"Lenaaa!" Atika menyambutku ketika aku baru saja masuk ke dalam ruangan. "Kemana aja? Aku menghubungimu, tapi gak ada balasan sama sekali."
"Maaf, aku ada masalah." Aku duduk di kursiku dan menyalakan komputer. "Manajer datang jam berapa?" tanyaku.
"Mungkin sebentar lagi. Kalau ada apa-apa, cerita, ya?" ucapnya lagi dan pergi ke mejanya.
Aku cek ulang hasil kerjaku kemarin. Syukurlah semua sudah siap. Aku kembali membuka ponselku.
[ Aku sudah menyimpan nomor mu! Jangan lagi menungguku. Oke? ]
Aku membalas chat Radit. Ada rasa bahagia tersendiri rasanya. Aku bisa melupakan masalahku sejenak. Mas Robi tidak menghubungiku sama sekali, aku anggap semuanya telah berakhir. Aku juga tidak lagi mengharapkannya. Bahkan jika dia mau menjadi suami baru Mama, aku ikhlas.
Radit :: Hai cantik! Akhirnya kamu membalas pesanku.
Lena :: Jangan memanggilku cantik! Geli tahu gak!
Radit :: Haha! Sorry sorry! Kamu sudah kembali ke rumah?
Lena :: Iya. Baru pagi tadi.
Radit :: Apa ada masalah? Kenapa sepagi itu?
Lena :: Ah, gak kok. Hanya saja aku harus bekerja.
Radit :: Oh iya, kamu kerja apa? Apa kamu beneran jadi dokter?
Lena :: Haha! Uang dari mana aku bisa sekolah dokter? Aku hanya editor buku. Cita-cita jadi dokter sudah kukubur sejak lama.
Radit :: Ahh! Turut berdukacita atas terkuburnya cita-cita muliamu.
Lena :: Gak perlu sampai begitu kali! Eh, sebentar ya, aku ada rapat. Nanti di lanjut lagi.
Radit :: Okeoke. Aku tunggu. : )
Aku kembali bekerja. Mood-ku sedikit lebih baik. Terselip ingatan-ingatan jaman sekolah dulu. Aku dan Radit bukan anak yang terlalu pandai. Nilai kami standar, tapi juga tidak buruk. Meskipun begitu, kami tergolong anak yang rajin. Kami tidak sekelas, tapi setiap jam istirahat kami selalu bertemu dan belajar bersama.
Sampai akhirnya waktu kami menginjak pertengahan kelas 2 SMA, papa meninggal dunia. Aku terpuruk. Tidak ingin lanjut sekolah. Butuh waktu lama untuk bisa mengembalikan semangat hidupku. Aku putus sekolah, 2 tahun kemudian aku mengikuti kejar paket C supaya aku memiliki ijazah setara SMA. Sejak saat itu, tujuan hidupku hanya mencari uang. Tidak peduli dengan apa itu cita-cita.
..
"Lena, mau makan apa? Mama masakin ya?" mama menyambutku di depan pintu. Aku tak acuh sama sekali. Kulangkahkan kaki ke kamar seolah aku tak melihat adanya manusia di sana.
Aku merasa jahat. Sangat jahat. Aku memperlakukan orang tuaku seperti itu, tapi aku harus bagaimana? Yang tahu masalahku ini justru keluarga Pak Agung. Bagaimana mungkin aku harus kesana lagi hanya untuk curhat?
Lena :: Irvan, ini aku Lena.
Irvan :: Hai, mbak Lena. Bagaimana kabarmu?
Lena :: Panggil Lena saja.
Irvan :: Ah, oke. Baiklah. Bagaimana kabarmu?
Lena :: Aku baik-baik saja. Ibu bapak apa kabar?
Irvan :: Semua sehat. Kemarin Ibu bertanya, kapan kamu akan datang lagi. Tapi aku berharap kamu datang kemari bukan untuk kabur.
Lena :: Yah, aku gak bisa kabur meskipun aku ingin.
Iya, Rumah ini adalah rumah peninggalan Papa, aku tidak akan menyerahkan pada orang lain.
Irvan :: Jadi, apa kamu sudah sedikit tenang?
Lena :: Yah, itulah alasanku menghubungimu. Apa aku boleh telepon?
Irvan :: Tentu saja.
Kemudian aku meneleponnya.
"Halo," jawabnya dari seberang sana.
"Hai, maaf mengganggu," ucapku ragu, aku tidak enak menyita waktunya.
"Gak mengganggu kok, gimana? Ada yang ingin kamu ceritakan?"
"Ah, bukan cerita. Lebih tepatnya, aku ingin minta pendapatmu."
"Boleh, apa itu?"
"Aku harus bagaimana di depan Mama? Jujur hatiku sakit, tapi aku gak tega kalau harus mengabaikannya terus. Aku durhaka," ujarku langsung pada intinya. Rasanya aku ingin menangis.
"Maaf jika pendapatku gak sesuai dengan jalan pikiranmu," ujarnya meminta izin sebelum menjawab pertanyaanku.
"Gak papa, jikalau baik akan aku pertimbangkan."
