18

Hujan semakin deras, beberapa kali suara gemuruh terdengar. Box makanan kami sudah kosong semuanya, tinggal sisa-sisa saus sambal yang membekas di sana.

"Mas, gak usah berangkat kerja lagi aja. Deres banget loh ujannya," ujar Tria.

"Kan Mas bawa mobil, gak papa lah mau ujan juga."

Aku terdiam. Rasanya aneh. Bisa-bisanya aku bolos bekerja dan malah enak-enakan di rumah atasanku?

"Len? Mikirin apa?" tanya Mas Dwi kepadaku. Seolah tidak ingin ikut campur, Tria membereskan box sisa makan kami dan membawanya ke belakang.

"Gak papa kok, Mas," jawabku seraya tersenyum kaku.

"Apa kamu bosan di rumahku?"

"Ah, bukan begitu. Aku merasa gak enak karena hal sepele tapi sampai bolos kerja."

"Apa salahnya istirahat sebentar? Dari pada bekerja tapi gak maksimal?"

Aku menunduk. Ingin sekali rasanya segera keluar dari masalah ini. Masalahnya memang tidak terlihat, tapi sangat mengganggu di pikiranku.

"Tunggu sebentar!" pinta Mas Dwi yang lalu beranjak ke salah satu ruangan. Tak lama kemudian ia datang lagi membawa sebuah konsol video game portabel.

"Bisa main ini?" tanyanya. Aku menggeleng.

"Cuma pernah lihat, tapi gak pernah pakai."

"Duh, apa kamu mau ke kamarku? Aku ada komputer, banyak gamenya. Biar kamu gak bosen." Wajahnya tampak memperlihatkan otaknya yang sedang berputar mencari jalan.

"Mas--"

"Ah! Mau nonton? Aku juga banyak film tuh tinggal pilih mau genre apa," ujarnya masih berusaha mencarikanku hiburan.

"Mas, udah stop!" Kupegang punggung tangannya dan berhasil membuatnya berhenti.

"Eh?"

"Mas, aku ini bukan anak kecil. Mas gak perlu bingung aku harus ngapain. Sekarang Mas berangkat kerja aja. Jam makan siang sudah habis. Nanti aku cari tutorial cara main konsol game ini." Aku berharap dengan aku bicara seperti ini bisa membuat Mas Dwi lebih tenang.

"Apa kamu yakin?" tanyanya masih kurang percaya.

"Iya yakin. Sudah sana berangkat!"

"Telepon aku kalau terjadi sesuatu!"

"Iya-iya."

Lalu ia tersenyum. Manis sekali. Ah rasanya jantungku menjadi tidak sehat.

"Ya sudah, aku berangkat dulu ya!"

"Iya, Mas."

Lalu ia beranjak dari sofa dan berangkat ke kantor lagi. Seandainya aku sudah menikah. Pasti aku bisa merasakan momen seperti ini setiap hari bahkan lebih manis. Melihat suamiku berangkat kerja, aku mencium punggung tangannya lalu ia mencium kening ku. Ah, manisnya.

"Kak!" Suara Tria membuyarkan lamunanku.

"Ah? Eh? Iya gimana?" Duh! Jangan sampai Tria tahu apa yang sedang aku bayangkan.

"Kakak gak ilfeel kan sama Mas Dwi?" tanyanya.

"Eh? Kenapa harus ilfeel?" aku bertanya balik.

"Maaf, tadi aku sedikit ngintip dari dapur. Mas Dwi memang gitu, suka khawatir berlebihan."

"Aahh ... ya-ya, gak masalah sih sejauh ini."

"Tegur aja kalo Kakak gak suka. Pasti Mas nurut kok kalau sudah cinta."

"Kamu mikir apa sih?" Kurasakan pipiku menghangat begitu kata cinta keluar dari mulut Tria.

"Kak, sudah jelas loh kalau Mas Dwi itu suka sama Kakak. Aku rasa Mas Dwi gak akan mundur lagi."

"Apa benar begitu?" Aku senang, tapi juga ada rasa khawatir di sana.

