PMI 16. Pil KB
“Pagi?” Renata menyapa sembari mengambil tempat duduk di sebelah kiri Dito.
Anak yang sedang menyantap sarapan paginya itu tersenyum membalas sapaan ibundanya. “Pagi, Bunda.”
“Pagi, Bu,” sapa Renata lagi pada Bu Ningsih yang datang menyajikan sop hangat di atas meja makan. Kemudian ikut duduk.
“Kamu cantik sekali hari ini,” puji Bu Ningsih pada Renata yang memang pagi ini terlihat cantik dan lebih segar dengan kemeja berwarna kuning cerah yang dikenakannya.
“Biasa saja, Bu.” Renata tersenyum menerima pujian itu. Ia sendiri merasa jika penampilannya biasa-biasa saja walaupun rapi karena tuntutan pekerjaan.
Dulu, Renata hanya berpenampilan sederhana. Sewaktu bekerja di Green Paradise pun ia hanya mengenakan seragam yang diperuntukkan bagi pegawai resort tersebut.
Namun, saat Tony memilihnya menjadi sekertaris, mulai saat itu Renata selalu memperhatikan penampilannya. Tentu saja hal itu juga tidak lepas dari dukungan dan perhatian Tony. Tony-lah orang pertama yang merubah penampilannya. Mulai dari mengajaknya berbelanja pakaian, mengajaknya ke salon, bahkan Tony sampai rela menunggunya berjam-jam di salon. Dengan alasan, penampilan menunjang kinerja. Dan Tony ingin Renata tampil percaya diri sebagai sekertarisnya.
Jika di ingat-ingat, sudah tak terhitung jumlahnya kebaikan Tony kepada Renata. Dan Renata hanya bisa membalasnya dengan ribuan ucapan terima kasih serta upayanya untuk berkerja lebih keras lagi.
“Semalam kamu diajak Pak Tony ke mana?” tanya Bu Ningsih. Mungkin Renata belum menyadarinya. Tetapi dari pengamatannya, Tony sepertinya memiliki perasaan pada Renata.
“Ke rumahnya, Bu.”
“Oh ya? Ada acara keluarga?”
“Tidak juga. Saya hanya diminta menemani menjamu temannya yang datang dari luar kota. Sekaligus tamu di resort.”
“Oooh ...” Bu Ningsih manggut-manggut. Namun dalam hatinya bertanya-tanya, apakah Tony sudah pernah mengutarakan perasaannya pada Renata? Sebab Bila dilihat dari cara Tony memperlakukan Renata itu bisa dilihat dengan jelas jika pria itu menyukai Renata. Sepandai-pandainya Tony menyembunyikan perasaannya, namun sikap dan perlakuannya mampu menunjukkannya.
“Bunda, hari ini aku diantar pakai mobil, kan?” tanya Dito antusias. Anak kecil itu sudah menyelesaikan sarapannya.
“Iya, sayang.” Renata tersenyum. Kemudian berdiri dan menyambar tasnya di atas meja makan itu. “Ayo, nanti kita terlambat. Naik mobil tidak secepat naik motor. Kalau pake motor kita bisa ngebut dan nyalip. Bisa lebih cepat sampenya,” ujarnya kemudian berjalan lebih dulu.
“Saya pamit dulu, ya, Bu?” Renata menghampiri Bu Ningsih, menyalimi wanita tua itu. Disusul kemudian oleh Dito.
“Hati-hati di jalan, ya, Ren.”
“Dito berangkat sekolah dulu, ya, Nek,” kata Dito, kemudian menyusul langkah ibunya usai menyalimi Bu Ningsih.
****
Keadaan kamar yang terang akibat sinar matahari yang menembus melalui jendela kamar yang terbuka itu membangunkan Vanessa dari tidurnya. Matanya menatap nanar ke sekeliling, mencari-cari sosok Mirza yang tidak dilihatnya berada dalam kamar itu.
