"Jangan harap aku akan menceraikan! Bahkan dalam tidur pun aku tidak akan mengizinkanmu memimpikan itu!" Setelah bicara dengan nada tegas, Mas Danu berjalan cepat menaiki tangga, seolah kakinya sudah tidak merasakan sakit. Dia langsung melewatiku menuju kamarnya.
"Aku akan mengatakan semuanya pada mama, mungkin beliau bisa membantuku. Biarkan mama yang akan memberitahukan pada kedua orang tuaku bahwa kita tidak mungkin bisa bersatu." Kata-kataku mampu menghentikan langkah Mas Danu. Dia menoleh dan menatap dingin diri ini. Itu membuat napasku seakan terhenti sesaat.
Mas Danu kembali berbalik tanpa sepatah katapun. Dia langsung melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Aku menghela napas, meraup oksigen dalam-dalam agar bisa kembali bernapas dengan tenang. Setelahnya, aku melanjutkan langkah menuju kamar kedua bayi dan menaruhnya dalam keranjang. Aku duduk sembari mengompres keduanya. Sesekali mereka masih menangis dan aku satu persatu menggendong keduanya secara bergiliran. Sayangnya aku tidak melihat Mas Danu sedetik pun menghampiri kedua putrinya.
Apakah dia tidak ke kamar anak kembarnya karena ada aku? Mungkin dia masih marah padaku karena asumsinya sendiri. Perutku keroncongan dan aku bergegas keluar. Namun, selalu, kedua bayi tersebut menangis kembali setelah aku sampai di pintu kamar. Sepertinya mereka tidak mau ditinggal. Aku berbalik dan duduk keranjang bayi, menahan lapar dan mengurusi keduanya hingga mereka terlelap.
Entah bagaimana aku sampai tertidur seraya menyandarkan kepala pada pinggiran keranjang sedangkan tangan masih berada di dahi Lilac. Yang aku tahu, pada tengah malam aku merasakan ada pergerakan pada tubuhku. Setelah aku membuka mata sedikit, ternyata Mas Danu tengah menggendongku dan hendak membawa ke atas ranjang yang ada dalam kamar itu juga.
Di satu sisi aku ingin memberontak mengingat tuduhan Mas Danu sebelumnya, tetapi di sisi lain aku tidak ingin berdebat lagi. Rasa lelah dan kantuk lebih menguasai. Ketika Mas Danu menatap wajahku, aku langsung menutup mata rapat-rapat.
Sentuhan lembut terasa di punggung. Aku yakin tubuhku sudah berbaring di atas ranjang. Aku langsung merasa nyaman. Terdengar langkah kaki turun dari ranjang dan berjalan menjauh. Aku kembali membuka mata, netraku menatap Mas Danu berjalan ke arah kedua bayinya. Dia melihat ke arahku sekilas dengan tatapan sendu, lalu menyentuh dahi kedua putrinya. Setelah itu aku melihat dia menggantikanku mengompres Lula dan Lilac.
"Kupikir kamu sudah tidak peduli dengan putrimu Mas," lirihku lalu membalikkan badan membelakangi Mas Danu dan kembali tidur.
Hari sudah pagi ketika aku membuka mata. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek keadaan kedua bayi. Ternyata demamnya sudah mulai turun. Bahagia rasanya melihat mereka membuka mata lalu memberikan senyuman manisnya sambil sesekali mengoceh tidak jelas.
"Tante buatkan susu ya ... eh Mama." Tiba-tiba aku mengingat ucapan Mas Danu yang meminta agar aku mengajari mereka supaya memanggil dengan sebutan mama. Aku tidak masalah agar mereka merasa masih memiliki ibu seperti anak yang lainnya.
Aku bergegas ke dapur untuk memasak air sebagai campuran susu kedua bayi. Sampai di pintu dapur aku terpaku melihat Mas Danu menghangatkan lauk semalam yang tidak tersentuh sedikitpun.
