"Papamu itu baik sekali. Mau menerima mamamu meskipun tahu ia sudah mengandung anak dari laki-laki lain." Kalimat yang cukup membuat jantungku bak tersambar petir.
"Hah? Maksud Bapak apa?"
"Yah, sarapan dulu!" Suara Ibu terdengar dari dapur.
"Nanti kita ngobrol lagi, ya!" ucap Pak Agung seraya berdiri dari tempat duduknya.
"T--tapi, Pak--" Aku berusaha menahan, sayangnya bersamaan dengan itu Irvan muncul dari balik pintu. Ia sudah berpakaian rapi, sepertinya kaos berkerah itu adalah seragamnya.
"Mbak, ayo sarapan!" ajak Irvan.
"Eh, iya, Mas." Aku meletakkan sapu dan kemudian masuk.
Suasana hangat sangat terasa di sini. Seketika aku merindukan saat-saat bersama Papa. Aku ikut tersenyum merasakan kekeluargaan ini. Usai sarapan, keluarga ini semuanya pergi bekerja. Pak Agung pergi ke kantor desa, Irvan ke koperasinya, dan Ibu ke pasar.
"Mbak Lena mau ikut Ibu? Dari pada di rumah sendirian." Ibu menawarkan.
"Ibu mau ke mana?"
"Ke pasar, kan, Ibu kerja di pasar."
'Kalau tidak ikut, aku mau ngapain di rumah? Bahkan aku tidak membawa ponsel,' batinku.
"Ya udah, Lena ikut, Bu."
Akhirnya aku ikut ibu ke pasar. Tidak jauh dari rumah, mungkin 300 meter saja. Awalnya aku berpikir Ibu menjaga toko kelontong atau pakaian, tapi ternyata tidak. Aku diajak ke sebuah toko yang cukup besar untuk ukuran di desa. Tokonya terdiri dari dua bilik. Bagian kanan menjual bahan dan perlengkapan untuk membuat kue. Lalu yang kiri menjual perlengkapan sekolah.
"Ini toko Ibu?" tanyaku takjub.
"Yah, investasi kecil-kecilan, Mbak. Daripada gak ada kerjaan," ujarnya kemudian tertawa sambil menyusun pewarna makanan di etalase. Investasi kecil katanya?
Kalau kuamati, luasnya ada 70 m², untuk 2 bilik toko. Pegawainya lumayan banyak. Ibu datang hanya untuk mengecek saja. Hmm, rumah yang sederhana seperti itu, sangat tidak menyangka kalau punya toko sebesar ini. Berbeda denganku. Memiliki mobil dan rumah yang cukup bagus, tapi tidak punya uang yang bisa berputar sendiri.
"Bu, ada yang bisa Lena bantu?"
"Eh, gak usah! Nanti capek. Biar pegawai sini aja yang kerja."
"Jangan khawatir, Bu! Lena bisa kok kalau sekedar nyusun dagangan di etalase atau bantu packing."
"Ya sudah, duduk dulu saja. Amati cara kerja mereka. Nanti baru bantu," saran Ibu. Aku mengangguk mengerti.
Kemudian duduk di salah satu kursi pengunjung. Semua bekerja dengan cekatan. Banyak sekali pembelinya. Aku ingat rumah, di rumah mama sering membuat kue. Aku masih ingin pulang dan bekerja lagi, tapi aku tidak ingin tinggal di rumah. Aku harus tinggal di mana?
"Alena?" Seseorang membuyarkan lamunanku. Aku mendongak ke arahnya.
"Hm?" Aku mengernyitkan dahi. Berusaha mengingat nama orang yang tadi menyebut namaku.
"Aku Radit, gak ingat?" Ia memperkenalkan diri.
"Radit?" Aku berpikir sejenak dan kemudian ingat, "Aahh! Radityo?"
"Akhirnya kamu ingat juga. Ngapain disini? Rumahmu daerah sini? Kok aku gak pernah lihat." Ia memulai pembicaraan kami.
"Yah, aku tinggal di desa D. Aku sedang berkunjung ke rumah saudara," ujarku bohong. Radit mantan gebetanku waktu SMA. Sudah lama sekali. Ia memang tidak setampan dulu, tapi ia terlihat dewasa dan menenangkan. Jantungku sedikit bergejolak.
"Oh begitu, mampirlah sesekali! Rumahku gak jauh dari sini," tawarnya.
"Ah, iya." Aku tersenyum melihatnya masih begitu ramah padaku. "Kamu cari apa? Istrimu mau membuat kue?"
"Hahaha!" Ia tertawa. "Istri siapa, Len, Len? Aku masih membujang."
"Eh? Aku gak percaya." Mana mungkin aku percaya, dulu dia selalu bergonta-ganti pasangan.
"Apa kamu mau menjadi istriku?" Pertanyaan yang membuat jantungku semakin menggila. Wajahku merona.
"Jangan g*la! Sudah sana beli yang kamu butuhkan!" usirku malu-malu.
"Aku minta kontakmu dong! Mungkin kita bisa lebih dekat lagi." Kedipan matanya membuatku salah fokus dan melirik sinis.
"Aku gak akan mempan dengan rayuan gombalmu lagi, Dit!" tegasku. Mulutku bicara begitu, tapi rasanya sedang tumbuh bunga-bunga di hati.
"Ayolah, aku minta kontakmu! Mungkin saja kita bisa bertemu lagi. Iya, kan?"
