Sudah buka surat dariku kan? Aku sedang di dekat kantormu. Mau makan siang bersama?
Heu! Seenaknya saja mengajak makan siang bersama. Tidak semudah itu aku bisa memaafkannya kembali.
"Lena.".
"Eh! Aduh! Astaga!" Aku terkejut tiba-tiba Mas Dwi sudah berdiri di sebelahku.
"Boleh aku duduk?"
"Ah iya, silakan."
"Len, apa yang sudah terjadi?" Dia duduk dan melihat ke arahku. Namun pandanganku tertuju pada ujung sepatuku.
"Bukan apa-apa, Pak."
"Hei, kita sedang berdua di luar kantor. Jangan panggil 'pak' lagi!"
"Maaf, Mas. Jangan dekati aku lagi!" ucapku pelan.
"Kenapa? Ada kesalahan yang sudah kubuat? Atau Tria bicara sesuatu?"
"Bukan, Mas. Aku cuma belum siap untuk memulai kembali."
"Tapi, kan aku sudah bilang aku mau mengenalmu dulu. Biar aku yang menentukan aku harus maju atau gak."
"Maaf, Mas. Aku gak mau disangka memberimu harapan palsu."
"Aku pastikan kalau kamu gak kasih harapan ke aku, Len. Jangan menjauh seperti ini!"
"Maaf, Mas. Mohon hargai keputusanku." Aku beranjak dari sana dan masuk lagi ke kantor.
Mas Dwi masih duduk di sana. Berat rasanya menegaskan keputusan seperti ini. Karena sejujurnya aku pun sudah mulai nyaman, tapi keadaan yang membuatku sedikit takut untuk bergerak.
..
Beberapa hari berlalu tanpa ada sesuatu yang spesial. Semuanya datar. Menurutku begini lebih baik dari pada aku harus bingung akan perasaan-perasaan yang menuntutku bersikap tegas dan menguras emosi.
"Kak Len, maaf mau tanya." Reyna duduk di kursi seberang mejaku dengan beberapa lembar kertas di tangannya.
"Iya, ada apa?"
"Ah ini. Untuk penulis Sunny dan Bulan apa sudah fix untuk masuk ke percetakan minggu depan?"
"Untuk penulis Sunny iya, tapi penulis Bulan masih proses pengecekan. Mungkin besok baru selesai. Bagaimana?"
"Oh ya-ya-ya. Ini contoh isi dari promosi yang akan dibuat. Coba Kak Lena cek lagi sebelum aku proses lebih lanjut," ucapnya seraya memberikan kertas-kertas yang sedari tadi ia pegang.
Aku cek sebentar isinya. Masih ada poin-poin yang kurang ternyata.
"Rey, ini dua-duanya masih kurang satu poin di sini." Kubuka salah satu lembar kerjaku di komputer dan kutunjukkan pada Reyna. "Nih, di bagian ini ada tambahan seperti ini. Dulu memang gak ada sih, baru awal tahun ini diterapkan." Aku menjelaskan sembari menunjukkan contoh bagian buku yang dipromosikan. Dia mengangguk paham.
"Oh, sepertinya aku salah lihat acuan." Ia nyengir dan menggaruk kepalanya.
"Oh iya, kamu belum lama ya kerja disini?" Aku sedikit lupa kapan pertama kali Reyna masuk kerja.
"Iya, Kak. Baru mau tiga bulan."
"Ah iya, mungkin Mas Bobi belum mengcopy peraturan yang baru ke modulmu. Jadi kamu belum tahu yang bagian ini."
"Baiklah. Terima kasih banyak ya Kak Len," ujarnya seraya tersenyum.
"Iya sama-sama."
Kemudian Reyna keluar dari ruanganku dan aku kembali fokus dengan lembar kerjaku. Sayangnya, sudut mataku baru saja berhasil menangkap momen dimana Reyna dan Mas Dwi mengobrol di depan pintu. Batas antar ruangan di kantor ini menggunakan kaca, begitu juga pintunya, sehingga aktivitas di luar ruangan pun bisa terlihat.
