Aku tidak ingin membatasi ruang gerakku lagi. Aku berteman dengan siapa pun yang mau dekat denganku. Hanya saja satu usaha yang agak berat aku lakukan, yakni menahan diri agar tidak mudah terbawa perasaan. Tetap fokus pada tujuanku, yakni mencari uang. Aku masih belum siap jika harus melibatkan perasaan lagi, lain cerita jika lelaki itu mau mengajakku menikah dan membawaku keluar dari rumah.
Sore ini aku janjian bertemu dengan Irvan. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Tentu saja aku tidak sendirian, Mas Dwi ikut bersama ku sepulang kerja.
"Ini untuk kalian," ucapnya seraya mengeluarkan dua lembar kertas bernuansa hijau berlapis plastik tipis. Sangat familiar dengan wujudnya.
"Undangan?" tanyaku bahkan sebelum aku menerima itu dari tangan Irvan. Ia hanya tersenyum malu.
"Hehe ...." Ia tertawa sedikit. "Datang ya!" pintanya kemudian.
Kubuka lapisan plastik itu dan membaca isinya. Akadnya akan dilakukan 3 minggu lagi, sedangkan resepsinya satu hari berikutnya.
"Selamat ya! Aku didahului ternyata," ujar Mas Dwi. Aku sedikit merasa kasihan, seandainya wanita itu tidak berpaling, mungkin sekarang Mas Dwi sudah memiliki anak yang lucu-lucu.
"Maaf ya, Mas," ujar Irvan sambil tersenyum. "Aku sudah terlalu lama pacaran, ibunya selalu menuntut agar menikah cepat. Bagaimana lagi?"
"Tapi kamu mencintainya, kan?" tanyaku.
"Tentu saja. Aku hanya belum siap secara materi. Bahkan aku belum punya rumah sendiri. Mungkin sementara waktu kami akan mengontrak."
"Gak papa, begitu lebih baik daripada gagal menikah, kan? Rejeki bisa dicari sambil jalan," ujar Mas Dwi. Aku tidak tahu apa yang kini dia rasakan, tapi aku tidak bisa menghilangkan rasa kasihanku padanya
"Mas jangan berkecil hati, kan sekarang calonnya sudah ada," ucap Irvan yang membuatku spontan melirik Mas Dwi.
"Iya kalau dia mau," jawab Mas Dwi yang kemudian juga melirik ke arahku. Blush!! Apa yang dimaksud adalah aku?
"Ya sudah, maaf aku gak bisa lama-lama. Masih ada urusan yang lain," ujar Irvan seraya memakai jaketnya.
"Iya gak papa. Namanya mau menikah pasti banyak persiapan," ujar Mas Dwi.
"Semoga berjalan lancar ya!" ucapku memberi doa dan semangat.
"Terima kasih banyak. Jangan datang sendirian! Oh iya, aku hampir lupa." Irvan kembali membuka tasnya dan mengambil satu undangan lagi. "Ini untuk Mamamu, barangkali mau datang," ujarnya seraya memberikan undangan itu padaku.
"Ah iya, terima kasih. Nanti aku sampaikan."
"Ingat ya! Jangan datang sendirian!" Ia kembali berpesan.
"Hmm ... iyaa," jawabku. Aku sudah paham maksudnya, aku harus datang bersama Mas Dwi. Kemudian Irvan pergi, lagi-lagi tinggal lah kami berdua disana.
"Len." Mas Dwi memanggilku lalu memegang tanganku.
"Eh, iya mas?" Jantungku spontan melonjak ketika merasakan sentuhan tangan Mas Dwi di punggung tanganku.
"Datang sama aku, ya?" pintanya.
"Iya, tapi kalau mamaku mau--"
"Kita datang bertiga. Aku gak masalah," ucapnya memotong omonganku.
"Ah, ya. Oke," jawabku menyetujui.
"Maaf aku sedikit trauma akan pernikahan. Makanya aku butuh kamu untuk menemaniku." Suaranya terdengar menyedihkan. Entah karena pengaruh pikiranku yang sedang kasihan padanya, atau memang dia yang masih menyimpan luka, aku juga tidak tahu.
"Iya, Mas. Nanti kita datang sama-sama ke resepsi Irvan," jawabku. Kukira dia memegang tanganku hendak mengajakku menikah juga. Sepertinya aku terlalu banyak berharap.
"Boleh aku jujur padamu?" tanyanya.
"Tentu saja."
"Aku menyukaimu sejak lama. Bahkan sebelum kamu putus dari mantan pacarmu. Mungkin kamu berpikir aku gak serius, tapi sebenarnya aku pun sadar di usiaku saat ini bukan lagi waktunya untuk main-main," ucapannya terhenti sejenak, lalu ia menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya.
"Maaf, aku pernah gagal menikah seperti yang kamu tahu. Dua tahun lalu aku seperti orang gila, bahkan aku gak yakin aku bisa hidup tanpa dia. Semua biaya persiapan pernikahan aku yang tanggung, bahkan undangan sudah siap dan tinggal disebar. Entah bagaimana bisa dia justru hamil dengan mantannya." Lagi-lagi ucapan Mas Dwi berhenti. Kurasakan tangannya gemetar.
"Mas, aku gak maksa Mas untuk menceritakan itu padaku."
"Gak papa, aku harus bisa melupakan ini semua. Aku mau kamu tahu apa yang aku rasakan, hingga kamu yakin aku layak atau gak buatmu." Kemudian ia menatap mataku, tatapan matanya tampak sayu. Aku merasa terenyuh.
"Lena, aku benar-benar menyukaimu. Aku ingin kamu menjadi milikku, tapi aku sadar aku juga trauma akan persiapan pernikahan. Apakah kamu mau--" ucapannya terhenti. Terasa genggaman tangannya semakin kuat, sedikit sakit tapi masih bisa kutahan.
"Mau apa, Mas?" tanyaku kemudian.
"Apakah kamu mau ... jadi ... is ... triku?" tanyanya terbata-bata. Blarrrrr!!! Jantungku terasa tersambar petir. Kukira hanya angan saja, tapi detik ini juga pertanyaan itu kudengar di telinga langsung dari mulutnya.
"Maaf kalau terkesan terlalu cepat, tapi aku takut kehilangan lagi. Kalau kamu mau menerimaku, aku akan segera datang ke rumahmu. Kita gak perlu pacaran, kan?"
Aku mengerjap beberapa kali. Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar kali ini.
"Tapi, Mas sendiri bilang kalau Mas trauma dengan pernikahan. Bagaimana mungkin Mas mengajakku menikah?" tanyaku masih sedikit bingung.
"Maka dari itu, aku memintamu untuk menjadi obatnya. Aku mencintaimu, Lena. Aku berjanji gak akan mengecewakanmu," ucapnya dengan mata yang lekat memandang manik mataku. Tersirat harapan yang besar disana.
"Mas, aku sangat menghargai ajakanmu untuk menikah. Maaf, bukannya aku menolak. Beri aku waktu untuk berpikir supaya jawabanku bisa tepat dan baik untuk kita berdua," pintaku padanya. Ia pun mengangguk setuju. Rasanya ketakutannya tampak perlahan memudar. Genggaman tangannya juga tidak sekuat tadi.
Aku senang sekali akhirnya ada laki-laki yang mau mengajakku menikah. Tapi aku butuh waktu untuk menjelaskan kondisi keluargaku padanya. Apa mungkin dia bisa menerimaku jika tahu ayah tiriku adalah mantan pacarku sendiri?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments