Mata Fatur, liar mencari sosok yang telah merengut jiwa Astuti. Namun tidak menemukan sosok itu dikelas.
“Kematian telah menantimu Vino. Siap-siaplah akan ada pemakaman lagi. Akan ada kematian menunggumu," teriak Fatur meninju meja kelas. Matanya nanar, menatap disekitarnya. Berharap dia menemukan apa yang dia cari.
"Aku tidak takut, kemarilah! Bunuh aku Fatur. Aku ingin harus ada kematian hari ini. Aku tidak perduli, itu kamu atau aku."
Vino datang dari arah belakang langsung menendang Fatur, hingga tersungkur kelantai. Fatur langsung berdiri, dengan tatapan nanar. Meninju wajah Vino, dengan sekali hantam.
"Kau harus mendapatkan balasan. Dengan apa yang telah kau perbuat." lalu Fatur meninju perut Vino. Hingga membuat laki-laki itu meringis kesakitan, mundur beberapa langkah kebelakang.
“Aku tidak pernah takut denganmu. Jika ada darah kematian hari ini, aku telah siap. Tidak perduli, siapa yang terlebih dulu, kehabisan darah"
Vino sedikit melompat, dan menghantam kepala Fatur. Fatur kehilangan keseimbangan. Vino tidak memberi celah, untuk Fatur memukulnya lagi. Vino menarik krah baju Fatur. Lalu berkali-kali memukul wajah itu, meninjunya dengan keras. Fatur terjerembab kelantai. Vino menginjak injak perut Fatur, dan sesekali menendangnya seperti bola.
Bayangan wajah Astuti, yang bersimbah darah memenuhi pikirannya. Fatur bangkit dengan rasa marah, dan dendam. Matanya tajam menatap Vino, lalu dengan sekali hantam, Vino jatuh kelantai dengan keras.
Perkelahian sengit, lagi-lagi terjadi. Keduanya berambisi, untuk saling membunuh. Kali ini, tidak ada yang bisa melerai keduanya. Siapapun akan dihajar, jika ada yang mencoba melerai.
"Aku akan merengut nyawamu. Atas kematian Astuti." sebuah kursi melayang kearah vino. Namun dengan gesit, Vino bisa menghindar. Amarah Fatur kian memuncak. Bayangan Astuti bersimbah darah menghantui pikirannya.
“Ini semua karena kau Vino. Kau harus membayar semuanya." teriak Fatur.
"Aku terima. Siap-siap juga, nyawamu akan melayang. Seperti gadis yang bernama Astuti itu..."
Lagi dan lagi, kursi melayang mengenai punggung Fatur. Dia masih ingat, dimana Astuti terluka parah dan mengakibatkan dia meninggal dunia.
Fatur kesetanan menerkam mangsa. Dia bangkit mencekik leher Vino. Membenturkan kepalanya kedinding kelas berkali-kali.
“Astuti mati karena kau, Vino!”
Merasa terpojok, Vino mengeluarkan belati, dari saku celananya dan menusuk perut Fatur.
Vino tersenyum sinis.“Dia cuma terlalu ikut campur. Dia pantas mendapatkannya! Lagipula, kenapa dia sok menjadi pahlawan membantumu? Padahal dia hanya wanita. Tempatnya ada didapur, bukan dipertarungan!
“Bangsat kau!" teriak Fatur nanar.
Fatur menendang Vino.
Dia melihat luka diperutnya. Dengan cepat Fatur meraih kursi. Melemparkannya kearah Vino, mengenai kepalanya. Vino terjatuh, kesempatan itu dia pergunakan, menghantam Vino dengan buas. Seperti harimau, kelaparan menemui mangsa.
Tidak ada yang mau kalah. Keduanya memiliki insting membunuh, dan itulah yang saat ini sedang mereka perjuangkan. Vino jatuh bersimbah darah. Sebelum menutup mata, Vino sempat tersenyum dan itu membuat Fatur semakin geram dan terus menendang Vino sampai menemui ajalnya.
“Berakhir sudah kehidupan aku didunia. Selamat tinggal dunia... Dunia tanpa aku, semua akan baik-baik saja. Aku tanpa dunia, menyedihkan...” Vino menutup mata.
Fatur tersenyum penuh kemenangan. Polisi segera menangkapnya. Fatur dengan berani memberikan perlawanan.
Tidak ada cara lain, untuk melumpuhkannya, selain menembaknya dibagian betis. Itupun Fatur masih melakukan perlawanan, sebelum tembakan kedua mengenai betisnya lagi.
Di sore yang mendung. Halimah di kejutkan oleh sirine polisi yang berhenti di depan rumahnya. Seketika jantung Halimah berdegup kencang. Hatinya menjadi risau. Tiba-tiba ada perasaan akan terjadi sesuatu yang buruk. Perlahan dia mendekati pintu. Tangannya gemetar membuka pintu dan mendapati dua orang polisi membawa kantong jenazah.
Seketika Halimah terhenyak. Biasanya rumahnya dihiasi kesunyian dan derita. Kini mendadak ramai untuk menyambut kedatangan putranya. Penyambutan terakhir. Kini orang-orang yang dulu membenci putranya, seketika menjadi lebih peduli pada sang putra.
“Bu Halimah..." suara seorang petugas polisi terdengar berat.“Kami membawa anak ibu...”wajah Halimah seketika memucat.
“Sesuatu yang buruk telah terjadi pada anakku.”bisiknya.
Halimah mendekati kantong jenazah, “Mungkinkah ini anakku? Kenapa kalian memasukkannya ke dalam kantong ini? Nanti anakku sulit bernapas! Apa kalian mau bertanggung jawab, jika terjadi sesuatu pada anakku?" ucap Halimah mencoba menepis pikiran buruk di kepalanya. Seorang warga mencoba menenangkannya.
“Sabar bu...”ucap wanita itu mengusap-usap pundak Halimah.
Saat kantong jenazah itu dibuka, bibir Halimah gemetar melihat akhir dari hidup anaknya. Berakhir mengenaskan. Wajahnya pucat dan penuh luka.
“Ya allah...” lirih Halimah memeluk putra tunggalnya itu.
“Apa yang mereka lakukan padamu nak? Kenapa kamu berakhir seperti ini?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Bayangan masa lalu memenuhi pikirannya. Ia melihat Vino kecil berlari-lari bermain di rumahnya. Wajah polosnya begitu meneduhkan. Vino kecil berlari keluar rumah, memetik setangkai bunga untuk ibunya.
“Untuk ibu...”ujar Vino tersenyum. Halimah meneteskan air matanya mengingat Vino kecilnya.
“Saat Vino udah besar. Vino akan buat ibu bahagia...” Halimah bergetar menahan tangis dan sesak di dadanya. Sekarang anaknya sudah pergi meninggalkannya, tanpa bisa mewujudkan cita-citanya yang sungguh mulia. Halimah tersedu-sedu. Dia bukan hanya karena kehilangan Vino. Tapi juga ada penyesalan, tidak bisa mewujudkan keinginan terakhir anaknya.
“Ini semua salahku...”gumamnya. “Kalau saja aku bisa memberikan kehidupan yang lebih baik. Mungkin kamu tidak seperti ini nak. Seandainya aku bisa melindungimu...” Halimah semakin erat memeluk jenazah anaknya.
Melihat Halimah tidak mau beranjak dari anaknya. Para warga mencoba membujuk wanita tersebut.
“Ayo bu, kita bawa Vino ke dalam. Kasihan dia pasti kedinginan diluar..." ujar para warga. Halimah melepaskan pelukannya, namun dia kembali memeluk putranya.
“Biarkan aku yang membawanya kedalam. Dulu dia sering kugendong, sekarang biar aku gendong dia untuk terakhir kalinya...” Halimah membuka kantong jenazah itu perlahan, dan membopong Vino yang sudah kaku, masuk kedalam rumah.
