PMI 17. Pertengkaran Kecil
“Terserah kamu, deh, Yang. Aku pusing. Kamu selalu saja seperti ini. Ini yang bikin aku kadang jadi malas membahas tentang pernikahan.” Vanessa kembali melenggang masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Mirza yang sedang kesal.
Vanessa melempar handuk kecil ke sembarang tempat. Lalu membuka koper, mengambil pakaian ganti dari dalam sana.
Mirza menyusul Vanessa. Masih dengan Pil KB di tangannya. Bungkusan pil itu ia tunjukkan di depan wajah Vanessa.
“Kalau sampai aku tau ini punya kamu, aku bisa melakukan sesuatu yang lebih buruk dari ini sama kamu, Van. Kamu sudah bikin aku kecewa,” kata Mirza berusaha menekan amarahnya. Kedatangan mereka ke tempat ini adalah untuk bersenang-senang, bukan untuk bertengkar.
“Sudah aku bilang, sayang. Itu bukan punyaku. Itu punya Nova. Apa perlu aku telepon dia?” Vanessa selalu saja bisa meredam kecurigaan Mirza. Namun kali ini, agaknya Mirza sudah dirasuki berbagai asumsi negatif tentangnya.
“Tapi kenapa aku merasa kamu berbohong?” Entahlah, hati kecil Mirza merasa demikian. Sebab seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
“Za, apa kamu mencurigaiku? Lagian untuk apa aku minum pil itu. Ada-ada saja, deh. Lama-lama kamu bikin aku kesal, ya?”
“Bisa saja kamu minum pil ini biar kamu tidak hamil. Apa ini sebabnya kamu selalu menolak lamaranku? Kamu sebenarnya serius atau tidak denganku?”
“Kamu, kok, malah sewot begini, sih? Kalau aku tidak serius sama kamu, trus kenapa aku masih bertahan sama kamu? Apa kamu pikir aku suka hubungan kita hanya seperti ini terus? Aku juga ingin punya kehidupan yang lebih baik. Tapi, memang belum waktunya saja, Za.”
“Belum waktunya atau memang kamu yang tidak mau?”
Vanessa membuang napasnya sembari berkacak pinggang. Belum pernah ia melihat Mirza semarah ini. Biasanya juga ia selalu bisa mengendalikan amarah pria itu. Tapi kali ini, Mirza seakan ingin tahu banyak tentang apa yang ia sembunyikan selama ini.
“Jangan sampai Mirza tau pil itu memang punyaku. Kalau sampai dia tahu, bisa bahaya. Karirku bakal terancam. Bisa-bisa aku bakalan didepak dari industri hiburan,” batin Vanessa.
“Mana mungkin aku tidak mau, sayang. Aku cinta sama kamu. Kamu tau itu, kan?” ujar Vanessa demi meyakinkan kekasihnya itu.
“Kalau memang cinta, seharusnya kamu tidak menolak terus. Kamu pikir kenapa aku ngajak kamu liburan ke sini? Hanya untuk bersenang-senang? Tidak, Van. Sengaja aku mengajak ke kamu ke sini agar kita punya lebih banyak waktu berdua. Karena belakangan ini aku merasa kamu sudah mulai berubah.”
“Iya. Aku tau. Maafkan aku, ya? Tolong jangan curiga padaku. Aku tuh, cuma cinta sama kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku tidak mau kehilangan kamu, Yang.” Vanessa menekan kekesalannya. Ia mendekat, lalu memeluk Mirza dengan erat.
Hati Mirza memang sudah melunak. Namun logikanya masih berjalan. Jika memang benar pil KB itu milik Nova, lalu untuk apa Nova menitipkan benda itu pada Vanessa? Bukankah Nova itu perempuan singgel? Apakah Nova diam-diam sering berhubungan dengan laki-laki? Jika memang benar, padahal masih ada jenis pengaman lain yang bisa digunakan Nova. Mengapa harus pil KB yang menjadi pilihan perempuan itu?
“Ya sudah. Sekarang kamu ganti baju. Habis itu kita sarapan sama-sama.” Mirza melerai pelukan. Kemudian melenggang pergi ke teras usai mengecup ubun-ubun Vanessa dan melempar pil itu ke dalam tempat sampah.
Vanessa pun akhirnya bisa bernapas lega. Bisa gawat jika Mirza tahu pil itu miliknya. Vanessa melongokkan kepalanya, memastikan Mirza sudah duduk kembali di tempatnya. Kemudian ia berjalan pelan mendekati tempat sampah, memungut pil itu kembali. Bisa gawat urusannya kalau ia tidak meminum pil itu jika Mirza meminta jatah lagi sebentar malam. Ia bukan wanita bodoh yang mau terikat hanya dengan satu pria saja.
****
Renata hendak menemani Tony bertemu kliennya siang ini saat tiba-tiba wali kelas Dito menghubunginya dan meminta ia datang ke sekolah. Sebab ada sesuatu hal yang ingin dibicarakan.
Sebetulnya Renata tak enak hati membiarkan Tony pergi seorang diri. Sebab sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya mendampingi pria itu di setiap urusan pekerjaannya.
Namun, berkat kebaikan hati Tony, Renata pun akhirnya bisa memenuhi undangan wali kelas Dito.
