Benar saja, mereka sudah berkumpul menunggu kedatangan Vano dan Clara.
"Ini papa ada tugas untuk kamu, ke Bandung hari senin Van, ada proyek besar yang harus kamu awasi," ucap Andrean sambil menyodorkan beberapa lembar kertas kepada Vano yang duduk di depannya.
"Senin ini, Pah? Mendadak banget, sih?" protes Vano sambil membuka lembaran-lembaran itu.
"Iya, kamu bisa pergi dengan Raisha asisten kamu, mulanya Papa dan mama yang akan kesana, tapi kami pikir lebih baik kamu saja, karena kelak usaha ini juga kalian yang akan meneruskan."
---------
"Segeralah pulang kalau semua urusan di sana sudah beres," ucap Clara dalam pelukan Vano.
"Iya, Sayang. Aku akan segera pulang.doakan semua berjalan lancar," ucap Vano lembut sambil me gusap belakang kepala Clara.
"Kenapa tidak dengan Irwan saja kamu kesana, aku gak mau kamu dekat dengan gadis itu." Rajuk Clara memalingkan wajah
"Apa kamu tidak percaya sama aku?" Jari-jari Vano meraih wajah Clara yang nampak kesal, menghadapkannya ke arahnya kembali.
"Iya, aku percaya sama kamu, tapi mengertilah aku. Sedikit saja."
"Tidak bisa sayang, Irwan tangan kananku, kalau dia ikut ke Bandung, lalu siapa yang mengawasi di sini? Dan lagi papa sendiri yang meminta Raisha ikut."
Clara diam.
"Ayo pulang!"
Clara engan menjawab, dia semakin mempererat Pelukannya. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh Vano, seolah keduanya lama tak ketemu dan akan berpisah selamanya.
"Seringlah menghubungiku di sana," ucap gadis iru di sela-sela pelukannya.
Clara menatap dalam mata Clara. Tersenyum, lalu mengandeng dan memeluk pingganya, keluar meninggalkan apartemen.
-------
"Hati-hati ya, kalian," ucap Andrean mengantar keberangkatan Vano dan Raisha di depan kantor.
"Iya Pak, kami akan bekerja sungguh-sungguh. Dan tak akan mengecewakan Bapak dan Ibu Vivian," jawab Raisha penuh santun.
Vano memeluk Andran dan Vivian secara bergantian,
"Vano berangkat dulu, Pah. Mama." Mulai melangkah dan melambaikan tangan kepada mereka.
Sepanjang perjalanan Vano hanya berdiam diri. Tidak mengajak Raisha ngobrol sedikitpun, ia fokus mengemudi sambil matanya sesekali melirik layar handphonenya.
Cukup lama, 15 menit berlalu. Vano meraih gawai di sampingnya lalu menelfon salah satu nomor dalam kontaknya. Beberapa kali di telfon tetap tidak ada jawaban. Sepertinya pemilik nomer sedang sibuk.
"Ngobrol saja dengan saya Pak. Dari pada nelfon seseorang tidak diangkat," ucap Raisha yang sedari tadi memperhatikan tinglah Vano.
"Apa yang mau diobrolin?" jawabnya cuek.
"Soal kerjaan mungkin, Pak. Atau kesiapan naskah untuk persentasi."
"Uda kamu siapin, apa belum?"
"Semua beres, Pak."
"Ya sudah."
Lagi-lagi Raisha mendapatkan jawaban cuek dari atasan. Dalam hati dia mengumpat kesal. Sudah dua tahun berkerja sebagai asisten pribadi Vano, tapi tak pernah ada kedekatan apapun, kecuali hal-hal yang menyangkut pekerjaan.
Sesampai di hotel Vano melempar malas tas bawaannya, melonggakan dasi, melepas beberapa kancing teratas dan merebehkan tubuhnya di atas sofa.
Vano mulai memejamkan mata sembari menaruh lengan kanannya di atas wajah menutup dua matanya.
Saat mulai terlelap, terasa getaran dari benda pipih di sampingnya. Segera ia raih berharap itu Clara dan ternyata benar.
"Halo, Sayang."
