Mama tampak terkejut setelah tangannya mendarat di pipiku. Aku tidak yakin apa yang ada di pikiran Mama saat ini. Yang pasti, hatiku sangat hancur dibuatnya. Mama tak mengeluarkan sepatah katapun. Aku tak peduli, masih mengenakan piyama dan penampilan yang berantakan, aku keluar dari rumah itu.
Menyusuri jalanan yang cukup sepi, aku berjalan tanpa tujuan. Air mataku tak berhenti mengalir. Sakit. Dua orang yang kucintai bersekutu untuk menghancurkan batinku.
Kutemukan kursi panjang di bawah pohon yang cukup rindang. Sebelumnya aku belum pernah melihat tempat ini. Jalanan sepi yang hanya bisa dilewati sepeda dan motor. Aku tidak peduli ini di mana, yang penting aku bisa keluar dari rumah itu.
Duduk bersandar dan menarik nafas panjang. Ahh ... mengapa air mata ini tak berhenti mengalir? Seseorang turun dari sepedanya. Laki-laki usia dua puluhanan.
"Mbak, ada apa?" tanyanya.
"Bukan urusanmu." Aku berdiri dan berjalan lagi. Aku sedang tidak ingin diganggu.
"Tapi Mbak, di sana jalan buntu," ujarnya. Aku tidak peduli. Aku tetap berjalan tanpa tujuan. Di sela tangisanku, aku masih bisa mendengar langkah kaki. Apa dia mengikutiku? Aku menoleh sebentar dan benar, lelaki tadi ada di belakangku kira-kira berjarak 10 langkah.
"Ada apa mengikutiku? Pergi dari sini!" Aku berusaha mengusirnya, tapi dia tetap berdiri di sana.
"Mbak, di depan sana jalan buntu, hanya ada hutan. Nanti mbak dimakan hantu bagaimana?"
'Sudah g*la! Mana ada hantu siang-siang?' batinku.
"Pergi dari sini! Jangan coba menakutiku!" Kemudian aku balik badan dan kembali melanjutkan perjalanan.
Entah sudah seberapa jauhnya, tiba-tiba aku tak menemukan jalan lanjutan lagi. Hanya ada rumput-rumput yang tumbuh begitu subur. Jarak 5 meter ke depan, aku tidak melihat apapun selain pepohonan yang besar. Benar, ada hutan di sini. Mengapa aku tidak menyadarinya? Kutengok lagi ke belakang, lelaki tadi masih berdiri di belakangku.
"Ini hutan?" tanyaku. Lelaki itu hanya mengangguk. "Memang disini ada hutan?" tanyaku lagi. Pertanyaan macam apa sih? Sudah jelas dihadapanku ini hanya ada pohon.
"Kan tadi saya udah bilang, Mbak," jawabnya kemudian tersenyum.
"Terus, kenapa mas ikutin saya? Mas mau jahatin saya, ya?"
"Mbak, jangan berprasangka buruk dulu! Saya hanya khawatir mbak kesasar. Di dalam sana banyak hewan buas."
Aku mengernyitkan dahi. Aku sama sekali tidak ingat ada hutan di dekat tempat tinggalku.
"Memang ini di mana? Saya gak ingat ada hutan dekat rumah," tanyaku yang semakin bingung.
"Mbak pasti bukan orang sini. Ayo ikut ke rumah saya!" ajaknya.
"Apa-apaan? Mas benar-benar mau jahatin saya, ya?" Aku mulai takut, tidak ada orang sama sekali disini.
"Mbak, tolong tenang dulu! Kalau saya niat jahat, di sini juga bisa. Untuk apa susah-susah saya bawa ke rumah?" Benar juga. Lebih baik aku keluar dulu dari tempat ini.
"Baiklah. Di mana rumahnya?"
"Mari ikut saya!" Ia tersenyum lagi dan berbalik arah. Aku mengikutinya dari belakang.
Ternyata cukup jauh, bahkan untuk sampai ke kursi tempatku duduk tadi, membutuhkan waktu lebih dari 10 menit. Otakku sungguh kacau tidak bisa menyadari semua itu. Dia mengambil sepeda dan menuntunnya.
"Kenapa gak dinaikin aja?" tanyaku.
"Nanti mbaknya ketinggalan. Kalau bonceng, memang Mbak mau?"
"Gak! Makasih!" tolakku tegas.
Lagi-lagi dia tersenyum dan berjalan perlahan di depanku. Tak lama kemudian kami sudah masuk di komplek perumahan. Seperti tidak asing, tapi aku juga baru kali ini masuk ke desa ini. Sampailah kami di depan rumah yang cukup sederhana tapi nyaman. Suasana hatiku sedikit lebih tenang.
"Duduk dulu, Mbak. Saya ambilkan minum."
Dia mempersilakan aku duduk di kursi rotan yang ada di teras rumah. Aku hanya mengangguk dan duduk di sana. Saat ia keluar, seorang wanita usia 50 tahunan ikut di belakangnya.
"Silakan, Mbak!" Lelaki itu meletakkan segelas teh hangat di atas meja.
"Terima kasih," jawabku. Aku merasa bersalah sudah menuduhnya tadi. "Maaf ya, Mas. Tadi saya nuduh Mas berniat jahat."
"Gak papa, Mbak. Saya mengerti kok," ucapnya lalu tersenyum. "Perkenalkan ini ibu saya."
"Saya ibunya Irvan," ucap Ibu itu kemudian kami bersalaman. Ia duduk di kursi sebelahku. Ternyata laki-laki tadi bernama Irvan.
"Saya Lena, Bu. Maaf merepotkan."
