Clara meninggalkan rumah pergi ke bar, tidak seperti biasa, dia hanya memesan segelas bir saja, minimal dengan begitu dia merasa baikan, tidak harus sampai mabuk, dia berusaha mengendalikan emosinya.
Berlama-lama di bar ini Clara merasa bosan, dia memutuskan untuk pulang ke rumah, tapi di parkiran menuju mobil Clara dihentikan oleh seseorang yang langsung memegang pergelangan tangannya.
"Tunggu dulu, Ra! Ada yang harus kita bicarakan!" seru suara itu.
Clara menoleh malas, lalu membuang muka menghempas tangannya agar terlepas dari genggangaman pria itu, tanpa menjawab apa-apa Clara melangkah Pergi.
"Ra, pleace!" pria itu mengejar Clara memaksa agar mau ikut dengannya.
"Rel, lepasin aku! Sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan, sejak kejadian itu, kita uda putus," ucap Clara kasar.
"Aku berusaha halus dengan kamu, kamu tidak bisa mengerti, apa aku harus kasar ke kamu, Ra?" bentak Farel.
"Sebelum kamu kasar sama dia, rasakan ini!" ucap Vano tiba-tiba muncul menarik kebelakang bahu Farel dan melayangkan bogem mentah mendarat pada muka Farel.
Tidak terima dengan tinjuan Vano Farel membalas tak lama kemudian terjadilah perkelahian hebat di antara keduanya.
Clara diam sejenak menyaksikan dua pria tampan berkelahi karenanya. Meski sebenarnya ia bisa dengan mudah menghentikan mereka tanpa memihak, tapi dia malah membalikan badan pergi meninggalkan keduanya. Beberapa langkah Clara menoleh, kebetulan Vano melihat ke arahnya, Calara justru tersenyum tak peduli, masuk mobil dan berlalu pergi.
Clara mencuci wajahnya lalu mematikan lampu kamar dan bersiap tidur, baru saja dia membaringkan badannya terdengar suara teriakan Vivian dari bawah sana.
"Vano, apa yang terjadi sama kamu, Nak? Mas kesini mas tolong bawakan kompres buat Vano!"
Dengan tergopoh-gopoh Andrean datang membawa handuk kecil dan air hangat.
Di susul lagi dengan Bi Narsih membawa P3K.
Clara yang sedari tadi mempehatikan dari atas, akhirnya turun.
Dengan lagak seperti orang yang terbangun dari tidur serta penampilan yang dibikin kucel, Clara bertanya,
"Kakak kenapa?"
Vano hanya diam meringis menahan sakit. Andrean yang menjawab pertanyaan Clara, "Dia berlagak jagoan, entah ngapain saja dia tadi di luar sana, mungkin juga soal cewek, sudah Papa bilang kan, Van. Jangan lagi main perempuan!"
"Papa, sabar Pa, ya sudah, Papa istirahat saja ya, besok kan Papa kerja," ucap Clara meredam emosi Andrean.
Sementara Vivian masih mengompres lebam pada muka Vano.
"Jangan ambil hati kata-kata ayahmu ya, Van. Dia sebenarnya hanya khawatir saja," ucap Vivian
dan dijawab anggukan kecil oleh Vano.
"Ma, susul Papa aja gih, biar Clara yang rawat Kak Vano," ucap Clara duduk di samping Vivian.
Sejenak Vivian menatap Clara untuk beberapa saat dengan ekpresi penuh tanya yang hanya dipendam, tak lama kemudian, Vivian memberikan handuk kecil dari tangannya pada Clara, lalu pergi meninggalkan keduanya.
Clara baru akan mengopres pipi Vano, belum juga menyentuhnya, tangan Vano sudah memegang kuat pergelangan kanannya, dan menatap matanya penuh kekecewaan sekaligus emosi jadi satu.
Hal seperti ini pernah terjadi dua tahun yang lalu, tepatnya setahun setelah Andrean menikah dengan Vivian.
============================
Hawa panas tidak hanya membakar kulit Vano yang berdiri di bawah pohon mahoni depan pagar sekolahan Clara, hal itu juga membuat kerongkongannya kering.
Sesekali dilihatnya arloji yang melingkar di pergelangan kirinya, "Masih kurang sepuluh menit lagi." gumamnya seorang diri. Ia pun menyeberang jalan menuju sebuah mini market untuk membeli sofdring.
