17

05.55

Lagi-lagi aku terbangun 5 menit sebelum alarmku berdering. Kuregangkan otot-otot tubuh lalu menarik dan menghembuskan nafas perlahan. Moodku sedang sangat baik. Aku berharap hariku juga baik.

"Hari ini pake kemeja yang mana, ya?" Kubuka pintu lemari dan memandangi pakaianku satu persatu. Dari yang paling cerah sampai paling gelap bahkan paling banyak corak, semuanya ada.

"Aarrhhh! Gak ada yang menarik. Kapan terakhir kali aku beli baju?" Kututup lagi lemari dan membuka gorden jendela kamar.

"Yaahh, kok gerimis." Terlihat samar-samar tetesan air bersama-sama terjun ke tanah. Kubuka jendela sedikit sehingga udara yang dingin dan lembut itu membelai wajahku. "Segarnya! Aku harus segera mandi sebelum kedinginan."

Kubiarkan jendela itu terbuka sedikit saja. Lalu aku beranjak mengambil handuk kimono berwarna ungu dari gantungan.

Ting! Satu pesan masuk dan membuatku kembali duduk di kasur.

Mas Dwi : Pagi Len. Di luar hujan, apa kamu mau aku jemput?

What? Jemput? Apa kata orang kantor nanti?

Alena : Pagi, Mas. Ah, gak perlu. Aku bisa bawa mobil sendiri.

Mas Dwi : Aku juga bawa mobil karena hujan. Aku jemput ya? Biar mengurangi mobil yang terparkir. Setiap hujan pasti parkiran dalam penuh, kan?

Alena : Anu ... Tapi bagaimana kalau nanti dilihat yang lain?

Mas Dwi : Memang salah? Apa ada aturan karyawan gak boleh berangkat bareng?

Alena : Ya bukan begitu juga sih.

Mas Dwi : Ya sudah, jam 7 aku jemput. Oke? Sampai ketemu nanti!

'Eh? Seenaknya memutuskan sendiri. Tapi aku suka sih.' Kurasakan kedua pipiku kembali menghangat.

"Sadar Lena! Sadar! Kamu bukan anak SMA lagi! Jangan fokus cinta-cintaan!" ucapku sendiri.

Kutepuk-tepuk pelan kedua pipiku lalu menarik nafas dan kuhembuskan lagi.

"Huuufff ... semangat! Ayo kerja!"

Aku bersiap. Mandi, menghiasi wajahku dengan make-up tipis, kemudian memakai kemeja. Masih lima belas menit sebelum Mas Dwi datang. Mengambil tas kerjaku dan keluar kamar.

Niat hati hendak sarapan, tapi aku malah melihat manusia yang sama sekali tidak ingin kulihat. Dia duduk dengan santainya di salah satu kursi di ruang makan dengan segelas teh hangat di hadapannya. Ada Mama juga yang sedang asik dengan panci beserta isinya. Rasa laparku seketika menghilang.

"Len? Gak sarapan?" Robi memanggilku ketika melihatku menutup pintu kamar.

"Kenyang," jawabku singkat lalu berjalan ke ruang tamu.

"Aku antar ya? Aku juga mau ke kantor."

Aku tidak menjawab. Sembari menunggu Mas Dwi, aku membuka handphoneku dan membuka portal berita. Mataku memang tertuju ke layar, tapi pikiranku melayang kemana-mana.

Bagaimana perasaan Robi dan Mama? Bagaimana mereka bisa menikah tanpa cinta? Bagaimana bisa melakukan 'itu' tanpa perasaan? Rasanya semua ini tidak bisa kuterima dengan akal sehat.

JDAARRRRR!!! Petir menyambar tanpa aba-aba.

"Aakk!" Aku terkejut dan spontan handphoneku terlempar ke lantai.

Brak! Handphoneku langsung mati.

"Oh, ****!" Kuambil charger dari dalam tas dan kusambungkan aliran listrik ke handphone. Syukurlah masih selamat. Meskipun seketika bateraiku langsung habis.

"Ini milikmu." Robi tiba-tiba sudah ada di hadapanku dan memberikan paper bag yang semalam kutolak. Aku pura-pura tak melihatnya dan tidak menerima barang itu.

