NovelToon NovelToon

Takdir Hidup Fatur Hasan Bahri (Derita Menuju Cahaya)

Akhir yang berdarah

Pagi itu Fatur Hasan Bahri memasuki kelas dengan tatapan tajam dan perasaan yang penuh emosi. Dia mengenggam kuat tangannya. Emosinya naik turun. Ada rasa benci dan dendam di matanya.

Kelas yang biasanya sangat riuh oleh penghuni kelas, ini terasa sunyi. Hanya ada rasa benci dan kemarahan yang kini menguasai diri Fatur. Anak-anak di kelas itu pun nampak ngeri melihat ekpresi wajah Fatur.

Fatur yang dulu seorang kutu buku kini berubah menjadi singa lapar dan siap memangsa siapa saja.

Kemarahan itu bukan didasari tanpa alasan. Malam kemarin sahabat kecilnya telah dibunuh, dan kini dia hendak membalaskan dendam itu.

Dia tidak akan membiarkan pembunuh Astuti, sahabatnya berkeliaran dengan bebas tanpa konsekuensi.

Mata Fatur liar menatapi seluruh ruangan, mencari sosok yang telah membunuh Astuti. Namun sosok yang dia cari tidak ada dikelas. Dia meninju meja dengan cukup keras, membuat anak-anak dikelas itu kaget.

“Akan, ku buat dia seperti Astuti. Dia harus mati,” teriaknya dengan emosi.

“Kematian telah menantimu Vino. Hidupmu akan berakhir. Aku pastikan kau menerima konsekuensi dengan apa yang telah kau perbuat. Dimana kau.” teriaknya menggelegar diseluruh ruangan. Matanya nanar, penuh dengan kemarahan yang tidak terbendung.

Fatur terdiam, saat mendengar langkah berat di belakangnya. “Aku tidak takut.” suara itu terdengar dingin, tajam, menusuk relung hati Fatur.

Fatur tersenyum dingin.

“Vino...” ucap Fatur dengan suara tidak kalah dinginnya.

Sorot matanya tajam, seperti ingin mencabik-cabik orang yang ada didepannya.

“Baguslah kamu menyerahkan diri, tanpa perlu aku susah mencarimu.” seru Fatur.

Vino tersenyum dingin.

“Aku yang akan membunuhmu Fatur.” ketus Vino.

“Baiklah, kita lihat siapa yang lebih dulu membunuh.” jawab Fatur dengan dingin.

Tanpa aba-aba dia meninju wajah Vino, membuat pria itu terjatuh di lantai. Fatur tersenyum sinis.

“Belum apa-apa kau sudah tumbang Vino. Dimana kekuataanmu?” cemooh Fatur.

Vino mengelus sudut bibirnya yang berdarah. Dia tersenyum dingin dan bangkit menghajar Fatur.

“Jangan terlalu sombong. Aku bisa saja membunuhmu.” dengus Vino.

Fatur tersungkur dilantai. Dengan sekuat tenaga Fatur bangkit dengan segala kemarahan di pikirannya. Dia kembali menghajar Vino, Vino juga melakukan pembalasan.

Sedangkan siswi dikelas nampak meringis melihat dua pria itu saling menyerang, dan bahkan ada beberapa berteriak saat pukulan demi pukulan menghantam keduanya.

Perkelahian itu semakin tidak terkendali. Tidak ada yang berani melerai. Siapa pun yang mencoba melerai, mereka akan menjadi sasaran empuk bagi keduanya. Mereka dihajar tanpa ampun.

“Kau terlalu lemah, Fatur.” ujar Vino mengejek membuat Fatur semakin tersulut emosi.

Dia mengambil kursi yang ada didekatnya dan melemparnya ke arah Vino. Namun Vino dengan gesit bisa menghindar.

“Astuti hanya bisa menjadi pahlawan kesiangan. Sama sepertimu. Kau dan dia pantas bersama-sama di neraka sana.” hardik Vino.

Kembali Fatur menyerang Vino, dia menendang tulang rusuk Vino. Merasa terdesak, Vino meraba-raba saku celananya dan dia mengeluarkan belati.

Dan...

Srekk!

Fatur terdiam. Matanya melotot menatap Vino dengan kebencian. Dia merasakan sesuatu yang tajam menembus perutnya.

Vino menyeringai, “Astuti mati, karena dia terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Kau dan dia tidak ada bedanya, sama-sama bodoh.”

Darah segar mengalir deras dari perut Fatur. Dengan sekuat tenaga, Fatur menendang Vino hingga terjungkal. Dentuman keras terdengar, saat kepala Vino menghantam lantai.

Namun sebelum kehadirannya sepenuhnya hilang, Vino sempat tersenyum membuat Fatur semakin berang.

“Berakhir sudah kehidupan aku di dunia. Selamat tinggal dunia. Dunia tanpa aku semuanya akan baik-baik saja. Aku tanpa dunia, menyedihkan.”

Dia menginjak perut Vino berkali-kali hingga Vino menemui ajalnya ditangan Fatur. Fatur tersenyum puas. Dia merasa senang telah membalaskan dendamnya atas kematian sahabatnya.

Bayangan Astuti bersimbah darah memenuhi pikirannya. Dia tersenyum getir, dan dia terduduk diatas lantai.

“Dia sudah mati As. Aku sudah membalaskan dendamu.”

Dia menghela napas berat, “Tapi tetap saja kau tidak akan pernah kembali lagi. Aku tetap kehilangan dirimu, walaupun pembunuhmu telah mati.” ucapnya mengusap-usap wajahnya dengan kasar.

Serine polisi bergema di luar gedung kelas. Perkelahian itu telah mencapai akhir yang berdarah.

Takdir sudah menetapkan seorang anak remaja menemui takdirnya menghadap ilahi.

Serine, polisi yang bergema disepanjang jalan membuat perhatian para warga teralihkan. Di sore yang mendung mereka dikejutkan dengan serine polisi dan ambulan. Mobil ambulance polisi berhenti di sebuah rumah tua dengan cat rumah yang sudah mulai mengelupas.

Seorang perempuan, setengah baya bernama Halimah dengan wajah penuh garis kesedihan, sedang duduk di kursi ruang tamu.

Tatapannya kosong menatap jendela, seperti tengah menanti sesuatu. Tapi dia tidak tahu apa yang dia nanti.

Perhatiannya teralihkan saat mendengar serine polisi dan ambulance berhenti di depan rumahnya. Pintu rumahnya diketuk dengan pelan. Dadanya langsung berdebar. Dia bingung saat melihat ada dua orang polisi saat membuka pintu.

“Bu Halimah...” ucap seorang petugas polisi terdengar berat namun tegas.

“Kami, membawa pulang anak ibu.” seketika Halimah membisu.

Sejenak darahnya berhenti mengalir.

