Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku teringat omongan Pak Agung. Papa menikahi mama yang sudah mengandung, tapi siapa? Apa mungkin aku bukan anak Papa? Lalu, aku anak siapa? Pak Agung mantan calon suami Mama, apa mungkin dia? Aarrrgg!!!! Tidak! Itu tidak mungkin. Otakku berdebat sendiri sampai aku tidak sadar kapan aku mulai tertidur.
Dengan bantuan G-Maps aku bisa sampai ke desa Pak Agung. Aku sengaja tidak membawa mobil, karena akses jalan yang tidak mendukung. Daripada merepotkan, akhirnya aku memilih mengendarai sepeda motor.
"Ternyata gak jauh yaa," ujarku ketika aku baru sampai di sana.
"Yah, memang. Hanya akses mobil aja yang membuatnya jadi terlihat lebih jauh." Lalu Irvan meletakkan segelas teh hangat.
"Ibu Bapak ke mana? Kok sepi?"
"Lagi kondangan, mungkin sebentar lagi pulang."
"Ahh, begitu," jawabku sembari mengangguk-angguk.
"Bagaimana keadaanmu? Apa sudah membaik?" tanyanya.
"Hmm ...." Aku baru meneguk teh hangat. Kemudian kuletakkan lagi gelasnya. "Udah jauh lebih baik, terima kasih sarannya. Aku memang belum memaafkan sepenuhnya, tapi aku juga gak bisa kalau harus dendam terlalu lama. Sama-sama menyiksa batin."
"Yah, setidaknya ada kedamaian tersendiri ketika kamu mencoba untuk ikhlas."
"Hmm ... ya, aku gak munafik. Memang sedikit tenang meskipun aku masih belum ikhlas mereka gak dapat ganjaran apa pun."
"Sabar, Tuhan punya rencana kok," jawabnya seraya tersenyum.
"Semoga saja, ya." Aku mengalihkan pandangan ketika terdengar suara motor yang baru saja datang.
"Eh, ada Lena." Ibu menyambutku dengan lembut, aku mencium tangannya. Begitu juga Pak Agung. "Sudah dari tadi?"
"Belum kok, Bu. Ini tehnya masih hangat." jawabku seraya menunjukkan teh yang ada di atas meja.
Kami ngobrol banyak, hanya saja aku belum memiliki kesempatan. Aku takut ibu dan Irvan tahu, aku tidak ingin merusak keluarga yang sudah bahagia jika memang Ibu belum mengetahui hubungan Mama dengan Pak Agung.
Akhirnya aku pulang dengan tangan kosong. Informasi yang aku harapkan sama sekali tidak aku dapatkan. Jika aku bertanya langsung pada Mama, apa Mama akan menceritakan padaku?
..
Minggu siang, aku janjian bertemu dengan Radit di sebuah cafe dekat kantorku. Awalnya aku enggan, namun karena ia terus memaksa akhirnya aku menyetujuinya.
"Senang, ya, rasanya bisa bertemu lagi seperti ini," ujar Radit dengan wajah yang begitu sumringah.
"Iya, sejak aku berhenti sekolah, kita gak pernah bertemu lagi," jawabku.
"Ah iya, aku cukup kehilangan waktu itu. Ditambah kamu yang menutup diri, jadi aku merasa benar-benar sudah kehilangan kamu."
"Apaan sih?" Aku merasa sedikit malu, tapi juga senang. "Pacarmu siapa sekarang?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Gak ada. Aku putus hampir dua tahun lalu, ditinggal nikah," ucapnya seraya mengaduk lemon tea-nya.
"Ah, sorry. Jadi, sampai sekarang kamu belum move on?"
"Enak aja, udah dong! Untuk apa gagal move on dari perempuan seperti dia?"
"Ya, barangkali, kan," jawabku seraya mengangkat bahu.
"Terus, kamu sendiri, mana pacarmu?" Pertanyaannya berhasil membuat darahku mengalir cepat dalam sekejap. Aku salah sudah menjebak diriku sendiri.
"Gak ada," jawabku singkat seraya mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Hmm? Sepertinya ada rasa sakit yang masih tertinggal. Ada apa?" Ia mulai menyelidik.
"Bukan apa-apa. Aku cuma gak pengen mengingatnya."
"Hei, ceritalah! Aku siap mendengarkan kok." Radit memegang tanganku. Hal itu membuatku sedikit kaget dan spontan menarik tanganku dari genggamannya.
"Ah, sorry! Serius, bukan apa-apa," jawabku seraya menyunggingkan senyum yang sedikit kupaksakan.
"Baiklah, aku gak akan memaksa." Tangannya kembali memegang gelas minuman dan mengaduknya. Lalu ia mengalihkan pembicaraan hingga aku lupa kalau tadi baru saja membahas Mas Robi.
"Naik apa?" tanyanya ketika kami sampai di parkiran cafe. Kami sudah memutuskan untuk pulang.