Saat hendak memasuki rumah. Lamunannya kembali kemasa lalu. Teringat Vino kecil, memohon pada ibunya untuk pergi dari rumah. Supaya mereka tidak harus menghadapi ayahnya yang kasar lagi. Namun karena kecintaannya pada sang suami, dia mengabaikan permintaan itu.
“Kita harus kuat Vino. Semuanya akan menjadi lebih baik...” kata Halimah saat itu.
Halimah memandikan anaknya untuk terakhir kalinya. Dia juga ikut mengkafankan anaknya.
Tangannya gemetar menyentuh jenazah anaknya dan mencium berkali-kali wajah sang anak, untuk terakhir kalinya sebelum dikebumikan.
“Selamat jalan nak... Semoga rasa sakitmu, dihadiahkan surga oleh Allah...” ucap Halimah getir.
Dipenjara
Jeruji. Rumah terakhir Fatur, tidak ada duka ataupun penyesalan, terukir diwajahnya. Dia tersenyum puas, dengan aksi balas dendamnya.
Dipenjara, dia kedatangan tamu yang sangat dia benci.
“Mau apa kau datang menemuiku? Puas! Telah membuat hidupku hancur. Aku tidak membutuhkanmu menjenguk laki-kali malang ini."
"Aku turut prihatin, dengan apa yang terjadi padamu." wanita itu, terlihat sedih.
"Jangan katakan itu. Katakan saja kau bahagia. Tidak perlu berpura-pura..." Fatur menatap wanita yang ada dihadapannya, dengan wajah dingin.
“Aku masih menginginkanmu..." terlihat ada linangan dimata wanita tersebut.
“Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan itu padaku?" Fatur tersenyum getir.
"Sedangkan kau memiliki hubungan dengan ayahnya sendiri. Sungguh memalukan dirimu..."
Fatur menatap mata Eva tajam. Seakan-akan ingin menembus mata itu, dan merobeknya seperti kertas.
“Lihat Astuti," Fatur menarik nafas, panjang.
“Dia mati dengan tenang. Karena telah menyelamatkan seseorang, dari perkelahian yang tidak seimbang. Berbeda jauh dengan kau, yang hanya bisa menjual dirimu sendiri demi harta. Pergi! Atau kau akan bernasib sama dengan Vino!..."
Fatur menatap Eva sinis, dan akhirnya Eva meninggalkan tempat itu, dengan perasaan sedih.
“Apa motifmu melakukan pembunuhan itu?” tanya polisi.
“Hanya ingin membunuh." jawabnya dingin, tanpa sedikitpun memperlihatkan emosi.
“Apa masalahmu dengannya?”
“Pembalasan dendam.”
“Atas apa?”
“Kematian”
Polisi mendekat, menatap tajam Fatur, “Kematian siapa?
“Seorang teman.”
“Kenapa dia membunuh temanmu?”
“Balas dendam.”
“Balas dendam apa lagi ini? Jangan bertele-tele, jawab jujur!”suara polisi meninggi. Fatur tersenyum tipis, lalu menatap tajam sang polisi.
“Kami sudah lama menyimpan dendam dimasa lalu. Dia ingin membunuhku, tapi temanku yang mencoba melindungimu, akhirnya mati ditangannya.”
Polisi terdiam sejenak, lalu berkata dengan lirih.“Kamu tahu ini bukan akhir kan?”
Fatur tertawa kecil, menatap polisi datar. Suara dinginnya bergema membuat orang bergidik ngeri saat mendengarnya.
“Bagiku ini hanyalah permulaan.”
“Permulaan apa?”tanya polisi dingin. Fatur mencondongkan tubuhnya, matanya penuh ancaman.“Permulaan untuk kehancuran mereka yang menghancurkan hidupku. Satu persatu mereka akan kubawa ke neraka, sama seperti dia. Akan ku ajarkan rasa sakit yang sebenarnya itu seperti apa!”
Polisi menghela napas berat,“Kau tahu kau tidak akan bisa melarikan diri.”