Kurasakan dadaku sedikit bergemuruh. Aku memejamkan mata sebentar kemudian ku hirup nafas dalam-dalam.
'Tenang, semua akan baik-baik saja,' batinku.
Sepulang kerja, aku berniat untuk ke minimarket untuk mencari beberapa camilan. Sengaja aku hanya berjalan kaki karena jarak kantor ke minimarket sangat dekat. Jadi nanti aku kembali lagi ke kantor untuk mengambil mobil.
"Len, kok jalan kaki? Kenapa mobilnya?" tanya Mas Dwi yang ada di belakangku sebelum aku berbelok ke trotoar.
"Mau ke minimarket," jawabku seraya menunjuk arah minimarket.
"Eh ada Pak Dwi, Kak Lena," sapa Reyna yang baru saja keluar dari kantor.
"Oh, hai Rey." Aku membalas sapaannya.
"Pada mau kemana?" tanyanya pada kami berdua.
"Minimarket," jawabku untuk kedua kalinya. Mas Dwi sedari tadi hanya diam.
"Ah, begitu. Aku permisi pulang duluan," pamitnya kemudian.
"Iya, hati-hati," pesanku. Mas Dwi lagi-lagi hanya diam dan membalas dengan senyuman.
Ketika Reyna sudah menjauh, aku juga melanjutkan langkah ke tempat tujuanku tanpa mengindahkan Mas Dwi. Baru saja beberapa langkah aku beranjak, aku mendengar langkah kaki yang lain di belakangku, aku pun menoleh.
"Mas mau kemana?" Ternyata Mas Dwi yang mengikuti langkahku.
"Minimarket, boleh kan?" jawabnya enteng.
Aku hanya mengangkat bahu dan lanjut berjalan. Di minimarket, kuambil semua jajanan yang aku inginkan. Aku tidak memperhatikan sama sekali apa yang dibeli mas Dwi. Setelah selesai, aku langsung ke kasir dan membayarnya. Kebetulan tidak ada antrian sama sekali. Kulirik kembali setiap lorong di dalam minimarket, tidak nampak Mas Dwi disana. Mungkin dia sudah pulang lebih dulu.
Keluar dari pintu, kutemukan Mas Dwi sedang duduk di kursi yang disediakan di teras minimarket. Ia langsung berdiri ketika melihatku.
"Len, mau kopi?" tawarnya. Kulihat ada dua cup kopi hangat di hadapannya. Mungkin dia memang menungguku.
"Boleh." Aku pun duduk di salah satu kursi yang tersedia.
"Untukmu," ujarnya seraya memberikan salah satu kopinya.
"Terima kasih," jawabku. Ia tersenyum. Melihat senyumannya entah kenapa ada rasa rindu yang muncul. Dadaku terasa hangat.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik, Mas."
"Aku senang mendengarnya. Meskipun kamu kembali seperti dirimu yang dulu," ujarnya pelan, tersirat kekecewaan disana.
"Kembali? Maksudnya?" tanyaku sedikit tidak mengerti.
"Diam, dingin dan sulit berbaur," jawabnya.
"Ah, maaf."
"Gak papa, aku berusaha mengerti keputusanmu. Kamu punya alasan kenapa menjadi dirimu yang seperti ini," ujarnya. Aku tersentuh, dia sangat menghargai keputusanku hari itu.
"Terima kasih banyak, Mas." Aku tidak tahu harus bicara apa. Hanya kata itu yang mampu kuucapkan.
"Aku sedikit merasa kurang nyaman akhir-akhir ini." Tiba-tiba ia mengungkapkan isi hatinya.
"Ada apa?" tanyaku sedikit khawatir. Aku kira itu adalah kesalahanku.
