Tubuhku gemetar hebat. Air mata tak bisa lagi kutahan. Aku sangat takut. Sangat tidak kusangka orang yang selama ini lembut dan mencintaiku bisa memperlakukanku sekejam itu. Apa salahku?
Ting!
Satu pesan masuk dari Irvan. Tanpa membaca pesannya, aku langsung menekan tombol telepon.
"Halo?" Terdengar suaranya dari seberang sana.
"Ha--halo ... hiks ... Irvan," ucapku terbata-bata sambil menangis.
"Hei, apa yang terjadi? Kenapa kamu nangis begitu?"
"Hiks ... aku takut."
"Apa yang terjadi? Kamu di mana?"
"Aku di rumah."
"Lalu ada apa? Apa yang terjadi?" Suaranya terdengar sangat panik.
"Hiks ... Irvan aku takut."
"Iya, aku mengerti. Coba ceritakan apa yang terjadi! Kalau perlu aku kesana sekarang."
"Hiks ...." Aku terisak beberapa kali. "Anu ... hiks ...." Aku masih belum bisa cerita. Aku sangat takut.
"Lena, coba tenang dulu, ya! Atur napasmu! Tarik perlahan lalu hembuskan, oke!" pintanya dengan tenang. Aku mengikuti arahannya, lima kali tarikan napas. "Gimana? Udah lebih tenang?"
"Sedikit." Setidaknya napasku sudah lebih teratur.
"Jadi ada apa? Aku perlu ke sana?"
"Jangan, gak perlu kok!"
"Yakin? Motorku udah kembali dari bengkel, aku bisa ke sana sekarang."
"Serius, aku gak papa kok. Aku cuma takut."
"Apa yang membuatmu takut?"
Akhirnya aku menceritakan kejadian hari ini seluruhnya pada Irvan. Aku bersyukur masih memiliki tempat untuk bercerita meskipun dia orang baru.
"Ahh, lebih baik kamu menghindarinya. Jangan mencari masalah!" sarannya setelah mendengar cerita lengkap dariku.
"Aku takut, dia bisa sewaktu-waktu masuk ke rumahku."
"Benar juga. Kamu tenang aja, sementara banyak-banyaklah tinggal di kamar! Kamarmu bisa dikunci, kan?"
"Iya, bisa kok," jawabku pelan.
"Tenang, ya, kalau terjadi sesuatu langsung kabari aku! Aku akan segera ke sana."
"Iya, terima kasih banyak."
"Iya, jangan sungkan, ya!" pintanya. Aku mengangguk meski aku tahu dia tak melihatku. "Masih panik?" tanyanya lagi.
"Udah sedikit tenang, apa kamu mau menemaniku sebentar? Setidaknya sampai manusia itu pergi."
"Boleh. Kalau begitu jangan tutup teleponnya!"
"Iya."
Kami diam beberapa saat. Setelah itu kami ngobrol sedikit.
"Oh iya, maaf aku merepotkanmu."
"Gak papa, santai aja. Toh sudah jam segini, aku gak ada kegiatan."
"Lena." Mama memanggilku dari luar kamar.
"Siapa?" tanya Irvan.
"Mamaku," jawabku setengah berbisik.
"Kenapa diem aja?" tanya Irvan lagi.
"Manusia itu belum pulang, aku mau pura-pura tidur aja." Aku masih bicara dengan cara berbisik.
"Ohh, oke."
Kami diam lagi. Setelah menangis, rasa kantukku mulai datang. Sembari menunggu mobil Mas Robi pergi, aku memejamkan mata sebentar. Aku yakin tidak akan terlelap.
Aku membuka mataku. Suasana sangat hening. Lalu aku cek ponsel, panggilannya sudah terputus. Apa aku ketiduran? Kulihat lagi riwayat panggilan telepon.
'Hah? 2 jam? Selama itukah aku teleponan? Seingatku cuma beberapa menit aja. Apa yang kami bicarakan selama itu? Bahkan aku lupa apa aja yang telah dibahas,' batinku terkejut. Lanjut kubuka pesan masuknya.
Sepertinya kamu sudah tertidur. Tadi aku dengar mamamu memanggilmu lagi beberapa kali, tapi aku gak bisa dengar apakah mobilnya sudah pergi atau belum. Aku senang kalau kamu bisa tidur nyenyak. Maaf teleponnya aku matikan, kalau ada apa-apa, telepon lagi saja ya!
'Aaaaa!!!!! Aku ketiduran tanpa mematikan telepon? Ceroboh sekali kamu Alena!!! Bagaimana kalau aku mengigau? Atau bicara ngelantur? Bodoh sekali!'
Kulihat jam yang muncul di ujung layar ponselku, tertulis 05.55. Lima menit sebelum alarmku berdering. Meskipun begitu, aku merasa tidurku cukup. Batinku sedikit tenang. Ah, senangnya. Aku senang memiliki teman seperti Irvan. Dia bisa mengerti kondisiku.
Kubuka pintu kamar perlahan, berharap Mas Robi sudah tidak ada di rumah ini lagi. Aku berjalan perlahan ke arah ruang tamu hendak mengintip mobilnya dari jendela, begitu mengetahui mobilnya tidak ada aku bisa bernafas lega.
"Lena." Mama memanggilku.
"Astaga ya Tuhan! Mama, kok ngagetin sih?" Aku terperanjat. Mama menyebut namaku pelan, tapi cukup membuatku kaget karena posisiku yang sedang tegang.
