Kesepian

Sheila menatap nisan yang kini telah bertuliskan nama pria yang baru kemarin menyandang status sebagai suaminya. Dia terdiam bahkan ketika satu persatu pelayat yang ada melangkahkan kakinya meninggalkan area pemakaman. Dia diam, memandang lurus ke depan.

Satu yang ada di pikirannya saat ini, 'Apakah aku harus kembali tinggal di kosan sempit dengan berbagai part time yang harus dikerjakan kalau Ares sudah tidak ada seperti ini?'

Ya, mungkin terdengar kejam saat Sheila hanya memikirkan dirinya dan bukan tenggelam dalam kesedihan kematian suaminya sendiri. Tapi, mau bagaimana lagi? Sheila menikahi Ares demi bisa mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman. Bukan malah mendapat status janda di usia mudanya ini.

"Mau terus diam di sini? Tidak mau pulang?"

Sheila menoleh. Di mana dia mendapati Ghazam dengan pakaian serba hitamnya yang sudah berdiri tak jauh di belakang Sheila.

Tidak menjawab, Sheila juga lebih memilih untuk kembali menatap nama Ares di atas nisan. Seolah pertanyaan Ghazam memang tidak menarik sama sekali untuknya.

"Biarkan Ares beristirahat dengan tenang. Seharusnya kau sudah tahu kalau dia memiliki kondisi jantung yang buruk bukan? Hal ini tidak bisa dihindari, mungkin sudah takdirnya seperti ini," ucap Ghazam yang sudah melangkahkan kakinya mendekat ke arah Sheila dan berdiri tepat di samping gadis itu.

"Apa kau tidak bersedih sama sekali? Kakakmu baru saja meninggal, tapi kau terlihat cukup santai untuk seseorang yang baru saja kehilangan keluarganya," ujar Sheila tanpa menoleh ke arah Ghazam.

Ghazam sempat terdiam, sebelum akhirnya dia tersenyum, miris. "Entahlah. Aku sendiri tidak tahu apakah aku merasakan kesedihan itu atau tidak. Tapi yang jelas, hubunganku dengannya tidak baik sejak dulu. Apa yang sudah dia lakukan rasanya sudah membuatku mati rasa."

Sheila mengernyit setelah mendengar ucapan Ghazam. Kali ini dia menoleh ke arah pria di sampingnya, penasaran. "Apa maksudnya? Memangnya apa yang sudah Kak Ares lakukan padamu?"

Tak menjawab, Ghazam kini lebih memilih memainkan kunci mobil yang ada di tangannya. "Mau ikut puang bersamaku tidak? Orang-orang sudah pergi, di sini jarang ada kendaraan umum," ucapnya mengalihkan pembicaraan.

Nyatanya, Sheila juga sadar kalau Ghazam enggan menjawab pertanyaannya.

"Aku ikut, sekalian membawa beberapa barang dan pakaianku yang masih ada di kamar Ares," ucap Sheila pada akhirnya.

Baiklah, tidak penting memikirkan apa yang sudah terjadi di antara Ghazam dan Ares. Yang lebih penting sekarang, Sheila yang harus mencari tempat tinggal lain.

Baru beberapa langkah mereka meninggalkan area pemakaman, seseorang sudah berdiri tepat di depan keduanya.

"Halo, Nona Sheila. Kita bertemu lagi. Turut berduka cita atas meninggalnya Tuan Ares."

Sheila menatap seorang pria yang nampak seusia dengan Ares yang kini berdiri di hadapannya. Membuat Sheila sedikit menundukkan kepalanya untuk menyapa pria tersebut.

"Terima kasih sudah hadir di pemakaman Tuan Ares," ujar Sheila lembut.

Dia sedang berusaha bersikap sopan. Karena dia jelas tahu pria di hadapannya bukanlah orang yang sembarangan. Apalagi saat Sheila juga mengingat jika pria itu begitu dihormati Ares saat hari pernikahannya.

"Maaf sekali. Tapi, aku tak begitu memiliki ingatan yang bagus," jawab Sheila lebih sopan lagi.

Dia tidak ingin membuat pria itu malah salah paham karena Sheila sama sekali tidak mengingat namanya.

"Aku Jeremy. Teman baik Ares," ujar pria itu dengan tangan yang sudah terulur pada Sheila.

Sheila mengerutkan keningnya. "Jeremy? Jeremy Graffin?"

Sebuah anggukan ditunjukan Jeremy di sana. "Betul sekali!"

Sheila membuka mulutnya tak percaya. Dia tak menyangka jika yang berhadapan dengannya saat ini adalah seorang CEO dari salah satu stasiun televisi nasional terbesar. Dimana seingat Sheila, pria itu memiliki kekayaan yang tak terhitung lagi jumlahnya.

"Ah, maaf sekali tidak mengenalimu, Tuan Jeremy," ucap Sheila sembari menerima uluran tangan Jeremy.

Sheila tersenyum lebar. Mengingat Ares yang memiliki hubungan baik dengan Jeremy, mungkin bisa membuat Sheila juga mendapatkan koneksi darinya. Sehingga dia bisa kembali bertahan dengan kehidupannya setelah Ares meninggal.

"Tidak apa-apa, cantik."

Sheila tertegun saat Jeremy berkata demikian. Sehingga Sheila hanya bisa tersenyum kaku saat mendengarnya. Pasalnya, bukan hanya itu saja. Jeremy bahkan tak melepaskan tangan Sheila begitu saja. Pria itu masih menggenggamnya.

Dan beberapa saat kemudian, pria itu malah menarik Sheila untuk lebih dekat dengannya. "Aku siap menggantikan Ares," bisik Jeremy pada Sheila.

Sekali lagi, Sheila membulatkan matanya. Dia mencoba melepaskan tangannya dari Jeremy, tepat saat pria itu juga sudah menggerakkan jari telunjuknya di telapak tangan Sheila. Bergerak menggelitik di sana.

"T—tuan," ucap Sheila menjadi ketakutan sendiri.

Tatapan mata Jeremy terlihat begitu menyeramkan. Sebab pria itu sudah menatap Sheila dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Belum lagi dengan lidah yang sudah menyapu bibirnya sendiri di sana.

Jelas, Sheila tahu sekali arti tatapan itu. Jeremy tak jauh berbeda dengan Ares.

"Aku bisa memberikan penawaran lebih banyak daripada Ares. Bahkan, kau juga tak perlu menikah denganku. Cukup memuaskan aku, aku akan memberikan berapa pun yang kau inginkan, Manis."

Sheila menggeleng. Dia menolak tanpa harus berpikir lagi. Dia memang menikahi Ares karena dia berharap Ares bisa menyelamatkannya dari kemiskinan. Tapi, bukan berarti Sheila akan mudah memberikan dirinya pada siapa saja.

"Mau sok jual mahal? Aku bahkan bisa memberikanmu mansion, kapal pesiar atau—"

"Maaf sekali, Tuan Jeremy. Tapi, dia tak membutuhkan semua itu. Aku sebagai adik dari Tuan Ares juga bisa memberikan semua itu untuk kakak iparku ini."

Ghazam segera memotong ucapan Jeremy di sana saat merasa pria di depannya semakin bersikap kurang ajar. Di mana hal itu jelas membuat Sheila segera menarik tangannya, mengambil kesempatan melepaskan diri saat Jeremy tengah lengah karena ucapan Ghazam.

Jeremy juga nampak terlihat gelagapan karena ucapan Ghazam di sana. "K–kau Ghazam? Adik Ares?"

"Menyingkirlah dari sini. Sebelum istrimu melihat kau baru saja menggoda kakak iparku ini," tambah Ghazam begitu dia sudah berdiri di depan Jeremy.

Sheila tak mengerti, kenapa Jeremy begitu saja menurut akan apa yang dikatakan Ghazam. Padahal, sekelas Ares saja saat itu memperlakukan Jeremy dengan hormat. Tapi Ghazam justru malah terlihat begitu mudah membuat Jeremy menurut.

