PMI 15. Pernah Ada Rasa
“Tidak apa-apa, biar saya yang tanggung dosanya. Padahal saya berharap ini bukan sekedar akting, tapi sungguhan.” Tanpa sengaja Tony mengutarakan kalimat terakhirnya itu. Membuat Renata menoleh dengan kernyitan di dahinya.
“Maksud Bapak?”
“Ooh ... maksud saya, akting kamu tadi terlihat seperti sungguhan. Kamu hebat.” Tony gelagapan. Kalimat terakhirnya itu terlontar tanpa sengaja. Sempat terdengar oleh Renata, namun Renata tidak mengerti maksudnya.
“Oooh ... ya sudah, kalau begitu saya turun ya, Pak. Bapak hati-hati pulangnya,” kata Renata sembari tangannya meraih tuas, hendak membuka pintu mobil. Ia hendak turun saat tangan Tony tiba-tiba meraih tangan kanannya dan menggenggamnya. Membuatnya menoleh dan urung turun dari mobil itu.
“Emm ... Ren ...” Tony terlihat gugup saat Renata menatap matanya.
“Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu lagi?”
“Tidak, tidak ada. Saya cuma mau bilang makasih sekali lagi karena kamu sudah mau berpura-pura jadi pacar saya.” Tony sebetulnya ingin sekali mengatakan sesuatu. Tetapi ia belum memiliki keberanian yang cukup untuk mengutarakan maksudnya. Bukannya ia ragu pada dirinya sendiri, hanya saja ia merasa Renata mungkin akan menolak. Sehingga ia memilih memendamnya saja.
“Sama-sama, Pak. Tapi, apakah Bapak tidak merasa bersalah sudah membohongi orangtua Bapak? Kalau suatu hari nanti terbongkar, gimana? Saya takut mengecewakan orangtua Bapak.”
“Soal itu kamu tidak perlu khawatir. Saya kenal orangtua saya. Mereka tidak akan mungkin menyalahkan kamu. Saya melakukan ini karena mami berusaha menjodohkan saya dengan anak dari temannya. Sekarang, berkat kamu, mami tidak jadi menjodohkan saya.” Tony tersenyum penuh arti menatap Renata.
Namun Renata justru tak menangkap arti dari tatapan Tony. Renata menganggap berpura-pura menjadi pacar Tony hanya sekedar bantuan saja agar pria itu terhindar dari perjodohan. Mendengar kata perjodohan, membuat Renata teringat kembali masa lalunya. Masa lalu yang menorehkan luka di hatinya, namun ia memendam luka itu sendirian.
Dijodohkan dengan pria yang tidak mencintainya itu membuat luka tersendiri di hati Renata. Apalagi ketika ia tahu pria yang menikahinya itu malah bermain gila di belakangnya, lukanya semakin dalam. Dan luka itu mati-matian berusaha ia sembuhkan sendiri.
Sakit memang rasanya memendam perasaan sendiri, mengatasi luka sendiri karena dikhianati. Tapi Renata cukup sadar diri, pria yang pernah membuatnya jatuh hati itu sedikit pun tidak mencintainya.
Renata tidak memungkiri, dahulu ia pernah memiliki perasaan terhadap Mirza. Walaupun Mirza selalu bersikap kasar padanya, namun ada satu sisi baik dalam diri Mirza yang pernah membuatnya jatuh hati pada pria itu. Tetapi sayangnya, perasaan itu terpaksa harus ia kubur dalam-dalam. Karena ia sadar perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan.
“Tapi, Pak. Tetap saja, berbohong itu adalah dosa,” pungkas Renata mengingatkan.
Namun Tony malah menanggapinya dengan tawa kecil seraya menatap mata Renata lekat-lekat.
“Kalau membohongi diri sendiri, apa itu juga termasuk dosa?” gumam Tony tanpa sengaja. Dan terdengar oleh Renata.
“Maksud Bapak?”
“Selama ini saya sudah berbohong pada diri saya sendiri. Kalau saya mengakuinya, apa dosa saya itu bisa diampuni?”
Renata mengerutkan dahinya bingung. Ia tak mengerti maksud ucapan Tony. Padahal ia hanya membahas tentang sandiwara mereka. Tapi mengapa Tony malah melenceng?
“Maaf, Pak. Saya kurang ngerti.” Renata salah tingkah saat Tony terpaku menatapnya. Seketika itu juga ia merasa risih ditatap terus oleh atasannya itu. Seolah ada sesuatu yang aneh di wajahnya.
“Ah, maaf. Maaf, Ren. Kok saya malah jadi curhat sama kamu, ya?” Tony pun terhenyak, menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu dengan wajah konyol.
Renata hanya tersenyum tipis. Mendadak suasana pun terasa canggung. Renata kemudian pamit turun dari mobil segera.
“Makasih sekali lagi, ya, Ren. Salam buat Dito,” kata Tony sebelum Renata menghilang dibalik daun pintu.
Mobil yang dikendarai Tony pun kemudian perlahan mulai meninggalkan tempat itu.
****
Tony baru saja memasuki rumah dan hendak menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ia sudah berada di depan lift rumah itu saat tiba-tiba Sofie datang menghampirinya.
“Ton, sini sebentar. Mami mau ngomong,” kata Sofie menarik pergelangan Tony. Membawanya menuju ruang keluarga, mendudukkannya pada sofa panjang. Dan ia ikut duduk di sebelah putranya itu.
