"Saya ingin lebih dekat denganmu, Lena." Sebuah kalimat sederhana yang masih terngiang hingga malam ini.
"Aarrgghh!!! Mas Dwi kenapa bisa jadi seperti itu sihh??" Aku meremas bantal yang kini menutupi wajahku.
"Oke santai! Tenang!" Kuatur nafasku perlahan. "Uuhhhh gak bisaa!!!!" Aku heboh sendiri di kamar. Perasaanku tidak karuan, ada senang, bingung dan geli.
'Apa mungkin aku menyukai Mas Dwi? Tapi seharusnya aku jangan berpikir begitu dulu, belum tentu dia juga menyukaiku. Barangkali 'dekat' dalam arti lain,' batinku dalam hati.
"Apa anak Mama sedang jatuh cinta lagi?" Tiba-tiba Mama sudah berdiri di pintu kamarku.
"Haiiikk!!" Aku terkejut, hampir saja terjatuh dari ranjang karena aku duduk di tepi kasur.
"Gak perlu sekaget itu. Kayanya baik tuh orangnya dan apa dia masih single?" tanya Mama. Aku mengangguk.
"Ya sudah, jangan sampai salah pilih lagi!" pesan Mama yang kemudian pergi dari sana.
Mendengar ucapan Mama, aku langsung berpikir. Benar juga. Bu Manajer pernah bilang kalau Mas Dwi sudah punya calon. Oke aku tidak boleh jatuh cinta sekarang. Aku harus menyelidikinya dulu.
..
Hari-hari berlangsung damai. Mas Robi tidak menggangguku lagi. Yah, karena kata Mama dia sedang di luar negeri untuk dua minggu. Teringat dulu dia pernah berjanji untuk mengajakku keliling dunia. Hah! Janji tinggal janji. Jangankan keliling dunia, diajak menikah saja tidak mau.
"Hei, yuk makan siang!" ajak Atika yang sengaja menghampiri meja kerjaku.
"Oh, ayo!" Aku langsung mengambil dompet dan handphoneku. "Berdua aja?" tanyaku sembari kami berjalan ke kantin.
"Gak kok, yang lain udah ke kantin duluan."
"Ohh, ya-ya-ya."
"Eh, kamu tahu gak sih?" tanya Atika tanpa melanjutkan apa topik yang ia tanyakan. Sudah pasti kalimat itu adalah awal dari gosip-gosip yang akan kami bahas.
"Tahu apa?"
"Pak Dwi ternyata pernah gagal nikah," bisik Atika di telingaku.
"Hah? Kok bisa?" Aku terkejut, tapi juga tidak. Karena mengingat omongan Bu Manajer dan pengakuan Mas Dwi sendiri.
"Iya, katanya calon istrinya hamil sama laki-laki lain."
"Terus? Gimana bisa ketahuan?" tanyaku penasaran. Atika mengangkat kedua bahunya.
"Entahlah. Aku gak tahu juga kalau urusan itu. Kasihan ya, manusia setampan Pak Dwi masih juga tersakiti," ujar Atika.
"Jadi menurutmu hanya yang jelek yang boleh tersakiti?" tanyaku sembari mengerutkan kening.
"Ehh! Bukan begitu. Maksudnya Pak Dwi tuh kurang apa kok sampai masih disakiti seperti itu."
"Hmm ... mau sesempurna apapun seseorang, kalau dasarnya pasangannya gak setia yaa mau bagaimana?" jawabku. "Kita cuma penonton, gak perlu sejauh itu mencampuri urusan orang lain," tambahku lagi.
"Hah, memang Lenaku ini bijak sekali," ujar Atika yang kemudian mencubit pipiku.
"Hei! Kamu pikir aku ini bocah? Main cubit seenaknya saja."
"Habisnya aku gemas. Kamu lebih muda dariku tapi pemikiranmu sangat dewasa."
"Itulah sebabnya aku gak boleh memanggilmu dengan embel-embel 'mbak' atau 'kakak'?"
"Yaps!" jawabnya yakin.
"Heu! Membuatku terlihat lebih tua."
"Bukan tua, tapi dewasa."
"Ah, sesukamu saja," ujarku tidak peduli.
"Hei Lena, Tika! Sini gabung!" Suara Mas Dika menyambut kami yang baru masuk ke pintu kantin. Di sana hanya ada mas Dika, Reyna, Tasya, Mas Adi dan Mas Bobi.