“Segera beritahu saya kalau ada apa-apa dengan Dito.” Begitu pesan singkat Tony kepadanya begitu ia turun dari mobil Tony untuk berpindah ke mobilnya.
Perasaan Renata was-was saat, Bu Desi, wali kelas Dito menyampaikan jika putra kecilnya itu sedikit membuat masalah di dalam kelas.
“Dito berkelahi dengan temannya di kelas. Saling jambak, saling pukul. Saya sebagai wali kelas sangat menyayangkan dengan perbuatan brutal anak Ibu,” kata wali kelas ketika Renata bertemu di ruangannya.
“Maafkan anak saya, Bu,” sesal Renata dengan perasaan sedih. Ia tak habis pikir apa yang membuat Dito sampai berbuat seperti itu. Padahal selama ini ia merasa tidak pernah mengajarkan anak itu untuk berbuat kasar pada teman-teman sebayanya.
“Beruntung orangtua korban tidak menuntut ganti rugi, dan tidak melaporkan tindakan anak Ibu.”
“Maafkan anak saya sekali lagi, Bu. Tapi, saya kenal anak saya dengan baik. Tidak mungkin dia berbuat seperti itu kalau tidak ada penyebabnya.” Renata tahu betul dengan kepribadian Dito. Anak itu tidak akan mungkin menyerang orang lain jika dia tidak ada sesuatu. Mungkin saja Dito melakukan itu hanya untuk membela diri.
“Saya sudah tanya. Di kelas juga ada CCTV. Saya bisa tunjukkan rekamannya kalau Ibu mau.”
“Tidak perlu, Bu. Saya percaya anak saya.”
Bu Desi terlihat menghela napas sejenak. Sebelum kemudian kembali berkata. “Dito yang lebih dulu memukuli temannya. Saya sudah lihat rekamannya.”
“Anak saya pasti diganggu, Bu. Tidak mungkin dia memukul tanpa ada penyebabnya.”
“Kalau begitu, mari kita dengarkan sama-sama apa penyebabnya. Saya akan panggil Dito. Sebentar, Bu.” Wali kelas meninggalkan ruangan sebentar. Tak lama kemudian ia kembali bersama Dito.
Dito mengambil tempat duduk di sebelah Renata. Anak kecil itu menunduk, tak berani menatap wajah ibunya.
“Dito ... Bundanya Dito sudah datang. Dito boleh cerita ke Bunda Dito kenapa Dito memukuli teman Dito di kelas,” kata Bu Desi dengan intonasi lembut, agar tidak menakuti Dito.
Namun Dito membisu. Anak itu tidak berani mengangkat wajahnya. Penampilan anak itu terlihat acak-acakan.
“Dito ... Dito boleh, dong, cerita sama Bunda. Bunda tidak akan marah, kok. Bunda sudah dengar, katanya Dito berantem, ya, Di kelas? Boleh Bunda tau kenapa?” tanya Renata dengan melembutkan suaranya. Sakit hatinya melihat putra tersayangnya dalam keadaan seperti itu. Selama ini ia sudah berusaha mendidik putranya itu dengan baik.
Dito masih diam. Kemudian Renata berdiri, lalu berjongkok di depan Dito agar bisa memandangi wajah anak itu. Renata meraih jemari Dito, menggenggamnya dengan erat untuk meyakinkan Dito bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa menyakitinya, karena ada bundanya yang akan selalu melindunginya.
“Dito sayang Bunda, kan? Cerita, dong, sama Bunda. Kalau Dito tidak cerita, Bunda jadi sedih. Dito tau kenapa? Karena cuma Dito teman Bunda bercerita,” bujuk Renata.
Perlahan Dito mengangkat wajahnya. Matanya menatap sayu pada Renata.
“Aku sering diledekin, Bunda. Aku tidak terima, aku sering diledekin anak yatim. Teman-temanku semua punya ayah. Kenapa hanya aku yang tidak punya?” Akhirnya Dito buka suara. Mengakui alasan mengapa ia sampai memukuli salah seorang temannya.
Mendengar pengakuan Dito, perasaan Renata berdesir nyeri seketika. Rasa sesak pun tiba-tiba memenuhi ruang di dadanya. Renata terdiam sejenak, bingung harus berkata apa.
Selama lima tahun ini Renata dan Dito hidup baik-baik saja meskipun tanpa sosok seorang ayah. Selama ini Dito tidak kekurangan kasih sayang. Sebagai seorang ibu Renata sudah melakukan dan memberikan semua yang terbaik untuk Dito. Renata sudah berusaha menjadi ibu sekaligus ayah yang baik bagi Dito. Lalu mengapa sekarang sosok itu dipertanyakan?
“Aku juga punya ayah, kan, Bunda?” tanya Dito kemudian.
To be continued...
NT kemarin ada kendala sistem. Tapi sekarang sudah normal lagi. Kolom komentar sdh bisa digunakan kembali 😊 Happy reading guys 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
💞Eli P®!w@nti✍️⃞⃟𝑹𝑨🐼🦋
Mirza tidak bisa kau bodohi terus vanesaa 😤
2024-09-26
0
Elisabeth Ratna Susanti
like plus iklan 👍
2024-09-23
0
🌞MentariSenja🌞
🌹🌹𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔𝚖𝚞 𝚝𝚑𝚘𝚛
2024-09-12
1