"Kamu boleh benci padaku, tapi terimalah ini! Aku sengaja membelinya untukmu."

"Jangan harap aku akan memaafkanmu!"

Kulepaskan charger dari stopkontak dan keluar rumah. Robi tidak bicara apapun, hanya menatapku. Begitu juga Mama hanya diam menatap kami berdua dari dapur. Aku tidak paham lagi dengan isi kepala manusia di rumah ini.

Beberapa menit kutunggu Mas Dwi di teras rumah. Akhirnya datang juga. Mobilnya berhenti tepat di depan pintu gerbangku, untung hujan tidak selebat tadi. Aku tidak memerlukan payung untuk berjalan ke mobil.

"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Mas Dwi ketika aku baru saja duduk di sebelahnya.

"Ada yang salah?" Aku mengambil cermin kecil yang selalu kubawa. Tak ada yang salah di wajahku.

"Hey, bukan itu," ujar Mas Dwi yang kemudian menarik tanganku hingga aku menghadap ke arahnya.

"Lalu apa?"

"Apa moodmu hari ini sedang buruk?" tanyanya lembut. Ucapannya berhasil membuat air mataku menetes.

"Hey, kenapa menangis?" Ia memegang kedua pipiku dan mengusap air mata yang sudah mengalir.

"Aku capek, Mas." Ungkapan hatiku yang akhirnya tumpah juga. Nafasku sedikit tercekat.

"Sstttt ... tenang dulu! Ceritakan padaku, apa yang terjadi!"

"Aku mau istirahat. Apa aku boleh gak dateng kerja untuk hari ini?"

"Lalu kamu mau kemana?"

"Kemana aja."

"Belum sarapan, ya?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. "Mau ke rumahku?" tanyanya lagi.

"Eh, gak, Mas. Ke kantor aja kalau gitu."

"Jangan takut! Aku gak niat jahat. Ada adik perempuanku di rumah. Setelah kuantar, aku akan ke kantor."

"Tapi, Mas ...."

"Sssttt ... yang penting kamu tenang dulu," ujarnya di akhiri dengan senyuman.

Ia kembali ke belakang kemudinya dan mobil melaju perlahan. Masuk gang-gang yang rasanya familiar. Lalu mobil berhenti di depan rumah bercat putih yang cantik. Minimalis tapi aku suka modelnya. Dia mempersilakanku duduk di salah satu sofa.

"Tria!" panggilnya. Mungkin itu adiknya.

"Iya, Mas." Terdengar jawaban dari belakang, lalu muncul seorang gadis cantik. Sepertinya masih SMA. Mas Dwi membisikkan sesuatu.

"Oke siap!" ucap anak itu setelah Mas Dwi menjauh dari telinganya.

"Len, ini Tria, Adikku." Mas Dwi memperkenalkan.

"Lena," ucapku memperkenalkan diri. Dia menjabat tanganku.

"Salam kenal, Kak," ucapnya kemudian.

"Ya sudah, aku berangkat kerja dulu. Tria, Mas titip Lena ya!"

"Oke, Mas," jawabnya. Anak ini terlihat sangat ceria. Sepertinya hubungan kakak adik mereka sangat baik. Aku jadi iri.

"Nanti jam makan siang aku pulang," ujar Mas Dwi. Lalu ia tersenyum dan berangkat kerja.

"Kakak mau minum apa?" tanya Tria.

"Ah, air putih aja," jawabku.

"Kakak mau tidur di kamar? Kami ada satu kamar tamu kalau mau."

"Ah, gak perlu. Di sini aja."

"Ya udah kalau gitu. Sebentar ya, Kak." Kemudian ia berjalan ke dapur, lalu kembali membawakan teko kecil yang tampak dingin beserta gelasnya dan setoples biskuit.

"Maaf Kak, hanya ada cemilan ini."

"Udah gak papa. Ini aja cukup," jawabku. Baik sekali anak ini. Mirip kakaknya.

"Kalau perlu apa bilang aja ya, Kak. Jangan sungkan!"

"Iya. Terima kasih, ya! Oh iya, kamu gak sekolah?"

