"Pak Dwi, mukanya kenapa?" Suara Tasya membuatku spontan menengok. Pak Dwi baru saja datang dengan pipi yang sedikit lebam. Mata kami bertemu lalu kemudian aku menunduk. Aku sangat merasa bersalah.
"Biasa, preman pasar mah segini aja gak kerasa," jawab Pak Dwi enteng.
"Preman pasar apanya? Bapak mah gak cocok main di pasar," tambah Tasya lagi. Aku kembali menatap layar komputerku meskipun belum sepenuhnya fokus.
"Ke ruangan saya sebentar ya!" ujar Pak Dwi ketika ia lewat di sebelah mejaku.
"Baik, Pak." Aku lalu mengikutinya dari belakang. Sesampainya di dalam ruangan, aku hanya berdiri di depan meja kerja Pak Dwi.
"Duduk saja, Len!" perintahnya. Aku hanya mengangguk kemudian duduk. Pak Dwi masih sibuk menggantung jaket dan menata berkas di mejanya.
"M---maaf, Pak," ucapku pelan.
"Hm? Maaf untuk apa?" tanya Pak Dwi.
"Untuk yang kemarin."
"Hei, sudah! Saya gak merasa keberatan kok." Lalu Pak Dwi memberikan sebuah flashdisk. "Ini, ada naskah dari penulis baru. Coba dicek! Kalau karyanya benar bagus, diskusikan dengan Atika dan hubungi penulis ini."
"Ah iya, baik, Pak."
"Lena, saya gak ingin kinerjamu menurun. Berikan yang terbaik untuk perusahaan ini! Panggil saya kapanpun kamu butuh bantuan, jangan sungkan! Oke!"
"Ta--tapi, Pak ...."
"Lena, melihat kejadian kemarin, rasanya kamu terlalu dalam menyimpan masalahmu sendiri. Saya memang gak tahu siapa temanmu di luar sana, tapi yang saya lihat di kantor ini pun kamu terlalu tertutup. Izinkan saya membantumu, Lena!" Ucapan Pak Dwi membuatku terenyuh. Sedalam itu ia memahami diriku yang seperti ini?
"Terima kasih banyak, Pak." Aku tidak bisa mengucap kata terlalu banyak. Aku takut salah langkah dan aku pun tidak ingin merepotkan orang lain.
"Anggap saja ini memang tugas saya untuk menjaga kinerja karyawan agar tetap maksimal," ucapnya lagi.
Aku menunduk. Merasa egois jika merasa bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Tapi kenyataannya aku memang tidak bisa sendirian. Keluar dari ruangan Pak Dwi, aku langsung mengecek isi dari flashdisk yang baru diberikan. Namun sayang aku tidak bisa fokus. Aku keluar ke dapur untuk membuat segelas kopi.
Sembari mengecek, aku minum kopiku sedikit demi sedikit. Naskah yang baik, hanya butuh penguatan karakter saja untuk tiap tokohnya. Sebelum kudiskusikan dengan Atika, kuputuskan untuk bertanya pada Mas Dika sebagai senior editor di kantor ini.
"Bagus nih! Bener katamu, cuma perlu karakternya diperkuat lagi di setiap tokohnya," ujar Mas Dika setelah membaca sekilas naskah yang kuberikan.
"Jadi, langsung hubungi penulisnya aja nih, Mas?" tanyaku memastikan lagi.
"Iya, ceritanya juga menarik kok. Belum banyak yang mengangkat tema seperti ini."
"Ahh, ya-ya-ya! Ya udah, aku ke ruangan Atika dulu!"
"Oke!" Kemudian Mas Dika kembali ke lembar kerjanya sendiri sedangkan aku ke ruangan Atika. Sebelum kesana, aku mengeprint biodata dari penulis tadi.
Sesampainya aku di ruangan Atika, ternyata dia sedang menerima telepon. Jadi aku duduk di kursi yang kosong di sana.
"Ada apa?" tanya Atika setelah teleponnya di tutup.
"Ini, calon penulis baru," ujarku seraya memberikan selembar kertas biodata.
"Ah, oke. Dapet dari mana? Mereka yang minta?"
"Bukan, tuh. Rekomendasi Pak Dwi. Gak tahu juga dapet dari mana."
"Hmm ... oke deh! Langsung dibuat janji ketemu Pak Dwi atau gimana?"
"Iya. Langsung ketemu Pak Dwi."
"Oke-oke, siap!"
