"Len ... Alena!"
"Lena, bangun, Len!" Seseorang menepuk pelan bahuku.
"Hah?" Aku terbangun. Napasku berderu cepat.
"Kamu kecapekan, ya? Kamu mimpi buruk?" tanya Bu Manajer yang kini ada di sebelahku. Aku memijit kepalaku yang sedikit pusing.
"Maaf, Bu. Apa saya ketiduran?" Aku lupa kapan aku tertidur.
"Iya, sebelum magrib tadi kamu tertidur. Lain kali jangan tidur magrib ya, Len! Gak baik."
"Ah iya, Bu. Maaf."
"Iya, gak apa-apa. Sepertinya kamu kecapekan. Istirahat saja dulu! Malam ini gak usah ikut agendanya. Biar saya saja."
"Tapi, Bu ...." Mana mungkin aku membiarkan Bu Manajer datang sendirian. Karyawan durhaka.
"Gak apa-apa, Lena. Besok kita punya agenda yang lebih padat. Persiapkan dirimu! Jangan sampai sakit!" Pesan Bu Manajer yang kemudian beranjak dari kasurku.
Kami berdua memesan 1 ruangan yang memiliki 2 buah kamar. Tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Kulirik jam yang ada di layar ponselku. Waktu menunjukkan pukul 18.45. Melihat tanggal yang tertera di sana, aku bernapas lega. Ini masih hari keduaku di kota A. Aku bersyukur hal buruk tadi hanyalah mimpi semata.
Aku memutuskan untuk mandi sebelum melakukan aktivitas lainnya. Usai mandi, aku memesan makanan. Rasanya aku tidak ingin keluar kamar sama sekali. Fisikku sehat, tapi rasanya otakku sangat lelah. Terutama memikirkan Mama dan bagaimana aku bisa mengembalikan uang Mas Robi agar aku tak meminjamnya terlalu lama.
..
"Lena, ini gaji tambahanmu karena sudah bersedia menemani saya ke kunjungan kali ini," ucap Bu Manajer seraya menyerahkan sebuah amplop coklat.
"Terima kasih, Bu." Kuterima amplop itu dengan senang hati. Tak peduli berapapun jumlahnya. "Tapi maaf, bukannya uang ini nanti digabung ke gaji bulanan ya, Bu?"
"Ahh, iya. Yang masuk ke gaji bulanan ada sendiri. Uang ini, anggap saja pemberian dari saya. Bukan uang perusahaan. Saya sangat berterimakasih karena kamu bisa bekerja sama dengan baik." Kalimat itu diakhiri dengan senyuman yang tulus.
"Terima kasih banyak, Bu. Terima kasih." Aku menjabat tangan Bu Manajer saking senangnya.
Setelah itu kami bersiap untuk pulang. Semua urusan telah selesai. Lega sekali rasanya. Sebelum pulang, kami mampir ke toko oleh-oleh. Lagi-lagi Bu Manajer membelikanku beberapa jenis makanan dan souvernir. Aku tidak menyangka memiliki bos yang baik seperti ini.
"Ma, Lena pulang," ucapku ketika baru saja membuka pintu rumah.
Sama seperti biasa, sepi dan hening. Tak ada jawaban di sana. Sepertinya Mama sedang tidur. Kuletakkan oleh-oleh di atas meja makan. Tiba-tiba jantungku terasa sakit, teringat mimpi kemarin. Kali ini kamar Mama juga tertutup. Demi menjawab kegelisahan, kubuka pelan pintu kamar Mama.
"Udah pulang?" tanya Mama tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
"Ah iya, Ma." Aku merasa lega. Mama tidak melakukan hal yang berdosa seperti yang ada dalam mimpiku. "Lena bawa oleh-oleh, Ma. Ada di dapur."
"Hmm ... iya, nanti Mama makan," jawabnya lagi, tapi kali ini sedikit melirikku dan kemudian terfokus kembali pada ponselnya.
Aku masuk ke kamar dan merebahkan tubuh. Kuhela napas kemudian mengambil amplop coklat pemberian Bu Manajer. Mataku terbelalak setelah membukanya. Bagaimana tidak, amplop itu berisi tiga puluh lembar uang seratus ribuan. Hanya sekali kunjungan aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini?
"Gajian?" Pertanyaan Mama mengejutkanku. Berdiri di depan pintu kamarku dengan ponsel yang tidak pernah terlepas dari tangannya. Sejak kapan Mama berdiri di sana?
"Bukan, Ma. Uang dari Bu Manajer." Musnah sudah harapanku untuk menyimpan uang ini.
"Ohh ... ayo makan dulu! Tadi Mama udah masak." Lalu Mama menutup pintu kamar dan pergi. Aku melongo. Ini benar Mama? Aku tidak bermimpi, kan?
Mama memang menyayangiku, tapi untuk urusan uang, Mama kadang seperti ibu tiri. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Kucubit lenganku dan sakit. Ini bukan mimpi.
Aku keluar kamar dan duduk di ruang makan. Mama sedang membuka oleh-oleh yang tadi kubawa.
