Ansel menghampiri Herman yang baru saja menghubungi Mars, raut wajah pria itu terlihat sangat khawatir. "Bagaimana? Aurora sudah ketemu?" Tanyanya.
Herman mengangguk, ia berbalik dan menatap sang adik dengan tatapan lekat. "Kamu mengkhawatirkan putrimu, tapi kenapa kamu abai padanya? Ansel, Aurora tidak tahu apapun soal kem4tian ibunya. Dia tidak memilih di lahirkan, mendiang istrimu lah yang memutuskan untuk melahirkannya. Jangan benci dia hanya karena kelahirannya menyebabkan istrimu meninggal." Ujar Herman menegur adiknya itu.
Ansel hanya diam, dia tak menjawab apapun yang Herman katakan padanya. Itulah yang membuat Herman bingung dengan isi pikiran dan hati adiknya. Tanpa Ansel menjelaskan, Herman tahu jika sebenarnya Ansel peduli pada putri semata wayangnya. Namun, entah mengapa pria itu bersikap seolah membenci putrinya.
"Apa nanti kamu akan pulang? Atau kembali merantau? Apa tidak lelah bekerja jauh? Disini juga banyak lowongan pekerjaan, aku bisa mencarikanmu pekerjaan di perusahaan keluarga Reviano." Tanya Herman.
Ansel menggeleng, "Aku sudah mendapat pekerjaan baru di perusahaan temanku. Rencana aku akan tinggal di rumahku." Jawab Ansel.
"Bagus lah kalau kamu kembali, perbaiki hubunganmu dengan putrimu. Aurora anak yang baik, dia hanya kecewa atas sikapmu padanya." Setelah mengatakan itu, Herman berlalu pergi. Meninggalkan Ansel yang menatap kosong ke depan.
.
.
.
Selesai makan siang, Mars membawa Aurora dan Arkan pulang. Sepanjang jalan, mungkin karena kenyang Arkan dan Aurora jadi tertidur pulas. Bahkan, Arkan tertidur sambil memeluk tangan Aurora. Melihat pemandangan itu, Mars tersenyum tipis.
"Lihat, cara tidur mereka saja hampir sama." Batin Mars.
Tatapan matanya beralih menatap Aurora yang tidur dengan mulut sedikit terbuka. Tidak ada anggunnya sama sekali, sungguh aneh. Tapi kenyataannya, Mars menikahi perempuan yang apa adanya itu. Tidak anggun, sangat kekanakan, juga tak bisa diam. Sungguh bukan kriteria yang ia cari, tapi entah mengapa ia memilihnya.
Aurora terbangun dari tidurnya, ia melihat Arkan yang bergerak memeluk tangannya. Ia tak berani menarik tangannya, karena khawatir Arkan akan terbangun. Bertepatan dengan Aurora terbangun dari tidurnya, mobil pun berhenti di pekarangan rumah Mars.
"Sudah sampai, ayo turun." Ajak Mars.
"Arkan gimana?" Tanya Aurora, matanya terlihat sangat mengantuk. Ia baru tidur sebentar, tapi karena tak nyenyak jadi ia bangun.
"Saya akan menggendong nya, dia tidak akan bangun sebelum merasa lapar. Kamu turun dulu saja," ujar Mars.
Aurora menurut, ia turun dari mobil lebih dulu. Sementara Mars, ia meraih Arkan dalam gendongannya dan membawanya keluar. Pertama kalinya, ia akan mengajak istri kecilnya itu masuk ke dalam rumahnya.
"Tuan Planet, rumahmu besar sekali. Berapa luas tanahnya?" Tanya Aurora sembari mengg4ruk lehernya yang tak gatal.
"Bisakah kamu mengganti nama panggilanmu untuk saya? Mars! semudah itu tapi kamu selalu lupa?" Desis MArs tak terima.
Aurora tertawa kecil, "Kata Planet sudah melekat di wajahmu, yasudah mana kamarnya? Aku mau lanjut tidur, eh ... tapi apa ada ibu mertua? Apa aku akan di marahi olehnya? Tuan planet, ibu mertuaku terlihat tidak menyukai ku kemarin."
Mars memasang raut wajah dinginnya, baru saja dia memberitahu dengan jelas namanya Mars. Bukan planet, mister Planet, atau yang lainnya. Tapi sekarang, gadis itu terus memanggilnya Tuan Planet.
Tak ingin berdebat, Mars melangkah pergi. Membuat Aurora seketika panik dan segera menyusul nya. Mars membawa Arkan ke kamarnya, ia membaringkan tubuh putranya di atas ranjang kecil anak itu. Tak lupa, ia mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur agar tidur putranya semakin lelap.
"Ayo, ikut saya."
"E-eh!" Mars menarik tangan Aurora pergi, ia membawanya menaiki tangga. Aurora tak tahu kemana Mars membawanya. Setibanya di lantai dua, pria itu membuka pintu kamarnya dan menarik tangan Aurora masuk.
"Kau!!" Aurora tak terima saat Mars menepis tangannya sebelum mengunci pintu kamar.
"Ayo, katakan sekali lagi. Panggil saya Tuan Planet seberani tadi, sekarang!" Titah MArs pada istri kecilnya yang terlihat ketakutan.
"Tuan Venus, aku kan cuman bercan ...,"
"MARRRS! MAARRS! HARUS BERAPA KALI SAYA BILANG KALAU NAMA SAYA MAAARRS!!" Pekik Mars dengan segala kekesalannya.
Aurora mengerjapkan matanya, ia cukup terkejut dengan teriakan Mars yang merasa kesal padanya. Menyadari kesalahannya, Mars menegakkan tubuhnya dan merubah eskpresi nya kembali. Seolah, ia tak melakukan apapun tadi.
"Ekhem, kamu bisa tidur di kamar ini. Ini kamar saya,"
"Di rumah ini kamar cuman dua?" Tanya Aurora, ia tak ingin sekamar dengan Mars. Jujur saja, dia masih merasa belum nyaman berdekatan dengan Mars.
"Kenapa? Tidak mau sekamar dengan saya?" Mars melangkah mendekat, membuat Aurora reflek memundurkan langkahnya.
"Bisa gak usah maju-maju kaaan! Ngomongnya dari situ aja!" Pinta Aurora, raut wajahnya terlihat panik.
Mars menyeringai dalam, ia semakin niat menjaili Aurora. Wajah panik gadis itu terlihat lucu, jadi entah mengapa Mars ingin selalu menjailinya. Hanya di saat ini saja Aurora tak banyak bertingkah.
"MUKA TUAN KAYAK OM-OM TAU GAK!" Teriak Aurora.
Raut wajah Mars berubah datar, baru kali ini ada yang mengatakan hal seperti itu padanya. Menyadari dirinya salah ucap, Aurora menutup mulutnya. Ia menatap Mars dengan penuh rasa sesal, apakah pria itu marah hingga diam seperti itu?
"Umur saya baru tiga puluh tahun dan kamu mengatakan saya om-om?"
Aurora meringis pelan, "Emang om-om kan?"
Mars memejamkan matanya, ingin marah tapi tidak bisa. Sudah planet, Venus, om-om, setelah ini apalagi?
Mars membuka kembali matanya, ia berjalan menuju lemari miliknya dan mengambil handuk dari sana. Lalu, ia melempar handuk itu pada Aurora. Reflek, Aurora mengambilnya. Matanya menatap Mars dengan tatapan tak terima.
"Gak sopan banget, heran." Gumam Aurora.
"Mandi, saya gak suka istri yang bau badan!" Ucap Mars sebelum berlalu pergi, meninggalkan Aurora yang melongo tak percaya.
"Dih, emang aku pernah bau? Enggak yah! Mau seminggu gak mandi juga gak pernah bau! Situ yang bau! Bau aki-aki, jelek! Tua! Ngese ...,"
"SAYA DENGAR! CEPATLAH MANDIII! ATAU MAU SAYA MANDIKAN HAH?!"
Aurora berlari masuk ke kamar mandi dengan cepat, ia kahwatir Mars akan kembali masuk dan justru memaksanya mandi. Dengan kesal, Aurora meletakkan handuk mandi yang Mars berikan tadi di atas wastafel.
"Apa sih! Manggil Planet salah! Dia ngomong saya-kamu ke aku aja gak masalah kok! Udah kayak atasan dan bawahan kan jadinya! Dasar aki-aki, kerjanya marah aja terus!" Gerutu Aurora.
Melihat keadaan kamar mandi di kamar suaminya, Aurora berdecak kagum. Tatapan nnya berbinar terang melihat kesekitar kamar mandi. Sangat mewah, bahkan ada bathtub berbentuk bulat yang sering ia lihat di drama korea yang dirinya tonton.
"Waaah, apa ini yang di namakan menikah dengan sugar daddy!"
Aurora mengelus pinggiran bathtub, tatapannya beralih menatap deretan sabun mandi berbagai merk yang terlihat mewah. Tak sabar berendam, Aurora pun segera menyalakan airnya.
"Gak dapet Xu Kai, dapet sugar daddy gak rugi juga lah." Gumamnya.
Selesai mandi, Aurora memakai handuknya keluar. Tanpa tahu, jika Mars sudah menunggunya sedari tadi sembari duduk di tepi ranjang. Melihat kehadiran Mars, tentu Aurora kaget. Ia hampir saja berteriak, untungnya masih bisa dia tahan.
"Ini pakaian mendiang istri saya, pakai saja sampai Paman membawa bajumu. Setelah itu istirahatlah." Ucap Mars dan memberikan pakaian untuk Aurora.
"Apa tidak masalah?" Tanya Aurora dengan ragu.
Mars menggeleng, "Besok saya akan membawamu belanja," Aurora mengangguk, ia mengambil pakaian itu dan menatapnya sebentar.
"Apa kamu bisa memasak?"
"Hah? Masak? Bi ... bisaaa! Aku bisa masak!" Seru Aurora dengan yakin tanpa ragu sedikit pun. Hanya saja, tatapannya terlihat berbeda terlihat risau.
Mars mengangguk pelan, "Yasudah, saya tinggal ke ruang kerja dulu." Pamit Mars.
Aurora mengangguk, senyumannya belum luntur. Namun, setelah Mars keluar dari kamar dan menutup pintu. Aurora menghela nafas berat, senyumannya seketika luntur. Raut wajah yakinnya tadi lenyap. Jujur, dia tak bisa memasak. Setiap kali Helen mengajaknya belajar memasak, Aurora selalu menolaknya. Ia tak kuat mengiris bawang dan tak tertarik dengan pekerjaan satu itu.
"Boro-boro masak makanan? Masak air aja sampe gosong pancinya." Gumam Aurora dengan tatapan meringis.
Cklek!
Aurora terkejut melihat Mars yang kembali lagi, tapi kali ini pria itu hanya memunculkan setengah badannya saja dari balik pintu. "Nanti malam temani Mama memasak."
"Hah?!"
___
Mulaaaai di seleksi mertua 🤣
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Alistalita
Dah ngerti duluan kalau dengar kata "Mertua".Wkwkwk, tapi tenang yakin deh
ibunya Mars sebetulnya baik. Cuman ya harus sering berinteraksi aja, misalnya belanja bersama ngabisiin duitt suami gitu😂 tapi kalau Ibunya Mars berulah siap2 diamuk sama opahh evano, setidaknya karena Aurora Naomi pernikahan putranya terselamatkan🤭
Arkan ketemu Aurora langsung cocok, semoga kalian kompok juga jahilin daddy dan sugar daddy kalian ya. Wkwkwk
Jadi penasaran juga kenapa Mars langsung suka sama Aurora, apa jangan2 lama menduda makannya jadi kaya gitu😂
Betul kata paman Herman, waktunya anda sebagai Ayah Aurora memberikan kasih sayang. Jadi kasihan sama Aurora walupun tumbuh baik dengan paman dan bibinya. tapi tetap saja terasa beda, kalau bukan orang tua sendiri yang ikut merawatnya tapi ini bukan soal uang ya.
2024-11-10
31
Syifa Azahrasiyah
/Joyful//Joyful//Joyful//Joyful/nah malah masak Ama mamer lagi,alamat bukan cuma air yang gosong bisa2 mau goreng, minyaknya samapi surut lagi cuma di lihatin saking groginya ya Ra/Joyful//Joyful//Joyful/
2024-11-10
7
nuraeinieni
wah ternyara aurora tdk bisa masak,,jujur aja sama suami mu rora;
tenang rora,,ikut saja apa kata mertuamu yg penting bantu petik sayur,😂,,,hitung2 belajar masak sama ibu mertua.
2024-11-10
6