“Aku tidak akan pernah berlari. Aku akan menunggu. Menunggu kehancuran itu tiba. Karena selalu ada giliran untuk semua orang, termasuk anda. Fatur berucap dengan nada sinis.
Polisi mencoba menguasai diri,“Kau mengancam petugas, Fatur? Apa kau sadar apa yang kau bicarakan?”
Fatur tersenyum dingin, menatap lurus ke arah polisi.“Ancaman? Tidak. Aku mengatakan fakta. Keadilan tidak ada di dunia ini, jadi aku mengambilnya dengan caraku sendiri.”
Polisi mengetuk meja, suaranya tegas. “Keadilan macam apa yang kau maksud? Kau hanya pembunuh. Tak lebih. Sama seperti dia. Apa dengan kau membunuhnya, kau merasa hebat dan masalamu terselesaikan? Kamu salah.”
Fatur tertawa kecil, suaranya tajam. “Orang-orang sepertiku akan mengatasi masalah dengan seperti itu. Karena di jiwa orang sepertiku, tidak ada rasa sabar dan tawar menawar. Aku tahu kau tidak akan mengerti. Keadilan milik mereka yang berani mengambilnya, bukan yang bersembunyi di balik meja dan lencana, juga kekuasaan. Apa yang kau mengerti tentang hidup dan keadilan? Mereka yang benar-benar mengerti itu, hanya mereka yang merasakan langsung.”
Polisi mengencangkan rahang, berusaha tetap tenang. “Mungkin kau merasa menang sekarang, tapi setiap langkahmu sudah terhitung. Penjara akan menjadi akhir dari hidupmu!”
Fatur membungkukkan badannya sedikit ke depan, wajahnya mendekati wajah polisi.
“Penjara bukan akhir! Ini baru awal dari pertualanganku. Ini hanya tempat persinggahan sementaraku. Dan ketika aku keluar...” Fatur menghentikan sejenak kata-katanya, menatap polisi dingin.
“Akan lebih banyak nyawa yang harus di bayar dengan nyawa.”
“Kau benar-benar devil.”Polisi menyipitkan matanya, mengamati ekspresi Fatur.
Fatur tersenyum datar, suaranya pelan tapi menusuk. “Devil? Tidak. Aku hanyalah bayangan mereka yang pernah kau abaikan.”
“Kau bicara seolah-olah dunia berhutang padamu. Tapi faktanya, kau hanyalah seorang pengecut yang takut menghadapi hidup. Tegar lah dikit Fatur. Jangan memikirkan setiap apa yang kau lakukan itu adalah benar. Ini penghilangan nyawa seseorang! Apa kau tidak berpikir, bagaimana tanggapan ibunya melihat anaknya seperti itu? Sadar Fatur. Kau masih muda, masih banyak hal positif yang bisa kau lakukan.”
Fatur tertawa kecil,“Pengecut? Jika seperti itu, mari kita lihat siapa yang terakhir berdiri dengan tegak. Kau? Aku? Atau mereka yang mengangap diri mereka tak tersentuh.” Fatur berhenti sejenak, menunduk, lalu menghela napas panjang.
“Hanya satu tanggapan dari ibunya. Menangis. Setelah itu dia akan normal kembali. Seakan-akan tidak ada sesuatu terjadi padanya!”
Polisi menghela napas panjang, merasa perdebatan mereka tidak akan berakhir. “Kau tahu, cepat atau lambat, permainan ini akan berakhir. Dan kau hanya akan jadi satu nama di antara tumpukan file.”
Fatur menatap tajam, suara pelannya hampir berbisik.“Kalau begitu, pastikan namaku adalah yang terakhir mereka sebut, sebelum mati."
Vino yang malang
Vino seorang pria yang suka bertindak usil, terutama pada Fatur. Jika ditelurusi lebih jauh, dia tidak berbeda dengan Fatur. Hidupnya penuh dengan kesengsaraan, yang jarang diketahui orang.