"Ya sudah, aku balik ke ruangan ya!" Kemudian aku berdiri dan keluar dari ruangan Atika. Belum sempat kubuka pintu, tiba-tiba perutku terasa sangat perih. Spontan aku berjongkok di belakang pintu.
"Len? Kamu kenapa?" Atika langsung menghampiri dan membantuku berdiri.
"Ngghh ... gak papa kok," jawabku dengan tangan yang masih meremas perut berharap sakitnya sedikit berkurang.
"Maag lagi?" tanyanya khawatir sembari membantuku duduk di kursinya. Aku hanya bisa menunduk sambil meremas perutku. Sakit sekali.
"Sebentar ya!" ucap Atika lagi, dia berlari ke luar ruangan. Mungkin mencari obat.
Ceklek. Pintu di buka seseorang, tapi bukan Atika melainkan Pak Dwi.
"Len? Kamu sakit lagi? Ya ampun sampe keringat dingin." Pak Dwi mengusap keningku dan mengambilkanku segelas air. Kuminum air itu sedikit-sedikit. Tak lama Atika datang membawa obat maag cair yang memang sering aku minum.
"Ini diminum dulu." Ia memberikan botol obat dan sendoknya. Aku minum sesuai dosisku.
"Saya antar pulang ya?" Pak Dwi menawarkan, namun aku menggeleng.
"Gak usah, Pak. Saya masih banyak kerjaan."
"Pulang aja, Lena! Biar Mas Dika sama Tasya yang handle sementara," tambah Atika.
"T--tapi itu ...." Ini bukan kali pertama aku sakit, aku takut akan dapat SP (Surat Peringatan).
"Sudah, ayo pulang biar saya yang antar! Tika, saya pinjam mobil, ya!" pinta Pak Dwi.
"Ah iya, Pak. Bawa aja!" Atika mengambil kunci mobil dari dalam tasnya dan memberikannya pada Pak Dwi.
"Masih sanggup jalan kan?" tanya Pak Dwi. Aku mengangguk. Akhirnya aku pulang. Atika membantuku berjalan sampai ke mobil.
Sepanjang perjalanan aku hanya meringkuk, memejamkan mata sembari meremas perutku. Rasa sakitnya tidak berkurang sama sekali.
"Len, gak mau ke rumah sakit aja?" Nada bicara Pak Dwi tampak sangat khawatir. Pandangannya sesekali beralih ke arahku.
"Pulang aja, Pak. Di rumah ada obatnya kok," ujarku sambil menahan sakit.
"Oke-oke." Kemudian kurasakan mobil melaju semakin cepat. Entah hanya berapa detik perjalananku, tiba-tiba Pak Dwi sudah turun dan membukakan pintu mobil. Dengan bantuan Pak Dwi aku masuk ke dalam rumah.
"Lena? Kamu kenapa?" Mama yang duduk di sofa langsung berhambur ke arahku, mengambil tas dan jaket yang di pegang Pak Dwi. "Langsung ke kamar Lena aja!" perintah Mama.
Pak Dwi masih memapahku, bukan lebay. Rasa sakitnya semakin menjadi, jangankan untuk melangkah, berdiri tegak saja rasanya tak mampu. Mama membukakan pintu kamarku dan aku langsung direbahkan di kasur.
"Sepertinya maagnya kambuh." Pak Dwi bicara pada Mama.
Tanpa menjawab apapun, Mama membuka kotak obatku yang ada di lemari paling atas. Diambilnya 3 buah botol kecil dan meletakkan di atas nakasku. Mama keluar kamar dan kembali dengan membawa segelas air.
"Tapi Lena sudah minum obat, Bu," ujar Pak Dwi yang tampak khawatir.
"Gak papa, Pak. Ini memang obatnya Lena. Udah sering kejadian kaya gini." Mama mengambil obat itu satu persatu dari botolnya dan memberikan kepadaku. Aku duduk sebentar, kuminum obatku lalu kembali berbaring.
"Memang Lena sakit apa?" tanya pak Dwi.
"Sakit maag, tapi sudah sedikit parah. Dari semalam dia belum makan." Mama menjelaskan. Arghh! Bikin malu saja. Aku tidak mau dikasihani. Aku tidak bisa melihat ekspresi mereka karena aku meringkuk membelakangi mereka. "Bapak mau langsung kembali ke kantor?" tanya Mama kemudian.
"Ah, sebentar lagi jam makan siang. Saya mau di sini sebentar boleh?"
"Oh, silakan. Gak perlu terlalu khawatir, setelah minum obat dia pasti sembuh. Kalau begitu, saya mau buatkan makanan dulu untuk Lena."
