningkat saat acara makan malam berakhir. Ini adalah pertama kalinya ia melihat istrinya marah dan mengabaikannya jadi ia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak mudah untuk meminta maaf pada istrinya yang bersikap dingin padanya.
“Julian, Juvel, ayo naik ke atas. Sudah waktunya bersiap tidur,” kata Aeliana dengam lembut.
“Baik, ibu!” Seru Juvel melompat dari kursinya.
Julian mengikuti dengan senyum lebar, keduanya tampak senang karena mendapatkan perhatian penuh dari Aeliana.
Kael memperhatikan mereka berjalan menjauh lalu menghela napas panjang. Ketika pintu ruang makan tertutup, ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia tahu Aeliana marah dan ia pantas mendapatkannya tapi perlakuan dingin seperti ini membuatnya merasa lebih jauh darinya.
...…...
Setelah mandi, Kael mengacak-acak rambutnya yang setengah kering dengan handuk beberapa kali. Ia melirik ke tempat tidur tempat Aeliana berbaring. Matanya terus menatap Aeliana yang berbaring meskipun menyadari kehadirannya, Aeliana sama sekali tidak meliriknya sedikit pun.
“Aeliana.”
Namun Aeliana membenamkan wajahnya lebih dalam ke bantal. Itu adalah gerakan tanpa kata yang menunjukkan bahwa dia tidak ingin bicara.
Kael berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Kael menatap tangannya sendiri lalu mengusap tengkuknya dengan gelisah.
“Aku tahu kau marah.”
Aeliana tetap diam dan matanya menatap lurus ke luar jendela, namun Kael bisa melihat dari bahunya yang sedikit tegang bahwa wanita itu mendengar setiap kata yang ia ucapkan.
Kael menundukkan kepala, meremas jemarinya dengan gelisah.
“Aku membuat kesalahan kemarin….”
Aeliana akhirnya bergerak. Ia menarik selimutnya lebih tinggi. “Aku ingin tidur, kita bicarakan lain kali saja.”
Permintaan maaf Kael yang ia kumpulkan terputus oleh ucapan Aeliana. Kael terdiam sejenak, merasakan sedikit sesak karena respons itu.
“Kau suka membicarakannya lain kali bukan?”
Aeliana tertawa kecil, tapi bukan tawa yang menyenangkan. Lebih tawa sinis yang penuh dengan luka.
...…....
Saat tengah malam, Kael terbangun dengan napas terengah-engah. Ia tidak tahu persis mimpi macam apa yang dialaminya tapi seluruh tubuhnya berkeringat. Ia merasa merinding saat menyeka matanya yang basah.
Pandangannya masih sedikit kabur dan butuh beberapa detik baginya untuk mengendalikan dirinya. Ia mengingat mimpinya.
Dalam mimpinya, ia melihat Aeliana. Wanitanya, istrinya. Namun yang membuatnya hampir kehilangan akal sehat adalah suara istrinya memanggil pria dengan sebutan sayang. Kemudian seorang pria memasuki ruangan. Sosoknnya tinggi, mengenakan mantel gelap dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Kael ingin melihat siapa pria itu, ingin memastikan wajahnya tapi ia hanya bisa melihat punggungnya.
Namun yang lebih menghancurkan adalah ekspresi Aeliana. Dari balik bahu pria itu, Kael bisa melihat wajah istrinya yang memerah, matanya berbinar, bibirnya sedikit terbuka dengan napas tertahan. Ekspresi itu layaknya seorang wanita yang jatuh cinta.
Kael merasakan dadanya mencengkeram keras saat mengingatnya lagi. Ia berusaha mengatur napas tapi bayangan dalam mimpi itu terlalu kuat. Ia melirik ke samping, Aeliana masih tertidur, punggungnya menhadapnya, napasnya teratur.
“Kenapa kau menunjukan ekspresi seperti itu padanya? Kau tidak pernah menunjukkan wajah seperti itu padaku.”
Kael merasa seperti akan gila. Ia menjadi kacau karena satu mimpi.
“Sial.”
Kael mengepalkan tangannya karena serangan kecemasan yang tiba-tiba itu. Ia merasa ingin menghilangkan kecemasan ini meskipun ia harus membangunkan istrinya yang sedang tidur di sampingnya. Ia butuh hangatnya pelukan.
“Aeliana.”
Suara pelan Kael tak mampu membangunkan Aeliana yang tidur nyenyak.
Kael frustrasi, ia merasa takit bahwa mimpi itu mungkin bukan sekedar ilus belaka. Kael terjaga sepanjang sisa malam itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Han Sung hwa
bang ngomong cinta bang...kalau gengsi minimal dikirim lewat pesan. ya elah
2025-02-15
1
Elisabeth Ratna Susanti
nyesek banget kalau ada kata yang tak tersampaikan
2025-02-08
1
Lee
Kael gengsimu setinggi menara eifel, tinggal blang cinta apa susahnya
2025-03-12
0