Sejak kecil, dia telah terbiasa dengan kerasnya hidup. Ayahnya seorang pria yang kasar, suka mabuk dan marah-marah, juga suka bermain wanita. Yang membuat Halimah dan Vino sangat malu adalah, saat sang ayah mengirimi surat mau menikahi adik iparnya sendiri. Satu kampung heboh, dan membuat Halimah dan Vino jadi cemoohan orang. Kejadian itu membuat hubungan Halimah dan ibunya renggang selama 10 tahun.
Sering kali Halimah mendapat kekerasan fisik dari suaminya. “Kau membuatku gila!”
Suara sang ayah bergema, diikuti suara tamparan yang keras. Vino hanya bisa berdiam diri, menahan napas. Dia ingin berteriak, ingin melawan, tapi tubuhnya kaku. Jika dia melawan, nasibnya akan sama seperti ibunya. Tak jarang dia juga sering ditampar, dihajar oleh ayahnya, jika membela sang ibu.
“Jangan pernah ikut campur, Vino!” kata-kata itu sudah dia sering terdengar.
Malam harinya, ketika semuanya hening, Vino hanya bisa memeluk bantalnya erat, meninju bantal itu dengan kasar. “Kenapa harus aku Tuhan? Kenapa harus kami yang menderita?” pikirnya, menahan tangis.
“Sudahlah Halimah, ini semua salahmu!” teriak ayahnya, dan membuat dada Vino semakin sesak. Rasa sakit itu, semakin hari semakin besar. Seperti bom waktu yang siap meledak, kapan saja.
“Kenapa harus aku yang merasakannya?” pikir Vino. Dia belajar untuk tidak memperlihatkan kelemahannya. “Aku tak akan menangis,” gumamnya dalam hati, meski air matanya hampir saja keluar.
Di sekolah, Vino menunjukkan sisi lain dirinya. Dia menjadi pribadi yang keras, acuh tak acuh, meski hatinya hancur.
“Jangan coba dekat-dekat, Fatur,” kata Vino dengan nada dingin setiap kali Fatur mencoba mengajaknya bicara. Fatur hanya menatap Vino bingung, sesekali Fatur juga ingin berteman sama Vino, walaupun Vino suka jahat padanya. Namun Vino tak peduli. Lebih suka membully Fatur.
Di dalam dirinya, Vino merasa iri. “Fatur... Kamu bisa jadi dirimu sendiri. Sedangkan aku, aku hanya bisa menyembunyikan semua rasa sakit ini. “Fatur selalu sendiri, membaca buku dan menulis, menikmati dunia yang jauh kegilaan dunia ini...” Vino juga ingin merasakan kebebasan, tapi hidupnya selalu dipenuhi teriakan, makian, dan pukulan.
“Kenapa hidupku seperti ini? Kenapa aku tak bisa bahagia?” bisiknya dalam hati.
Namun setiap kali menjahili Fatur, Vino selalu merasakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dalam dirinya. Justru itu tidak membuatnya senang, tidak membuatnya bahagia, melainkan kehampaan yang selalu mendera.
Terkadang melihat Fatur yang penuh harapan, membuatnya tersakiti. Ada perasaan iri. Fatur begitu sempurna, sedangkan dirinya hanya secercah sampah tak berguna.
Sepulang dari sekolah, tidak sengaja Fatur bertemu dengan Vino yang memasang senyuman sinisnya. “Mau kemana Fatur? Apa kamu sedang berusaha memperbaiki dunia?” sindir Vino menyenggol bahu Fatur dengan kasar. Dia tertawa penuh cemoohan.
Fatur hanya diam, karena dia tau Vino hanya berusaha menganggu. Tiba-tiba Vino berhenti tertawa dan melangkah mendekati Fatur. “Kamu tidak tahu, kan? Betapa berat hidup ini. Kamu bahkan tidak tahu rasa sakit yang aku rasakan,” kata Vino dengan suara rendah, nyaris tak terdengar.
Fatur yang terkejut, menatap Vino dengan ekspresi penuh empati. “Apa yang terjadi, Vino? Kamu tidak harus bertindak seperti itu. Ada cara lain untuk menghadapinya.”
