Hujan semakin deras, beberapa kali suara gemuruh terdengar. Box makanan kami sudah kosong semuanya, tinggal sisa-sisa saus sambal yang membekas di sana.
"Mas, gak usah berangkat kerja lagi aja. Deres banget loh ujannya," ujar Tria.
"Kan Mas bawa mobil, gak papa lah mau ujan juga."
Aku terdiam. Rasanya aneh. Bisa-bisanya aku bolos bekerja dan malah enak-enakan di rumah atasanku?
"Len? Mikirin apa?" tanya Mas Dwi kepadaku. Seolah tidak ingin ikut campur, Tria membereskan box sisa makan kami dan membawanya ke belakang.
"Gak papa kok, Mas," jawabku seraya tersenyum kaku.
"Apa kamu bosan di rumahku?"
"Ah, bukan begitu. Aku merasa gak enak karena hal sepele tapi sampai bolos kerja."
"Apa salahnya istirahat sebentar? Dari pada bekerja tapi gak maksimal?"
Aku menunduk. Ingin sekali rasanya segera keluar dari masalah ini. Masalahnya memang tidak terlihat, tapi sangat mengganggu di pikiranku.
"Tunggu sebentar!" pinta Mas Dwi yang lalu beranjak ke salah satu ruangan. Tak lama kemudian ia datang lagi membawa sebuah konsol video game portabel.
"Bisa main ini?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Cuma pernah lihat, tapi gak pernah pakai."
"Duh, apa kamu mau ke kamarku? Aku ada komputer, banyak gamenya. Biar kamu gak bosen." Wajahnya tampak memperlihatkan otaknya yang sedang berputar mencari jalan.
"Mas--"
"Ah! Mau nonton? Aku juga banyak film tuh tinggal pilih mau genre apa," ujarnya masih berusaha mencarikanku hiburan.
"Mas, udah stop!" Kupegang punggung tangannya dan berhasil membuatnya berhenti.
"Eh?"
"Mas, aku ini bukan anak kecil. Mas gak perlu bingung aku harus ngapain. Sekarang Mas berangkat kerja aja. Jam makan siang sudah habis. Nanti aku cari tutorial cara main konsol game ini." Aku berharap dengan aku bicara seperti ini bisa membuat Mas Dwi lebih tenang.
"Apa kamu yakin?" tanyanya masih kurang percaya.
"Iya yakin. Sudah sana berangkat!"
"Telepon aku kalau terjadi sesuatu!"
"Iya-iya."
Lalu ia tersenyum. Manis sekali. Ah rasanya jantungku menjadi tidak sehat.
"Ya sudah, aku berangkat dulu ya!"
"Iya, Mas."
Lalu ia beranjak dari sofa dan berangkat ke kantor lagi. Seandainya aku sudah menikah. Pasti aku bisa merasakan momen seperti ini setiap hari bahkan lebih manis. Melihat suamiku berangkat kerja, aku mencium punggung tangannya lalu ia mencium kening ku. Ah, manisnya.
"Kak!" Suara Tria membuyarkan lamunanku.
"Ah? Eh? Iya gimana?" Duh! Jangan sampai Tria tahu apa yang sedang aku bayangkan.
"Kakak gak ilfeel kan sama Mas Dwi?" tanyanya.
"Eh? Kenapa harus ilfeel?" aku bertanya balik.
"Maaf, tadi aku sedikit ngintip dari dapur. Mas Dwi memang gitu, suka khawatir berlebihan."
"Aahh ... ya-ya, gak masalah sih sejauh ini."
"Tegur aja kalo Kakak gak suka. Pasti Mas nurut kok kalau sudah cinta."
"Kamu mikir apa sih?" Kurasakan pipiku menghangat begitu kata cinta keluar dari mulut Tria.
"Kak, sudah jelas loh kalau Mas Dwi itu suka sama Kakak. Aku rasa Mas Dwi gak akan mundur lagi."
"Apa benar begitu?" Aku senang, tapi juga ada rasa khawatir di sana.
"Yah, kalau Kakak gak ada rasa sama Mas Dwi, tolong bilang dari awal! Jangan buat Mas Dwi jatuh cinta terlalu dalam!" Pesan yang mendalam dari Tria, memang nadanya lembut tapi ada penekanan di sana. Aku paham, tidak ada yang ingin melihat saudaranya tersakiti.
Seketika aku terdiam. Perasaan senangku lenyap. Aku takut mengecewakan pada akhirnya. Aku takut untuk memulai lagi. Kemudian aku pamit pulang dengan pesan taksi online.
Sampai di rumah, tidak ada orang sama sekali. Syukurlah, aku bisa menenangkan diri. Begitu masuk ke kamar, mataku tertuju pada sebuah paper bag yang dari kemarin disodorkan Robi.
Dengan terpaksa aku keluarkan isi dari paper bag itu. Ternyata sebuah kotak musik dengan bola salju diatasnya. Di dalamnya terdapat miniatur menara Eiffel dan sepasang manusia mungil yang sedang berswafoto. Terukir inisial RnA disana. Robi Alena 'kah maksudnya?
Kuputar alunan musik dari kotak itu, lalu membuka sepucuk surat yang tertinggal di dalam paper bag tadi.
Lena, aku tahu kesalahanku sangat fatal. Entah setan dari mana yang merasukiku. Maaf aku memulai semuanya dengan kebohongan. Aku memang punya tunangan, tapi itu semua hanyalah permainan politik saja.