"Kalau mau makan, ambil sendiri. Mama males pindahin dari wajan ke mangkuk," ujarnya seraya memakan sepotong biskuit yang baru dibuka. Mama memang rajin masak dan beres-beres. Bahkan aku tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah kecuali mencuci pakaian dalamku sendiri.
"Mama jadi shopping?" tanyaku sambil berjalan mengambil piring dan makanan.
"Gak jadi. Mama terlalu asyik nonton drama."
"Oohh ...."
"Uangnya masih tuh. Kalau kamu ada kebutuhan, pakai aja uangnya!" Lagi. Ucapan Mama lagi-lagi membuatku terbelalak.
"Tumben sekali. Mama baru menang arisan?" Jujur aku sangat penasaran dengan perubahan Mama. Mama menggeleng.
"Udah, makan aja yang banyak!" perintah Mama. Lalu ia kembali membuka ponselnya. Rasa penasaranku sama sekali tidak terjawab. Aku hanya berharap Mama memang sudah berubah jadi lebih baik.
Tok tok tok!
"Biar Mama yang buka." Mama beranjak dan membuka pintu itu. Aku duduk dan memperhatikan siapa tamu yang datang. Terlihat sosok Mas Robi di sana. Mereka tampak mengobrol sebentar, lalu masuk dan Mas Robi duduk di sebelahku.
"Loh, Mas, kok gak bilang kalau mau dateng?" tanyaku ketika ia baru saja duduk.
"Kejutan dong!" Lalu ia tersenyum dan mengusap rambutku. "Mas kangen." Ucapannya berhasil membuatku berdebar.
"Mas jangan bikin malu deh! Ada Mama tuh." Aku tersipu. Mas Robi memang paling bisa membuatku salah tingkah.
"Santai aja! Sebentar lagi Mama mau keluar ketemu Jeng Ira." ujar Mama yang kemudian masuk ke kamar. Aku mengobrol berdua dengan Mas Robi sambil perlahan menghabiskan makananku.
"Mama pergi dulu. Silakan nikmati waktu berdua!" ujar Mama setelah keluar dari kamar.
"Mau diantar, Ma?" tanya Mas Robi.
"Gak perlu. Dijemput Jeng Ira kok." Lalu Mama keluar dan menutup pintu. Setelah selesai makan, kami berdua duduk di sofa ruang tamu.
"Len, Mas kangen," ujar Mas Robi seraya memelukku.
"Iya Mas, Lena juga kangen." Aku menikmati pelukannya.
"Gimana kemarin kunjungannya, lancar?"
"Lancar Mas." Tiba-tiba aku teringat lagi mimpi kemarin. "Oh iya Mas, kemarin aku mimpi."
"Mimpi apa?"
"Aku mimpi Mas selingkuh sama Mama." Mendengar itu Mas Robi terdiam sebentar lalu mengacak rambutku.
"Lucu sekali mimpimu, Len. Mana mungkin aku selingkuh dengan calon mertuaku sendiri?" Benar juga. Meskipun Mama awet muda dan kadang tampak seperti seumuran denganku, tetap saja Mama lebih tua.
Mamaku dulu menikah muda. Ia melahirkan aku ketika baru berusia 16 tahun. Sedangkan Mas Robi sekarang berusia 30 tahun, 6 tahun lebih tua dariku. Artinya, jarak usia Mama dan Mas Robi adalah 10 tahun.
"Len ...." Mas Robi membenamkan kepalanya di bahuku.
"Iya, Mas?"
"Lena sayang sama Mas, kan?"
"Ya pasti Mas, kenapa?" Mas Robi tidak menjawabku. Tangan yang tadinya melingkar di pinggangku, kini perlahan bergerak ke perutku. Rasanya ada yang salah.
"Lena, Mas minta itu, ya?" ucapnya kemudian mencium leherku. Benar saja. Ini sudah tidak beres.
"Mas, stop!" Aku beranjak dari kursi dan melepaskan pelukannya.
"Lena, kita udah cukup umur untuk melakukan itu."
"Mas! Cukup umur ataupun nggak, melakukan itu adalah perbuatan dosa! Aku gak mau!" Aku menegaskan.
"Hahh ... Lena ... Lena! Udah hampir setahun berpacaran tapi sedikitpun aku gak boleh menyentuhmu. Aku ini laki-laki normal. Aku juga ingin melepaskan nafsuku bersama pacarku."
"Kalau begitu, ayo menikah!" Aku menegaskan sekali lagi.
"Ck! Sudahlah! Jangan salahkan aku kalau aku mencari tempat pelampiasan untuk menyalurkan nafsuku ini!" Mas Robi beranjak dari kursi dan keluar dari rumahku.
Aku sangat menyayangi Mas Robi, tapi aku juga tidak ingin melakukan perbuatan dosa itu. Aku sedikit kecewa. Beberapa kali kutolak, namun tetap saja Mas Robi membujukku. Dan anehnya, dia sudah cukup mapan tapi mengapa selalu menolak untuk menikah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Zihan Masrura
kesal liatnya🤨
2020-09-30
1
...
ngeri ngebayangin ya!!!
2020-09-09
2
Verha veraa
hmm😋
2020-09-06
1