Turun dari tempat tidur, Vanessa kemudian memungut kimono yang teronggok di lantai. Lalu mengenakannya untuk menutupi lingerie berbahan tipis yang menampakkan lekuk tubuh seksinya. Kemudian ia melenggang menuju teras samping.
Di teras itu Mirza sedang duduk di atas sofa ditemani sarapan pagi yang sudah tersaji. Vanessa menghampiri, merangkul kekasihnya itu dari belakang.
“Pagi, sayang,” sapa Vanessa sembari mengecup mesra sebelah pipi Mirza.
“Tidurmu nyenyak sekali, ya?” Mirza terbangun dini hari, lebih pagi dari biasanya. Ketika terbangun ia merasakan sebuah kekosongan dalam hidupnya. Padahal disampingnya ada Vanessa yang sedang terlelap.
Jika dulu, saat terbangun di pagi-pagi buta seperti ini, Mirza tidak menemukan lagi Renata di dalam kamar. Setiap kali ia terbangun, Renata sudah melakukan aktifitasnya di dalam rumah, misalnya seperti membantu Bi Sum di dapur. Setiap pagi Renata juga yang selalu menyiapkan sarapannya meski ia tidak minta. Wanita itu begitu telaten mengurusnya sampai membuatnya merasa nyaman. Namun ia tidak pernah mengakui itu.
Berbeda sekali keadaannya dengan Vanessa. Mungkin karena Vanessa seorang selebriti sehingga Vanessa terbiasa dilayani kebutuhannya.
“Kita sarapan bareng, yuk,” ajak Mirza sembari menarik tangan Vanessa, mengajak wanita itu duduk di sampingnya.
“Aku mandi dulu, ya? Jangan dihabiskan dulu sarapannya. Tunggu sampai aku selesai mandi.” Vanessa yang memang tidak terbiasa sarapan sebelum mandi itu, bergegas pergi ke kamar mandi.
Mirza hanya bisa meniupkan napasnya kasar. Selera makannya tiba-tiba saja menghilang. Padahal sejak tadi ia menunggu Vanessa bangun untuk sarapan bersama. Ingin membangunkan Vanessa, tapi ia merasa sayang melihat kekasihnya itu sangat nyenyak dalam tidurnya. Sehingga ia pun memutuskan menunggu sambil menikmati pemandangan.
Merasa bosan, Mirza kemudian berdiri hendak ke dalam kamar untuk mengambil ponsel. Ponselnya terletak di atas meja nakas. Ia hendak mendekati tempat tidur saat terdengar dering ponsel yang berasal dari ponsel yang lain.
Mirza menoleh pada tas Vanessa yang ada di atas meja rias. Dering ponsel yang terdengar itu mungkin berasal dari ponsel Vanessa. Ia merubah arah langkahnya mendekati meja rias. Diambilnya ponsel yang masih berdering itu dari dalam tas Vanessa. Sebuah panggilan masuk dari manajemen Vanessa.
“Ya, hallo?” Terpaksa Mirza menjawab telepon itu.
Manajer Vanessa sudah lama tahu tentang hubungan artisnya dengan produsernya. Hanya segelintir orang saja yang mengetahui hubungan mereka. Jika dibuka terang-terangan, orang-orang akan berkomentar buruk tentang Vanessa. Jika Vanessa memacari seorang produser hanya untuk mendompleng karirnya. Sebab Vanessa dinilai kurang memiliki bakat dalam berakting. Karir wanita itu terkesan dipaksakan.
“Iya, akan aku sampaikan.” Mirza kemudian menutup telepon. Pihak manajemen hanya menyampaikan tentang jadwal syuting iklan Vanessa sepulangnya Vanessa dari liburan nanti.