Matanya tertuju ada kantong jenazah. Perlahan dia melangkah mendekati kantong jenazah itu.

Tangannya tiba-tiba bergetar. Perlahan dia membuka resleting kantong jenazah tersebut.

Halimah membeku. Seketika airmatanya menetes begitu deras.

Wajah Vino yang pucat, penuh luka-luka adalah pemandangan yang mengiris hatinya saat pertamakali membuka kantong jenazah.

“Kenapa akhir hidupmu menjadi tragis seperti nak?” tanya Halimah dengan suara gemetar.

Seorang wanita dari kerumunan orang yang datang melihat keadaan pun mendekati Halimah.

“Sabar ya bu. Ayo kita bawa nak Vino kedalam. Semua orang tahu, dia anak yang baik.”

Halimah hanya diam menatapi sang putra dengan tatapan sendu.

“Siapa yang melakukan ini padamu nak? Jika mereka tahu betapa menderitanya hidupmu didunia, apakah mereka sanggup melakukan ini padamu?” Halimah mulai terisak dalam diam.

Bayangan masa lalu menyeruak dalam pikirannya. Vino kecil berlari-lari dengan wajah cerita. Dengan wajah polosnya, dia memetik bunga mawar yang ada didepan rumahnya dan memberikan pada Halimah.

Dia tersenyum polos.

“Untuk ibu.”

Air mata Halimah jatuh tanpa bisa dihentikan.

“Saat Vino besar nanti, Vino janji akan buat ibu bahagia... Kita akan tinggal disebuah rumah yang indah. Hanya aku dan ibu yang tinggal disana.”

Tapi sekarang putranya tidak bisa lagi berjanji dan menepati janjinya. Bahkan berbicara pun tidak lagi. Halimah tersenyum getir. Halimah memeluk kantong jenazah itu dan mencium wajah putranya yang penuh luka.

“Kalau saja ibu bisa memberika kehidupan yang layak dan bahagia, hidupmu tidak akan berakhir seperti ini nak. Maafkan ibu, tidak bisa membahagiakanmu. Maaf ibu terlalu lemah menghadapi ini semua.” isaknya hampir tidak terdengar.

Semua orang yang ada disana nampak diam, mereka prihatin melihat kehidupan Halimah yang terus didera masalah.

Para warga kembali membujuk dan mengingatkan Halimah. “Ayo bu, kita bawa Vino kedalam. Kasihan Vino, dia kedinginan jika lama diluar.”

Beberapa warga maju hendak mengangkat jenazah Vino. Namun Halimah menolak itu.

“Biarkan saya yang bawa dia masuk. Dulu dia sering saya gendong, sekarang biarkan sya gendong dia untuk terakhir kalinya.” ucap Halimah dengan tegas.

Warga yang tadi hendak mengangkat jenazah Vino, kembali mundur.

Dengan sisa kekuataan yang dia miliki, Halimah membuka kantong jenazah itu dan membopongnya masuk kedalam rumah. Saat hendak masuk kedalam rumah, bayangan masa lalu kembali menyeruak pikirannya.

Vino kecil memohon pada ibunya untuk pergi dari rumah, supaya mereka tidak terus berhadapan dengan ayah mereka yang kasar. Namun karena kecintaannya pada sang suami, dia menolak permintaan sederhana sang anak.

“Kita harus kuat Vino. Semuanya akan menjadi lebih baik, jika kita kuat dan sabar.” kata Halimah saat itu.

Halimah memandikan jenazah anaknya untuk terakhir kalinya. Dia juga ikut mengkafankan anaknya. tangannya gemetar menyentuh jenazah sang anak, dan dia mencium-ciumnya berkali-kali. Karena setelah ini, dia tidak akan pernah bisa menciumnya lagi.

“Selamat jalan nak, semoga rasa sakitmu dihadiahkan surga oleh Allah.” ucap Halimah tersenyum getir.

Sedangkan di penjara, Fatur bersandar di dinding selnya. Matanya kosong menatap jeruji besi di depannya. Tidak ada penyesalan di wajahnya. Yang hanya ada senyuman penuh kemenangan setelah berhasil membalas dendam.

Fatur menatap sinis luar jeruji saat melihat siapa yang datang. Dia menghela napas kasar.

“Mau apa kau menemuiku?” tanyanya dingin tanpa menoleh sedikitpun.

“Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi padamu saat ini.” suara lembut itu menjawab dengan wajah sedih.

Entah wajah sedih itu tulus, atau hanya dibuat-buat.

Fatur tertawa kecil. Tawa terdengar seperti ejekan.

“Tidak usah sok peduli, kamu senang kan aku begini?” katanya dingin.

“Aku benar-benar peduli dengan mu Fatur.” mata Eva mulai berkaca-kaca.

“Aku masih menginginkanmu.”

Fatur tersenyum sinis,”Kata-kata tolol yang pernah ku dengar.”

Dia tertawa hambar, “Bagaimana kau menginginkan dua laki-laki sekaligus hah? Kau menginginkan anak dan juga ayahnya. Apa kamu waras Eva?”

Eva menunduk. Dia terdiam, tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh Fatur.

Fatur menghela napas pelan. “Lihat Astuti...”

“Dia mati dengan tenang, karena dia mati demi menyelamatkan nyawa orang. Bukan seperti kau, jual diri demi harta.” sembur Fatur.

“Pergi, atau kau akan bernasib sama dengan Vino. Apakah kau sudah bosan hidup? Jika iya, aku bisa mengirimu seperti Vino ke neraka sana.” ketus Fatur.

Eva memutuskan mundur, saat melihat sorot mata Fatur seakan-akan ingin mencabiknya. Tanpa berkata, dia meninggalkan penjara. Fatur tersenyum dingin melihat kepergian Eva.

Tangan Fatur terkepal erat. Wajahnya menegang, bukan karena sakit akibat luka yang dia terima, tapi lebih kemarahan yang belum usai. Kemarahannya masih membara di dadanya.

Dimatanya, keadilan telah ditegakkan. Nyawa dibalas dengan nyawa. Nyawa yang hilang itu sebagai harga yang harus dibayar oleh Vino.

Namun dalam kesunyian penjara, bayangan Astuti terus menghantuinya. Bahkan disetiap sudut ruangan, dia melihat bayangan Astuti dengan senyum manis diwajahnya, selalu penuh kasih sayang.

Namun tiba-tiba senyum dan kelembutan itu berubah dengan tatapan kosong seperti terakhir kali dia lihat, saat Astuti menghembuskan napas terakhirnya.

“Astuti...” desisnya.

Dia ingin mengapai bayangan itu, namun setiap dia ingin mengapainya, bayangan itu hilang dan berlari disudut ruangan lain. Fatur terus mengejarnya, bayangan itu terus berlari menjauhinya.

Senyum Fatur mengembang saat melihat bayangan Astuti.