"Mana yang lain?" tanya Atika. Kami duduk di bangku yang tersedia di meja yang sama.
"Mungkin nyusul," jawab Mas Dika seraya menggigit bakwan yang baru diambilnya.
"Pak Dwi mana?" tanya Tasya kemudian. Aku masih sibuk membaca kertas menu. "Lena, Pak Dwi mana?" Tasya mengulang pertanyaannya.
"Hah? Kamu tanya aku?" Aku mengalihkan pandanganku ke arah Tasya.
"Iya," jawab Tasya yakin.
"Gak tahu, kenapa tanya aku?" Aku tidak mengerti, bahkan aku tidak seruangan dengan Mas Dwi, bagaimana aku bisa tahu. Terlihat yang lain menunduk seolah tidak ingin ikut campur. Kecuali Atika dan Tasya.
"Seisi kantor juga tahu kalau kamu sedang dekat dengan Pak Dwi," jelas Tasya.
"Hah? Gosip dari mana lagi?" Aku langsung menengok ke arah Atika.
"Eh? Jangan menuduhku! Aku gak tahu apa-apa."
"Ngobrol apa nih asik banget?" tanya Mas Dwi yang baru saja datang. Seketika kami semua melihat ke sumber suara. "Loh, Lena sama Tika gak makan?" tanyanya setelah melihat di depan kami berdua belum ada makanan.
"Ah, kami juga baru datang," jawab Atika.
"Kalau begitu, ayo pesan bareng!" ajak Mas Dwi.
"Boleh," jawab Atika yang kemudian langsung berdiri.
"Lena gak mau pesan sekalian?" tanya Mas Dwi yang sedikit membuatku terkejut.
"Ah, iya." Aku beranjak dari kursiku dan ikut memesan makanan bersama mereka.
Selama makan, otakku terus berputar. Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir kalau aku sedang dekat dengan Mas Dwi? Padahal sejak kejadian waktu itu, Mas Dwi tidak pernah lagi mengantarku pulang. Di kantor pun ngobrol karena keperluan pekerjaan.
"Menurutmu, kenapa Tasya bisa bilang seperti itu?" tanyaku pada Atika. Sekarang aku sedang ada di ruangannya sembari menunggu jam pulang. Kebetulan pekerjaanku sudah selesai semua.
"Mungkin setelah kejadian kamu sakit waktu itu," jawab Atika yang baru saja menutup lembar kerjanya.
"Lalu?"
"Entahlah. Aku juga gak tahu. Menurutku wajar kalau pak Dwi yang mengantarmu karena memang kebetulan aku bertemu dengannya di dapur waktu mau ambil obat."
"Iya, ya memang begitu," jawabku membenarkan.
"Eh, tapi sebentar." Atika seperti menemukan sesuatu.
"Ada apa?"
"Kenapa Pak Dwi sepeduli itu? Dia sampai pinjam mobilku. Kan seharusnya bisa saja dia memintaku untuk mengantarmu daripada dia yang pinjam mobilku?"
"Hm? Memang salahnya dimana?" tanyaku masih tak mengerti.
"Dia ingin memastikanmu selamat sampai tujuan. Dia khawatir padamu. Tandanya dia suka padamu," ujar Atika menjelaskan prediksinya. Lalu ia diam dan terkejut sendiri. "Ahh!! Iya benar! Pak Dwi suka padamu, Lena!" ujarnya penuh semangat.
"Hei! Apaan, sih? Kamu mulai termakan gosip deh." Aku masih tidak percaya karena setelah hari itupun tidak ada perkembangan apa-apa meskipun Mas Dwi bilang ingin lebih dekat denganku.
"Ini bukan gosip! Ini prediksiku. Apa ada sesuatu yang terjadi setelah hari itu?" tanyanya menyelidik. Aku menggeleng karena memang tidak ada apa-apa.
Kami berdua keluar dari ruangan dan menurutku aku belum mendapatkan jawaban atas keresahanku. Ya sudahlah. Toh hanya gosip, nantinya akan mereda sendiri kalau tidak ada buktinya.
Ting! Notifikasi pesanku berbunyi. Pesan dari Irvan.
Irvan : Sore Lena. Aku lagi di dekat rumahmu, nih. Mau ketemu? Minum kopi atau beli cemilan gitu.
Sudah lama aku tidak bertemu dan berkomunikasi dengannya, mungkin tidak ada salahnya kalau memenuhi ajakannya.
