Meski baru pertama kumpul bertiga seperti ini, rasanya kami tidak memiliki batasan layaknya orang yang baru kenal. Semua obrolan mengalir begitu saja, tanpa terasa dua jam telah berlalu.
"Ya sudah, ah. Dari tadi mau pamit gak jadi terus," ujar Irvan yang entah berapa kali bilang ingin pulang tapi diurungkan lagi karena pembahasan kami yang tak ada habisnya.
"Ya-ya-ya, pulanglah! Kasihan pekerjaanmu jadi tertunda karena kami," ujar Mas Dwi.
"Gak papa, sih. Kebetulan juga bisa kumpul begini, kan? Kapan lagi?" ujarnya yang disertai senyuman.
"Next time kabarin aja ya kalau kamu ke sini lagi!" Aku senang bisa kumpul dengan teman seperti ini. Benar katanya, kapan lagi bisa seperti ini?
"Tentu saja. Ya sudah, aku pulang duluan ya!" Lalu ia memakai jaketnya dan mengambil tasnya.
"Hati-hati!" pesanku. Ia mengangguk, tersenyum dan kemudian pergi. Tinggallah aku berdua dengan Mas Dwi di meja ini.
"Setelah ini ada agenda?" tanya Mas Dwi padaku.
"Gak ada sih, Mas."
"Mau makan malam bersama?"
"Eh?" Aku sedikit terkejut. Kukira setelah ini aku akan pulang saja dan tidur. Apa ajakan ini bisa kutolak?
"Saya gak maksa kok. Jangan terlalu terbebani!" ucapnya kemudian meminum tetes terakhir cappuccino-nya.
'Duh! Aku harus bagaimana?' batinku dalam hati.
"Lena," panggilnya pelan.
"Iya?"
"Apa kamu keberatan kalau saya mendekatimu lebih dari sekedar rekan kerja?" tanya Mas Dwi dengan tatapan yang lekat di mataku. Aku membeku sejenak. Kupandangi kedua matanya yang indah dan bibirnya yang tipis.
"Lena?" panggilnya lagi. Kali ini berhasil membuatku tersadar.
"Ehh, iya!" Aku terkejut. Sontak berbalik arah dan menepuk kedua pipiku. "Ma-maaf, Mas."
"It's ok. Oh iya, maaf sebelumnya.Benar kalau sekarang kamu sedang sendiri, kan? Ah maksudnya, kamu gak punya pacar, kan?" Pertanyaan itu hanya kujawab dengan anggukan kepala.
"Saya gak akan memaksamu untuk bisa bersama saya detik ini juga, tapi saya harap, kamu mau memberikan sedikit kesempatan untuk bisa mengenalmu lebih dalam," ucapnya lagi.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya diam menatap gelas tehku yang sudah kosong.
"Mas, sebelumnya aku mohon maaf. Mas sedikitnya sudah tahu kalau keluargaku sedang ada masalah. Aku gak mau Mas terlibat dalam masalahku."
"Gak masalah. Toh kemarin sudah terlibat."
"Tolong jangan terlibat lebih jauh! Aku gak mau mengecewakan siapapun," ujarku jujur. Mengingat Mamaku yang menikahi pacarku sendiri, rasanya aku sangat malu mengakui hal itu.
"Izinkan saya untuk bisa mengenalmu lebih dekat! Kalau seperti ini, saya gak tahu apapun soal kamu, bagaimana mungkin saya bisa tahu saya akan kecewa atau gak?" Pernyataan Mas Dwi yang nampaknya sangat tidak ingin dibantah.
"Dan setelah Mas bisa masuk ke kehidupanku, ada kemungkinan Mas akan kecewa. Lalu Mas akan meninggalkanku ketika aku sudah memiliki perasaan terhadap Mas?" ucapku spontan.
Aku sedikit terkejut dengan ucapanku sendiri. Begitu pula ekspresi Mas Dwi yang seketika berubah ketika mendengar pernyataanku. Dadaku terasa sesak. Bagaimana mungkin aku bisa bicara lancang seperti itu? Kurasakan mataku mulai basah. Kelopak mataku seketika penuh dengan air mata. Aku menunduk. Entah mengapa aku bisa seperti ini.
"Lena?" Mas Dwi langsung memegang kedua bahuku dan membuatku kini menghadap ke arahnya. Ia mengambil tisu lalu mengusap air mataku perlahan. "Maafkan saya. Saya gak akan sejahat yang kamu pikirkan, Len."
"Maaf Mas, aku butuh waktu."
"Oke, saya gak akan memaksa."
Kemudian kami pulang. Mas Dwi memaksa untuk mengantarku, tapi aku menolak. Aku masih bisa menyetir sendiri. Kukendarai mobilku pelan-pelan. Tampak mas Dwi mengikutiku dari belakang dengan motornya. Ah, dia sangat keras kepala. Ketika aku masuk gang rumahku, tidak lagi terlihat motor Mas Dwi. Benar, dia hanya memastikan aku pulang dengan selamat.
Aku merasa sangat bodoh. Kuakui aku sedikit menyukai kehadiran Mas Dwi di masaku yang seperti ini. Namun, ketika dia bicara seperti tadi entah mengapa ada rasa sakit yang mencuat. Ada rasa takut disana. Perasaan sukaku kalah dengan ketakutan akan tersakiti lagi atau mungkin bisa saja Mas Dwi akan hilang respect ketika tahu keadaan keluargaku yang berantakan seperti ini.
..
"Kopi?" Mas Dwi tiba-tiba sudah ada di sebelah meja kerjaku dan membawakan segelas kopi.