“Astuti, aku kangen...” saat hendak memeluk bayangan itu, bayangan Astuti menghilang, dan berlari disudut ruangan lain.

Para polisi yang melihat Fatur seperti itu, menjadi heran dan ada juga terlihat prihatin. Selama dia dimasukan kedalam sel, mereka tidak melihat keluarga Fatur datang menjenguknya, kecuali Eva.

Fatur terus ingin mengejar bayangan itu, namun yang dia ngapai hanya angin. Bayangan itu kemudian hanya diam dengan senyum mengukir di wajahnya dan mengulurkan tangannya.

Fatur perlahan mendekati bayangan itu dan ingin meraih tangannya. Namun sekali lagi, bayangan itu menghilang. Saat menghilang, bayangan itu sudah tidak muncul lagi di sudut-sudut lainnya.

“Jangan pergi...” suara Fatur terdengar memohon.

Namun bayangan itu malah tersenyum, berpindah dari sudut ke sudut ruangan, “As, jangan pergi. Ku mohon...” lirihnya.

Kesadarannya perlahan kembali. Seketika Fatur menutup wajahnya. Dia menyadari bahwa yang dia lihat hanya ilusi semata.

Dia terlihat frustasi dan berteriak dengan keras meninju dingin jeruji dengan keras, sampai kedua tangannya berdarah.

Melihat itu, dua orang polisi memasuki kamar jeruji Fatur dan mencoba menenangkannya.

Fatur tersungkur dengan wajah frustasi. Dia menangis, sampai terisak-isak.

“Aku hanya punya dia, tapi tuhan malah mengambilnya. Dunia itu tidak adil bagiku. Dunia ini hanya untuk para pengkhianat.” teriaknya seperti orang gila.

Suaranya melengking penuh luka.

Para polisi itu berusaha menenangkan dan menahan tubuh Fatur agar tidak menyakiti dirinya sendiri.

Seorang polisi lainnya mengobati luka ditangan Fatur dan membalut luka tersebut.

Dibalik jeruji besi yang dingin, Fatur bersandar pada jeruji besi dengan wajah sayu dan air matanya terus saja mengalir di pipinya. Bibirnya terus bergumam memanggil nama Astuti. Wanita satu-satunya yang peduli dan selalu menyemangati saat dia ada masalah.

Dimana keluarganya? Jangan ditanya, dia anak laki-laki pertama yang memikul bebannya sendiri. Dia tidak mau bercerita sama ibunya atau pun adik-adiknya, karena tidak mau mereka masuk kedalam masalahnya.

Ayahnya Hasan Bahri memiliki berbagai ternak. Namun sebelum dia memiliki usaha itu, ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga.

Ibunya yang mencari duit untuk kebutuhan sehari-hari. Ibunya bekerja sebagai pencari kerang di laut, dan setiap tahunnya beliau berladang atau menanam padi.

Tapi Hasan Bahri yang statusnya sebagai kepala keluarga, hanya bisa makan tidur dirumah, tanpa mau bekerja nyari duit dan membantu ibunya di ladang. Setiap harinya dirumah mereka, selalu dihiasi pertengkaran demi pertengkaran, yang membuat Fatur semakin muak.

“As... jika kau tidak ada, siapa yang akan menolongku dan menyemangatiku? Ayah dan ibuku sudah bercerai, adik-adikku menghilang... apa yang harus aku lakukan tanpamu As?” lirihnya.

Airmatanya terus mengalir deras. Sejenak dia menatap tangannya yang diperban. Dia tersenyum getir.

“Luka ini, tidak ada apa-apanya daripada kehilangan kamu As.” Fatur menghela napas berat.

Para polisi yang tadi menenangkan Fatur, mengawasi Fatur dari balik jeruji. Salah satu dari mereka, pria yang berumur empat puluh tahun menghela napas berat.

“Kasihan sekali dia. Dia nampak begitu terpukul.” gumamnya lirih.

Rekan di sebelahnya, yang lebih muda mengelengkan kepalanya. “Kasihan ataupun tidak, dia tetap seorang pembunuh.” ujarnya dingin.

Pria empat puluh tahun itu menatap pria muda itu dingin.

“Tidak usah langsung berpendapat dia manusia yang paling jahat di muka bumi ini, karena dia pembunuh. Apa kamu tidak bertanya-tanya kenapa dia membunuh? Tentu saja karena ada sebab. Hanya orang gila yang membunuh orang tanpa alasan yang jelas. Kita memang tidak boleh menormalisasikan pembunuhan, tapi kita juga nggak bisa langsung mengklaim dia pembunuh dan jahat.” jelas pria itu dengan dingin, lalu meninggalkan polisi muda itu.

Narapidana

Fatur meringkuk di kamar selnya. Pikirannya kosong, namun di hatinya penuh dengan luka.

Sudah tidak ada lagi yang tersisa...

Selain sekujur tulang yang berbalut daging ini...

Semuanya telah pergi, meninggalkannya dalam kesedihan...

Sejak kecil, hidupnya sudah penuh dengan penderitaan...

Sekarang?...

Luka itu kembali mengoyak kehidupannya...

Tidak ada yang tersisa...

Selain nyawa di badan...

Dia tumbuh menjadi sosok pemuda tanpa kasih sayang...

Hidup di keluarga broken home itu tidak mudah...

Kesehatan mental yang menjadi pertaruhannya...

Kini sudah tidak ada tempat untuk dia pulang...

Ibunya pergi...

Ayahnya adalah sumber luka baginya...

Eva yang berkhianat demi harta...

Astuti yang telah pergi untuk selama-lamanya...

“As... Aku merindukanmu... Kenapa kau pergi begitu cepat?” lirihnya.

Dari luar sel, terdengar suara langkah mendekati kamar sel. Namun Fatur nampak tidak peduli. Dia sibuk dengan pikirannya.

Seorang petugas membawa nampan berisi makanan, dia mengeser nampan itu melalui celah kecil di bawah jeruji.

“Makanlah... Kau butuh tenaga untuk tetap hidup...” ujar petugas itu dengan pelan namun tegas.

Fatur hanya diam. Dia tidak berminat untuk makan. Dia tidak selera.

Dia hanya melirik sebentar, kearah nampan yang berisi roti dan juga segelas minuman, tanpa ingin menyentuhnya.

Petugas berumur 40 tahun itu menghela napas pelan...

“Jika kau seperti ini, sama saja kau menyiksa dirimu sendiri. Apa pun yang terjadi, itu adalah takdir...”

Fatur hanya diam...

Petugas itu berjongkok di luar sel, tatapannya penuh kelembutan.

“Kau tidak sendirian, Nak.”

Fatur tertawa sinis. Dia menatap polisi itu dengan tatapan sendu.

“Tidak sendirian? Siapa yang peduli dengan pria bajingan ini?” tanyanya dengan nada sinis.