"Gak apa-apa, Mbak. Untung bertemu Irvan. Mbaknya dari mana? Kok bisa kesasar?" tanyanya dengan mata yang sedikit menyelidik karena aku masih mengenakan piyama.
"Saya dari desa D, Bu. Saya juga gak tahu bagaimana bisa sampai kesini," jawabku jujur. Sampai sekarang pun aku tidak tahu ini di mana.
"Loh? Jauh sekali! Desa D itu berjarak dua desa dari sini loh mbak." Aku tak kalah terkejut. Dua desa? Bagaimana mungkin aku bisa berjalan sejauh itu?
"Ahh, saya gak sadar," jawabku seraya menundukkan pandangan.
"Sepertinya Mbak sedang ada masalah, bisa kalau mau cerita pada saya. Atau kalau mau diantar, bisa nanti Irvan pinjam motor tetangga." Baik sekali Ibu ini, tapi sekarang aku sedang tidak ingin pulang.
"Maaf, Bu. Apa saya boleh tinggal di sini sementara waktu?" tanyaku memberanikan diri. Ibu itu tampak menengok sebentar ke arah anak lelakinya.
"Boleh, Mbak. Silakan!" ucapnya yakin. Mataku terbelalak. Baik sekali mengizinkan aku yang bahkan baru saja ia kenal.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak." Aku sangat senang bisa diizinkan tinggal sebentar di sini.
"Sebenarnya saya bisa sampai kesini karena ...." Aku menceritakan semuanya. Ekspresi Ibu itu langsung berubah menjadi kasihan.
"Ibu mengerti, wajar kalau kamu sampai seperti ini. Silakan, kamu bisa tinggal disini sampai kamu tenang." Ibu yang sangat pengertian. Ia mengusap bahuku. Rasanya sangat menenangkan. Irvan juga tersenyum melihatku yang sedikit senang kali ini. Lalu Ibu masuk ke rumah dan tinggallah aku bersama Irvan.
"Mas umur berapa?" tanyaku basa-basi.
"Dua lima, Mbak," jawabnya.
"Wah, satu tahun diatas saya. Kerja di mana?" tanyaku lagi.
"Saya hanya pegawai koperasi desa, Mbak. Kalau Mbaknya?"
"Ohh, saya editor di penerbitan, Mas."
Kami berbincang banyak. Cukup nyambung. Aku sedikit bisa melupakan sakit hatiku.
..
"Buk, Ayah pulang."
Seseorang mengetuk pintu ketika kami sedang menonton TV bersama. Ibu beranjak dan membukakan pintu. Setelah pintu dibuka, seorang lelaki masuk. Sepertinya ayahnya Irvan. Ibu mencium tangan suaminya itu. So sweet sekali menurutku. Aku belum pernah melihat Mama semanis itu dengan almarhum Papa.
"Ini Lena, Yah. Temannya Irvan." Ibu memperkenalkanku pada suaminya. Aku berdiri dan memberi salam.
"Saya Lena, Pak."
"Ohh ... ya-ya-ya." Matanya sedikit memperhatikan wajahku. Kemudian tersenyum dan masuk. Ibu ikut masuk, mungkin menyiapkan makanan untuk suaminya.
"Ayahmu?" tanyaku pada Irvan.
"Iya, baru pulang kerja."
"Ah, begitu."
'Kerja apa ya? Sekarang hampir jam 9 tapi baru pulang,' batinku.
Aku diberikan sebuah kamar. Sebenarnya itu ruangan kosong, biasanya digunakan untuk meletakkan pakaian yang baru selesai dijemur dan juga tikar-tikar lama. Aku tidak keberatan, asal bisa tidur. Bahkan di ruang tamu pun tidak masalah. Awalnya Irvan menawarkan kamarnya, tapi aku menolak. Aku hanya menumpang, aku tidak ingin menyusahkan lebih banyak.
Keesokan paginya, aku menyapu teras depan. Aku tidak enak jika sudah menumpang namun tidak membantu apa-apa. Ayah Irvan duduk di kursi tempat aku duduk pertama kali datang ke rumah ini.
"Nduk," panggilnya.
"Iya, Pak?" Aku pun mendekat.
"Kamu tinggal dimana?"
"Desa D, Pak."
"Ohh, ya-ya-ya. Wajahmu gak asing, Nduk."
"Oh iya, Pak? Apa mungkin Bapak kenal orang tua saya?"
"Siapa nama mamamu?"
"Maya Erlita, Pak."
"Maya?" Eksprerimen wajahnya tampak terkejut.
"Ada apa, Pak?" Aku penasaran.
"Aku tidak menyangka bisa mendengar namanya lagi. Sudah lama sekali tidak bertemu mamamu."
"Bapak kenal dekat dengan mama saya?"
"Apa mamamu pernah menyebut nama Agung?" Ayah Irvan balik bertanya.
"Agung?" Aku berpikir sejenak. "Pak Agung PNS?" Yah, yang aku ingat hanya pekerjaannya.
"Begitu ya mamamu memperkenalkannya. Tapi tak apa, setidaknya saya masih diingatnya. Saya Agung, mantan calon suami mamamu," ucapnya.
"Bapak, Pak Agung?" Aku tersentak kaget. Bagaimana mungkin? Apa dunia sesempit itu?
"Iya, saya Pak Agung. Saya sedikit sedih mendengar cerita tentang mamamu. Yang sabar ya! Bagaimana kabar papamu?"
"Papa sudah meninggal, Pak."
"Oh, maaf. Saya gak tahu."
"Gak apa-apa, Pak."
"Papamu itu baik sekali, mau menerima mamamu meskipun tahu ia sudah mengandung anak dari laki-laki lain."
"Hah? Maksud Bapak apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Tika
Semangat Saling dukung 👍
2020-09-04
1