Alena : Aku baru aja mau keluar kantor. Mau ketemu dimana?
Irvan : Dimana aja, tentukan aja tempatnya. Nanti kirim lokasinya padaku!
Alena : Oke. Kafe langgananku aja ya?
Irvan : Boleh, aku ikut aja.
Kukendarai mobilku ke kafe yang biasa aku datangi kalau sedang suntuk. Lima menit kemudian Irvan datang.
"Cepat sekali," ujarku ketika dia baru saja duduk.
"Iya, kebetulan dekat dari sini."
"Sudah pesan?"
"Ah, sudah tadi sekalian."
"Emm." Aku mengangguk. "Ada urusan apa kok sampai ke daerah sini?"
"Bertemu supplier untuk barang koperasi."
"Ah, begitu." Lalu aku meminum tehku sedikit. Pesanan Irvan datang, segelas americano.
"Apa harimu sudah lebih baik?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja. Aku senang teman-teman kantor banyak yang peduli padaku. Yah, setidaknya di kantor aku bisa lebih fresh tanpa memikirkan masalah di rumah."
"Aku turut senang kalau begitu."
"Lena?" Seseorang menyebut namaku. Ia berdiri di sebelah meja kami.
"Loh? Mas Dwi?" tanyaku heran, bagaimana bisa bertemu disini?
"Mas Dwi?" ucap Irvan yang seolah mengulang pertanyaanku dan membuatku semakin heran.
"Kalian saling kenal?" tanyaku.
"Oh? Irvan? Sudah lama ya gak ketemu," ujar Mas Dwi dan kemudian mereka berdua bersalaman. Aku bengong.
"Mas Dwi ini kakak tingkatku di kampus dulu." Irvan menjelaskan
"Iya, kami beberapa kali bertemu di kepanitiaan yang sama," tambah Mas Dwi.
"Aahh ... begitu." Akhirnya terjawab pertanyaanku. Sempit sekali ya dunia ini.
"Mari gabung, Mas. Len, kamu gak keberatan kan Mas Dwi gabung sama kita?" tanya Irvan.
"Gak papa. Silakan," jawabku. Lalu Mas Dwi duduk di sebelahku.
"Kalau kalian, bagaimana bisa saling kenal?" tanya Irvan.
"Kami satu kantor," jawab Mas Dwi.
"Ah begitu. Oh iya, Mas masih sama Kak Layla?" tanya Irvan. Siapa Layla?
"Masih kuat ya ingatanmu," ujar Mas Dwi. "Saya sudah lama berpisah darinya," jawab Mas Dwi lagi. Apa mungkin Layla itu mantan calon istri yang dibicarakan Atika tadi?
"Oh, maaf," jawab Irvan.
"It's ok. Wajar kamu menanyakan itu. Toh memang foto prewedding kami sudah tersebar, tapi ternyata gagal." Mas Dwi mengakhiri ucapannya dengan senyum getir.
"Ngg ... maaf, Mas. Apa perempuan yang Mas maksud itu sama dengan calon yang dibilang Bu Manajer?" tanyaku dengan hati-hati. Mas Dwi mengangguk dan tersenyum.
"Lalu, kalian ada hubungan apa? Pacarankah?" Mas Dwi mengalihkan pembicaraan.
"Eh! Gak kok. Kami gak pacaran," sanggahku cepat. Irvan tertawa.
"Kami hanya teman kok, Mas. Kebetulan orang tua kami saling kenal," jawab Irvan.
"Oh, dijodohkan?" tanya Mas Dwi lagi.
"Mas apaan deh! Hari gini kok masih jodoh-jodohan," jawabku mengelak.
"Ya barangkali," jawab Mas Dwi sekenanya.
"Hubungan kami gak seperti yang Mas pikirkan kok," tambah Irvan diakhiri dengan senyumnya.
"Ah, syukurlah. Masih ada jalan," ujar Mas Dwi.
"Jalan? Jalan apa?" tanyaku bingung. Aku masih kurang paham.
"Silakan Mas, aku gak akan mengahalangi kok," jawab Irvan menanggapi omongan Mas Dwi. Lalu Mas Dwi tersenyum ke arahku. Eh? Apa maksudnya?
Aku merasa seperti orang bodoh duduk di antara dua lelaki ini. Tidak satupun di antara mereka yang mau menjelaskan apa maksud omongannya. Sangat menyebalkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Tika
boom like sampai sini dulu thor. next aku datang lagi 😄
2020-09-11
2