“Astuti mati. Tidak ada yang peduli denganku, bahkan keluargaku tidak peduli denganku. Aku sendirian, itu faktanya...”

Polisi itu terdiam sejenak, lalu menghembuskan napas. “Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Tapi, kamu tidak boleh terpuruk dengan keadaan ini. Kau harus bangkit untuk dirimu sendiri.”

Polisi itu kembali terdiam...

“Aku kehilangan putraku lima tahun yang lalu, karena perampokan...”

Fatur juga ikut terdiam.

“Semua orang menjalani takdirnya masing-masing... Kita tidak perlu meratap dengan apa yang terjadi... Tuhan tahu kita kuat, maka dari itu kita dikasi cobaan...” jelas sang polisi dengan suara tercekat.

“Satu bulan kepergian putraku, istriku pun menyusul putraku... Dia tidak sanggup hidup tanpa putra kami, yang telah kami nanti setelah 15 tahun pernikahan...”

Setelah berkata-kata, sang polisi meninggalkan kamar sel. Fatur menatap roti di atas mapan.

Dia tidak ingin makan...

Tapi perutnya juga sangat lapar...

Dia meraih pelan roti itu dan memakannya dengan pelan, bersamaan air matanya yang luruh.

Setelah itu dia kembali bersandar didinding kamar sel yang dingin. Dia tidak tahu sejak kapan dia sudah tertidur. Dia, bangun saat ada seorang polisi muda memukul besi jeruji.

Telinganya terganggu dengan suara berisik itu, dia pun menatap ke arah polisi muda yang menatapnya dingin.

Dia membuka pintu jeruji. “Bangunlah! Saat sarapan pagi, setelah itu kau ikut saya...” ujarnya dingin.

Fatur benci dengan tatapan polisi muda itu. Terkesan sombong...

Fatur keluar jeruji dengan jalan tertatih, polisi muda mengawasinya dari belakang. Memastikan Fatur tidak berulah dan mencoba melarikan diri. Dia mencuci muka dan gosok gigi.

Setelah itu, baru dia masuk ke dalam kantin penjara. Dia makan dengan tenang, mengabaikan orang-orang disekitarnya.

Setelah selesai makan, Fatur diajak disebuah ruangan, diantar oleh polisi muda itu. Fatur masuk kedalam ruang introgasi.

Fatur duduk pada kursi yang sudah disediakan. Depannya ada kursi kosong, yang akan diduduki oleh polisi yang akan mengintrogasinya.

Sesaat kemudian polisi yang ingin mengintrogasinya datang. Pintu ditutup oleh polisi muda itu.

Polisi itu menarik kursi dan duduk di hadapan Fatur. Fatur nampak diam dan menatap sang polisi dingin.

Dia sangat benci polisi...

Entah kenapa, kalau melihat polisi hatinya selalu tersulut emosi...

Tidak ada, pengalaman yang buruk saat bertemu dengan instansi ini...

Namun, saat melihat sikap mereka yang dingin dan terlihat sombong, membuat Fatur ingin mematahkan tulang mereka.

“Baiklah... Kita akan mulai introgasinya... Apa kau sudah siap Fatur Hasan Bahri?” tanya polisi itu dingin dan tegas.

Layaknya polisi biasanya...

Fatur, menatap sang polisi dengan dingin, seakan memberi kode ingin menantang polisi itu. Dia menjawab dengan datar. Dia tidak menjawab pertanyaan sang polisi.

“Kenapa kau melakukan pembunuhan itu?” tanya polisi membuka pembicaraan.

“Hanya ingin membunuh...” jawabnya dengan nada dingin, tanpa ekspresi.

Sang polisi menatap Fatur intens...

“Apa masalahmu dengannya?”

“Balas dendam...” polisi, menghela napas dan melonggarkan kancing seragamnya.

“Bisa kau ceritakan sedikit, kenapa kau dendam padanya?” Fatur diam.

Tidak menanggapi pembicaraan polisi...

“Kamu harus koperatif Fatur...” peringat polisi. Fatur tidak bergeming.

“Atas apa?” tanya polisi kembali.

“Kematian..."

“Siapa?”

“Teman.”

Sejenak suasana menjadi hening. Polisi tidak mengalihkan pandangannya terhadap Fatur, begitupun Fatur yang terus menatapi dingin sang polisi. Seakan-akan menantang.

“Kenapa dia membunuh temanmu?”

Fatur tersenyum tipis. “Balas dendam...”

Polisi menghela napas kasar. “Bisa kau ceritakan kenapa dia membunuh temanmu itu? Tolong, jangan bertele-tele. Jangan buang waktu kami, hanya menanyai orang sepertimu.” ucap polisi dingin.

Fatur tersenyum dingin. “Kenapa, orang-orang seperti kalian itu tidak sabaran sih? Aku suka bermain-main.”

“Kenapa kau tiba-tiba berubah? Tidak seperti yang diceritakan rekanku, bahwa kau sangat terpukul dengan masalah ini. Tapi setelah melihatmu, aku yakin kau sama sekali tidak menyesali perbuatanmu itu.”

Fatur tertawa pelan. “Aku suka bermain-main pak. Yang kau lihat ini, yang mereka lihat kemarin tidaklah sama... Berhati-hatilah.”

“Batas bermainmu telah habis. Kau harus ceritakan semuanya, dan ingat jangan mencoba untuk mengancam polisi...”

Fatur menyandarkan tubuhnya di kursi. Tersenyum dingin...

“Tapi aku masih ingin bermain pak. Ayolah, kita bermain sebentar. Rileks...” ujarnya santai tanpa rasa takut.

“Ceritakan semuanya...” polisi mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan meletakkan diatas meja.

Pandangan Fatur teralih menatap pistol itu dingin...

“Aku akan bercerita setelah selesai bermain...”

“Ini bukan tempat mainan. Ceritakan sekarang juga...”

Polisi itu nampak tidak sabar dan mengebrak meja dengan penuh emosi. Fatur hanya tertawa dengan santai.

“Tidak usah mengancamku pak. Hidupku lebih menakutkan daripada pistol itu, dan emosimu itu tidak akan membuatku takut...”

“Apa kau tidak bisa koperatif?”

Fatur hanya tersenyum...

Dia diam menatapi polisi yang nampak emosi...

Lalu dia tertawa...

“Aku suka melihat ekspresi Bapak seperti itu. Lucu...” tawa Fatur meledak, membuat polisi tampak kurang sabar.

“Baiklah jika kau ingin bermain. Apa yang kau inginkan?” tanya polisi akhirnya.

“Aku hanya ingin melihatmu marah dan tidak bisa menahan emosi mu sendiri...” polisi menghela napas kasar.

Fatur memiringkan kepalanya dan tersenyum tipis,

“Itu yang terjadi padaku saat aku melihat temanku terbunuh...”

“Kau tidak bisa mengendalikan emosimu?”