Usai menutup telepon, Mirza hendak mengembalikan ponsel Vanessa kembali ke dalam tas itu. Namun perhatiannya tiba-tiba saja teralihkan pada sebuah kotak kecil berwarna biru yang bertuliskan Pil KB. Bersamaan dengan itu, Vanessa keluar dari kamar mandi mengenakan handuk kimono sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
Vanessa pun tersentak kaget saat ia melihat tangan Mirza memegang Pil KB yang ia sembunyikan di dalam tasnya. Pil itu ia konsumsi secara rutin selama ia berhubungan dengan Mirza. Mirza yang tak pernah mau menggunakan pengaman ketika berhubungan badan itu membuatnya harus mengambil tindakan untuk melindungi dirinya sendiri.
“Sayang?” panggil Vanessa cemas sembari menghampiri. Namun ia berusaha bersikap tenang agar tidak mengundang kecurigaan Mirza.
“Apa ini?” Raut wajah Mirza berubah seketika. Guratan amarah mulai tergambar di wajah tampannya.
“Itu Pil KB. Memangnya kenapa?” Vanessa menjawabnya dengan tenang. Sebisa mungkin ia tak ingin memancing kecurigaan Mirza. Selama ini ia tahu, Mirza memang sengaja tidak menggunakan pengaman saat berhubungan badan dengannya karena pria itu menginginkan seorang anak. Sengaja Mirza ingin menghamilinya, sehingga mau tidak mau, ia harus menikahi pria itu. Sedangkan ia tidak pernah berkeinginan melahirkan anak.
“Jadi selama ini kamu mengkonsumsi ini? Van, kamu__”
“Itu bukan punyaku.”
“Trus punya siapa kalau bukan punya kamu? Aku menemukan ini di dalam tasmu. Trus punya siapa lagi?” Amarah Mirza tersulut seketika. Sungguh ia tak menyangka, ternyata selama ini diam-diam Vanessa memproteksi dirinya sendiri. Padahal ia sangat berharap Vanessa hamil, lalu mau tidak mau Vanessa pun akhirnya mau menikah dengannya.
Namun rupanya Vanessa malah memilih menghancurkan harapannya diam-diam. Mirza kecewa juga sakit hati dengan sikap Vanessa. Pantas saja Vanessa selalu menunda-nunda pernikahan mereka. Apakah Vanessa belum siap memiliki anak? Ataukah mungkin Vanessa tidak ingin memiliki anak?
Padahal Mirza sungguh berharap bisa segera menikahi Vanessa. Lalu cepat diberi momongan. Karena selama enam tahun ini setelah kepergian orangtuanya, Mirza disergap kesepian. Tinggal di rumah besar hanya dengan ditemani para ART, tidak lantas membuat rumah itu ramai.
Sering terbangun di tengah malam membuat kesepian itu semakin terasa. Mirza menginginkan seseorang berbaring disampingnya. Ia berharap orang itu adalah Vanessa. Namun Vanessa malah menghindarinya selalu. Dan anehnya, beberapa kali ia sempat teringat Renata. Walaupun selama pernikahan mereka Renata berbaring di lantai beralaskan selimut, setidaknya di dalam kamar ia tidak sendirian.
“Van ...” panggil Mirza menyusul Vanessa yang berjalan ke teras samping.
“Itu punya Nova. Dia nitip di tas aku waktu dia nganterin aku ke bandara,” kilah Vanessa.
“Jangan bohong kamu, Van. Kamu tau, kan, apa yang aku inginkan dari kamu selama ini?” Mirza tahu, Nova, asisten Vanessa itu belum menikah. Lalu untuk apa Pil KB itu?
“Terserah kamu, deh, Yang. Aku pusing. Kamu selalu saja seperti ini. Ini yang bikin aku kadang jadi malas membahas tentang pernikahan.” Vanessa kembali melenggang masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Mirza yang sedang kesal.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
wah pil KB?
2024-09-23
0
💞Eli P®!w@nti✍️⃞⃟𝑹𝑨🐼🦋
🌹🌹🌹 meluncur
2024-09-20
1
💞Eli P®!w@nti✍️⃞⃟𝑹𝑨🐼🦋
penyesalan mu tiada guna Mirza, kau dulu terlalu gengsi untuk mengatakannya
2024-09-20
1