"Jadi, siapa yang mau ikut saya ke kota A untuk kunjungan? Hanya menginap 3 hari kok, tidak lebih," tanya Bu Manajer.
"Alena saja, Bu. Dia kan belum pernah ikut keluar kota, lagi pula dia sendiri yang masih gadis. Jadi, tidak perlu bingung urusan rumah," saran Atika.
'Ah, sial! Mengapa dia harus menyarankan aku?' batinku.
"Baiklah, Lena. Apa kamu bersedia?" tanya Bu Manajer lagi.
"Anu, emm ... baiklah, Bu." Akhirnya aku menyetujui karena tidak punya alasan untuk menolak.
Rapat ditutup. Akhirnya akulah yang harus ikut Bu Manajer ke kota A.
"Huffttt! Pasti Mama akan minta uang pegangan. Aku, kan, belum gajian," gerutuku begitu tubuh ini sudah sepenuhnya bertumpu pada kursi. Aku mendengus kesal. Kuacak asal rambutku. Aku merasa seperti punya bayi kecil. Belum lagi ponsel yang Mama minta.
"Len, ada apa?" tanya Atika yang kebetulan lewat meja kerjaku.
"Pusing," jawabku tanpa basa-basi.
"Masalah kunjungan, ya? Apa aku salah memberikan saran?" tanya Atika, ada nada penyesalan di sana.
"Aku butuh uang," jawabku singkat. Rasanya ia sedikit mengerti.
"Pinjam aja dulu sama pacarmu, pasti diberi." Yah, benar-benar saran yang sangat kubenci.
"Itu bukan jalan keluar, Tik!" jawabku, kemudian mematikan komputer dan keluar dari kantor sebentar untuk menghirup udara segar.
Kubeli kopi dingin dari mesin penjual dan duduk di bangku seberang kantor di bawah pohon yang cukup rindang. Kutarik napas dalam-dalam lalu kuhempaskan lagi perlahan.
Drrttt drrttt drrttt...
Panggilan masuk dari Mas Robi.
"Halo, Mas," ucapku setelah ponsel itu menempel di telinga.
"Nanti mau makan siang bareng? Kebetulan Mas sedang ada di dekat kantormu," jawab Mas Robi dari seberang sana.
"Ah ya ... boleh."
"Baiklah, nanti Mas jemput ya, Sayang."
"Iya, Mas."
Tut. Sambungan terputus.
..
Jam makan siang, kami makan di restoran seafood dekat kantorku.
"Len, ada apa? Sepertinya kamu terlihat kacau," tanya Mas Robi khawatir. Memang sebaiknya aku ceritakan apa yang aku rasakan saat ini. Barangkali ada jalan keluar.
"Anu, Mas ... Mama."
"Ada apa? Mama sakit?"
"Bukan kok, Mas. Besok aku harus kunjungan ke kota A selama tiga hari. Mama pasti akan minta uang pegangan selama aku pergi. Sedangkan gajiku sudah menipis dan biasanya Mama gak mau menerima uang yang sedikit. Belum lagi Mama minta ponsel keluaran terbaru. Aku gak punya uang sebanyak itu, Mas." Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Mas Robi.
"Oalah," jawabnya ringan. "Pake uang Mas aja dulu, ya!" Sudah kuduga, ia akan menawarkan itu.
"Mas, tapi aku gak mau berhutang. Termasuk denganmu."
"Buang gengsimu, Lena! Mas ini siapamu? Uang Mas juga nantinya jadi uangmu, untuk Mama juga. Iya, kan?" Terdengar meyakinkan. Ingin aku menolak, tapi aku tidak punya jalan lain. Aku tidak bisa durhaka pada Mama.
"Tapi, aku pinjam ya, Mas? Suatu saat akan aku bayar."
"Iya, boleh. Udah, ya, jangan pusing lagi!" ucapnya seraya mengusap punggung tanganku. Aku tersenyum lega.
..
Sampai di rumah, terlihat Mama sedang asyik dengan ponselnya. Ia tidak menyadari kedatanganku. Tanpa bicara, kuletakkan paperbag berlogo toko ponsel dekat sini. Melihat itu, mata Mama membulat dan langsung mengambil paperbag-nya.
"Ini punya Mama, kan?" tanyanya girang.
"Heem," jawabku malas.
"Nah, gitu dong!" Dibukanya paperbag itu dan melihat isinya. Senyumnya seketika hilang. "Loh, kok ini sih? Kan Mama minta yang terbaru."
"Itu juga terbaru, Ma," jawabku tak berbohong. Itu memang seri terbaru, tapi bukan ponsel apel sepotong.