Fatur menganguk...

“Kenapa lelaki itu membunuh temanmu itu?”

“Aku berkelahi dengan Vino, temanku hendak menghentikanku dan menolongku dari serangan Vino. Namun kapak itu mengenai punggungnya, dan akhirnya menemui ajalnya.”

Hening...

Hanya, ada deru napas keduanya yang terdengar...

“Aku, hanya melakukan apa yang dilakukan oleh seorang teman.”

“Tapi, tindakanmu salah sampai harus membunuhnya...”

“Hmmm...” Fatur menatap sang polisi dingin.

“Apakah tindakannya benar, membunuh teman saya.”

“Mungkin dia tidak sengaja...”

Fatur tersenyum tipis. ”Kalau gitu, aku juga nggak sengaja melakukannya...”

“Kau, jelas melakukannya dengan sengaja...”

“Dia, juga jelas melakukannya dengan sengaja...”

“Apa yang kau dapat dari semua ini Fatur?”

“Keadilaan...”

“Keadilan, macam apa yang kau dapat dari membunuh hah?”

“Keadilan, nyawa dibalas dengan nyawa. Hanya orang sepertiku yang paham itu...”

“Itu bukan keadilan...Itu kejahatan dan pembunuhan...”

“Bagimu itu kejahatan, bagiku itu adalah keadilan...”

Polisi terdiam sejenak, dia menatap lekat Fatur.

“Kau, tahukan ini bukan akhir?”

“Ini baru permulaan Pak...”

“Permulaan apa?” tanya polisi dingin.

“Permulaan untuk kehancuran mereka yang berusaha mengusik hidupku... Satu persatu mereka akan ku bawa ke neraka. Akan, aku ajarkan rasa sakit yang sebenarnya...”

“Kamu tidak memiliki tugas untuk mengeksekusi orang...”

Fatur terdiam. Dia terus menatap polisi dingin...

“Kau tahu kan, kau tidak akan bisa melarikan diri... Lalu, bagaiman kau bisa membalas mereka?”

“Aku tidak akan lari Pak. Aku akan menunggu waktu tiba untuk menghancurkan mereka termasuk anda.” ujar Fatur dengan sinis. Dia suka memancing emosi polisi.

Polisi menghela napas, mencoba menguasai dirinya.

“Kau mengancam petugas? Apa kau sadar, apa yang kau bicarakan ini?”

Fatur tersenyum dingin, menatap lurus ke arah Polisi.

“Ancaman? Tidak Pak. Aku mengatakan hal yang sebenarnya. Keadilan tidak ada di dunia ini, aku hanya mengambilnya dengan cara ku sendiri.”

Polisi mengetuk meja, suaranya tegas.

“Keadilan macam yang kau maksud? Kau hanya pembunuh. Tidak lebih. Sama sepertinya. Apa kau merasa hebat setelah membunuhnya? Masalahmu selesai? Kamu salah, justru ini akan membuat hidupmu semakin rumit. Kau menghancurkan masa depanmu sendiri."

Fatur tertawa kecil.

“Orang-orang sepertiku akan mengatasi masalah dengan seperti itu. Karena orang sepertiku, tidak ada tawar menawar. Aku tahu, kau tidak akan mengerti. Keadilan untuk mereka yang berani mengambilnya, bukan bersembunyi di balik meja dan kekuasaan. Apa yang kau mengerti tentang hidup dan keadilan. Mereka yang benar-benar mengerti itu, hanya orang yang merasakan langsung.”

“Mungkin kau merasa menang sekarang. Tapi setiap langkah sudah terhitung. Penjara akan menjadi akhir dari hidupmu!”

Fatur mencondongkan tubuhnya ke arah Polisi.

“Penjara bukan akhir Pak. Ini baru awal dari pertualanganku. Ini hanya tempat persinggahan sementaraku, dan saat aku keluar...” Fatur sengaja mengantungkan kalimatnya, menunggu reaksi dari polisi.

“Akan lebih banyak nyawa, yang harus dibayar dengan nyawa...”

“Kau benar-benar Iblis...” desis Polisi mengamati ekspresi Fatur.

Fatur hanya tersenyum dingin...

Ruangan introgasi terasa memanas. Bukan karena suhu ruangan, namun karena amarah dan kesal bercampur di dalam dada mereka masing-masing.

Polisi itu berusaha mengendalikan emosinya. Tetapi, kata-kata Fatur mampu membuatnya tersulut emosi. Namun dia berusaha untuk tetap tenang.

Sang polisi, mengamati ekspresi wajah Fatur dengan seksama. Tidak ada penyesalan yang terukir dari wajahnya. Tidak ada ketakutan. Tenang...

Hanya senyum dingin yang terus terukir dari wajahnya...

Sang polisi menyandarkan tubuhnya di kursi, mencoba meredakan amarah yang berkecamuk dalam pikirannya.

“Jadi kamu anggap, penjara ini hanya persinggahan?” tanyanya, dengan suara yang berusaha setenang mungkin.

Fatur menganguk dengan santai dan tersenyum dingin. “Tentu saja... Aku tidak selamanya akan disini pak...”

“Apa kamu yakin, kau akan lolos dari jeratan hukum?” sang polisi menatap Fatur tajam.

“Penjara bukan tempat bermain... Penjara adalah tempat seseorang menerima hukuman akibat perbuatan mereka sendiri...” tegas sang polisi.

Fatur kembali tersenyum dingin. “Hukuman bagi yang tidak berduit ya, pak? Jika mereka berduit, malah masa tahanan di potong...”

Rahang sang polisi mengeras. Urat di dahinya nampak menegang, namun dia mencoba kembali tenang.

Fatur menyandarkan tubuhnya dikursi dengan santai, menatap polisi dengan dingin. “Apa yang ada anda tahu tentang hukum Pak? Hukum adil saat ada duit...” Fatur terkekeh.

Ucapan Fatur membuat sang polisi mendengus.

Polisi mengepalkan tangannya, tatapannya penuh intimidasi. Namun Fatur tidak terpengaruh sedikit pun. Justru dia sangat menikmati moment ini.

“Kau pikir, kau bisa mengolok-olok hukum?” suara polisi sedikit rendah, tapi ada penekanan setiap kata-kata yang keluar dari mulut polisi itu.

“Tidak. Tapi kalian yang meminta untuk di olok-olok dan itu fakta...” ujar Fatur tersenyum.

“Saya ada disini, karena saya tidak punya uang kan? Jika saya punya uang, mungkin saya sudah bebas...” lanjutnya dengan santai, tanpa beban.

Polisi menghela napas, dia tahu Fatur tidak mudah untuk dia intimidasi. Dia terlalu larut dalam kebencian.

Sang polisi beranjak dari duduknya dan lekas berdiri. Dia menatap Fatur lekat.

“Introgasi selesai,” ujar polisi langsung berdiri.