Di lihatnya Clara sudah berada di samping mobil saat ia kembali, sepertinya Clara tidak menyadari kedatangannya. Dia masih menoleh kesana kemari mencari keberadaan empunya mobil
Ferrari merah yang terparkir begitu saja.
"Aaaa!" Clara memekik kaget, menyentuh pipinya terasa dingin. Lalu menoleh kebelakang, didapatinya Vano tertawa puas terbahak.
"Jail banget, pake nempelin botol dingin ke pipi," gerutunya sambil memukul lengan Vano.
"Ini, buat kamu!" seru Vano sambil menyodorkan debotol minuman dingin yang baru saja dibelinya dari mini market.
"Ah, Kakak. Aku mencarimu dari tadi," ucapnya sambil tertawa ringan.
"Barusan kakak cari minum, haus," ucapnya sambil memegang lehernya, dan meneguk sebotol minuman yang di tangannya.
Tanpa menjawab Clara langsung meraih botol dari tangan Vano, lalu langsung meminumnya sampai tinggal setengah.
"Bagaimana belajarmu hari, ini?"
"Sangat menyenagkan, karena Jumat tidak ada matematika,"
"Masih saja tidak suka matematika, Ya?"
"Iya, aku lebih suka Reza dari pada matematika," jawab Clara sekenanya lalu tertawa bersama Vano.
Vano memiringkan kepalanya. Melihat fokus di belakang Clara. Raut wajahnya berubah muram. Dengan sangat tergesa, Vano mengajak Calra untuk segera masuk kedalam mobil.
Tidak seperti biasa, belum juga adiknya memasang sabuk pengaman dia langsung tancap gas, dengan kecepatan tinggi.
Clara masih sangat bingung, dilihatnya sang kakak yang serius tatapannya kedepan, "Kak, kenapa sih? Ngejar siapa?"
Vano hanya diam dan tidak menjawan, di sebuah rumah kompleks perumahan Vano memarkirkan mobilnya, dia masih diam. Pandangannya terus lurus kedepan. Lima menit kemudian Vano keluar dengan membanting pintu.
Clara sangat kaget, belum pernah ia mendapati kakak tirinya berlaku sekasar itu, dia hanya melihat dari dalam mobil. Terlihat jelas olehnya sang kakak menghampiri seorang wanita, keduanya sempat cekcok.
Sang gadis akhirnya hanya memilih diam sambil menyembunyikan kedua tangannya dibalik badannya. Masih dengan ekpresi sangat marah Vano meraih kedua tangan wanita itu dengan kasar, menarik paksa cincin dari jarinya lalu membuangnya, dan beberapa uang ratusan ribu tak luput ia rampas dan melemparkan pada wajah wanita itu.
Dengan wajah merah padam Vano kembali ke dalam mobil, dia benar-benar marah, beberapa kali dia memukuli setir mobil sambil terus mengumpat ucapan sumpah serapah pada wanita itu.
Dari situ Clara tau, kalau wanita itu adalah Della kekasih sang kakak yang akan segera ia nikahi, tapi malah berkhianat.
Dengan sedikit ragu Clara menyentuk punggung Vano yang tertunduk kedepan, "Kak, sabar ya! Kan masih ada aku."
Mendengar ucapan sang adik dan merasakan belayannya Vano bangkit memandang Clara lalu memeluknya, "Kenapa, Ra? Semua wanita itu sama. Tidak mama Amanda,tidak juga Della, mereka penghianat. Mereka...."
Clara meletakan telunjuknya di depan bibir Vano. Membuat kata-katanya terhenti, "Tidak semuanya sama, Mama Vivian tidak berkhianat, aku juga tidak pernah seperti itu, jadi jangan pernah punya fikiran seperti itu."
"Tapi, Ra.... "
"Lihatlah aku, sudahlah semua belum terlambat, Tuhan telah menunjukan bahwa dia bukan yang terbaik untukmu, jadi lupakan. Aku akan ada untukmu," ucap Clara lalu memeluk erat Vano berusaha menenangkan.
===========
"Kak, biarkan aku merawatmu," ucapan Clara membuyarkan lamunan Vano.
"dejavu, sekitar dua tahun yang lalu, aku juga penah kau tatap dengan tatapan seperti ini, Kak," ucap Clara lagi.