" .... "
"Kamu kemana saja, dari tadi kutelfon ga diangkat?"
" .... "
"Oh. Iya ini kakak sudah sampai, yaudah, kamu istirahat saja, bye," jawabnya. Kembali melempar ponselnya dan rebahan.
Tiga hari di Bandung, pekerjaan Vano tidak mengalami kendala, dia ingin segera menyelesaikan dan kembali pulang ke Jakarta. Tapi secepat apapun, tetap saja akan memakan waktu minimal satu bulan, karena dia juga mengawasi penggalian pondasi bangunan besar yang akan dijadikan mall dan beberapa perumahan elite di sana.
Sore itu, Vano membuat laporan di ruangannya, terdengar pintu diketuk beberapa kali, "Masuk!" serunya, cuek dan dingin, namun terdengar sexy bagi setiap wanita yang mendengarnya.
Bersamaan dengan itu, pintu terbuka. Sementara Vano tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari laptopnya.
"Sibuk banget, Pak!" seru seorang wanita dari ambang pintu.
Vano menoleh cepat ke arah pintu mendengar suara yang sangat ia kenal itu. Matanya terbelalak kaget, tertegun sesaat melihat gadis cantik dengan kemeja putih lengan panjang, rok model clock seatas lutut bewarna dusty sepatu hak tinggi hitam berdiri di sana sambil melempar senyum terbaik padanya.
Vano masih saja bengong tanpa berkata sepatah kata pun. Sementara gadis itu berjalan mendekatinya tanpa menutup pintu, lalu langsung memeluk dan mencium kedua pipi Vano, "Kaget?" ucapnya sambil tersenyum di depan wajah Vano.
Vano tersenyum kikuk, kamu kemari dengan pakaian terbuka seperti ini, Sayang?"
"Aku kan naik mobil, ya securti aja sih, sepertinya sedikit curi2 pandang ke aku, sama sebagian karyawan mu, mereka semua menatapku."
"Kamu ada izin sama papa dan mama?"
"Iya, aku bilang liburan ke Bali sama Sely dan Eren, kalau aku bilang kemari, jelas tak di izinkan." Gadis itu tersenyum manja duduk berhadapan di pangkuan Vano.
"Dasar nakal," ucap Vano, sambil mencubut ujunh hidung gadis itu.
"Ini sudah jam pulang, Sayang. Apakah kamu mau terus di depan komputer tanpa memandangku?" kesal Clara. Karena sudah hampir dua jam menemani Vano dalam satu ruangan tapi dikacangin.
"Iya, sebentar. Biar semua cepat beres dan bisa segera pulang," ucap Vano tanpa mengalihkan pandangannya.
Clara merasa jengkel, dia duduk di atas meja kerja Vano. Menutup paksa laptopnya melepas kacamata yang ia kenakan. Melingkarkan kedua lengan pada leher Vano dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Vano. "Yakin kamu ga mau sama aku?" bisiknya.
Vano tersenyum tipis, mencium bibir Clara. "Kamu memang benar-benar nakal," ucapnya smabil menggerayangi bagian sensitif Clara.
Clara mengeliat tangannya menjabak rambut Vano. Membuat Vano semkin gencar menyusuri leher jenjang Clara.
"Pak Vano, apakah anda akan langsung ke hotel atau .... "
Vano dan Clara menghentikan Aktifitasnya, menoleh ke sumber suara.
"Maaf," ucap Raisha menunduk, dengan raut wajah merah. " Tadi pintunya tidak ditutup."
"Kamu kalau mau ke hotel, ya kesana saja! Kenapa harus kemari dulu?" jawab Vano cuek.
Dalam hati, Clara merasa bangga dengan pria yang ada di hadapannya. Dia memang sangat cuek dan cool di luar sana dengan gadis mana pun. Tapi tidak dengannya.
"Apakah kalian sekamar?" tanya Clara penuh selidik setelah Raisha pergi.
"Tidak, kamar kami bersebarangan. Dan berjarak 3 kamar, kenapa?"
"Kamu pasti lapar, ayo makan dulu!" ajak Vano.