Sang polisi mendengus kesal, dan meningalkan Fatur sendiri di ruang introgasi.

Beberapa menit kemudian, Fatur keluar dari ruang introgasi dan di awasi oleh polisi muda yang tadi mengantarkannya. Dia kembali bersandar didalam sel. Dia tersenyum sinis, tatapannya kosong.

“Aku sudah hancur, sehancurnya...” lirihnya.

Tidak lama kemudian, seorang pria berotot dengan borgol ditangannya memasuki kamar sel Fatur. Setelah pria itu masuk, sang polisi langsung mengkunci kamar sel. Fatur nampak tidak peduli dengan pria itu.

Sang pria mendengus saat melihat Fatur yang bersandar di dinding kamar sel. Dia melangkah mendekat. Borgol di tangannya sudah di lepas, saat sudah memasuki kamar sel.

Detik kemudian, dia menendang Fatur dengan cukup keras. Fatur nampak meringis, menatap sang pria dengan tatapan bingung.

Sang pria berotot dan juga memiliki tato disekujur tubuhnya pun tersenyum sinis. Dia mencengkram dagu Fatur dengan cukup kuat.

“Dengar ya bocah... Aturan disini, siapa yang kuat dia yang berkuasa...” ucap pria itu dengan arogan.

“Jadi kau harus patuh padaku, jika kau ingin selamat di penjara ini...” sambungnya lagi dengan nada dingin.

Fatur meringis menatap tajam sang pria. Detik kemudian dia mencengkram tangan sang pria dan memelintir nya.

“Aku lebih dulu masuk kesini, kenapa kau suka-suka memberi perintah?” ucap Fatur dingin.

“Apa ini kebun binatang? Yang kuat, yang berkuasa? Berarti kamu sama binatang diluar sana, sama dong.” usai berkata-kata, Fatur menendang tulang rusuk sang pria. Pria itu terdorong kebelakang.

“Jangan panggil aku bocah paman.” ujarnya dengan senyum sinis.

“Beraninya kau melawanku... Apa kau ingin mati hah?” teriak sang pria dengan penuh emosi dan menyerang Fatur.

Pertarungan itu berlangsung sengit. Beberapa menit kemudian, para polisi datang melerai keduanya.

“Kau pikir, saat kau kuat, kau bisa memerintah orang sesukamu? Nyadar diri, kau tak ada bedanya denganku. Narapidana juga...” desis Fatur yang di pegang oleh dua orang polisi. Begitupun sang pria.

Maladaptive daydreamer

“Kau pikir, saat kau kuat, kau bisa memerintah orang sesukamu? Nyadar diri, kau tak ada bedanya denganku. Narapidana juga...” desis Fatur yang di pegang oleh dua orang polisi. Begitupun sang pria berotot itu.

Pria berotot itu menatap Fatur tajam, dia mendengus kasar. Dia tidak terima Fatur mempermalukannya seperti ini. Walaupun sama-sama narapidana, dia tetap menganggap dirinya lebih tinggi.

Tindakkan kriminalnya tidak main-main, membuatnya dia terus keluar masuk penjara. Jadi, setiap dia kembali masuk jeruji, dia selalu di hormati oleh para tahanan lainnya.

Berbeda dengan Fatur, malah melawan dan mempermalukannya seperti ini.

“Kau dan aku itu jelas berbeda. Aku sudah lama disini. Sementara kau, hanya bocah yang sok jago. Bahkan kau belum tahu cara bertahan hidup ditempat neraka ini.” desis sang pria.

Fatur terkekeh, “Dan kau bangga dengan itu hah? Kok bangga dengan keburukan? Waras?”

Pria itu, nampak kesal dan hendak menyerang Fatur. Tetapi para polisi segera menahan tubuh sang pria.

“Cukup, tidak ada yang boleh bertindak di luar batas disini.”

“Lihat saja nanti, akan kubuat kau tidak berkutik lagi...” pria itu memberontak, dia hendak menyerang Fatur. Tapi, dihalangi para polisi.

Fatur tertawa. “Siapa yang berani membuatku tunduk pada manusia dungu sepertimu? Seharusnya kau berkaca. Jika ingin dihormati, belajar menghormati orang lain...”

Akhirnya para polisi membawa keluar sang pria itu, membawanya dia kekamar sel lain.

Fatur menyeringai saat melihat sang pria keluar dari penjara. Dia kembali bersandar di dinding sel.

Tubuhnya memar akibat pukulan sang pria. Namun dia tidak peduli. Baginya sang pria hanyalah pecundang.

Hari-harinya semakin sulit. Dia dihadapkan dengan orang-orang yang gila kuasa dan validasi. Setiap harinya dipenjara, dia selalu dihadapkan dengan berbagai masalah.

Seperti pagi ini, dia sedang mengambil jatah makanannya, tiba-tiba sang pria bernama Guntur itu menyenggol nampannya, membuat makanan itu jatuh kelantai.

Setelah dengan sengaja menjatuhkan makanan Fatur, dia berlalu dengan santai. Fatur hanya diam. Dia menghela napas kasar.

Dia membersihkan makanan dilantai, tiba-tiba seseorang menginjak tangannya dengan cukup keras. Fatur meringis, menatap sang pria yang menginjak tangannya. Sang pria hanya tersenyum dingin padanya.

“Jangan sok jagoan disini. Hormat pada senior!” ujarnya.

Dengan geram Fatur menendang kaki sang pria, hingga tersungkur kelantai, bersama makanan yang dia bawa. Fatur cepat berdiri dengan tatapan dingin.

Kawan sang pria yang bernama Tito itu segera mengelilingi Fatur dengan tatapan tajam.

Fatur menatap orang-orang tersebut, dengan dingin. Dia mengambil ancang-ancang hendak menyerang.

Detik kemudian terjadi perkelahian sengit di kantin penjara itu. Satu orang lawan sepuluh orang. Yang lain hanya sibuk menonton tanpa mau melerai. Fatur terus menyerang orang-orang itu.

Dia sempat kewalahan karena kalah jumlah. Namun dia tidak kalah dalam kekuataan. Perkelahian sengit terjadi cukup lama, sehingga perkelahian itu terhenti saat beberapa polisi datang melerai.

“Dasar pengecut, beraninya hanya keroyokan...” desis Fatur.

Para polisi memisahkan mereka dan membawa Fatur masuk kedalam kamar selnya. Tidak lama kemudian, seorang petugas polisi yang berumur empat puluh tahun bernama pak Rudy, membawa nampan berisi makanan dan segelas minuman. Dia mendorong nampan itu dari celah bawah besi jeruji.

“Ini makan untukmu. Saya tahu, kamu belum makan kan?” ujarnya sebelum meninggalkan kamar sel Fatur.