"Ini mah murah, Mama gak mau!" Kotak itu ditaruhnya lagi di atas meja.
"Ma, itu aja udah dua belas juta, Mama mau yang harga berapa lagi?"
"Sembilan belas juta! Punya Jeng Ira itu harganya lima belas juta!" ucap Mama dengan nada yang tinggi.
"Pakai itu aja dulu, kalau gak mau ya udah. Lena akan jual lagi!" ujarku kesal. Hendak kuambil kotak ponsel itu tapi ternyata tangan Mama jauh lebih cepat.
"Ya udah Mama pakai, tapi bulan depan Mama minta yang sembilan belas juta itu!"
"Aku besok pergi, tiga hari," ujarku tak menjawab permintaan Mama barusan.
"Minta uang!" responnya singkat. Ibu macam apa? Bukannya bertanya aku mau ke mana, tapi malah minta uang.
"Iya, besok," jawabku malas seraya meninggalkan ruang tamu.
"Lima juta," tambah Mama yang membuatku semakin geram.
"Ma, lima juta itu bisa untuk makan dua bulan lebih."
"Mama mau shopping dan treatment di salon juga. Udah jangan bawel! Kalau kurang dari 5 juta, kamu gak boleh pergi!" ancamnya.
Ck! Mamaku tampaknya sudah g*la. Aku tak mempedulikan ucapannya lagi. Aku masuk ke dalam kamar.
Keesokan paginya, aku berangkat sebelum Mama bangun. Aku malas merusak mood-ku. Yah, sebenarnya mood-ku memang sudah rusak, tapi setidaknya tidak mau lebih parah lagi. Kuletakkan uang dua juta di atas meja makan, sisa dari pembelian ponsel kemarin. Aku meminjam uang Mas Robi sebesar empat belas juta. Malu sekali rasanya, tapi apa boleh buat.
..
Tibalah aku di kota A. Sampai di sana aku langsung rapat dan banyak agenda-agenda lainnya. Aku baru bisa beristirahat selepas petang. Sengaja tak kunyalakan koneksi dataku. Aku tahu Mama pasti akan mengomel habis-habisan. Usai berkegiatan, aku langsung makan, mandi dan beristirahat. Besok agendaku masih banyak.
Setelah merasa cukup tenang, aku mengaktifkan kembali koneksi dataku. Dan benar, banyak sekali panggilan tak terjawab serta spam chat dari Mama. Isinya minta uang lebih, tapi ada satu chat yang cukup membuatku mendelik.
[ Mama akan minta sendiri pada Robi. ] Tulisnya begitu.
Aku sedikit santai mengingat aku sudah bilang pada Mas Robi untuk tidak memberikan Mama uang, apapun alasannya.
Hari pertama dan kedua berjalan lancar, tapi entah mengapa di hari kedua Mama tidak lagi menggangguku. Aku berusaha berpikir positif, mungkin saja Mama sadar kalau anaknya ini bukan bank berjalan.
Namun di hari ketiga ada hal yang benar-benar membuatku terkejut. Ketika aku pulang dari kota A, jadwal selesai lebih cepat dari pada waktunya. Aku pun segera pulang. Terlihat mobil Mas Robi terparkir rapi di depan rumahku.
'Ngapain? Bukannya Mas Robi tahu aku belum sampai di rumah?' tanyaku dalam hati.
Aku memang naik taksi online, jadi mungkin orang rumah tidak akan sadar kalau aku datang. Kubuka pintu rumahku tanpa mengucap salam. Sengaja, firasat kusedikit tidak enak. Di ruang tamu tidak ada siapa-siapa. Mereka ke mana?
Kulihat kamar Mama tertutup rapat, tidak seperti biasa. Biasanya pintu kamar Mama hanya tertutup pada malam hari. Kuberanikan membuka pintu kamar itu perlahan.
"Mm--mas ... Robi?" ucapku lemas.
Tubuhku gemetar. Adegan yang seharusnya tidak kulihat dan tidak pernah ada seumur hidup. Ya. Melihat mamaku sendiri sedang bercumbu mesra bersama pacarku. Tanpa busana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
salam kenal kakak
asisten dadakan hadir😘
mampir yuk
semangat selalu💪
2021-01-23
0
🍃🥀Fatymah🥀🍃
Aku mampir kak 😍😍
Salam kenal dari MAYLEA SI GADIS MASA DEPAN 🤗🤗🤗
2020-10-20
0
Zihan Masrura
Dih mamanya matre
2020-09-30
1