Clara menurut saja, keduanya mulai meninggalkan ruangan. Sepanjang jalan menuju luar kantor, Clara merasa seluruh karyawan yang kebetulan berpapasan melihatnya dengan pandangan aneh, sementara Vano cuek saja dengan tetap memeluk pinggang Clara dengan tangan kirinya.
Pulang makan malam, Vano mengajak Clara kembali ke hotel, sampai di kamar, ia meminta kepada Vano untuk mandi lebih dulu dengan alasan gerah.
Clara terkejut mendapati bayangan dirinya di depan cermin. Matanya melotot mendapati 2 kancing teratas kemejanya terbuka, bahkan 1 kancingnya lepas, hilang entah kemana. Tanda merah bertebaran di dada sampai leher. Lalu ia berteriak dengan kencang "VANOOOO!" dengan kesal ia keluar kamar mandi, memukuli Vano dengan jengkel.
"Pantas saja orang di kantor pada melihatku aneh, aku kau buat kaya gini. Lihat! Ulahmu, membuat aku jadi berantakan, belahan dada sampai terlihat gini." tangannya masih tkdak mau berhenti memululi Vano.
Vano hanya terkikik geli mendengar omelan Clara, "Salah sendiri ganggu orang kerja." Sambil menjadikan tangannya sebagai tameng dari pukulan wanitanya.
"Aw, cukup Sayang!" teriak Vano.
Clara terus memukukinya. Dia merasa malu teringat bagaimana orang berfikir tentangnya dengan penampilan seperti tadi.
Tak tahan dengan serangan Clara, Vano dengan sigap memeluk Clara. Membawanya ke atas ranjang membekap di bawah tubuhnya sampai ia tak bisa bergerak.
"Kamu ga akan bisa nandingin tenaga pria," ucap Vano lembut di telinga Clara.
"Van, bangkitlah, aku gerah mau mandi," keluh Clara.
"Ga mandi juga gapapa,"
"Ok, pergilah dari atas tubuhku, kamu berat!" seru Clara. Dibalas tawa ringan oleh Vano.
Tapi Vano tidak pergi. Melainkan membalikan posisi Clara berada di atas dirinya. "Cium aku dulu!" pintanya.
Clara ingin menolak, tapi tidak bisa. Mau tak mau dia pun larut dalam permainan Vano.
Tiga hari Clara di Bandung membuat ia semakin yakin. Bahwa hatinya hanya menginginkan Vano, tak peduli yang lain termasuk Farel.
Putus dengan melihat kebusukan pria itu adalah sesuatu bagi Clara. Karena dia tidak mau beredar kebenaran tentang dirinya, bahwa karena kakak tirinya, dia tak dapat mencintai pria lain.
"Kamu hati-hati ya Sayang," ucap Vano sambil memeluk Clara.
Clara mengangguk pelan, tersenyum dan berkata, "Kamu juga jaga diri dan hati kamu ya, jangan nakal."
Menyadari sedari tadi Raisha mengamati keduanya, Clara melirik sinis ke arahnya, tapa sungkan mengalungkan kedua lenganya pada leher Vano, dan dibalas oleh Vano melingkarkan kedua lengannya pada pinggang ramping Clara, lalu mencium bibirnya.
"Bye, aku pergi dulu sayang!" ucap Clara sambil belalu.
Vano diam sesaat, memandang kepergian Clara. Dalam hati dia sedikit menyesal tiga hari sekamar dengan Clara tapi tidak pernah mencoba mengajaknya making love. Hal itu karena ia masih sadar, selama belum menikah, Clara adalah adikknya.
"Pak, Peserta rapat sudah berkumpul di ruangan, bisa kita kesana sekarang?" ucap Raisha membuyarkan lamunan Vano.
Tepat satu bulan Vano dapat menyelesaikan tugasnya. Rasa penuh bahagia, ia segera berkemas kembali ke Jakarta.
Ia sengaja tidak menghubungi orang rumah, termasuk Clara. untuk memberinya surprise.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 417 Episodes
Comments
Nais Putriismanah
wowww
2019-09-09
3
Leni Ani
apa nanti di kantor raisa ngak ngomong yg ngak2 ya sm org kantor..🤔🤔
2019-07-25
7