Fatur melirik makanan itu, dan perlahan meraihnya. Dia memakannya dengan pelan, sesekali dia meringis saat mengunyah nasi tersebut, karena disudut bibirnya pecah karena pukulan, dari Tito, Guntur dan kawan lainnya.

Sesekali airmatanya luruh. Dia sedih, karena penderitaannya belum juga berakhir. Dia juga ingin merasakan bahagia. Seperti orang-orang diluar sana.

Tapi, kenapa kehidupannya berbeda?

Kenapa hidup begitu kejam padanya?

Dosa apa yang dilakukannya dimasa lalu, sehingga dia harus mendapatkan karma seberat ini?

Dia hanya mendengus, saat otaknya mulai membuat sebuah skenario di pikirannya dengan alur yang komplek.

Dia mulai membayangkan dia berada disuatu kondisi, dia memiliki banyak uang, memiliki rumah yang besar, dan disayangi oleh semua orang.

Dia tersenyum, saat alur demi alur semakin berkembang di pikirannya.

Dia bersandar di dinding sel, menatap kosong kamar selnya. Dia dengan tersenyum mulai merangkai alur demi alur, untuk pelarian kesedihannya.

Kini dia tidak berada didalam penjara lagi, melainkan disebuah tempat. Dimana disana banyak bunga berwarna warni tumbuh di sekitar taman. Dia melihat sosok wanita cantik dengan gaun putih yang membalut tubuhnya.

Fatur tersenyum, lalu berlari mendekati wanita itu, lalu memeluknya dari belakang. Terlihat Fatur yang memakai kemeja putih dan celana jins putih tersenyum bahagia saat memeluk wanita tersebut.

“As, aku merindukanmu... Akhirnya kita bisa bertemu...” ujarnya dengan senyum bahagia yang terus terukir dari wajahnya.

Wanita itu hanya tersenyum bahagia, dia melirik bunga-bunga dihadapan mereka.

“Sama, aku sangat rindu padamu Fat... Teruslah seperti ini. Aku suka seperti ini...” jawabnya menyandarkan kepalanya di dada bidang Fatur.

Fatur mengeratkan pelukannya, seolah-olah takut akan kehilangan wanita itu. Hatinya berdegup kencang. Aroma rambut, dan bau tubuh Astuti sangat menenangkan, membuat Fatur nyaman berlama-lama memeluk Astuti.

Fatur menarik napas dalam. “Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menjagamu. Kita akan tetap bersama-sama.”

Namun tiba-tiba angin berhembus kencang, bersamaan dengan munculnya kabut tipis yang menenggelamkan taman itu, bersama dengan hilangnya tubuh Astuti di pelukannya.

Fatur seketika menegang. “As...” panggilnya dengan nada panik.

Airmatanya luruh saat dipelukannya tidak ada lagi Astuti. Dia cepat mengusap airmatanya. Dia tersenyum pilu. Fatur telah kembali, kembali pada kenyataan yang menyakitkan. Begitulah hari-hari yang di lalui oleh Fatur didalam penjara.

Sorenya dia keluar dari kamar sel, dia mengerjakan kegiatan di penjara, seperti membersihkan area penjara, bermain bola bersama rekan-rekannya dan juga kegiataan lainnya.

Saat sedang menyapu, kembali Fatur mengkhayal. Pikirannya terus membayangkan hal-hal yang indah, membuatnya tersenyum, bahkan sesekali juga dia terlihat kesal.

Seorang pria menyeper kakinya, hingga Fatur terhuyung jatuh ke tanah. Dia menatap orang yang menyeper nya, ternyata pelakunya tidak lain adalah Guntur.

Fatur menatap nanar sang pria. “Begitu fokusnya kau menyapu, sehingga tidak sadar orang ada didekatmu.” cibir guntur.

Dengan tatapan sinis, Fatur bangkir dan menghadiahkan sebuah tinju pada wajah Guntur. Guntur terhuyung, kawan-kawannya mulai berdatangan mengkeroyok Fatur.

Beberapa orang narapidana langsung melaporkan kejadian itu pada petugas. Tidak lama kemudian, beberapa orang polisi datang memisahkan keduanya.

“Bisa tidak, sehari saja kalian tidak ribut?” tanya Polisi dengan kesal.

“Dia yang mulai memukulku, dan kawan-kawanku hanya ingin membantuku...” ujar Guntur.

“Kau yang dulu menyeper kakiku. Apa aku harus diam, jika diperlakukan tidak baik? Ini bukan kandang binatang, suka-suka kalian mau bersikap dan menguasai tempat ini...” ketus Fatur.

Hari demi hari begitu sulit di lalui oleh Fatur. Apalagi selama di penjara, keluarganya tidak ada datang menyenguk.

Beberapa tahun kemudian...

Fatur hanya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, atas permintaan Halimah ibu Vino. Selama di penjara, Fatur juga menjalani rehabilitas atas permintaan Halimah.

Selama di penjara, dia juga melanjutkan sekolah di lembaga permasyarakatan. Selama di penjara, dia harus bertahan dengan berbagai kekerasan dan aturan tidak tertulis.

Namun semuanya bisa di laluinya. Kini dia mulai bebas. Namun tidak ada wajah kebahagian yang terpancar dari wajahnya.

Apa yang dia harapkan setelah keluar dari penjara?

Semua tidak ada yang peduli dengannya...

Kini usianya telah menginjak 21 tahun. Fatur melangkah keluar dari penjara dengan wajah datar tanpa ekpresi sedikit pun. Dia tidak bahagia,dan dia juga tidak lagi bersedih.

Hukuman yang dia dapat dari penjara, tidak membuatnya sadar dan mengubahnya, malah membuat amarah dan rasa benci semakin mengelora di dadanya.

Tidak ada penyesalan. Yang ada hanyalah dendam yang kian membara. Siang itu, dia tidak tahu mau melangkah kemana. Dia sudah tidak memiliki rumah. Rumahnya sudah dijual, sementara adik-adiknya telah menghilang tidak tahu rimbanya.

Dia berjalan tanpa arah. Detik kemudian hujan turun dengan deras. Seketika hujan membasahi pakaiannya. Fatur hanya tersenyum senang, merasakan setiap rintikan hujan. Dia mulai berputar-putar dengan bahagia. Seperti anak kecil.

Fatur berdiri di pinggir jalan yang sepi. Dia merentangkan tangannya, mengadah ke langit.

“Aku suka hujan. Hujan bisa menenangkan jiwaku. Hujan mampu membuatku nyaman.”

Orang-orang yang melihatnya mengangapnya gila, bahkan ada anak-anak meneriaki dia dengan kata gila. Namun Fatur tidak peduli. Dia hanya peduli dengan ketenangan yang barusaja dia dapat.

Senyum terukir dari wajah Fatur, saat melihat sesosok wanita memeluknya dari belakang. Fatur tersenyum bahagia, mencoba merasa kehangatan pelukan yang diberikan oleh wanita itu. Mereka berdua mulai menari dibawah guyuran hujan.

Diujung jalan, seorang pria muda nampak menghela napas berat sambil memayungi dirinya sendiri dari derasnya hujan. Perlahan dia mendekati Fatur. Dia sangat prihatin melihat keadaan Fatur yang sekarang.

Perlahan dia mendekati Fatur yang sedang menari sendirian di tengah derasnya hujan. Perlahan dia menepuk punggung Fatur dan segera memayungi Fatur. Fatur seketika terdiam dan berhenti menari. Dia menoleh ke belakang.

Agus...

Sahabat kecilnya...

“Kita pulang yuk... Nggak baik main hujan terus, nanti kamu demam...” ajak Agus dengan nada lirih.

Fatur hanya mengeleng pelan. “Tidak ada rumah untuk aku pulang...” ujarnya pelan.

Agus tersenyum. “Rumahku. Kau akan tinggal sementara di rumahku, sampai kau bisa memiliki rumah sendiri...”

“Apa boleh?” tanya Fatur dengan nada tidak yakin.

Agus hanya menganguk menyakinkan Fatur. Kedua sahabat itu berjalan menuju rumah Agus. Beberapa menit kemudian, keduanya sampai kerumah Agus. Didepan pintu, mereka di sambut ramah oleh Bu Nisa.

“Ayo masuk...” ajak Bu Nisa ramah.

“Terima kasih bu...” ujar Fatur pelan. Sesampainya di dalam rumah, Fatur di hadiahi tatapan tajam oleh Ayah Agus.

“Kenapa membawa narapidana di rumah ini?” tanya Pak Galang dengan nada sinis. Bu Nisa menghela napas berat.

“Biarkan sementara waktu Fatur dirumah ini Bang. Dia tidak memiliki rumah untuk ditinggali.” jelas Bu Nisa.

“Emang rumah ini tempat penampungan?” tanya Pak Galang dengan nada ketus.

“Fatur hanya menumpang untuk tidur Yah, jika soal makan dia kan bisa bekerja, bantu-bantu Agus di ladang...” jelas Agus.

“Tapi tetap saja dia beban. Dia hanya bisa bantu saja, tapi tidak bisa menghasilkan uang. Nanti buat kita susah saja...”

“Dia anak laki-laki yang kuat, pasti dia bisa bekerja dengan keras. Tugas kita hanya memberi dia kesempatan.” tegas Bu Nisa.

Setelah sekian lama berdebat, akhirnya Agus membawa Fatur masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian. Sedangkan Bu Nisa sibuk memasak makan siang di dapur.

Beberapa menit kemudian, Bu Nisa telah siap memasak. Dia mengelar tikar anyaman, dan meletakkan semua makanan yang telah di masak di atasnya.

Setelah itu Bu Nisa memanggil sang suami untuk makan, dan memanggil Agus dan Fatur.

“Makan jangan banyak-banyak, beras mahal...” sindir Pak Galang. Bu Nisa berdehem dengan keras, untuk menegur Pak Galang.

“Makan saja nak... Anggap saja seperti rumahmu sendiri...” sela Bu Nisa. Dia menatap tajam sang suami.

Fatur makan dengan pelan. Ada rasa kesal mengelora di dadanya. Jika tidak memikirkan Pak Galang adalah Ayahnya Agus, mungkin dia sudah meninju Pak Galang.

Fatur hanya makan sedikit. Dia tidak sanggup makan banyak, dan mendengar semua sindiran yang di lontarkan oleh Pak Galang.

Setelah makan, keduanya mengobrol diruang tengah. Pak Galang berdehem dengan cukup keras.

“Fatur, jika kau mau tinggal lebih lama di rumah ini, kau harus bekerja jangan berdiam diri saja. Bantu Nisa di dapur, nyuci piring, kalau perlu kerjakan semua pekerjaan rumah ini. Jangan mau enak nya saja...” ucap Pak Galang.

“Ayah...” sela Agus tidak suka dengan perkataan sang ayah.

“Kamu diam Agus. Dia harus tahu diri. Dia hanya menumpang, dan dia harus bekerja dengan keras...” lanjutnya lagi.

“Baiklah pak, saya akan kerjakan apa yang bapak katakan.” ucap Fatur beranjak dari tempat duduknya. Dia melangkah ke dapur.

“Biar saya bantu bu...” ujar Fatur mengambil alih pekerjaan Bu Nisa yang sedang mencuci piring.

“Tidak usah nak, ini pekerjaan perempuan. Mending kamu ngobrol sama Agus saja sana...”

“Barusaja habis mengobrol dengan Agus bu. Saya lagi bosan, biar saya yang bantu ibu... Ibu istirahat saja...” jelas Fatur.

Akhirnya Bu Nisa mengalah. Dia membiarkan Fatur mencuci piring. Selesai mencuci piring, lanjut Fatur bersih-bersih rumah itu. Awalnya Bu Nisa enggan membiarkan Fatur mengerjakan hal tersebut, namun karena sedikit paksaan dari Fatur, akhirnya Bu Nisa membiarkan Fatur bekerja.

Setelah semuanya selesai, Fatur dan Agus pergi ke ladang. Agus bertugas menghalau burung, sedangkan Fatur bertugas membakar rumput atau kayu, agar bisa mengusir burung. Asapnya yang membumbung tinggi, mampu membuat burung tidak ingin mendekat.

Mereka pulang saat sore hari. Sesampainya dirumah, Fatur juga membantu Nisa di dapur. Agus yang melihat Fatur membantu ibunya, pun ikut-ikutan bergabung, sedangkan Pak Galang hanya mendengus kesal. Dia tidak suka melihat Fatur dirumahnya.

Hari demi hari dilalui Fatur begitu berat. Namun dia mulai terbiasa dengan pahitnya kehidupan. Saat tidak ke ladang, Fatur mengumpulkan semua sampah-sampah rumah tangga yang bersifat organik yaitu berupa sampah sayur, nasi, dan sebagainya.

Dia mengumpulkan dalam satu tempat, dan memasukkannya ke dalam goni. Kemudian dia memasukkan cairan Em4 di dalam tumpukan sampah sayur itu. Sesekali dia juga menyiram tumpukkan sampah itu pakai air perasan beras.

Biasanya peruraian sampah ini membutuhkan waktu sebulan atau lebih, sebelum terurai menjadi tanah dan menjadi kompos. Kompos ini bisa di jadikan media tanam untuk menanam berbagai macam tanaman.

Fatur tidak hanya bekerja di ladang, membersihkan rumah, dan memasak, di sela-sela itu, dia juga menanam cabe di samping rumah, juga menanam terong, tomat, pare dan sebagainya.

Sikap rajin Fatur membuat Bu Nisa semakin sayang padanya, seperti anaknya sendiri. Agus juga ikut-ikutan sibuk berkebun.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!