Vino hanya tertawa kecut, “Kamu pikir hidup itu mudah? Kamu bisa menikmati hidupmu. Semantara aku, aku hanya sampah tak berguna.” Katanya dengan suara bergetar.
“Aku sudah lama dipenuhi rasa benci, Fatur. Benci pada diriku, pada dunia ini.”
“Kamu tidak perlu membenci dirimu sendiri, Vino. Kita semua punya masa lalu yang sama-sama sulit. Tapi kita punya pilihan untuk berubah."
Beberapa tahun kemudian.
Fatur hanya di hukumi penjara selama tiga tahun dan rehabilitas atas permintaan ibu Vino sendiri. Selama di penjara dia juga bisa melanjutkan sekolahnya di lembaga pemasyaratan. Kini umurnya 21 tahun, saat keluar dari penjara.
Fatur kembali dengan wajah baru. Dengan segala kejahatan, yang dia lakukan untuk kesenangan dia sendiri. Bukannya tobat keluar dari penjara. Malah makin membuatnya mengila, melampiaskan amarah yang terpendam.
“Satu yang aku suka, saat dimana semua orang membenciku... Hujan. Aku suka hujan. Hujan mampu menenangkan jiwaku. Aku suka bermain dengannya... Hujan mampu membuatku nyaman.”
Fatur merentangkan, kedua tangannya mengadah wajahnya, kelangit. Hujan semakin deras, turun membasahi tubuhnya yang sudah basah kuyup.
Aku hidup beratapkan langit, berlantaikan bumi. Ini lah hidupku yang sekarang. Anak jalanan, suka buat onar, mencuri, menjadi kebiasaanku.
Fatur memejamkan matanya. Mencoba mencari ketenangan, dari setiap tetesan hujan yang membasahi setiap inci, tubuhnya.
Senyum terukir diwajahnya, tubuhnya berputar-putar. Menikmati ketenangan hati, yang didapatnya hari ini.
Dia tersenyum bahagia, saat seorang wanita memeluk tubuhnya dari belakang. Fatur mencium, punggung telapak tangan wanita itu, dan membawanya berdansa.
Orang-orang yang lewat, yang tidak mengenal Fatur, akan mengangapnya gila. Tapi jika orang-orang yang sudah terbiasa, melihat penampakkan seperti itu, malah mengangapnya biasa saja. Karena mereka sudah sering melihat Fatur selalu menari, saat hujan turun.
"Gila dimata orang, tidak sebenarnya gila dimata diri sendiri... Itu hanya cara orang, mengekpresikan suasana hatinya... Setiap manusia, berbeda-beda cara untuk membahagiakan diri sendiri..." by Fatur.
Tak jarang, Fatur sering diteriaki gila, oleh bocah-bocah, yang melewatinya.
Masalalu tahun 2015
Aku ingin bangun dipagi hari yang tentram. Bukan pagi hari, yang membuat segala amarah memuncak.
“Sekarang kita cerai... Kamu bukan lagi istriku." Hasan menarik nafas panjang. Matanya berbinar, menatap wanita didepannya itu, dengan kesal dan beribu dendam telah bersemayam didadanya berpuluh-puluh tahun lamanya.
“Kau penghianat. Tidak tau diri, bahkan tidak tau berterimakasih sedikit pun." serang Zainab balik, tidak mau kalah.
“Kau yang lebih dulu memulai." jawab Hasan sinis. Hasan melangkah keluar rumah.
Sebelum dia benar-benar pergi. Hasan melirik kearah keempat anaknya. Yang dari tadi menyaksikan pertengkaran mereka dipagi itu. Tetapi ego dan amarah mengalahkan cinta dan sayang. Laki-laki yang berumur 50 tahun itu berjalan dengan cepat, keluar dari rumah tersebut. Dengan cepat menggas motornya, meninggalkan perkarangan rumahnya. Melaju dengan kecepatan tinggi. Beda lagi, dengan sikap Zainab. Bukannya menyesal dengan keadaan, malah mengumpat laki-laki, yang baru saja menjadi mantan suaminya itu.