"Lain kali jangan biarkan pria lain menyentuhmu," ucap Ghazam yang kini sudah berhadapan dengan Sheila.

Sheila menatap Ghazam dengan tatapan tak percayanya. Membuat gadis itu juga bertanya-tanya apa yang mungkin Ghazam miliki hingga bisa bersikap seperti itu pada Jeremy. Karena kalau soal harta, Sheila tak begitu yakin. Ghazam selama ini pergi dari Ares, tanpa membawa harta Ares sedikit pun. Belum lagi, Sheila juga tak mengetahui selama ini Ghazam bekerja sebagai apa.

"Apa urusannya denganmu?" tanya Sheila yang kini sudah menunjukan keangkuhannya pada Ghazam dengan sengaja.

Dia juga menatap tajam pada Ghazam di sana dengan kedua tangan yang sudah terlipat di depan dada.

Mengulurkan jemari tangannya untuk mengusap lengan atas Sheila, Ghazam lantas tersenyum dengan penuh arti. "Karena hanya aku yang boleh menyentuhmu," ucapnya begitu pelan.

Sheila memutar bola matanya malas. Seharusnya dia sudah tahu sejak awal maksud Ghazam. Apalagi saat pria itu menyebut dirinya sebagai kakak ipar dari Ghazam sendiri. Gila, rasanya memuakkan untuk Sheila kalau diingat lagi.

"Sheila, karena suamimu alias kakakku sudah tidak ada. Jadi, biarkan aku yang menikmatimu," bisik Ghazam sekali lagi pada Sheila.

Kalimat yang telah berhasil membuat Sheila mengepalkan tangannya kesal karena hal itu. Ghazam gila, tak waras. Sheila tak bisa tetap di sana kalau sudah seperti ini.

***

Sheila menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang begitu dia baru saja kembali dari pemakaman Ares. Menatap langit-langit kamarnya, malam ini akan menjadi malam terakhir Sheila tinggal di sana.

Dia sudah kehilangan Ares sebagai suaminya, jadi tidak ada alasan untuk Sheipa tetap berada di sana.

"Pria itu bahkan membuatku seperti ini setelah meninggal," ucap Sheila yang kemudian menghela nafasnya berat. "Seharusnya aku bertindak lebih cepat."

"Bertindak lebih cepat untuk menguras harta si tua Ares itu?"

Sheila tersentak. Saat sekarang Ghazam sudah melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar tersebut. Bahkan, wanita itu sudah segera bangkit dari duduknya. Membenarkan dress simple hitam panjang yang dia kenakan yang sempat tersingkap saat dia terlentang di atas kasurnya.

"Mau apa kau kemari?!" tanya Sheila tegas.

Melihat raut wajah Ghazam membuat Sheila mendecih. Semudah itu raut wajah pria itu berubah setelah pagi tadi terlihat muram saat Ares meninggal.

Membuat Sheila sadar, jika Ghazam tidak benar-benar bersedih akan kepergian Ares, kakaknya sendiri.

"Mau menemani kakak iparku. Siapa tahu kau kesepian dan membutuhkan seseorang di atas— maksudku, di sampingmu."

Ghazam sudah menunjukan senyuman jahilnya. Menunjukan sekali kalau dia memang tengah bermain-main pada Sheila. Belum lagi tatapannya, membuat Sheila sekali lagi merasa muak akan Ghazam.

Baiklah, beruntung sekali Sheila juga akan segera pergi dari kehidupan Ghazam. Setidaknya Sheila bisa melarikan diri dari kehidupan adik dan kakak yang selalu berhasil membuatnya menggelengkan kepala tak percaya. Walaupun Sheila juga harus merelakan fakta bahwa dia harus menjadi janda muda yang tidak mendapatkan keuntungan apapun selama menikahi Ares, pria yang jauh lebih tua darinya.

"Keluarlah! Aku juga akan segera pergi besok," ujar Sheila.

Dia tak mencoba menutupi kenyataan jika dia memang akan segera mengangkat kaki dari rumah Ares.