"Yah, kalau Kakak gak ada rasa sama Mas Dwi, tolong bilang dari awal! Jangan buat Mas Dwi jatuh cinta terlalu dalam!" Pesan yang mendalam dari Tria, memang nadanya lembut tapi ada penekanan di sana. Aku paham, tidak ada yang ingin melihat saudaranya tersakiti.

Seketika aku terdiam. Perasaan senangku lenyap. Aku takut mengecewakan pada akhirnya. Aku takut untuk memulai lagi. Kemudian aku pamit pulang dengan pesan taksi online.

Sampai di rumah, tidak ada orang sama sekali. Syukurlah, aku bisa menenangkan diri. Begitu masuk ke kamar, mataku tertuju pada sebuah paper bag yang dari kemarin disodorkan Robi.

Dengan terpaksa aku keluarkan isi dari paper bag itu. Ternyata sebuah kotak musik dengan bola salju diatasnya. Di dalamnya terdapat miniatur menara Eiffel dan sepasang manusia mungil yang sedang berswafoto. Terukir inisial RnA disana. Robi Alena 'kah maksudnya?

Kuputar alunan musik dari kotak itu, lalu membuka sepucuk surat yang tertinggal di dalam paper bag tadi.

Lena, aku tahu kesalahanku sangat fatal. Entah setan dari mana yang merasukiku. Maaf aku memulai semuanya dengan kebohongan. Aku memang punya tunangan, tapi itu semua hanyalah permainan politik saja.

Jujur, aku lebih mencintaimu dari pada dia. Dia tidak sebaik dirimu dalam memperlakukan aku. Kamu yang selalu sabar dengan pikiranku yang jahat, kamu selalu menenangkan ketika aku kacau. Dan maaf, terlalu fatal aku sampai 'bermain' dengan mamamu yang seharusnya menjadi mertuaku.

Aku memang bodoh. Mungkin memang tidak bisa kembali seperti dulu. Tapi, apakah tidak bisa ada sedikit saja maaf untukku? Aku akan memperlakukanmu sebaik mungkin, aku akan menebus semua kesalahanku.

Dan lagi, kotak musik ini. Aku beli sebelum kita berpisah. Aku berencana akan memberikannya di ulang tahunmu bulan depan. Tapi ternyata hubungan kita berakhir jauh sebelum itu.

Maafkan aku. Aku masih mencintaimu, Alena.

- Robi -

Air mataku mengalir deras. Aku memang sangat membencinya. Namun, masih terbayang masa satu tahun yang sudah kami lewati bersama. Seburuk apapun dia, aku tetap mencintainya kala itu. Dan kini? Meski semua sudah berakhir, rasa sakit ini tak kunjung hilang. Bahkan ada rasa seandainya waktu bisa diputar, mungkin semua bisa diperbaiki.

B*doh kamu Alena! B*doh!

Ting ting ting ting ting ting ting ting!!!

Sebuah panggilan masuk muncul di sana. Kutolak tanpa melihat siapa yang meneleponnya. Aku masih tenggelam dalam tangisku. Pikiranku kacau. Kupikir, sepertinya aku masih mencintai laki-laki bod*h itu sehingga aku masih merasakan perasaan yang sesakit ini meski hanya membaca sebuah surat saja.

Ting ting ting ting ting ting ting ting!!!

Handphoneku kembali berdering. Siapa yang muncul disaat seperti ini? Seperti tidak ada waktu lain saja. Kuambil handphoneku dan terlihat nama Mas Dwi muncul disana. Aku tidak ingin bicara dengannya lebih dulu. Perasaanku sangat kacau. Aku tidak mengerti siapa yang baik untukku saat ini. Rasanya aku ingin menghilang saja.

.

Aku masuk kerja setelah kemarin absen. Aku tidak ingin perasaanku merusak semuanya. Sudah benar dulu fokusku pada pekerjaan dan uang. Tidak perlu repot memikirkan masalah hati dan embel-embelnya.

"Lena! Kemarin kok gak masuk, sih? Kamu sakit?" tanya Atika yang seolah tidak bertemu denganku lama sekali.