"Iya, jika dulu aku menatapmu karena kau yang menghapus luka di hatiku, kali ini kau yang memberiku semua ini," ucap Vano enteng, sambil memegangi rahangnya.
"Aku tidak pernah menyuruhmu ikut campur dalam urusanku, seperti halnya kamu membawa wanita manapun ke apartemen, aku cuek!" jawab Clara dengan nada sedikit tinggi.
"Aku tidak bisa kamu di sakiti oleh pria itu," jawab Vano tak kalah tinggi.
"Helo, siapa yang sakit hati karena dia? Memang aku bilang, apa?"
"Kamu benar-benar mencintainya, kan? Kamu tolak Reza demi dia, kalian pacaran sudah lama, kamu mengalami hal serupa .... " kata-kata Vano terpotong oleh jawaban Clara.
"Tidak serupa dengan Kamu dan Dela, karena memang dalam hatiku tidak pernah serius dengan Farel, jika iya, pasti aku sudah mau diajak tidur bersamanya, tapi lihat, itu tidak terjadi, bahkan untuk melampiaskan hasratnya dia rela bayar wanita murahan," ucap Clara tajam. Lalu meninggalkam Vano sendiri di ruang
Keesokan harinya Vano meluangkan istirahat kerja dengan bersantai di apartrmennya yang memang tidak jauh dari kantor, sekitar 5 menit ditempuh dengan berjalan kaki.
Ketika dia asik menonton film luar, tiba-tiba pintu terbuka, dilihatnya Clara yang mabuk berjalan merangkul seorang pria, Vano hanya mematung melihat pemandangan itu, tapi hatinya sangat mendidih ketika melihat Clara mengajak Pria itu masuk ke dalam kamarnya, dan baru 1 jam kemudian Pra itu yang tak lain adalah Reza, keluar.
Tidak menunggu lama lagi, Vano langsung masuk ke dalam kamar Clara, dilihatnya Clara duduk di depan meja rias mengeringkan rambutnya dengan hairdayer
"Uda jadian?" tanya Vano.
"Memang kenapa? Apa pedulimu?"
"Aku tanya dia siapa?" bentak Vano.
"Aku sudah bilangkan, jangan ikut campur lagi dengan urusanku, ingat kita ini bersaudara, kau Kakakku dan sebentar lagi akan menikah, jadi .... " ucapan Clara terhenti, lehernya seolah tercekik menahan tangisnya, dia tak mampu bersuara lagi.
Clara membuang muka dari cermin agar wajahnya tak bisa dilihat Vano yang dia belakangi.
Dengan langkah pelan namun pasti Vano menghampiri Clara, dia memeluk Clara dan mencium ujung kepalanya. "Maafkan aku, Ra. Jujur aku tidak penah menyukai siapapin selain kamu termasuk, Yuna."
Clara tidak menjawab, air mata yang dia tahan sedari tadi malah meleleh dan ditumpahkannya dalam pelukan Vano, dia menangis sejadi-jadinya.
Pelukan Clara semakin erat, seoalah dia tidak mau melepaskan Vano, dia merasa Vano adalah miliknya, begitupun Vano, mereka merasa tidak salah jika saling mencintai, meski orang tua mereka telah menikah, tapi tidak ada hubungan darah di antaranya.
"Aku berusaha menemukan sosok dirimu pada wanita lain, tapi itu mustahil," bisik Vano pada telinga Clara.
Clara hanya diam dalam pelukan Vano. Jantung yang berdegup kencang kembali mengingatkan dirinya saat kelulusan sekolahnya dulu.
==========
Clara berlari kencang menuju kantor di mana papa, mama dan kakaknya bekerja. Dengan senyum lebar dan seragam penuh dengan coretan serta rambut bewarna warni seperti ayam warna, dia berteriak girang, mana kala mendapati orang yang dicarinya tengah berjalan bersama pada koridor kantor, "Papa, Mama, Kak Vano. Aku lulus!" sambil berlari memeluk Vano yang kebetulan berada di depan.
Vano tertawa riang sambil menagkap sang adik, membalas pelukannya, lalu mengangkat tubuh langsing Clara, "Kamu lulus? Selamat, ya!"
Clara menggangguk. Senyumnya terus terukir tanpa pudar, berganti ia memeluk papa mamanya yang turut berbahagia, "Aku juara satu sesekolahan."
"Serius?" tanya Andrean, Vano dan Vivian bersamaan.