"Itu." Aku menunjuk mobilku yang terparkir di paling ujung.
"Ahh ... udah sukses rupanya ya, udah bisa beli mobil."
"Yah, itu saja masih kredit kok." Aku nyengir kuda. Sudah second, kredit pula.
"Yah, dari pada aku. Motor saja lusuh begini." Ia menunjukkan motor matic nya yang sepertinya sudah dipakai sejak SMA.
"Jangan begitu! Bersyukur dong! Daripada gak punya apa-apa, iya kan?" ujarku mengingatkan.
"Kamu selalu berpikir positif, ya," ujarnya seraya mengembangkan senyum tipis.
"Ya sudah, aku pulang ya!" pamitku. Aku sudah tidak betah berlama-lama dengannya.
"Iya, hati-hati!" pesan Radit padaku.
"Iya, kamu juga." Aku tersenyum kemudian berjalan ke arah mobilku terparkir.
'Hmm ... kukira aku masih menyukai Radit. Ternyata salah. Perasaanku udah gak sama lagi,' batinku dari balik stir mobil.
Sesampainya aku di rumah, tak kutemukan mobil Mama di depan. Ke mana lagi? Semenjak punya mobil sendiri, Mama jadi jarang di rumah. Kurebahkan diriku di sofa. Aku merasa kosong. Aku rindu momen manisku dengan Mas Robi, tapi rasa rindu itu hilang seketika saat ingatan rasa sakit itu muncul.
Kupejamkan mata dan membayangkan Papa ada di sampingku.
'Pa, maaf ya, Lena salah pilih pasangan. Lena kira Mas Robi beneran cinta sama Lena, tapi ternyata enggak. Pa, Papa marah sama Mama gak? Oh iya, Lena ini anak siapa, Pa?' aku bermonolog dalam hati.
Setelah merasa cukup, aku beranjak dari sofa dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian Mama pulang. Terdengar suara ribut 2 manusia di sana. Aku langsung memasang telingaku di balik pintu, berharap suara bisa terdengar lebih jelas.
"Bagaimana mungkin kamu gak mau menikahi aku, Rob!" Mama bicara dengan nada tinggi.
"Aku gak mungkin menikahimu, Maya!" Mas Robi membalas dengan nada yang jauh lebih tinggi dan kasar. Aku belum pernah mendengar Mas Robi sekasar itu.
"Ini hasil tes sudah jelas! Mau mengelak apa lagi?" ucap Mama setelah terdengar suara berkas dibanting di atas meja.
"Itu bukan anakku!" ucapnya dengan nada penolakan yang sangat tegas.
"Beraninya kamu bilang begitu? Kamu kira aku ini perempuan murahan?"
"Bahkan Alena saja jauh lebih bermartabat dari pada ibunya!" bentak Mas Robi lagi.
Deg! Meskipun aku belum memaafkan Mama, tapi rasanya tidak terima mamaku direndahkan seperti itu. Mama hamil? Anak Mas Robi? Kenyataan macam apalagi ini?
"Kalau kamu gak mau tanggung jawab, hati-hati saja! Kupastikan nama baikmu rusak!" Mama mulai mengancam.
"Perempuan jal*ng!" umpat Mas Robi yang kemudian keluar rumah dan membanting pintu. Setelah kupastikan Mas Robi pergi, aku memberanikan membuka pintu kamar. Terlihat Mama sedang duduk di sofa dan membuka beberapa berkas.
"Ma ...."
"Hm?" jawab Mama. Aku duduk disebelah Mama dan mengamati seksama. Tidak ada bekas air mata di wajahnya. "Lihat apa? Kamu tadi dengar obrolan kami, kan?"
"Mama hamil?" tanyaku terus terang.
"Lihat aja sendiri!" Mama memberikan berkas itu padaku. Terlihat jelas tulisan POSITIF di sana.
Aku sedikit tidak percaya dan juga tidak tahu harus merespon bagaimana. Pikiranku saling beradu. Antara amarahku, sedih, juga kasihan.
"Udah lihat, kan, kalau Robi itu breng*ek?"
"Tapi bagaimana mungkin Mama bisa hamil?"
"Ya namanya orang berbuat, pasti ada hasilnya, Len!" Mama tampak emosi dan meninggalkanku sendiri di ruang tamu.
Mama benar-benar hamil? Bagaimana mungkin, sih? Aku hampir 25 tahun dan akan punya adik? Apa ini bisa menjadi sebuah judul serial TV? Adikku adalah anak dari mantan pacarku? Apa-apaan itu? Lalu, apa Mama benar-benar akan menikah dengan Mas Robi? Membayangkan saja rasanya sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Neneng Mahmud
ngeri ngeri sedaap bagitu adiku adalah anak dari mantan pacar...
2020-10-23
1
indlezz
Adiku adalah anak dari mantan pacarku,,,entah knpa lucu
2020-09-15
3
*
gilaaa
2020-09-14
1