"Terima kasih ya, Pak," ucapku begitu turun dari motor.
"Sama-sama. Oh iya, besok mau saya jemput lagi?" Pak Dwi menawarkan.
"Ah, gak perlu, Pak. Saya ada motor kok."
"Saya gak--"
Tin!
Suara klakson mobil mengagetkan kami berdua. Ucapan Pak Dwi juga terpotong. Kami berdua spontan menengok ke sumber suara. Mobil Mas Robi ternyata. Dia keluar dari mobilnya dan menghampiri kami. Kenapa dia harus datang di saat seperti ini, sih?
"Ini pacar barumu, Len?" tanya Mas Robi. Aku menunduk, teringat kejadian beberapa hari lalu. Rasa takutku meningkatkan drastis. Mata Mas Robi menyelidik Pak Dwi.
"Cih! Gak bisa cari yang lebih baik apa?" ucapnya lagi merendahkan Pak Dwi. Aku hanya bisa menunduk, kedua tanganku saling meremas. Pak Dwi pasti sakit hati direndahkan seperti itu.
"Kenapa diam saja?" tanyanya seraya menarik tanganku dengan kasar.
"Lepas!" Kuhentakkan tanganku dari genggamannya.
"Sudah berani?" Mas Robi kembali emosi seperti waktu itu membuat tubuhku semakin gemetar.
"Emm ... maaf, saya bisa meluruskan." Pak Dwi turun dari motornya dan berdiri di sebelahku.
"Meluruskan apa? Kamu tidak tahu saya siapa, kan?" tantang Mas Robi.
"Siapapun kamu, saya tidak suka ada yang memperlakukan wanita dengan kasar," ucap Pak Dwi.
"Cih! Menjijikan! Sok pahlawan sekali."
"Pak Dwi, pulang saja! Biar ini saya yang urus," pintaku. Aku tidak ingin ada orang lain lagi yang terlibat.
"Pak? Ohh ... apa kamu bosnya Lena? Apa Lena sudah memberikan tubuhnya padamu?" Aku merasa sangat direndahkan dengan pertanyaan yang dilontarkan Mas Robi. Baru saja hendak kutampar wajahnya, satu pukulan mendarat di ulu hati Mas Robi.
Bugghh!!!
Mas Robi yang tidak siap langsung jatuh tersungkur. Air mataku spontan menetes. Aku sangat terkejut melihat perkelahian ini.
"Beraninya kamu menghina Lena seperti itu?" Nada bicara Pak Dwi terdengar sangat emosi.
Bughhh!!
Hantaman kembali diterima Mas Robi tepat di pipi kirinya. Darah segar keluar dari sudut bibirnya.
"Pak Dwi, sudah Pak, cukup!" Aku berusaha melerai.
"Kamu terima dengan ucapannya, Lena?" tanyanya tanpa melepaskan tangan dari kerah kemeja Mas Robi. Karena melihat ke arahku, hal itu membuat Pak Dwi sedikit lengah sehingga Mas Robi berhasil membalas tinju di pipi kiri pak Dwi dan membuatnya terjatuh.
"Sudah! Stop!" Aku berteriak sambil menangis. Teriakanku berhasil membuat Mama keluar dari rumah.
"Apa-apaan ini? Robi berhenti!" teriak Mama seraya membantu Mas Robi berdiri. Aku pun menghampiri Pak Dwi.
"Jangan sampai aku lihat wajahmu lagi!" Ancam Mas Robi yang kini diajak Mama ke dalam rumah. Aku membantu Pak Dwi berdiri.
"Pak, maaf," ucapku sambil menangis.
"Sstttt ... sudah, bukan salahmu," ucapnya menenangkan. "Dia siapa?"
"Ceritanya panjang, Pak."
"Apa kamu aman jika masuk rumah sekarang? Saya akan mengantarmu ke tempat lain kalau di sini kurang aman." Ucapan Pak Dwi seolah mengerti ketakutan yang akhir-akhir ini aku rasakan.
"Selama masih ada Mama, saya masih aman," ujarku meskipun sejujurnya aku masih takut.
"Hubungi saya kapanpun kamu butuh dan merasa dalam bahaya. Saya akan segera datang."
"Iya, terima kasih banyak, Pak."
"Sudah, jangan menangis lagi!" ujarnya seraya mengusap air mataku.
"Maafkan saya karena Bapak jadi terlibat masalah keluarga saya."
"Gak masalah. Saya akan menjagamu, Lena." Ucapan Pak Dwi berhasil membuatku tersentuh. Kurasakan kini jantungku berdegup kencang, tapi aku sangat berterimakasih ada yang masih peduli padaku di saat-saat seperti ini.
Tanpa kuobati lukanya, Pak Dwi pamit pulang. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang campur aduk.
"Lena!" bentak Mas Robi ketika aku baru saja membuka pintu. Rasanya masalah hari ini akan berbuntut panjang.