"Sebaiknya kamu minta maaf. Gak ada gunanya kamu menyimpan dendam untuk ibumu sendiri. Awalnya mungkin sakit, tapi kamu bisa lebih tenang jika kamu bisa mengikhlaskannya."
"Tapi, ikhlas itu berat."
"Iya, aku tahu, tapi bukan berarti tidak bisa, kan?"
"Ya, kamu benar," jawabku lemas. Sepertinya memang tidak ada jalan lain selain itu. Aku tidak bisa terus-terusan durhaka. Bagaimanapun Mama adalah ibu kandungku.
Kuakhiri panggilan itu. Sebisa mungkin aku memikirkan yang baik-baik, kujernihkan pikiranku. Aku buang semua pikiran jahat dan dendam. Aku harus berlaku lebih baik, meskipun aku belum mengikhlaskan kejadian buruk ini menimpaku.
Beberapa hari kemudian, aku pulang larut malam. Ada beberapa berkas yang harus kuselesaikan malam ini juga. Aku hanya berharap tidak bertemu Mas Robi tiba-tiba seperti malam itu.
Syukurlah, sesampai aku di rumah, hanya ada Mama di sana. Mama duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.
"Lena baru pulang? Ayo makan! Mama panaskan lagi lauknya." Mama langsung beranjak dan menyalakan api kompor.
Aku sebenarnya sudah makan, tapi aku tidak tega menganggap Mama tidak ada terus menerus. Aku duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan. Mama menyiapkan makanan untukku. Aku hanya diam tanpa bicara sama sekali. Mama juga tak bicara selagi aku makan, ia hanya fokus pada layar ponselnya.
"Len ...." Mama menyebut namaku lagi ketika aku selesai mengunyah suapan terakhirku.
"Hm?" Mulutku rasanya enggan menjawab.
"Mama minta maaf, ya!" pintanya lembut. Hatiku teriris. Durhaka sekali aku sampai seorang ibu memohon maaf pada anaknya berkali-kali.
"Udah Lena maafkan," jawabku datar.
"Maaf Mama gak memikirkan perasaanmu. Mama hanya ingin kita hidup lebih layak."
"Apapun alasan Mama, aku gak ingin dengar lagi."
"Lena ...." Mama diam sebentar, lalu meneguk air minumnya sedikit. "Mama tahu, Robi bukan anak baik-baik. Biarkan Mama yang memanfaatkan dia."
"Kalau Mama gak suka, kenapa Mama gak terus terang sama Lena? Kenapa harus dengan cara licik kayak gitu?" Nada bicaraku sedikit membentak, tapi Mama terlihat masih tetap tenang.
"Orang licik harus dibalas licik, Len." Begitu ucap Mama.
Aku masih tidak mengerti kenapa Mas Robi dibilang licik begitu. Yang aku tahu semua baik-baik saja, selain dia yang selalu minta melakukan hubungan suami-istri dan selalu kutolak.
..
Minggu pagi, aku sengaja tidak menyalakan alarm. Waktu menunjukkan pukul 10.25, padahal aku ingin tidur sampai sore. Aku berguling ke sana ke mari, berharap mataku bisa terpejam lagi. Sayangnya tidak bisa.
Aku keluar kamar dan mengambil minum. Ah, Mama masak ayam goreng kesukaanku, tapi di mana Mama? Di kamarnya juga tidak ada. Sudahlah, nanti juga pulang. Kemudian aku mandi, sarapan dan menonton TV.
Tak lama kemudian ada tamu datang, sebuah mobil terparkir di sebelah mobilku. Tamu biasanya parkir di depan gerbang, kenapa masuk? Aku masih belum keluar. Aku hanya melihat dari balik tirai jendela. Pintu mobil terbuka dan Mama keluar dari sana. Aku mengernyit heran. Mobil siapa? Terlihat masih baru dan mahal. Jauh jika dibandingkan dengan mobilku.
"Mobil siapa, Ma?" tanyaku ketika Mama baru saja menutup pintu rumah.
"Mobil Mama, lah!" jawabnya bangga.
"Dari mana Mama bisa dapat mobil bagus begitu?"
"Robi," jawabnya singkat. Lalu Mama meletakkan plastik belanjaan di hadapanku. "Nih, cemilan kesukaanmu."
"Dari Mas Robi juga? Gak akan aku terima," tolakku.
"Bukan. Enak aja! Mama baru dapat arisan. Lumayan lima juta."
"Terus, mobil itu?" tanyaku lagi.
"Mama minta sama Robi."
"Astaga, Mama! Itu kan mobil mahal!" seruku kemudian. Rasanya kesadaranku baru saja kembali.
"Kalau minta jangan setengah-setengah dong!" jawab Mama dengan mudahnya.
"Tapi, Mas Robi gak akan kasih semua itu cuma-cuma," ujarku lagi.
"Ssstttt ... anak kecil gak perlu tahu!" ucap Mama kemudian masuk ke kamarnya.
Ini apa-apaan, sih? Mama terang-terangan memanfaatkan mantan pacarku di depan mataku? Memang rasaku untuk Mas Robi perlahan hilang, tapi bagaimana mungkin aku diam saja melihat Mama masih memanfaatkan dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
nuy nurani
ibu yg stresss 😥
2020-09-10
1
Tumin Neng
masih lanjuttt
2020-09-04
1