"Reyna, anak itu. Aku sedikit menyesal sudah menerimanya bekerja di kantor kita."
"Memang kenapa? Apa kinerjanya buruk?"
"Bukan." Lalu ia terdiam sejenak. "Ah, tentu saja ini masalah pribadi yang gak bisa kita kaitkan dengan pekerjaan."
"Masalah pribadi?"
"Mungkin kamu kurang tahu, tapi aku sedikit muak. Mungkin hampir seisi kantor tahu kalau dia mengejarku."
Aku mengerutkan kening. Reyna mengejar Mas Dwi? Seketika aku teringat ucapan Tasya, ada anak marketing yang juga menyukai Mas Dwi. Ah, ternyata Reyna.
"Jadi itu yang membuat Mas sama sekali gak menghiraukan Reyna tadi?" tanyaku. Ia mengangguk. "Sebenarnya aku tahu sejak lama, tapi aku gak tahu kalau yang dimaksud itu Reyna."
"Kantor kita terlalu kecil, sedikit saja ada gosip, seisi gedung langsung mengetahui semuanya," ujar Mas Dwi.
"Yah, mau bagaimana lagi, tapi, waktu ada gosip tentang kita, Mas santai saja tuh." Aku berusaha membandingkan.
"Karena tentang kita itu bukan gosip, aku memang yang mendekatimu. Makanya gak masalah buatku," ungkapnya jujur. Ada perasaan terkejut juga senang. Jantungku sedikit bergejolak.
Tak lama kemudian, kami pulang ke rumah masing-masing. Aku dengan mobilku, Mas Dwi dengan motornya. Meski sebentar, aku senang bisa merasakan momen ini. Rasanya ada rindu yang terbayar.
Keesokan harinya, aku berangkat bekerja dengan mood yang sangat baik, meskipun langit sedikit mendung.
"Pagi Atika," sapaku ketika bertemu dengannya di pintu masuk.
"Pagi, Len. Wahh, ceria sekali kamu hari ini! Makeup mu terlihat sangat cantik," pujinya tulus.
"Perasaanmu saja," jawabku malu.
"Ish! Aku gak bohong. Hari ini kamu terlihat lebih cantik dari pada biasanya. Apa kamu baru saja beli produk makeup terbaru?"
"No."
"Baru menang undian?"
"No."
"Lalu apa?" tanyanya sangat penasaran.
"Selamat pagi." Mas Dwi yang baru datang lalu menyapa kami berdua.
Kemeja biru muda yang ia gunakan sangat pas di tubuhnya. Dadanya yang bidang juga bahunya yang tegap, menambah poin ketampanannya. Mengapa aku terlambat menyadari keindahan ini?
"Pagi, Pak. Wah, hari ini Bapak juga sangat cerah!" seru Atika.
"Pagi, Pak," jawabku juga disertai dengan senyuman. Ia juga membalas senyum. Tampan sekali.
"Cerah? Memang aku matahari?" tanya Mas Dwi membalas pujian Atika.
"Ah, apa kalian baru saja berkencan?" ceplos Atika tanpa basa-basi. Aku sangat terkejut mendengarnya, begitu juga ekspresi Mas Dwi yang seketika berubah merah.
"Oke waktunya bekerja. Bubar! Bubar! Jangan bergosip!" ujar Mas Dwi yang kemudian melangkah masuk dan meninggalkan kami. Aku terkekeh dalam hati. Lucu sekali raut wajah Mas Dwi, aku belum pernah melihatnya.
"Jadi apa benar kalian berkencan?" tanya Atika padaku.
"Jangan bergosip!" Kuulangi ucapan Mas Dwi seraya melangkah masuk. Aku masih menahan tawa. Semoga tak ada yang merusak moodku hari ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Sumirah Sumi
pria yg bagaimana lg,dwi baik dan penuh perhatian
2020-09-11
2
Yuni Astuti
lena, terua aj cintanya dwi
2020-09-07
2