"Ah, terima kasih." Aku terima kopi itu dari tangan Mas Dwi.
"Sudah sarapan, kan?" tanyanya lagi. Aku mengangguk. "Semangat ya!" ucapnya kemudian meninggalkan mejaku. Tanpa sadar aku tersenyum memandangnya
Sejak kejadian waktu itu, Mas Dwi tidak mundur sedikit pun. Perhatian terus ia berikan kepadaku. Tidak peduli aku mengindahkannya atau tidak, tapi ia tetap baik kepadaku. Perlahan hatiku luluh, tapi tetap waspada. Aku tidak ingin tersakiti lagi.
"Eghemm ... makin lengket aja nih kayanya." Tasya tiba-tiba muncul ketika Mas Dwi sudah hilang dari pandangan.
"Ish! Kamu kebiasaan ngagetin orang!" Kutepuk pundaknya pelan.
"Cie yang makin lengket. Gimana? Udah resmi?" tanyanya meledek.
"Resmi apa, sih?" tanyaku seolah tidak mengerti. Aku sedikit malu.
"Ah, sok-sokan gak paham! Udah resmi pacaran belum?"
"Udah ya! Jangan mikir yang nggak-nggak!" Aku kembali membuka lembar kerjaku.
"Jangan diulur-ulur! Nanti hilang lagi loh!" ujar Tasya. "Di kantor ini juga ada yang suka sama Pak Dwi," bisiknya di telingaku.
"Siapa?" tanyaku secepat kilat. Responku yang begitu membuat Tasya menahan tawa.
"Pfffttt! Lucu sekali responmu."
"Jangan menggodaku! Katakan! Siapa orangnya?"
"Kasih tahu gak yaaaa ...." Tasya meledekku lagi.
"Ya sudah, gak usah kasih tahu!"
"Ish! Lena gak asik!" rajuk Tasya. Aku hanya diam mengangkat bahu.
"Ya sudah kukasih tahu." Kemudian ia kembali mendekat ke telingaku. "Anak marketing baru," bisiknya di telingaku lalu melangkah ke meja kerjanya hingga aku tidak bisa bertanya lebih lanjut.
Anak marketing baru? Siapa? Ada pun Mas Bobi. Mana mungkin Mas Bobi menyukai sesama laki-laki?
..
"Lena pul ...." ucapanku terhenti ketika baru membuka pintu lalu melihat Mama dan Mas Robi sedang duduk berdua di sofa. Aku berdecak kesal.
"Len, ini untukmu." Mas Robi menghampiriku dan memberikan sebuah paperbag.
"Makasih, gak butuh," tolakku mentah-mentah. Lalu aku melanjutkan langkah ke kamar.
"Aku sudah berbaik hati padamu tapi kamu masih kurang ajar ya!" bentak Mas Robi. Aku kembali menghadap ke arahnya.
"Apa? Gak suka? Gak terima?" Aku balik menantang. "Aku sudah tahu semuanya. Kamu punya tunangan, kan?" ujarku yang membuat Robi membeku. Aku tidak lagi memanggilnya dengan sebutan 'mas'. Aku tidak sudi menghormati manusia seperti dia.
"Kamu tahu dari siapa?" Lalu ia menengok ke arah Mama. Mama mengangkat bahu seolah tak mengetahui apapun. "Katakan! Siapa yang memberitahumu?"
"Apa itu penting? Toh kita sudah berpisah. Senang bukan memacariku yang mudah sekali kamu bodohi?"
"Len ... tapi kamu perlu tahu sesuatu." Suaranya melemah.
"Aku gak ingin tahu," ujarku kemudian pergi dari hadapannya. Namun tanganku ditarik lagi.
"Aku masih sangat mencintaimu Lena! Aku menyesal sudah menyakitimu sampai sejauh ini. Maafkan kebodohanku," ucapnya tegas. Aku tidak tahu itu kalimat jujur atau tidak.
"Apa menurutmu aku akan peduli?" ujarku.
"Maafkan aku, Lena," ucapnya dengan memegang kedua tanganku.
"Apa yang aku dapat jika aku memaafkanmu? Apa aku langsung menjadi kaya raya dan melupakan semua yang pernah terjadi? Aahh ... kamu mau membuatku amnesia?" Aku bicara seenakku tanpa berpikir panjang. Emosiku sudah naik sejak awal melihat wajahnya.
"Len ... aku begini karena aku frustasi! Aku menyesal sudah salah jalan seperti ini. Aku mohon maafkan aku."
"No!" ucapku tegas dan kemudian masuk ke kamarku.
Huffttt! Semudah itu mengucap maaf? Apa dia bisa memutar waktu? Dasar laki-laki gila!
Ting! Satu pesan masuk kuterima.
Mas Dwi : Sudah sampai di rumah kan?
Alena : Yaps! Baru aja.
Mas Dwi : Semua baik-baik aja kan?
Alena : Hmm ....
Mas Dwi : Apa itu hmmm? Ceritalah!
Alena : Bagaimana cara membunuh laki-laki?
Mas Dwi : Eh? Apa kamu akan membunuhku?
Alena : Maybe ....
Mas Dwi : Berpura-puralah mencintaiku. Lalu tinggalkan aku ketika aku sudah mencintaimu. Saat itulah aku akan mati.
Blush!!! Seketika emosiku reda dan tergantikan dengan bunga-bunga yang merekah di hatiku. Mas Dwi yang biasanya menggunakan 'saya' sekarang mulai menggunakan 'aku'. Apa hubunganku dengannya sudah sejauh itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments