Pagi itu, aku berangkat bekerja seperti biasa. Mama masih sibuk di dapur. Aku enggan bertemu Mama, mataku sedikit bengkak karena banyak menangis semalam. Aku bimbang, ingin rasanya lepas dari Mas Robi karena aku tidak akan melepaskan kesucianku sampai aku menikah dengannya. Namun, aku juga sangat mencintainya meski aku tidak siap bila dia mencari wanita lain untuk pelarian nafsunya.
"Len, sarapan!" ujar Mama menawarkan.
"Gak deh, Ma. Lena sarapan di kantor aja. Lagi ada kerjaan yang belum selesai," tolakku tanpa melihat ke arah Mama.
"Hmm, ya udah." Syukurlah Mama tidak memaksa. Kemudian aku berpamitan, namun sesuatu menarik perhatianku.
"Ma, ini ponsel siapa?" Ponsel apel sepotong itu tergeletak di atas meja. Sepertinya itu seri yang Mama maksud.
"Ponsel Mama, kenapa?" jawab Mama santai sambil mengaduk sayuran yang sedang ia masak.
"Mama dapat uang dari mana? Ponsel yang Lena kasih mana?"
"Jeng Ira bagi-bagi rejeki. Suaminya baru pulang dari Jepang." Jawaban yang sangat tidak meyakinkan. Aku tahu Mama punya gengsi yang tinggi. Mustahil mau menerima barang seperti ini dari rivalnya. Rival dalam hal pamer maksudku.
"Mama lagi berusaha bohong sama Lena, ya?" tanyaku menyelidik.
"Kamu berharap apa? Berharap Mama jadi simpanan pengusaha?"
"Ah, bukan begitu. Ya udah aku percaya. Lena berangkat ya, Ma!"
"Iya, hati-hati."
Meskipun aku bilang percaya, tetap saja aku masih penasaran. Baru kemarin Mama tidak mau kalah, bagaimana mungkin Mama menerima ponsel itu cuma-cuma?
Sejak hari itu, Mas Robi tidak menghubungiku sama sekali. Aku pun enggan menghubunginya duluan. Semakin hari aku semakin ikhlas jika harus kehilangannya. Aku terfokus mengumpulkan uang untuk membayar hutangku.
"Len, malam ini ada agenda gak?" tanya Atika.
"Sepertinya gak ada, gimana?" jawabku seraya bertanya.
"Temani aku lembur, ya!"
"Ahh ... baiklah, boleh. Kenapa gak dibawa pulang aja?"
"Ada mama mertuaku, cerewet sekali. Nanti aku gak bisa fokus malah."
"Apa mertuamu menyebalkan?"
"Yah, terkadang, tapi gak jahat hanya cerewetnya aja yang membuatku gak tahan."
"Syukurlah kalau mertuamu baik," jawabku.
Akhirnya aku menemani Atika lembur. Tidak lama. Jam 7 malam kami sudah keluar dari kantor.
"Len, ayo makan dulu! Aku traktir," ajak Atika.
"Lagi banyak uang?" ledekku.
"Heh! Aku ini mau berterima kasih padamu. Ada ataupun gak ada uang, aku akan tetap mengajakmu makan."
"Kalau uangmu tipis, simpan aja! Kamu sedang banyak menabung untuk persiapan melahirkan, kan?" Atika sedang hamil sekarang, sepertinya jalan 4 bulan.
"Sssttt! Jangan berisik! Menurutlah!" Atika berjalan menuju mobilnya. Aku juga menuju mobilku dan mengikuti arah dia pergi. Kami berhenti di restoran fastfood.
"Tik, kamu hamil loh! Yakin mau makan di sini?"
"Aku itu sudah nyidam burger dari sebulan lalu. Mas Rizal gak mau beliin. Jangan bilang-bilang ya! Sekali ini aja kok."
"Kalau ada apa-apa aku gak tanggung jawab, ya!"
"Iya, tenang aja!" Dia tersenyum dan berjalan ke meja pemesanan.
Pulang dari sana, aku menemukan mobil Mas Robi terparkir di depan rumah. Aku teringat mimpi waktu itu. Apa akan menjadi kenyataan?
"Lena pulang," ucapku setelah pintu berhasil kubuka. Mama duduk di sofa dengan memainkan ponsel di hadapan wajahnya.
"Tumben sampai malam, Len?" tanya Mama.
"Iya Ma, lembur. Itu ada mobil Mas Robi, ke mana orangnya?"
"Itu di kamar mandi."
"Hm?" Alisku bertaut. Jarang sekali Mas Robi lama di rumah, jadi jarang juga dia masuk ruangan lain selain ruang tamu dan ruang makan. "Ngapain dia ke sini, Ma?"
"Ya ketemu kamu, ngapain lagi?"
"Ah, aku malas bertemu dengannya." Aku mendengus kesal lalu berjalan ke kamar.
Sebelum aku sampai di kamar, Mas Robi baru keluar dari kamar mandi. Kamar mandi di rumah letaknya bersebrangan dengan kamarku. Aku terkejut, kemeja Mas Robi sedikit kacau. Kemeja itu sudah tidak lagi dimasukkan ke dalam celananya. Padahal selama ini Mas Robi selalu rapi.
"Len ...." Terdengar pelan ia menyebut namaku.
"Jangan ganggu aku dulu, Mas!" Aku masuk dan mengunci pintu kamar. Aku benar-benar tidak ingin bertemu dengannya kali ini. Ada apa dengan penampilannya yang seperti itu? Apa mimpiku sebenarnya adalah petunjuk?
Seminggu kemudian, kantor sedang libur 2 hari karena ada perbaikan. Semua pekerjaan dibawa pulang dan rapat via online. Malam itu aku tidak mengantuk sama sekali, jadi aku lembur sampai subuh. Selepas subuh aku baru bisa terlelap dan terbangun sekitar jam 11 siang.
Sepertinya Mama tidak tahu kalau aku tidak bekerja. Aku juga tidak bilang kalau hari ini libur. Mobilku juga semalam kuantar ke bengkel karena harus ada yang diperbaiki.
Aku menuju dapur dan meminum segelas air putih. Menuju ruang tengah hendak menonton TV. Kamar Mama yang tertutup menarik perhatianku. Sejak mimpi hari itu, rasanya aku sangat sensitif jika melihat pintu kamar Mama tertutup. Sudahlah, mimpi itu tidak mungkin terjadi, pikirku.
Kubawa gelas minumku ke ruang tengah, tapi sesuatu yang menarik perhatian. Dari sela jendela, terlihat ada mobil terparkir di depan rumah. Mobil Mas Robi? Sejak kapan terparkir di sana? Jangan-jangan?
Tubuhku lemas. Aku memutuskan untuk duduk di sofa ruang tamu. Ingin aku membuka pintu kamar Mama, tapi aku tidak siap. Aku menunggu Mas Robi keluar dari sana jika memang ada. Pikiranku kacau, tanganku gemetar, jantungku berdetak tak karuan. Di satu sisi aku percaya mimpiku bisa jadi kenyataan, tapi di sisi lain aku tidak percaya hal buruk seperti ini terjadi padaku.
Berselang beberapa menit kemudian, terdengar suara orang tertawa dari dalam kamar Mama. Dadaku sakit, sesak sekali rasanya. Air mataku memberontak keluar. Aku tak bisa lagi menahannya.
Ceklek! Terdengar suara kunci kamar yang dibuka. Suara tawa itu makin jelas di telingaku. Ingin rasanya kubunuh mereka berdua.
"Lena? Sejak kapan kamu ada di rumah?" ujar Mama dengan suara yang tampaknya terkejut. Aku hanya diam dan tak bergerak sedikit pun. Terdengar langkah kaki yang mendekat ke arahku. "Lena," panggilnya lagi.
"Udah puas, Ma?" tanyaku dengan pandangan yang masih lurus ke bawah. Aku tidak melihat ke arah mereka sama sekali.
"Apa maksudmu? Mama hanya--"
"Udahlah, Ma! Lena bukan anak kecil. Mama gak perlu menjelaskan apapun." Tak apa aku menjadi durhaka, hatiku terlanjur sakit. Bisa-bisanya seorang mama tega seperti ini pada anaknya sendiri.
"Syukurlah kalau kamu udah paham," ucap Mas Robi tanpa rasa bersalah. "Udah kubilang, kan, aku ini laki-laki normal?"
"Rob, pulanglah! Biar aku yang bicara pada Lena," pinta Mama.
"Gak ada yang perlu dibicarakan lagi." Aku beranjak dari kursiku dan menatap nanar mereka berdua. "Silakan memenuhi kebutuhan nafsu kalian berdua! Dasar bin*tang!" umpatku tak lagi bisa kutahan.
"LENA!"
Plak! Mama menampar pipi kananku. Bahkan mereka yang bersalah, aku juga yang diperlakukan seperti ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Amma Ar-Rahma
knp aku yang tegang bacanya
2020-12-15
0
Neneng Mahmud
ada lagi kayak gitu🙄🙄
2020-10-23
0
🍃🥀Fatymah🥀🍃
like like 😍😍
2020-10-20
0