Dia menatapku tanpa kata, aku pun demikian. Kami berdua berada di tempat yang sama untuk beberapa saat dalam suasana hening. Aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku lalu buru-buru keluar dan kembali ke lantai atas.
"Saat aku keluar, Mas Danu sudah siap dengan baju dan tas kerja.
"Sebentar lagi bibi yang biasa bekerja padaku akan datang. Aku berangkat kerja dulu."
Aku terdiam. "Ada apa dengan Mas Danu? Apa dia menyesal telah menyakitiku dengan kata-katanya semalam?"
"Lintang, jangan percaya dengan sesuatu yang berubah dalam sekejap." Aku menasehati diri sendiri agar tidak terjebak dalam perasaan yang tidak seharusnya aku rasakan. Mas Danu pasti hanya takut aku mengadu pada orang tuanya, makanya dia berubah agar tidak bisa melepaskanku.
Mas Danu mengerutkan kening melihat ekspresi wajahku kemudian memutuskan untuk berlalu begitu saja. Aku tetap diam, bibir ini seolah keluh walaupun hanya untuk sekadar mengatakan 'iya'.
Punggung Mas Danu sudah hilang dari balik pintu berganti ketukan di pintu rumah.
"Masuk!" perintahku seraya berjalan mendekat. Setelah pintu terbuka seorang wanita separuh baya memperkenalkan dirinya.
"Saya bibi yang biasa bekerja di sini Nona," ucapnya kemudian setelah mengenalkan namanya.
"Saya bekerja memasak dan beres-beres rumah, namun setelah itu saya biasanya pulang." Kembali wanita itu menjelaskan tentang dirinya. Aku mengangguk dan mempersilahkan masuk.
"Bu Mirna saya boleh minta tolong agar cucian baju dikerjakan duluan ya Bik!" pintaku karena aku belum sempat mencuci baju sementara makan masih ada sisa semalam dan di rumah hanya tinggal aku seorang yang akan menikmati makanan.
"Baik Nona, tapi saya juga minta tolong agar baju-baju Tuan Danuar diambilkan ya."
Kedua alisku terangkat ke atas. Apa ada pembantu yang seperti ini?
"Maaf jangan salah paham. Ini karena Tuan Danuar dan istri sebelumnya selama ini tidak mengizinkan saya masuk ke kamar mereka." Bik Mirna terlihat canggung.
Aku mengangguk meskipun rasa perih kembali menyapa hati. "Baik tunggu sebentar!" Aku bergegas ke kamar Mas Danu. Tidak ingin berlama-lama aku segera mendekati keranjang pakaian kotor. Kuraih pakaian tersebut dan merasakan ada sesuatu yang aneh. Pada pakaian Mas Danu tercium bau parfum milik perempuan. Aku memeriksa dengan panik dan malah menemukan tanda bibir di sana. Mataku membelalak sempurna.
"Apa ini? Apa semalam Mas Danu berselingkuh?" Aku segera menutup mulut mengingat kata Pak Erik semalam Mas Danu pergi dengan sekretarisnya.
Aku benci pikiran liarku. "Tidak mungkin! Mas Danu tidak mungkin menghabiskan malam panas bersama wanita lain, kan?" Aku menggelengkan kepala, menepis semua kemungkinan yang terbersit di otakku.
"Tidak, tidak. Mas Danu bukan pria seperti itu. Kakinya juga masih sakit, kan semalam?"
Namun, semakin kuat aku menepis pikiran ini, semakin diri ini gelisah. Apalagi jika mengingat kabar dari orang-orang bahwa Kak Libra sebelum meninggal selalu terlihat murung dan seperti tidak bersemangat.
"Oh Tuhan! Apa selama ini Mas Danu mengkhianati kakaku?" Aku menekan kepala yang terasa ingin meledak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Rahma Inayah
makn penasran dgn ceritanya lnjutkn
2024-09-09
0
Siti Koyah
masih teka teki tapi kasihan dengan lintang
2024-09-09
0