"Cari apa? Orang Mama manggil pelan-pelan kok."
"Anu, Mas Robi udah pulang, kan?"
"Udah dari semalam. Kamu tidur lebih awal sepertinya, Mama panggil beberapa kali gak ada jawaban," ucap Mama seraya berjalan ke arah dapur.
"Ah, iya. Aku capek." Aku mengikuti Mama dari belakang. "Untuk apa Mas Robi datang kemari?"
"Entah. Tapi sepertinya kamu harus terbiasa, bagaimana juga dia sekarang ayah tirimu, kan?" Mendengar ucapan Mama aku otomatis mengernyitkan kening.
"Sampai kapanpun gak akan ada yang bisa menggantikan Papa!" jawabku tegas.
"Iya, Mama paham. Papamu gak akan mungkin tergantikan, tapi cobalah bersikap baik sedikit di hadapan dia."
"Ma, Mama yakin dengan apa yang Mama katakan sekarang? Mama memintaku bersikap baik dengannya? Mama lupa aku ini siapa?" Aku sangat kecewa mendengar itu. Entah apa yang Mama pikirkan, lagi-lagi kebahagiaanku dikesampingkan.
"Lena ... bagaimanapun dia--"
"Cukup, Ma! Maaf, udah baik aku bisa menerima Mama sebagai mamaku setelah apa yang pernah Mama lakukan dan sekarang Mama mau memaksaku juga untuk menerima dia? Mohon maaf, Ma, lebih baik Lena pergi dari rumah ini." Aku meninggalkan Mama dan masuk ke kamar lagi.
"Lena, maksud Mama bukan begitu ...." Kudengar samar suara Mama, tapi aku tidak peduli.
Ingin sekali aku pergi dari rumah ini, tapi aku tidak punya uang lebih. Cicilan mobil belum lunas, belum lagi nanti untuk bayar kost, untuk makan sehari-hari. Ah! Aku terjebak.
'Kenapa sih Mama gak memikirkan aku? Katanya ini semua untuk balas dendam ke Mas Robi, tapi kenapa rasanya justru aku yang banyak dirugikan?' Kuingat-ingat lagi kejadian yang telah berlalu, rasanya lebih banyak rugi yang aku dapatkan.
Aku berangkat kerja seperti biasa. Berusaha untuk tidak memikirkan apa yang sedang terjadi di rumah. Meskipun tidak bisa lupa sepenuhnya, setidaknya di kantor aku bisa mengalihkan pikiranku.
"Lena, boleh saya minta mentahan file dari penulis Bulan?" pinta Pak Dwi selepas jam makan siang.
"Oh iya boleh, Pak. Nanti saya kirimkan."
"Setelah dikirim, kamu ke ruangan saya, ya! Ada yang mau saya bicarakan."
"Baik, Pak."
Aku langsung mengirimkan berkas yang diminta Pak Dwi dan datang ke ruangannya sesuai dengan perintah.
"Permisi, Pak."
"Ah ya, silakan duduk Lena!"
"Baik, Pak." Lalu aku duduk di salah satu kursi yang tersedia.
"Langsung ke poin saja, ya," ujarnya, aku mengangguk. "Apa selama sebulan ini masih belum ada perkembangan dari penulis Bulan?"
"Untuk masalah typo sudah membaik, Pak. Tidak separah sebelumnya. Sekarang masalahnya tinggal waktu pengiriman saja. Penulis Bulan masih sering terlambat dari deadline yang diberikan. Sehingga saya yang banyak lembur agar bisa mengejar waktu."
"Ah begitu. Setelah ini tolong panggilkan Atika ya, biar dia yang bicara ke penulis Bulan."
"Baik, Pak."
"Tetap fokus ya, Lena! Saya perhatikan akhir-akhir ini sepertinya kamu banyak masalah. Semoga kinerjamu tidak terganggu."
'Eh? Pak Dwi bahkan menyadari itu?' gumamku dalam hati.
"Baik, Pak. Saya akan berusaha yang terbaik untuk kantor ini." ucapku disertai dengan senyum. "Kalau begitu, saya permisi, Pak."
"Iya, silakan."
Aku keluar dari ruangan Pak Dwi dan menemui Atika agar ia gantian menemui Pak Dwi.
'Ahh, penulis-penulis itu. Senang mengirim berkas seenaknya, tidak memikirkan pihak lain,' batinku seraya meregangkan otot leherku.
"Oke semangat! Fokus-fokus-fokus! Masih banyak yang harus diselesaikan!" Aku berusaha menyemangati diriku sendiri.
Kira-kira pukul 15.00, satu jam sebelum jam pulang. Pak Dwi mengajak semua karyawan untuk makan bersama, tak terkecuali Bu Manajer. Namun karena ada urusan, Bu Manajer tidak bisa ikut.
Selesai jam kerja, kami berangkat bersama ke rumah makan seafood dekat kantor. Kami hanya berenam, yang lainnya tidak bisa ikut. Kebetulan aku duduk di antara Atika dan Pak Dwi.
"Lena, makan yang banyak, ya! Jangan sampai kurus!" ucap Pak Dwi setengah berbisik tepat di telingaku ketika makanan pesanan kami sudah datang.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak." Aku tersenyum mendengarnya. Aku senang masih dikelilingi orang baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Ferly Ina
semangat thor 🤗🤗
2020-11-02
0