"Benarkah? Bagus sekali! Tapi, tetap saja tidak akan mengurungkan niatku untuk menghilangkan rasa kesepianmu," ujar Ghazam dengan senyuman yang dia tunjukan.

Ini gila. Teramat! Dia mengerti apa maksud Ghazam di sana. Terlebih, saat pria itu sudah berjalan cepat mendekat pada Sheila  dan menghimpit tubuh wanita itu pada tembok. Dia melakukan kabedon pada gadis itu di sana.

"Hari pertamamu menjadi janda, bagaimana rasanya? Aku tahu kau pasti teramat kesepian sekarang, 'kan? Tidak ada lagi yang memenuhi tubuhmu? Tidak ada lagi suami tua mu yang menikmati bibirmu?" bisik Ghazam sensual di telinga Sheila.

Sheila hampir terbuai dengan bisikan lembut yang Ghazam tunjukan. Dia nyaris saja kehilangan akalnya. Seandainya saja jika dia tidak mencoba mengendalikan diri, mungkin dia sudah berada dalam sebuah masalah.

"J–jangan, macam-macam!" Seru Sheila mencoba memperingatkan.

Namun, bukannya sebuah kepatuhan yang dia dapatkan, justru Sheila malah mendapatkan satu ciuman yang memaksa, ciuman yang cukup kasar untuk bibir Sheila di sana.

"Diamlah! Biar aku tunjukan permainan yang lebih baik di tengah kesepianmu!" Seru Ghazam saat Sheila terus memberontak sehingga dia harus melepaskan ciuman yang dia lakukan.

"Ummphh—"

Sheila kembali memberontak di tengah pagutan yang diberikan Ghazam. Tangannya berkali-kali memukul dan mendorong tubuh pria itu. Namun, sayangnya tenaga Ghazam dengan tubuh kekarnya itu tak sebanding dengan dirinya. Membuat Sheila tetap tak bisa melepaskan ciuman panas tersebut.

Berkali-kali Sheila melenguh dan mencoba berteriak, tapi tetap tak digubris Ghazam.

Merasa perlawanannya tak berhasil, Sheila lebih memilih merapatkan bibirnya dengan kuat. Sehingga membuat Ghazam kesulitan untuk menyesap bibirnya.

"Sialan! Buka mulutmu, Sheila. Aku sedang berbaik hati memberikan diriku untuk janda bekas sepertimu!"

Gila. Hanya itu yang bisa Sheila pikirkan soal Ghazam. Adik iparnya sendiri.

Mendengar apa yang dikatakan Ghazam saja, Sheila lantas meludah ke sisi kirinya. Seolah menatap Ghazam adalah hal yang paling menjijikan untuknya hingga meludah seperti itu.

"Brengsek!" Seru Ghazam tak terima saat Sheila berlaku demikian. "Biar aku buat kau melenguh di bawah kuasaku, Sheila. Akan aku tunjukan bagaimana nikmatnya milikku. Akan aku buat kau melayang tinggi sebelum akhirnya aku jatuhkan kau kembali dengan keras!"

Ya, Ghazam marah. Dia tak terima. Hingga dia sudah mencengkram dagu Sheila dengan satu tangannya. Cengkeramannya juga begitu kuat hingga gadis itu merasakan sakit di kedua sisi pipinya.

Sebelum akhirnya, Ghazam sudah kembali melumat bibir sang gadis. Dengan sebuah gigitan yang dia berikan pada bibir bawah gadis itu hingga mengaduh dan membuka mulutnya. Sampai Ghazam menyunggingkan senyumnya atas apa yang telah dia lakukan. Tersenyum puas penuh kemenangan, saat dia sudah berhasil menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Sheila. Bergerak menyusun setiap deretan gigi Sheila dan menyesap lidah wanita itu.

Sheila sadar. Ghazam memang begitu brengsek!

Terpopuler

Comments

❦ℓυ𝘮ꪱׁηͦꫀׁׅܻ࿐

❦ℓυ𝘮ꪱׁηͦꫀׁׅܻ࿐

belum bekas woi /Drowsy/

2024-10-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!