Setelah Mas Danu keluar, air mata luruh tak tertahankan. Aku menelungkupkan wajah pada bantal dan melepaskan semua kepedihan di dalam sentuhan lembutnya. Dadaku bergemuruh dengan rasa perih menyengat sampai ulu hati. Dengan menangis begini, aku bisa sedikit merasa lega dan tenang.
Sampai hari menjelang siang aku berdiam diri di dalam kamar. Air mata sudah berhenti mengalir, menyisakan sembab di wajah dan suasana hati yang buruk. Aku berjalan ke balkon kamar, melihat ke bawah dan mendapati mobil Mas Danu masih terparkir di garasi. Ternyata pria itu tidak masuk kerja, ini membuat ku semakin enggan keluar dari kamar. Aku juga tidak ingin ketahuan kalau habis menangis.
Sore hari aku baru keluar dan turun ke lantai bawah. Saking hancurnya mood, aku sampai melewatkan makan siang. Saat kakiku menapaki tangga, hanya ada hening yang menyapa.
"Kemana Mas Danu? Apa dia masih di kamar?" Aku menatap ke atas dan berharap tidak berpapasan dengan Mas Danu. Ternyata Tuhan mengabulkan keinginanku. Hingga aku selesai memasak Mas Danu tidak tampak batang hidungnya.
Seperti biasa, aku mengurusi kedua bayi yang sudah diamanatkan padaku, keponakan sekaligus anak tiriku.
Jam 6 sore Mas Danu belum juga kelihatan, aku mencoba memeriksa ke dalam kamarnya dan ternyata tidak ada. "Apakah dia bekerja? Bisa saja Pak Eric menjemputnya tadi pagi dan beliau membawa mobilnya sendiri sedangkan kemarin sehabis mengantar Mas Danu beliau pulang naik taksi.
Aku menimbang-nimbang ponsel di tangan. Haruskah menghubungi dia? Egoku masih tinggi dan aku tidak mungkin melakukan itu. Jadi, aku hanya bisa menunggu kedatangan Mas Danu.
Satu jam aku menunggu Mas Danu di ruang tamu, namun tak ada tanda-tanda dia akan datang. Oleh karena itu aku memutuskan untuk menelpon Pak Erik.
"Halo Pak, apakah Mas Danu hari ini masuk kantor?" tanyaku.
"Iya Nona tadi Tuan Danuar masuk kantor tetapi satu jam yang lalu sudah pulang dengan sekretaris. Mungkin masih dalam perjalanan." Suara Pak Erik terdengar hati-hati. Aku menghela napas lalu mengucapkan terima kasih. Jika benar apa yang dikatakan Pak Erik mungkin sebentar lagi dia akan tiba.
Sayangnya 2 jam berlalu dia belum pulang juga. Apa ada sesuatu yang terjadi dengannya? Tidak dapat aku pungkiri aku tetap tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkannya. Akhirnya dengan terpaksa aku menghubungi nomornya.
"Tidak aktif, padahal tadi sempat masuk." Aku cemberut karena Mas Danu lebih memilih mematikan ponselnya daripada mengangkat panggilan dariku. Aku berdecak kesal lalu kembali naik ke lantai atas. Kuhempaskan tubuh di atas kasur lalu berbaring dengan malas. Rasa-rasanya mulai bosan berdiam diri di rumah terus.
Namun, ini sudah malam dan sekarang memiliki dua bayi yang tidak bisa aku tinggalkan. Kuraih kembali handphone dan menelpon salah satu teman kantorku. Dia merekomendasikan kenalannya untuk menjadi pengasuh kedua bayi kami. Dia mengatakan wanita yang akan mengasuh kedua keponakanku sudah berpengalaman dan dapat dipercaya. Aku setuju saja karena itu bagus menurutku.
Belum selesai aku bicara dengan temanku, kedua bayi sudah menangis kencang hingga mengalihkan fokusku.
"Astaga, dua bayimu nangis bareng tuh. Benar-benar kamu harus secepatnya punya pengasuh bayi," ucap Dita dalam telepon.
Aku tidak menjawab melainkan melangkah cepat ke arah keranjang bayi.
"Besok aku akan menyuruh bibi langsung ke rumahmu saja," lanjut Dita. Aku berkata oke lalu mematikan sambungan telepon. Setelah itu itu aku meraih tubuh Lilac yang semakin kencang menangis.
"Sabar ya Sayang." Aku membuat susu lalu menyodorkan pada mulut Lilac, tetapi bayi itu menolak dan terus menangis sementara Lula juga tangisnya semakin menjadi.
"Oh Tuhan bagaimana ini?" Aku benar-benar bingung setelah Lula juga tidak mau meminum susunya. Setelah aku periksa ternyata keduanya demam. Aku semakin panik. Ketika mencoba menelpon Mas Danu, ponselnya masih sama, tidak aktif.