"Tapi aku gak membawa ponsel ke sini dan aku gak tau kapan pulang ke rumah."
"Alasan saja kamu, Len. Masih cuek aja seperti dulu," ujarnya. Aku memutar bola mata dan mengangkat satu sisi ujung bibirku.
"Baiklah, tapi aku gak tahu akan pulang kapan."
"Gak masalah. Aku siap nunggu kok," ucapnya kemudian memberikan ponselnya padaku. Dia masih pandai memikat ternyata. Kuketikkan nomor teleponku di sana, lalu kukembalikan lagi. Kami mengobrol beberapa hal sampai lupa waktu.
"Ah aku lupa, ibuku menunggu belanjaannya. Aku pulang dulu, ya! Sampai bertemu lagi!" Ia tersenyum kemudian beranjak memilih belanjaannya.
Aku duduk sembari memperhatikannya. Rasanya kesasar ini bukan tanpa alasan. Aku bisa bertemu Radit lagi, bisa bertemu keluarga Pak Agung. Yah, walaupun aku tidak tahu ini akan berakhir baik atau tidak.
Mendekati jam makan siang, Ibu mengajakku pulang. Malamnya, sebelum tidur kupandangi langit-langit kamar. Aku merindukan kamarku, tapi aku tidak ingin bertemu Mama. Kupejamkan mata dan menghirup nafas dalam-dalam lalu kuhempaskan lagi perlahan.
"Astaga!" pekikku, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Aku langsung bangun dan duduk. Aku lupa masih punya pekerjaan yang besok harus aku bawa ke kantor. Aku harus segera pulang, tapi sekarang sudah larut. Bagaimana ini? Aku keluar kamar, barangkali Irvan belum tidur. Dan benar, ia masih duduk di depan TV menonton film action.
"Loh, Mbak belum tidur?" tanyanya.
"Belum, Mas." Aku duduk di kursi yang berseberangan dengannya. "Mas, akses ke desa D biasanya naik apa, ya?"
"Dari sini sih naik motor atau sepeda, Mbak. Setelah sampai di perbatasan baru bisa naik mobil. Kalau mau naik motor sampai rumah juga gak masalah. Mbak mau pulang?"
"Iya, Mas. Saya lupa kalau ada pekerjaan yang harus di serahkan ke kantor besok."
"Ya sudah, besok saya pinjam motor teman. Nanti saya yang antar."
"Eh, Mas. Gak perlu! Mas tunjukin aja jalannya, nanti saya pulang sendiri."
"Yakin gak tersasar ke hutan lagi?" Nadanya datar, tapi aku merasakan ada ledekan di sana.
"Mas ...." ucapku singkat, tapi ia paham. Ia langsung tertawa. Ah, manisnya.
"Maaf! Maaf! Aku hanya bercanda. Biar aku saja yang mengantar. Barangkali lain waktu bisa bertemu lagi, kan?" Kemudian dia tersenyum lagi. Aku mengangguk setuju.
"Baik, Mas. Terimakasih banyak ya!" Ia hanya mengangguk dan aku kembali ke kamar.
..
"Ini rumah saya, Mas, tapi saya gak yakin bisa bertahan disini lagi. Mungkin saya akan pindah rumah," ujarku setelah turun dari motor.
"Kabari saja kalau butuh sesuatu."
"Iya, Mas. Terima kasih banyak. Mau mampir dulu?" Aku menawarkan meskipun aku berharap dia menolak. Bukan tidak ingin, hanya saja kondisi rumah sedang tidak memungkinkan untuk menerima tamu. Aku hanya akan mengambil dokumen kemudian berangkat ke kantor.
"Gak usah, Mbak. Saya harus kerja. Saya langsung saja, ya?" pamit Irvan, aku mengiyakan. Tak lupa berpesan agar ia berhati-hati sepanjang jalan.
Dengan berat hati aku membuka pintu rumah. Mama yang sedang duduk di sofa langsung berhambur memelukku. Aku terkejut. Ada sedikit rasa rindu terselip, tapi rasa benciku padanya jauh lebih besar.
"Lena, kamu dari mana aja? Kamu baik-baik aja kan? Maafkan Mama ya, Len!" Mama memelukku kuat-kuat. Aku tidak paham apa yang aku rasakan. Aku membeku, tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Kulepaskan pelukan Mama dan masuk ke kamar. Mama masih mematung di tempatnya, tapi dia tidak menangis.
Aku hanya mengambil dokumen yang diperlukan kemudian berganti pakaian dan memakai make-up tipis. Lalu aku berangkat ke kantor tanpa berpamitan. Ah sial! Mobilku masih di bengkel. Akhirnya aku memesan taksi online.
Sepanjang jalan, aku memeriksa ponselku. Ada beberapa panggilan tak terjawab, mungkin Mama tidak sadar kalau kemarin aku tidak membawa ponsel. Selain pesan grup kantor, ada pesan lain yang aku tahu itu dari siapa meskipun aku belum menyimpan nomornya.
[ Hai, Alena! Pastikan kamu menyimpan nomor ini ya! Aku setia menunggu balasan darimu. ]
Pesan singkat itu mampu membuatku tersenyum sendiri. Astaga! Rasanya aku memang sudah g*la.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
...
habis gelap terbit lah terang
2020-09-10
1
nabiLa nur andini
lsnjut.
2020-09-05
1
Tumin Neng
mulai menarik
2020-09-04
1