"Rob! Cukup!" Mama gantian membentak Mas Robi. Aku tak mengindahkannya dan masuk ke kamarku.
"Ingatkan orang-orang di sekitarmu! Jangan ikut campur urusanku!" Suara Mas Robi masih bisa kudengar dari kamar. Aku tidak peduli. Apa yang membuatnya masih terus menggangguku? Bukankah senang dia sudah mendapatkan Mama?
Kurebahkan diri di kasur dan membuka handphone. Tertera satu pesan masuk disana.
Radit : Hai Len! Apa kabar? Kangen nih!
Ini apa-apaan sih? Bukannya senang aku malah merasa geli. Pesan itu tidak kubuka, aku hanya membacanya dari luar kemudian kuhapus.
Aku mulai lelah. Baru beberapa hari merasa tenang, hari ini kembali begini lagi. Apa lebih baik aku keluar dari rumah ini dan tinggal sendiri? Tapi bagaimana kalau Mas Robi masih mencariku? Kalau aku sendirian akan lebih menakutkan lagi. Kuletakkan handphone dan berusaha tidur. Aku ingin istirahat.
Tok tok tok!
"Lena."
Tok tok tok tok tok!
"Len?"
Mendengar suara itu, aku mulai membuka mata.
"Ughhh ... iyaa," jawabku pelan.
"Ayo, makan dulu!" Ternyata suara Mama.
Aku kerjapkan mata beberapa kali, pandanganku mulai jelas. Kuambil handphone di sebelah bantal. Tertera angka 19.45 disana. Ternyata aku tertidur cukup lama. Kubuka pintu kamar dan duduk di salah satu kursi di ruang makan.
"Makan dulu!" Mama memberikanku sebuah piring. Nasi dan lauk sudah tersedia di atas meja.
"Iya," jawabku seperlunya. Rasanya nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. "Mas Robi?" tanyaku pelan.
"Sudah pergi dari tadi. Sebenarnya ada apa?" tanya Mama.
"Hm ... entahlah." Aku menguap lalu mengucek mata beberapa kali.
"Laki-laki tadi siapa?"
"Pak Dwi, atasanku di kantor."
"Terus, mobilmu dimana?"
"Mobilku mogok lagi, jadi Pak Dwi menawarkan tebengan."
"Ah, begitu. Sepertinya Robi salah paham."
"Aku gak peduli," ucapku seraya mengambil nasi dari wadahnya.
"Apa kamu udah gak ada rasa sama Robi?" Aku hanya menggeleng dan masih fokus mengambil sayur.
"Kalau Mama lihat, dia menyesal sudah meninggalkan kamu, Len," ujar Mama lagi. Aku berhenti sejenak.
"Hah, menyesal juga buat apa? Toh semua gak akan kembali seperti dulu. Dan harusnya dia sadar aku ini sekarang anak tirinya. Menyesal seperti apapun juga gak akan ngubah keadaan jadi seperti semula."
"Kamu benar, Len," ucap Mama pelan. Suaranya terdengar sedih.
"Apa Mama ada perasaan untuk Mas Robi?"
"Gak ada."
"Lena masih penasaran, apa alasan Mama nekat menikah dengan Mas Robi?"
"Uang." Jawaban yang singkat dan padat.
"Hanya itu?" tanyaku masih tidak percaya.
"Mama ingin menghancurkan hidupnya."
"Kenapa? Apa karena dia selalu minta hubungan suami istri denganku?"
"Bukan. Mau melakukan itu atau gak, itu urusanmu." Pernyataan Mama membuatku semakin bingung.
"Lalu apa?"
"Dia sudah punya tunangan. Itu alasan dia gak mau menikah sama kamu, Len."
"Hah? Tunangan?" Aku sangat terkejut. Aku tidak tahu sama sekali.
"Benar, kan, kamu gak tahu apa-apa."
"Mama kata siapa?" Benar-benar aku tidak bisa mempercayai ini.
"Teman arisan. Yah, gak perlu Mama jelaskan rincinya. Intinya Mama tahu dan sekarang tunangannya ada di Singapura, masih kuliah S2."
Mendengar penjelasan Mama ada rasa sakit yang menusuk jantungku. Meskipun semua sudah berakhir, rasanya masih sakit mengetahui kalau selama ini aku dibohongi. Keinginanku untuk membunuhnya semakin besar, tapi aku sadar itu tidak mungkin.
"Aku serahkan semua pada Mama. Mau balas dendam dengan cara apapun silakan lakukan." Aku berdiri dan kembali ke kamar.
"Len, habiskan dulu makannya."
"Gak jadi lapar, Ma."
G*la! Benar-benar g*la! Apa aku sebodoh itu sampai dengan santainya mas Robi membohongiku? Dan sekarang dia menyesal lalu menggangguku jika aku dekat dengan laki-laki lain? Benar-benar tidak tahu diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Tika
ruwet ya, keluarganya 😅😅
2020-09-11
1