"Oh, iya, Bu."
Kudengar mama keluar dari kamar, Pak Dwi duduk di tepi kasurku. Syukurlah, perlahan rasa sakitnya mulai hilang.
"Lena, apa itu masih sangat sakit?" tanya Pak Dwi tanpa menyentuhku. Merasa tidak enak, aku mencoba duduk perlahan. "Ehh, tiduran aja!" Pak Dwi berusaha menahanku.
"Gak papa, Pak. Udah sedikit mendingan," jawabku yang kemudian duduk bersandar di ujung ranjang. "Terima kasih banyak ya Pak, sudah mengantar pulang."
"Iya, sama-sama. Kamu kenapa bisa kambuh begini?"
"Saya lupa kalau belum makan dari semalam, terus tadi minum kopi. Maaf saya lalai."
"It's ok. Yang penting sekarang sudah membaik."
"Maaf ya, Pak. Saya jadi merepotkan. Pekerjaan juga jadi terbengkalai."
"Sudah, jangan pikirkan pekerjaan dulu! Dika dan Tasya pasti bisa handle."
"Tapi pekerjaan bapak ...."
"Ssstttt! Kamu masih sakit tetap bawel ya."
"Eh?" Gaya bicara Pak Dwi yang santai begitu membuatku terkejut.
"Permisi."
Mama masuk ke kamarku dengan mendorong meja kecil. Di rumah mama punya meja kecil yang memiliki roda. Ah, sudah seperti rumah sakit saja.
"Silakan makan siang dulu!" ucap Mama.
Di atas meja itu tersedia semangkuk sup ayam, nasi dan lauk pauk. Lalu Mama memberikan mangkuk sup itu untukku.
"Ini, untuk saya?" tanya Pak Dwi.
"Iya, Pak. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena Bapak sudah mengantar Lena pulang."
"Terima kasih banyak, Bu. Maaf merepotkan. Ah iya, panggil saja Dwi, Bu." Kemudian Pak Dwi berdiri dan menyalami Mama.
"Oh iya, Dwi. Silakan di makan!"
"Baik, Bu. Terima kasih," ucap Pak Dwi. Mama menjawab dengan senyum lalu keluar lagi.
"Silakan dimakan, Pak!" ucapku.
"Terima kasih, ya. Maaf jadi merepotkan."
"Saya yang seharusnya berterimakasih, Pak. Lagi pula ini sudah waktunya jam makan siang."
"Oh iya, Lena."
"Iya, Pak?"
"Kalau di luar kantor, panggil 'mas' saja ya! Jangan panggil 'pak' !" Permintaan Pak Dwi yang cukup membuatku terkejut.
"Tapi, Pak ...."
"Len, saya hanya 3 tahun di atasmu."
"Ngg ... Tapi kan--"
"Saya ingin lebih dekat denganmu, Lena," ujar pak Dwi dengan nada yang sangat meyakinkan. Blush!! Kurasakan pipiku menghangat. Rasa sakit di perutku mulai hilang.
"Tapi, Pak ...." Aku masih merasa tidak enak.
"Mas, bukan pak." Pak Dwi membenahi.
"Mmm ... ya baiklah, Mas Dwi," ucapku masih terasa janggal.
"Nah gitu." Kemudian Pak Dwi, eh ralat, Mas Dwi tersenyum. "Saya penasaran rasa masakan mamamu."
"Oh iya, silakan Pak, dimakan!"
"Mas," ucapnya membenahi lagi.
"Hmm, oke."
Aku memilih diam dan mengambil suapan pertama. Mas Dwi dengan wajah sumringah mengambil nasi dan lauk yang Mama sediakan. Lalu kami makan bersama. Aku masih bisa merasakan pipiku yang hangat. Jantungku juga berdebar lebih cepat. Aku berharap ini hanya pengaruh obatku. Dan semoga saja Mas Dwi tidak menyadari diriku yang kini sedang salah tingkah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Ferly Ina
hy thor saya mampir bawa 5 bintang, Like n Vote....
tetap semangat ya thor 😊
salam Hangat dari "JANJI SUCI DI TANAH SUCI"
2021-01-26
0
Amma Ar-Rahma
bingung nih jodohnya sopo ?😂😀
2020-12-15
0
Ririn
terlalu banyak pemain pendukung,,,jd kurang fokus ke peran utamax,,,sampai di sini belom tw peran utama yg cwo,,msh ngambang
2020-09-06
2