“Apa, sih, Mi? Aku ngantuk, mau tidur,” keluh Tony dengan wajah malas. Ia bisa menebak, jika maminya ingin membahas tentang hubungannya dengan Renata.
“Kamu emang serius pacaran dengan sekertaris kamu itu?”
Tony meniupkan napasnya. Dugaannya ternyata benar, maminya sudah pasti akan mempertanyakan soal hubungannya dengan Renata. Dari caranya bertanya, Tony juga punya firasat jika maminya ini tidak akan setuju dengan hubungannya.
“Kalau aku serius, memangnya kenapa, Mi? Mami tidak suka?” tantang Tony. Ia ingin tahu bagaimana tanggapan maminya. Apalagi, hatinya sungguh berharap jika sandiwara itu tidak akan berakhir sia-sia. Ia berharap sandiwara itu menjadi salah satu jalan untuknya bisa mendekati Renata secara terang-terangan dengan berdalih pura-pura.
“Bukannya Mami tidak suka, Ton. Renata itu cantik, baik, sopan lagi. Mami sudah pernah dengar tentang dia dari pegawai-pegawai kamu. Tapi, Ton, maaf nih, ya? Bukannya Renata itu janda?”
“Kalau iya, memangnya kenapa? Mama tidak suka? Memang apa masalahnya dengan janda? Itu kan hanya status. Lagian, Mi, menilai orang lain itu jangan hanya dari statusnya saja. Renata memang seorang janda. Tapi dia janda terhormat. Janda yang pandai menjaga harga dirinya.”
“Mami cuma nanya, kenapa kamu jadi sewot begini? Mami bukannya tidak suka. Bukannya Mami juga mau protes. Tapi apa kamu sudah pikirkan ini baik-baik? Memacari seorang janda juga ada resikonya tersendiri, Ton. Apalagi dia sudah punya anak kan? Ada konsekuensi yang harus kamu terima. Sekarang Mami tanya, dia janda cerai atau janda yang ditinggal mati?”
Tony terdiam sejenak. Pertanyaan maminya itu tak pernah terpikirkan olehnya selama bertahun-tahun mengenal Renata. Apakah Renata bercerai dari suaminya, ataukah suami Renata sudah meninggal dunia?
“Aku belum pernah tanya tentang hal itu? Memangnya kenapa, Mi?” tanya Tony ingin tahu.
“Kalau seandainya dia bercerai dari suaminya, apa kamu sudah siap kalau misalnya suatu hari nanti mantan suaminya itu kembali dan ingin rujuk? Apalagi mereka, kan, punya anak. Anak itu yang akan menjadi alasan untuk mereka bersama lagi. Apa kamu sudah siap?”
Bukannya Sofie ingin menakut-nakuti Tony. Hanya saja ia ingin mengutarakan beberapa kemungkinan resiko yang akan dihadapi putranya nanti. Sebagai seorang wanita yang sudah berpengalaman, tentu saja ia tahu hal seperti itu banyak sering terjadi di masyarakat. Ia juga bisa mengambil contoh dari beberapa teman arisannya yang pernah bercerai, namun pada akhirnya rujuk kembali demi sang buah hati.
Mendengar ucapan maminya, pikiran Tony menjadi bercabang-cabang. Apa yang dikatakan maminya itu tidak keliru. Kemungkinan itu bisa saja terjadi suatu hari nanti. Apalagi Dito sangat membutuhkan figur seorang ayah. Dan Renata juga pasti membutuhkan seseorang yang bisa menjaga serta melindunginya.
“Apa kamu yakin ingin ke jenjang yang lebih serius dengan Renata?” tanya Sofie lagi dengan wajah harap-harap cemas menunggu jawaban Tony.
Padahal hubungannya dengan Renata hanya sandiwara, tapi mengapa Tony malah berpikir serius? Sikapnya saat ini seolah hubungannya dengan Renata adalah nyata. Pertanyaan-pertanyaan maminya pun membuatnya mulai berpikir.
“Kalau aku serius, apa Mami merestui?” tanya Tony malah semakin menantang Sofie.
“Mami tidak pernah kepikiran bakal punya mantu janda, Ton. Mami juga sebetulnya tidak masalah dengan statusnya. Tapi, alangkah baiknya, kalau memang benar kamu pengen cepat-cepat menikah, yang masih singgel itu lebih baik.”
“Kalau begitu sama saja Mami tidak setuju. Ya sudah, Mi. Aku ke atas dulu. Pusing aku mikirin ini.” Tony langsung berdiri dan meninggalkan Sofie menuju lift.
“Teman Mami ada yang nanyain kamu, loh, Ton. Dia punya anak gadis yang sedang kuliah di luar negeri. Siapa tau kamu cocok sama dia. Anaknya cantik, pinter lagi,” ujar Sofie sembari bangun dari duduknya.
“Tidak tertarik, Mi,” balas Tony.
“Yakin masih mau sama Renata? Coba kamu pikirkan lagi apa yang Mami katakan tadi. Resikonya banyak, loh, Ton.”
“Aku sudah yakin, Mi. Aku juga harus siap dengan resikonya.” Tony melempar senyumnya sekilas pada Sofie sebelum akhirnya masuk ke dalam lift. Sementara Sofie hanya bisa tercengang dengan jawaban putranya itu.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
semangat Tony👍
2024-09-23
0
💞Eli P®!w@nti✍️⃞⃟𝑹𝑨🐼🦋
semoga menjadi kenyataan ya ton , semangat 💪💪
2024-09-20
1