"Apa katamu Mas! Berselingkuh? Apa kamu tidak salah bicara?" Aku berkata dengan emosi lalu terkekeh sendiri mengingat pemikiran Mas Danu yang begitu picik.
"Bukannya kamu yang sudah mengkhianati hubungan kita? Tanpa sepatah kata, tanpa tanda perpisahan, kamu malah menikahi kakak kandungku sendiri. Siapa yang tidak berpikir ada hubungan diantara kalian sebelum itu? Apa kamu mau mengelak kalau aku menganggap ada perselingkuhan diantara kalian selama kamu masih terikat padaku?" Aku mengusap air mata yang jatuh di pipi. Bulir bening itu terasa panas seperti hatiku kala harus mengingat kembali momen menyakitkan yang sudah lebih dari setahun itu. Seandainya bisa, aku tidak ingin mengingatnya. Biarlah luka ini kukubur saja.
"Lintang–"
"Seharusnya kamu menusukkan belati saja pada jantungku daripada menusuk dengan pengkhianatan seperti itu. Apa kamu tahu bagaimana aku melalui hari-hari setelah itu? Kau tidak pernah memikirkan perasaanku kan, Mas? Kau malah bersenang-senang dengan Kak Libra seolah tidak ada hati yang harus kamu jaga. Kalau saja aku tidak kuat waktu itu mungkin sekarang aku berada di rumah sakit jiwa atau bahkan kamu hanya akan melihat wajahku di belakang buku Yasin." Aku mengusap air mata, tetapi perih di dalam dada tidak dapat aku singkirkan.
Mas Danu menatapku tanpa bergerak sedikitpun. Setelah ini aku berharap dia sadar bahwa apa yang sudah dia lakukan sangat melukai hatiku.
"Itu salahmu sendiri!" ucapnya dengan suara tegas.
"Apa, salahku?" Suaraku terpekik di tenggorokan. Ternyata percuma bicara dengan Mas Danu. Mungkin hatinya sudah buta.
"Suruh siapa kamu tidak mau aku ajak kawin lari."
Aku membekap mulut yang reflek menganga. Ternyata Mas Danu sudah gila.
"Ah sudahlah aku tidak ingin bicara denganmu lagi." Aku kembali melangkah keluar kamar. Di luar pintu aku berpapasan dengan pengasuh kedua bayi. Dia menatapku lalu menunduk, mungkin dia tidak enak melihat aku baru saja menangis.
"Jaga dengan baik Lula dan Lilac," pesanku dan dia hanya mengangguk.
"Tunggu! Siapa yang menyuruh masuk? Aku tidak mengizinkan kamu bekerja di rumah ini. Tanpa seizinku tidak ada yang boleh bekerja di rumah ini."
Aku membelalak mendengar pernyataan Mas Danu. Apa dia tidak pernah berpikir bahwa kalimat itu menyakiti orang lain? Aku berbalik dan menatap pengasuh yang aku pekerjakan untuk si kembar. Dia terdiam dan menunduk dengan tangan saling bertaut.
"Saya diminta Nyonya Lintang untuk bekerja di sini," jawab wanita itu. Sekilas aku melihat Mas Danu melirik ke arahku. Dasar laki-laki super tega.
"Katakan pada dia aku tidak mengizinkan. Kalau dia masih kekeuh dengan pendiriannya untuk mempekerjakanmu, minta dia untuk memohon padaku."
Sial! Mas Danu ingin membuatku merendah di hadapannya. Jangan harap! Aku tersenyum pahit. "Mas Danu ... aku benar-benar ingin meremas-remas dirimu," ucapku dengan tangan mengepal.
Dia melirikku lagi dengan senyuman mengejek dan aku tidak peduli. Kulanjutkan langkah yang sempat terhenti dan berjalan keluar rumah. Aku berjalan-jalan di sekitaran rumah untuk menenangkan perasaanku. Tiba-tiba Pengasuh si kembar berlari ke arahku dengan ekspresi panik.
"Ada apa?" tanyaku datar. "Apa dia mengusir? Atau dia mengancammu?"
"Tuan ingin saya pergi kalau Nyonya tidak memohon pada beliau. Tolong Nyonya, saya sudah kadung senang mendapatkan pekerjaan ini. Saya butuh biaya sekolah adik saya."