“Mulai dari sekarang, kau dan adik-adikmu, tidak lagi tanggung jawab ibu. Kalian tanggung jawab ayahmu. Pergilah keayahmu. Kami telah berpisah.”
Zainab segera mengambil tasnya, dan keluar dari rumah, tanpa menoleh sedikit pun kepada anak-anaknya. Fatur menatap kepergian ibunya, dengan tatapan penuh kebencian. Ada api dendam yang membara dihatinya. Menurutnya, ayah dan ibunya belum cukup dewasa. Mengurus rumah tangga dan mengambil sikap yang benar.
Melinda sibuk menenangkan adik bungsunya yang terus menangis. Ditinggalkan oleh kedua orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Sedangkan Fatih, anak ketiga dari empat bersaudara itu nampak acuh dengan keadaan. Dia tidak mau, ambil pusing dengan suasana yang kacau itu.
Hujan turun sangat deras malam itu. Seperti tahu, ada yang sedang berduka karena dibantai habis-habisan oleh keadaan. Fatur menyelusuri jalan demi jalan tanpa tahu arah tujuan. Dia menatap langit sendu, membiarkan rintikkan hujan membasahi tubuhnya.
Mengadah kepalanya kelangit, lalu berteriak sekencang-kencangnya seperti orang kesurupan. Dia merasa dunia telah mempermainkannya seperti bola. Menghinakannya seperti piala bergilir. Direndahkan, lebih hina daripada pelacur dan dia telah keluar sebagai orang yang kalah dalam pertempuran.
"Tiada yang lebih hina, dan menyakitkan daripada ini. Dikhianati oleh manusia dan tuhan..." ucap Fatur getir.
“Aku membencimu Tuhan. Percuma aku berdoa dan menangis dihadapanmu. Tapi engkau acuh. Bahkan tak pernah mendengar teriakkan kesakitanku, keputusasaanku. Kau kejam, sangat kejam. Aku telah kehilangan semua yang aku miliki, disebabkan dirimu. Kembalikan lagi semua yang aku miliki tuhan. Kembalikan..." teriak Fatur putus asa.
Fatur mengacak-acak rambutnya marah dan tersungkur frustasi. Hujan semakin lebat dan petir terus-terusan menyambar.
“Sabar Fatur. Tuhan sedang mengujimu... Mengujimu... Sampai dimana kau sanggup bersabar dan bertahan." seseorang mendekati Fatur, mengusap-usap pundaknya.
“Apa, sabar?" Fatur menatap bola mata wanita yang berdiri didepannya itu sendu. Dia tersenyum kecut, dan tertawa tanpa suara.
"Kau menyuruhku untuk bersabar? Kurang sabar apa lagi aku ha? Selama 23 tahun, hanya ada pertengkaran, dan penderitaan yang tidak pernah usai. Selama itu aku bersabar dan terus bersabar. Berharap, akan ada sepercik pelangi menghiasai hidup ini. Sedikit mentari menerangi kegelapan keluarga kami..."
"Namun semuanya hanya mimpi, berselimutkan duka. Bahkan tuhan saja, tidak peduli dengan kehidupan kami. Kau berani mengatakan aku harus sabar. Karena kau, sama sekali tidak pernah mengalami berada diposisiku saat ini. Jika kau berada diposisiku sebentar saja. Kemungkinan besar, kata itu tak pernah terucap dari mulutmu."
Fatur terus menatapi wanita itu tanpa berpaling sedikit pun. Membuat wanita itu semakin jengah dan merasa terpojok. Secara, selama ini, dia hidup tak pernah merasakan kekurangan apapun. Karena dia telah memiliki apapun yang tidak dimiliki orang lain. Dia termasuk orang berada, dikampungnya.