"Sebenarnya kamu sedang ngapain sih, Mas? Tidak masalah jika kamu tidak peduli padaku, tapi mereka? Mereka ini anak-anakmu Mas." Aku bicara sendiri seperti orang stres. Lalu aku berlari keluar dan mendekati pak satpam.
"Bapak bisa menyetir mobil tidak?" tanyaku dan pria itu mengangguk.
"Kalau begitu tolong setir mobil Mas Danu dan antar kami ke rumah sakit," pintaku dengan penuh harap.
Pak satpam langsung berdiri "Siapa yang sakit Nona? Saya teleponkan taksi ya? Saya tidak berani membawa mobil Tuan Danuar, atau saya minta izin Tuan dulu." Pak satpam tampak ragu, tetapi aku mendesaknya.
"Tidak perlu, nomornya tidak aktif. Lagipula yang sakit adalah putri-putrinya. Nanti kalau ada apa-apa Mas Danu bakal marah dengan kita. Cepat Pak!" Aku berlari ke depan rumah dan pak satpam mengikutiku.
Aku memintanya mengendong salah satu bayi sedang aku berlari ke kamar Mas Danu untuk mencari kunci mobil. Barulah aku membawa bayi yang satunya dan menyusul ke mobil.
"Cepat Pak!" perintahku setelah kami semua dalam mobil. Mobil pun melaju ke rumah sakit terdekat.
"Mereka demamnya tinggi, kalau nggak kuat bisa saja kejang," ucap dokter. Aku menghela napas berat.
"Lalu bagaimana sekarang, Dok? Apa perlu diopname?" Seluruh tubuhku terasa kaku karena tegang. Aku takut terjadi hal buruk pada keduanya.
"Mereka sudah saya berikan obat, tunggu sebentar sampai obatnya bereaksi, kalau demamnya turun bisa dibawa pulang, tapi kalau belum juga, bisa diopname. Yang penting terus dikompres."
Aku mengangguk dan mengompres Lula sedangkan Lilac sudah ada suster yang mengompresnya. Hingga tengah malam barulah demam mereka menurun. Setelah diperiksa kembali dokter memperbolehkan kami membawa pulang kedua bayi.
"Keluyuran kemana malam-malam hingga membawa kedua anak-anakku?" Di pos satpam Mas Danu menunggu kami dan langsung mengintrogasi. Aku terhenyak, Mas Danu, bukannya berterima kasih malah melayangkan protes.
"Kamu juga Pak, bukannya jaga rumah malah keluar tanpa izin. Tugas kamu jaga rumah bukan mengawal istri orang!" Sungguh Mas Danu benar-benar menyebalkan. Perkataannya sungguh keterlaluan.
"Aku yang meminta, nggak usah menyalahkan pak satpam," ucapku lalu bergegas membawa dua bayi dalam gendongan ke dalam rumah. Tidak ingin keduanya bertambah sakit karena masuk angin.
Mas Danu mengejarku lalu menarik tanganku. "Mas!" pekikku, kalau tidak kuat-kuat aku memegang mungkin Lula sudah terlepas dari gendongan. Tidak mudah menggendong dua bayi sekaligus, apalagi bagiku yang belum pernah punya pengalaman merawat bayi sebelumnya.
"Kamu tidak pilih-pilih ya merayu pria? Pak satpam pun kau embat juga." Mas Danu bicara dengan nada emosi. Entah apa yang salah kalau aku pergi dengan pak satpam. Kalau dia ada di rumah, apa perlu aku meminta bantuan orang lain?
Mataku memanas mendengar tuduhan Mas Danu. "Apa kamu pikir aku semurahan itu Mas? Kalau pikiranmu seperti itu seharusnya engkau tidak menikahiku, karena memberikan sosok ibu untuk anak harusnya adalah wanita yang bisa menjadi panutan."
Mas Danu tidak menjawab. Dia berdiri terpaku. Entah apa yang ada dalam benaknya.
"Kalau aku tidak pantas menjadi istri dan ibu untuk anak-anakmu, lebih baik kamu ceraikan saja aku." Aku pikir ini adalah keputusan terbaik. Siapa tahu Mas Danu bisa memberikan ibu yang hebat untuk keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Iges Satria
dibilang keguguran dodol.... noh bawa sikembar ke rs paham.
2024-10-11
0
Rahma Inayah
lintang pulg bkn di tny baik2 dr mb langs main tuduh yg menyakitkan sampai ke hati ..hrs nyq cek tu hp jgn cuma main salhim org ...pasti byk tlp masuk dr lintang ..suami egois .dia malh senang2 sm sekertaris nya entah apa yg dilakukan danu br pulg malm2 pdhl kaki nya sakit..lnjut mkn seru
2024-09-07
3