Aku memandang wanita yang bersujud di kakiku itu dengan tatapan iba, tetapi aku tidak mungkin memohon pada Mas Danu, dia bisa mengajukan syarat yang tidak bisa aku penuhi. Aku tahu dia akan memintaku untuk tidak bekerja dan mengurungku di rumah. Terus, apa gunanya aku punya pengasuh bayi kalau aku tidak kemana-mana?
"Katakan padanya aku tidak butuh persetujuan dia, dan kalau dia masih nekad mengusir dirimu, aku juga angkat kaki dari rumah ini." Pengasuh si kembar tercengang mendengar jawabanku.
"Kamu ya!" Aku menoleh mendengar suara pria. Mas Danu mengepalkan tangan lalu pergi dengan membawa kekesalannya. Ternyata dari tadi dia mengawasi kami. Mungkin dia berharap aku langsung bersujud di kakinya.
"Kembali ke kamar kedua bayi!" perintahku dan pengasuh bayi itu mengangguk kecil lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Matahari merangkak naik ke peraduan, menyingsingkan senja dengan warna-warni yang memancar indah, lalu menjemput kegelapan malam seakan tahu tempat pulang. Namun, Mas Danu malah belum kembali semenjak dari tadi siang pergi ke kantor. Sebesar apapun kekecewaan dan sekesal bagaimanapun, aku tetap mengkhawatirkannya. Aku akan tetap menunggu dengan gelisah hingga ia pulang.
"Nyonya, Lula dan Lilac sudah tidur." Aku menoleh, menatap pada pengasuh si kembar dan mengangguk.
"Kamu beristirahatlah!" ucapku dan dia menjawab dengan anggukan kecil. Lalu aku berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Apakah Mas Danu tidak mau pulang karena kejadian tadi siang dimana aku yang tidak mau menurutinya? Apakah dia masih marah?
Aku melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam. Apa dia banyak pekerjaan sehingga lembur malam ini?
"Nyonya, masih belum tidur?" Pengasuh bayi menyapaku seraya masuk ke dalam dapur.
"Belum, masih belum mengantuk," bohongku."
"Apa Nyonya menunggu Tuan? Jika gara-gara saya Nyonya dan Tuan harus berantem, tidak apa-apa jika saya harus keluar."
"Kamu tidak perlu memikirkan itu. Sebelum kamu datang pun kami memang tidak bisa akur," jelasku agar dia berhenti merasa bersalah.
"Oh begitu ya, Nyonya."
Aku mengangguk lalu menatap ke arah jendela. Dari sana aku melihat dengan jelas pak satpam membuka pintu pagar dan sebuah mobil masuk ke dalam. Tanpa harus berpikir panjang aku tahu itu mobil Mas Danu. Syukurlah dia baik-baik saja.
"Kenapa malam sekali Mas?" tanyaku.
"Tadi sore mama menelpon dan meminta kita membawa si kembar ke rumahnya," lanjutku. Dia menoleh padaku sebentar lalu mengabaikan diri ini dan mempercepat langkahnya menaiki tangga. Aku menghela napas berat. Ingin rasanya aku menarik kata-kataku tadi. Andai saja ini bukan pesan mama sebenarnya, aku malas bicara dengan Mas Danu.
Aku menggaruk kepala lalu naik ke atas dan merebahkan tubuh di ranjang yang berada di kamar si kembar. Entah kenapa aku lebih nyaman di sini daripada di kamar Mas Danu.
Esok hari Mas Danu tetap sama, iya tidak mau bicara padaku. Tatapannya selalu dingin dan datar membuatku semakin tidak nyaman. "Mas mama tadi menelpon lagi, dia bertanya apakah kita hari ini akan ke sana?"
Mas Danu mendengus tanpa melihat ke arahku. Dia meletakkan sendok dan berhenti sarapan. Lalu tangannya meraih tas kerja dan pergi begitu saja. Aku mengusap dada, mencoba bersabar dengan sikap Mas Danu ini.
"Nona yang sabar ya. Tuan Danuar memang begitu. Dulu beliau juga bersikap sama dengan Nona Libra," ucap Bik Mirna dan itu cukup membuatku terkejut.
Bukankah Mas Danu mengatakan benar-benar cinta dan mengagumi Kak Libra hingga mengatakan aku tidak bisa menandingi wanita itu di hatinya? Seperti apa sebenarnya Mas Danu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Iges Satria
mulai terkuak keanehan
2024-10-11
0
Rahma Inayah
lnjut thor
2024-09-15
0