"Iyaaaa, kak, nanti aku, Eren, dan Sely mau adain piknik ikut, ya," pinta Clara.
Vana tersenyum dan menggangguk, meskipun tugas kantornya banyak, dia paling tidak bisa menolak permintaan Clara. Apapun itu.
Saat piknik di sebuah gunung, awalnya sangat seru, tapi keseruan itu hilang bagi Clara saat berkali-kali mendapati Eren selalu mencari cara untuk dekat-dekat dengan Vano.
"Kak, Vano! Tolong dong, ini aku jatuh, jalannya licin," manja Eren saat terjatuh di atas lumpur.
Tak lama kemudian Eren berteriak memanggil nama Vano, setelah semua berlari ternyata hanya seekor cacing saja.
"Kamu ini lebay deh Ren, kirain ular, ternyata cacing doang!" jengkel Clara.
"Tapi, ini besar, aku jijik, Ra."
"Kemarin aja lebih besar dari itu kamu gunakan buat nakut-nakutin aku, sekarang ada kakakku kamu kek gitu, apa sih maksutmu?" Clara bernapas keras, lalu pergi.
Setelah beberapa saat ia kembali, mendapati Vano berada didepan Eren sangat dekat, bahkan hampir tak ada jarak antara keduanya. Clara diam mengamati dari balik pohon.
"Aduh, perih banget mataku, Kak," terdengar suara Eren olehnya.
"Tapi tidak ada apa-apa ini, Ren," jawab Vano.
"Coba lihat sekali lagi yang teliti!" ucap Eren menatap ke mata Vano, tangannya memegang kedua tangan Vano.
Clara yang sedari tadi menahan emosi sudah benar-benar mendidih. Kesabarannya habis ditumpahkannya semua emosinya dengan menghampiri keduanya dan menampar keras pipi kanan Eren.
"Maksut kamu apa kaya gini? Kau berusaha merayu Vano? Kamu mau dekatin dia? Dasar ga tau diri!"
Keduanya sangat kaget melihat apa yang Clara lalukan, terlebih Vano. Dia tidak pernah menduga adiknya bisa sekasar ini.
Dengan cepat Vano menarik lengan Clara dan membawanya jauh dari Eren, "Kamu kenapa, sih bertingkah kekanak-kanakkan gini? Tanpa kamu berteriak dan mengatakan, semua tau kalau aku ini kakakmu, bukan kakak Eren ataupun Sely, dia sahabat kamu hanya karna hal sepele kamu menamparnya?" ucap Vano marah.
Clara hanya diam menunduk sambil menangis, "Maaf... Maafkan aku, kak."
"Minta maaflah pada Eren," ucap Vano membuang muka. "Ayo!"
Clara masih bergeming di tempatnya. Sedikitpun ia tidak menggerakkan kakinya, netranya masih terus mengeluarkan bulir bening yang tak dapat ia tahan.
"Ayo, Clara!"
"Tidak!" jawabnya, sambil terus terisak.
Kembali Vano berjalan mendekati adiknya, "Kamu ini, kenapa? Apa yang membuatmu seperti ini?"
"Hari ini kamu terlalu banyak perhatian pada Eren, tidak denganku, padahal saat kau sakit siapa yang selalu bersamamu? Dia? Bukan, kan?"
"Maksut kamu apa, Ra?" tanya Vano, merendahkan nada bicaranya menjadi lebih lembut.
"Aku tidak suka kakak perhatian dengan siapapun selain aku," terang Clara.
Vano berjalan mendekati Clara sambil memandang raut wajahnya yang semakin merah saat ia makin dekat, beberapa detik kemudian Vano memeluk Clara dan meraih tapak tangnya dileatkkan pada dadanya. "Apakah kamu mendengar dan merasakan itu?"
Clara mengangguk, aku tahu. Kamu cemburu dengan sahabatmu sendiri, detakan jantung itu mengatakan, bahwa aku juga memiliki rasa yang sama denganmu. I love you Clara!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 417 Episodes
Comments
key
gak ada flashback.flas on ahhh bacanya. jd bingung tor
2020-11-22
1
Hanni Ulla
mau d bawa kemana alur ceritanya..... tapi Ra popo wes tak ikutane siapa tau endingny lumayan berkesan...
2020-11-22
0
Raihaan Fitra
gimana sih certa y ko gak karuan gini
2020-10-15
1