"Yah, sedikit," jawabku sekenanya. Aku sedang tidak ingin banyak bicara.

"Sakit apa? Kenapa sekarang sudah masuk? Wajahmu masih sangat pucat," ucapnya sangat khawatir.

"Aku baik-baik aja kok. Kembalilah ke ruang kerjamu! Maaf, aku sedang ingin sendiri." Kuharap dia mengerti yang aku inginkan.

"Apa sudah terjadi sesuatu?" tanyanya lagi. Aku tidak menjawab, aku hanya menatap wajahnya dengan ekspresi datar.

"Ah ya, oke. Panggil aku kalau butuh sesuatu!" ucapnya kemudian pergi. Hahh ... aku bersyukur dia mudah mengerti tanpa aku harus banyak bicara. Aku hanya perlu waktu untuk memulihkan semuanya.

Jam makan siang, aku sedang tidak ingin bergabung dengan yang lain. Kulanjutkan pekerjaanku lagi agar tidak terpikirkan hal-hal yang bisa mengganggu kinerjaku.

"Len, ayo makan siang!" ajak Mas Dwi.

"Tidak Pak, maaf saya sibuk," jawabku dengan wajah yang masih menghadap layar komputer.

"Ini jam makan siang, semua karyawan juga istirahat."

"Bapak duluan saja, nanti saya menyusul."

"Lena, ada yang perlu kutanyakan. Ayo kita keluar!"

"Mohon maaf Pak, kalau ada yang mau dibicarakan nanti saya bisa datang ke ruangan Bapak."

"Bukan urusan pekerjaan, ayo keluar bersamaku sekarang!" pintanya dengan nada yang lembut. Namun tidak juga membuatku tergerak.

"Mohon maaf, Pak, saya sedang tidak ingin kemana-mana. Tanpa mengurangi rasa hormat, tolong tinggalkan ruangan saya!" ucapku dengan memberanikan diri menatap wajahnya.

"Len?" Kemudian Mas Dwi melihat sekeliling. Memastikan kalau tidak ada yang melihat kami berdua. Kemudian ia bicara dengan suara yang lebih kecil. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu berubah seperti ini? Apa aku melakukan kesalahan?"

Aku tersenyum datar dan berdiri.

"Mohon maaf sekali lagi, Pak Dwi. Bapak tidak ada salah apapun. Mohon jangan membuat gosip yang tidak benar lagi tentang kita!" Usai mengucapkan itu aku mengambil tas dan keluar ruangan.

Seperti biasa, aku hanya membeli kopi dingin dari mesin penjual dan duduk di kursi di bawah pohon seberang kantor. Kunikmati hembusan angin yang membelai rambutku. Aku harus tenang. Semua akan baik-baik saja.

Ting! Kubuka pesan yang baru masuk itu.

Mas Robi : Sudah buka surat dariku kan? Aku sedang di dekat kantormu. Mau makan siang bersama?