"Eh ...." Lalu ia tertawa pelan. "Aku udah kuliah, Kak. Hari ini lagi kosong, gak ada jadwal."

"Oh iya? Astaga aku tertipu. Aku kira masih SMA."

"Badanku memang berhenti tumbuh di SMP, Kak. Gak bisa tinggi lagi. Jatah tingginya diambil Mas Dwi semua." Ia tertawa lagi.

Energi positifnya terpancar kuat. Moodku perlahan membaik. Kami banyak ngobrol bahasan-bahasan ringan. Dia anak yang supel, baru kenal sudah bisa akrab seperti ini. Beberapa kali ia menawarkan makan tapi aku menolak.

"Kakak udah lama kenal Mas Dwi?"

"Emm ... belum. Baru 2 tahunlah."

"Ahh, pas banget berarti."

"Apanya yang pas?"

"Apa Kakak tahu mas pernah gagal menikah?"

"Ah iya, tapi gak tahu rincinya."

"Kasihan. Mas itu bucin banget padahal," ujarnya. Bucin adalah singkatan dari budak cinta. Istilah yang biasa dipakai untuk meledek pasangan yang rela melakukan apapun demi cinta.

"Seandainya aku kenal cewek itu, pasti udah aku bunuh." lanjutnya lagi.

"Eh? Sefatal itu?" tanyaku kaget. Ia mengangguk.

"Setelah 2 tahun, baru ini aku lihat Mas deket sama cewek. Kukira mas bakal trauma dan gak mau sama cewek lagi."

"Eh?"

"Tenang, mas masih doyan cewek kok, Kak. Buktinya ajak kakak ke rumah. Yah, walaupun aku gak diizinin tanya-tanya," ujarnya kemudian memajukan bibirnya seperti bocah TK. Lucunya anak ini.

Lalu kami lanjut ngobrol lagi. Tak lama kemudian ia izin untuk mengerjakan tugas di kamarnya. Aku sendirian di ruang tamu.

..

Ceklek. Samar-samar terdengar suara pintu terbuka. Aku membuka mataku perlahan. Lalu ia duduk di sebelahku.

"Kok gak tidur di kamar aja?"

"Hmm ... Mas Dwi? Maaf aku ketiduran." Aku menegakkan posisi dudukku.

"It's ok. Kamu butuh istirahat. Yuk makan dulu, kamu belum makan dari pagi."

"Aku belum lapar kok, Mas." Aku jujur, rasa laparku samar ketika moodku berantakan.

"Aku gak mau kamu sakit. Makan aja walaupun sedikit. Aku sudah membelikan makanan untukmu." Lalu Mas Dwi mengangkat plastik berisi beberapa box makanan.

"Yayyy!!! Ayam goreng!" ujar Tria dari belakang. Lalu ia duduk. "Ayo makan, Kak!" ajaknya lagi. Ajakan yang sulit untuk kutolak kalau melihat Tria yang seceria ini.

"Ah ya, baiklah." Aku pasrah.

"Makan saja, sedikit juga gak papa. Tria kuat makan banyak kok," ujar Mas Dwi.

"Oh jelas! Apalagi ayam. Aku gak akan menolak."

Mendengar itu aku sedikit tertawa. Bahagia sekali sepertinya keluarga ini. Aku ingin punya keluarga yang bahagia seperti ini. Sayangnya aku hanya anak tunggal dan yahh ... sekarang aku tidak tahu bagaimana keluargaku bisa bahagia lagi.