Jujur, aku lebih mencintaimu dari pada dia. Dia tidak sebaik dirimu dalam memperlakukan aku. Kamu yang selalu sabar dengan pikiranku yang jahat, kamu selalu menenangkan ketika aku kacau. Dan maaf, terlalu fatal aku sampai 'bermain' dengan mamamu yang seharusnya menjadi mertuaku.
Aku memang bodoh. Mungkin memang tidak bisa kembali seperti dulu. Tapi, apakah tidak bisa ada sedikit saja maaf untukku? Aku akan memperlakukanmu sebaik mungkin, aku akan menebus semua kesalahanku.
Dan lagi, kotak musik ini. Aku beli sebelum kita berpisah. Aku berencana akan memberikannya di ulang tahunmu bulan depan. Tapi ternyata hubungan kita berakhir jauh sebelum itu.
Maafkan aku. Aku masih mencintaimu, Alena.
- Robi -
Air mataku mengalir deras. Aku memang sangat membencinya. Namun, masih terbayang masa satu tahun yang sudah kami lewati bersama. Seburuk apapun dia, aku tetap mencintainya kala itu. Dan kini? Meski semua sudah berakhir, rasa sakit ini tak kunjung hilang. Bahkan ada rasa seandainya waktu bisa diputar, mungkin semua bisa diperbaiki.
B*doh kamu Alena! B*doh!
Ting ting ting ting ting ting ting ting!!!
Sebuah panggilan masuk muncul di sana. Kutolak tanpa melihat siapa yang meneleponnya. Aku masih tenggelam dalam tangisku. Pikiranku kacau. Kupikir, sepertinya aku masih mencintai laki-laki bod*h itu sehingga aku masih merasakan perasaan yang sesakit ini meski hanya membaca sebuah surat saja.
Ting ting ting ting ting ting ting ting!!!
Handphoneku kembali berdering. Siapa yang muncul disaat seperti ini? Seperti tidak ada waktu lain saja. Kuambil handphoneku dan terlihat nama Mas Dwi muncul disana. Aku tidak ingin bicara dengannya lebih dulu. Perasaanku sangat kacau. Aku tidak mengerti siapa yang baik untukku saat ini. Rasanya aku ingin menghilang saja.
.
Aku masuk kerja setelah kemarin absen. Aku tidak ingin perasaanku merusak semuanya. Sudah benar dulu fokusku pada pekerjaan dan uang. Tidak perlu repot memikirkan masalah hati dan embel-embelnya.
"Lena! Kemarin kok gak masuk, sih? Kamu sakit?" tanya Atika yang seolah tidak bertemu denganku lama sekali.
"Yah, sedikit," jawabku sekenanya. Aku sedang tidak ingin banyak bicara.
"Sakit apa? Kenapa sekarang sudah masuk? Wajahmu masih sangat pucat," ucapnya sangat khawatir.
"Aku baik-baik aja kok. Kembalilah ke ruang kerjamu! Maaf, aku sedang ingin sendiri." Kuharap dia mengerti yang aku inginkan.
"Apa sudah terjadi sesuatu?" tanyanya lagi. Aku tidak menjawab, aku hanya menatap wajahnya dengan ekspresi datar.
"Ah ya, oke. Panggil aku kalau butuh sesuatu!" ucapnya kemudian pergi. Hahh ... aku bersyukur dia mudah mengerti tanpa aku harus banyak bicara. Aku hanya perlu waktu untuk memulihkan semuanya.
Jam makan siang, aku sedang tidak ingin bergabung dengan yang lain. Kulanjutkan pekerjaanku lagi agar tidak terpikirkan hal-hal yang bisa mengganggu kinerjaku.
"Len, ayo makan siang!" ajak Mas Dwi.
"Tidak Pak, maaf saya sibuk," jawabku dengan wajah yang masih menghadap layar komputer.
"Ini jam makan siang, semua karyawan juga istirahat."
"Bapak duluan saja, nanti saya menyusul."
"Lena, ada yang perlu kutanyakan. Ayo kita keluar!"
"Mohon maaf Pak, kalau ada yang mau dibicarakan nanti saya bisa datang ke ruangan Bapak."
"Bukan urusan pekerjaan, ayo keluar bersamaku sekarang!" pintanya dengan nada yang lembut. Namun tidak juga membuatku tergerak.
"Mohon maaf, Pak, saya sedang tidak ingin kemana-mana. Tanpa mengurangi rasa hormat, tolong tinggalkan ruangan saya!" ucapku dengan memberanikan diri menatap wajahnya.
"Len?" Kemudian Mas Dwi melihat sekeliling. Memastikan kalau tidak ada yang melihat kami berdua. Kemudian ia bicara dengan suara yang lebih kecil. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu berubah seperti ini? Apa aku melakukan kesalahan?"
Aku tersenyum datar dan berdiri.
"Mohon maaf sekali lagi, Pak Dwi. Bapak tidak ada salah apapun. Mohon jangan membuat gosip yang tidak benar lagi tentang kita!" Usai mengucapkan itu aku mengambil tas dan keluar ruangan.
Seperti biasa, aku hanya membeli kopi dingin dari mesin penjual dan duduk di kursi di bawah pohon seberang kantor. Kunikmati hembusan angin yang membelai rambutku. Aku harus tenang. Semua akan baik-baik saja.
Ting! Kubuka pesan yang baru masuk itu.
Mas Robi : Sudah buka surat dariku kan? Aku sedang di dekat kantormu. Mau makan siang bersama?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Amma Ar-Rahma
hadde...mantan gila. biar bersujud sekalipun tdk ada termaafkan
2020-12-15
0
Zihan Masrura
lahh robi malah menyesal
2020-09-30
1
Yuni Astuti
awas alena, jangan percaya lagi sama robi
2020-09-07
1