Terpopuler

Comments

Amma Ar-Rahma

Amma Ar-Rahma

hadde...mantan gila. biar bersujud sekalipun tdk ada termaafkan

2020-12-15

0

Zihan Masrura

Zihan Masrura

lahh robi malah menyesal

2020-09-30

1

Yuni Astuti

Yuni Astuti

awas alena, jangan percaya lagi sama robi

2020-09-07

1

lihat semua
Episodes
1 Part 1
2 Part 2
3 Part 3
4 Part 4
5 Part 5
6 Part 6
7 Part 7
8 Part 8
9 Part 9
10 Part 10
11 Part 11
12 Part 12
13 13
14 14
15 15
16 16
17 17
18 18
19 19
20 20
21 21
22 22
23 23
24 24
25 25
26 26
27 27
28 28
29 29
30 30
31 31
32 32
33 33
34 34
35 35
36 36
37 37
38 38
39 39
40 40
41 41
42 42
43 43
44 Pengumuman
45 Season 2 #Part 1
46 Season 2 #Part 2
47 Season 2 #Part 3
48 Season 2 #Part 4
49 Season 2 #Part 5
50 Season 2 #Part 6
51 Season 2 #Part 7
52 Season 2 #Part 8
53 Season 2 #Part 9
54 Season 2 #Part 10
55 Visual Cast
56 Season 2 #Part 11
57 Season 2 #Part 12
58 Season 2 #Part 13
59 Season 2 #Part 14
60 Season 2 #Part 15
61 Season 2 #Part 16
62 Season 2 #Part 17
63 Season 2 #Part 18
64 Season 2 #Part 19
65 Season 2 #Part 20
66 Season 2 #Part 21
67 Season 2 #Part 22
68 Season 2 #Part 23
69 Season 2 #Part 24
70 Season 2 #Part 25
71 Season 2 #Part 26
72 Season 2 #Part 27
73 Season 2 #Part 28
74 Season 2 #Part 29
75 Season 2 #Part 30
76 Season 2 #Part 31
77 Season 2 #Part 32
78 Season 2 #Part 33
79 Season 2 #Part 34
80 Season 2 #Part 35
81 Season 2 #Part 36
82 Season 2 #Part 37
83 Season 2 #Part 38
84 Season 2 #Part 39
85 Season 2 #Part 40
86 Cuap-cuap Author
87 Season 2 #Part 41
88 Season 2 #Part 42
89 Season 2 #Part 43
90 Season 2 #Part 44
91 Season 2 #Part 45
92 Haiiiiiii!!!!
93 Season 2 #Part 46
94 Season 2 #Part 47
95 Season 2 #Part 48
96 Pengumuman Hiatus
97 Haloo!!
98 Season 2 #Part 49
99 Season 2 #Part 50
100 Season 2 #Part 51
101 Season 2 #Part 52
Episodes

Updated 101 Episodes

1
Part 1
2
Part 2
3
Part 3
4
Part 4
5
Part 5
6
Part 6
7
Part 7
8
Part 8
9
Part 9
10
Part 10
11
Part 11
12
Part 12
13
13
14
14
15
15
16
16
17
17
18
18
19
19
20
20
21
21
22
22
23
23
24
24
25
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
30
31
31
32
32
33
33
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
39
39
40
40
41
41
42
42
43
43
44
Pengumuman
45
Season 2 #Part 1
46
Season 2 #Part 2
47
Season 2 #Part 3
48
Season 2 #Part 4
49
Season 2 #Part 5
50
Season 2 #Part 6
51
Season 2 #Part 7
52
Season 2 #Part 8
53
Season 2 #Part 9
54
Season 2 #Part 10
55
Visual Cast
56
Season 2 #Part 11
57
Season 2 #Part 12
58
Season 2 #Part 13
59
Season 2 #Part 14
60
Season 2 #Part 15
61
Season 2 #Part 16
62
Season 2 #Part 17
63
Season 2 #Part 18
64
Season 2 #Part 19
65
Season 2 #Part 20
66
Season 2 #Part 21
67
Season 2 #Part 22
68
Season 2 #Part 23
69
Season 2 #Part 24
70
Season 2 #Part 25
71
Season 2 #Part 26
72
Season 2 #Part 27
73
Season 2 #Part 28
74
Season 2 #Part 29
75
Season 2 #Part 30
76
Season 2 #Part 31
77
Season 2 #Part 32
78
Season 2 #Part 33
79
Season 2 #Part 34
80
Season 2 #Part 35
81
Season 2 #Part 36
82
Season 2 #Part 37
83
Season 2 #Part 38
84
Season 2 #Part 39
85
Season 2 #Part 40
86
Cuap-cuap Author
87
Season 2 #Part 41
88
Season 2 #Part 42
89
Season 2 #Part 43
90
Season 2 #Part 44
91
Season 2 #Part 45
92
Haiiiiiii!!!!
93
Season 2 #Part 46
94
Season 2 #Part 47
95
Season 2 #Part 48
96
Pengumuman Hiatus
97
Haloo!!
98
Season 2 #Part 49
99
Season 2 #Part 50
100
Season 2 #Part 51
101
Season 2 #Part 52

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!