Episodes
1 Part 1
2 Part 2
3 Part 3
4 Part 4
5 Part 5
6 Part 6
7 Part 7
8 Part 8
9 Part 9
10 Part 10
11 Part 11
12 Part 12
13 13
14 14
15 15
16 16
17 17
18 18
19 19
20 20
21 21
22 22
23 23
24 24
25 25
26 26
27 27
28 28
29 29
30 30
31 31
32 32
33 33
34 34
35 35
36 36
37 37
38 38
39 39
40 40
41 41
42 42
43 43
44 Pengumuman
45 Season 2 #Part 1
46 Season 2 #Part 2
47 Season 2 #Part 3
48 Season 2 #Part 4
49 Season 2 #Part 5
50 Season 2 #Part 6
51 Season 2 #Part 7
52 Season 2 #Part 8
53 Season 2 #Part 9
54 Season 2 #Part 10
55 Visual Cast
56 Season 2 #Part 11
57 Season 2 #Part 12
58 Season 2 #Part 13
59 Season 2 #Part 14
60 Season 2 #Part 15
61 Season 2 #Part 16
62 Season 2 #Part 17
63 Season 2 #Part 18
64 Season 2 #Part 19
65 Season 2 #Part 20
66 Season 2 #Part 21
67 Season 2 #Part 22
68 Season 2 #Part 23
69 Season 2 #Part 24
70 Season 2 #Part 25
71 Season 2 #Part 26
72 Season 2 #Part 27
73 Season 2 #Part 28
74 Season 2 #Part 29
75 Season 2 #Part 30
76 Season 2 #Part 31
77 Season 2 #Part 32
78 Season 2 #Part 33
79 Season 2 #Part 34
80 Season 2 #Part 35
81 Season 2 #Part 36
82 Season 2 #Part 37
83 Season 2 #Part 38
84 Season 2 #Part 39
85 Season 2 #Part 40
86 Cuap-cuap Author
87 Season 2 #Part 41
88 Season 2 #Part 42
89 Season 2 #Part 43
90 Season 2 #Part 44
91 Season 2 #Part 45
92 Haiiiiiii!!!!
93 Season 2 #Part 46
94 Season 2 #Part 47
95 Season 2 #Part 48
96 Pengumuman Hiatus
97 Haloo!!
98 Season 2 #Part 49
99 Season 2 #Part 50
100 Season 2 #Part 51
101 Season 2 #Part 52
Episodes

Updated 101 Episodes

1
Part 1
2
Part 2
3
Part 3
4
Part 4
5
Part 5
6
Part 6
7
Part 7
8
Part 8
9
Part 9
10
Part 10
11
Part 11
12
Part 12
13
13
14
14
15
15
16
16
17
17
18
18
19
19
20
20
21
21
22
22
23
23
24
24
25
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
30
31
31
32
32
33
33
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
39
39
40
40
41
41
42
42
43
43
44
Pengumuman
45
Season 2 #Part 1
46
Season 2 #Part 2
47
Season 2 #Part 3
48
Season 2 #Part 4
49
Season 2 #Part 5
50
Season 2 #Part 6
51
Season 2 #Part 7
52
Season 2 #Part 8
53
Season 2 #Part 9
54
Season 2 #Part 10
55
Visual Cast
56
Season 2 #Part 11
57
Season 2 #Part 12
58
Season 2 #Part 13
59
Season 2 #Part 14
60
Season 2 #Part 15
61
Season 2 #Part 16
62
Season 2 #Part 17
63
Season 2 #Part 18
64
Season 2 #Part 19
65
Season 2 #Part 20
66
Season 2 #Part 21
67
Season 2 #Part 22
68
Season 2 #Part 23
69
Season 2 #Part 24
70
Season 2 #Part 25
71
Season 2 #Part 26
72
Season 2 #Part 27
73
Season 2 #Part 28
74
Season 2 #Part 29
75
Season 2 #Part 30
76
Season 2 #Part 31
77
Season 2 #Part 32
78
Season 2 #Part 33
79
Season 2 #Part 34
80
Season 2 #Part 35
81
Season 2 #Part 36
82
Season 2 #Part 37
83
Season 2 #Part 38
84
Season 2 #Part 39
85
Season 2 #Part 40
86
Cuap-cuap Author
87
Season 2 #Part 41
88
Season 2 #Part 42
89
Season 2 #Part 43
90
Season 2 #Part 44
91
Season 2 #Part 45
92
Haiiiiiii!!!!
93
Season 2 #Part 46
94
Season 2 #Part 47
95
Season 2 #Part 48
96
Pengumuman Hiatus
97
Haloo!!
98
Season 2 #Part 49
99
Season 2 #Part 50
100
Season 2 #Part 51
101
Season 2 #Part 52

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!