Wanita itu menarik nafas pendek, "kau salah Fatur. Tuhan peduli, bahkan sangat sayang padamu. Masalahmu, salah satu cara Tuhan memperhatikanmu dengan diberi masalah. Maka kau, akan selalu ingat dan terus berdoa kepadanya. Tuhan itu maha adil. Tidak pernah membeda-bedakan umatnya. Tuhan tidak menurunkan suatu masalah melampaui batas kemampuan umatnya. Tuhan tahu kau kuat, tidak selemah yang kau pikirkan.
Wanita itu sangat hati-hati dalam bicaranya. Karena dia tahu, lawan bicaranya itu bisa berubah menjadi iblis, saat seseorang mengusik kehidupan pribadinya. Fatur menatap wajah cantik itu, tanpa berkedip sedikit pun. Dia mengeleng-gelengkan kepalanya cepat.
"Jika Tuhan adil, dimana saat aku terjatuh? saat aku terpuruk? Mengapa dia terus menyiksaku? semua yang aku miliki, tidak pernah bertahan lama. Satu persatu meninggalkanku dalam kehancuran.”
Fatur tertunduk lesu, menyembunyikan tangisnya. Melihat keadaan semakin tidak membaik, wanita itu berinisiatif membawa Fatur menaiki motornya, dan pergi kerumahnya.
“Apa sebenarnya yang terjadi Fat? Kenapa kau terlihat frustasi?" tanya Astuti memberikan handuk, dan pakaian ganti kepada Fatur, saat mereka sudah dirumah Astuti. Fatur meraih handuk dan pakaian ganti itu dalam diam.
“Semuanya mengkhianatiku, bahkan Tuhan saat ini sangat membenciku. Tidak salah, jika aku sangat membenci hidup ini..."
Fatur berlalu dari hadapan Astuti, menuju kamar hendak berganti pakaian.
“Apa ini masalah ayah dan ibumu?" Astuti menguntit dari belakang.
"Mereka telah bercerai," jawab Fatur singkat. Dia menghentikan langkahnya, menatap mata Astuti lekat. Tangannya mengelus-elus lembut rambut Astuti.
"Hidupmu sangat beruntung, sedari kecil hingga sebesar sekarang, kau tak pernah merasakan kepahitan hidup. Kau harus bersyukur, dan jangan biarkan seseorang merusak kebahagianmu.”
Fatur mendengus pelan, segera memasuki kamar, tanpa menatap lawan bicaranya.
Fatur duduk dipinggir ranjang, pintu diketuk. Fatur menoleh, terlihat kepala Astuti muncul dibalik pintu.
“Boleh aku masuk?" tanya Astuti menjulurkan kepalanya dari balik pintu.
“Silahkan" segera Fatur mengalihkan pandangannya kearah lain. Astuti duduk disamping Fatur. Astuti menatap Fatur dalam diam, sedangkan Fatur hanya menunduk menatap lekat lantai marmer kamar. Astuti mengusap-usap pundak Fatur perlahan.
“Kamu yang sabar ya”
Astuti tersenyum kearah Fatur yang juga meliriknya sekarang. Namun Fatur kembali menatap marmer lantai, sesekali matanya menelusuri setiap senti ruangan. Lalu dia berdiri berjalan perlahan, dan berhenti ketika didepan jendela. Matanya tajam kedepan menembus kaca jendela, lalu menghembus nafas panjang, melipatkan kedua tangannya kedada.
“Aku pernah memimpikan semuanya, akan berakhir happy ending, namun semuanya berakhir menyedihkan. Aku hidup dibawah keegoan orang tua, dimana mereka hanya haus dengan kepuasan dan kepentingan mereka sendiri." Fatur mengusap-usap wajahnya dengan kasar.
“Aku tidak pernah membayangkan ini semua terjadi. Penderitaan ini tidak akan pernah berakhir. Ini adalah awal kehancuran kehidupan Fatur Hasan Bahri." matanya nanar menatap keluar jendela. Dia berdiri mematung, dan tersenyum kecut.
“Sedari kecil, aku tak pernah merasakan kebahagian, kasih sayang dari kedua orang tuaku, yang hanya sibuk berperang mulut setiap harinya..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!