“Beni, kamu punya sepeda tidak?”, tanya Nisa.
“Punya. Memangnya kenapa?”, Beni bertanya balik.
“Nanti sore anak-anak mau main sepeda”, jawab Nisa.
“Aku ikut ya?”, kata Beni.
“Iya. Nanti habis asar datang saja ke lapangan. Kita kumpul di sana”, jawab Nisa.
Beni bersama keluarganya baru pindah rumah. Di lingkungan yang baru itu tidak jauh berbeda dari tempat mereka tinggal sebelumnya. Sebuah desa yang terletak di pinggiran kota.
Dasarnya memang seorang anak yang mudah bergaul Beni dengan begitu cepat mendapatkan teman baru. Ia pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia berada.
Sore itu Beni dan anak-anak yang lain akan bermain sepeda di lapangan. Mereka membuat janji ketika di sekolah.
*
“Ibu, Nisa main dulu ya”, Nisa minta izin kepada ibunya.
“PR nya sudah dikerjakan belum?”, tanya sang ibu.
“Sudah”, jawab Nisa.
“Jujur ya? Ibu nggak suka kalau kamu tidur larut malam karena ngerjain tugas”, kata ibu.
Dua ibu jari diacungkan dengan senyum yang perlu dipaksakan. Nisa menjawab keraguan ibunya.
“Awas ya habis ini ibu cek”, kata ibu.
“Sana main, tapi ingat jangan kesorean pulangnya”, pesan ibu.
*
“Mau kemana kamu?”, tanya bapak ketus.
“Main Pak”, jawab Hanif.
“Main kemana bawa sepeda?”, tanya bapak.
“Ke lapangan Pak”, jawab Hanif.
“Ke lapangan?”,
“Ingat ya tidak usah main dekat-dekat sumur”, pesan bapak.
Sore itu Hanif bersemangat ingin pergi ke lapangan untuk bermain bersama teman-temannya. Sepedanya baru selesai diperbaiki. Kemarin rantainya sempat putus. Baru setelah satu minggu ayah Hanif membetulkannya.
“Hanif”, bapak memanggil.
Baru juga ia mau mengayun sepedanya. Tapi ayahnya kembali menegurnya.
“Ajak adik kamu sekalian ya. Bapak mau jemput ibumu”, pinta bapak.
“Iya Pak”,
Hanif pun pergi ke lapangan dengan membawa adiknya yang masih kecil.
*
Tanah lapang. Lapangan yang biasanya digunakan untuk berbagai macam aktivitas ini sore itu sepi. Itulah kenapa Nisa, Hanif dan kawan-kawan yang lainnya ingin bermain sepeda di hari itu.
Satu per satu mereka datang. Teman-teman membawa sepedanya masing-masing. Ada Nisa. Ada Beni si anak baru. Ada juga Hanif yang turut mengajak adiknya dan juga teman-teman yang lain.
Mereka pun segera melakukan apa yang sudah biasa mereka lakukan. Balap sepeda keliling lapangan. Aturannya mereka hanya boleh melintas di batas pinggir lapangan. Tiga kali putaran. Siapa yang finish terlebih dahulu itulah pemenangnya.
Bukanlah persaingan untuk menjadi yang pertama yang menjadikan bermain bersama itu seru dan menyenangkan. Tapi, kebersamaan dan canda tawa itu yang akan selalu mereka kenang. Apalagi kondisi lapangan tanahnya sedikit lembek karena habis terkena hujan semalam. Pastinya lebih membahagiakan.
*
“Sudah Jam 5 Ayo Pulang”,
Nisa memperingatkan teman-temannya. Anak perempuan yang paling besar itu memanglah yang paling didengarkan oleh kawan-kawannya. Gadis cilik itulah pemimpin kelompok bermain tersebut.
“Ayo pulang… pulang”, sahut teman-teman yang lain.
Nisa dan Hanif berjalan di barisan paling belakang. Mereka berbincang-bincang sambil menuntun sepeda.
“Nisa, kamu sudah ngerjain tugas belum yang buat besok?”, tanya Hanif.
“Sudah dong. Kamu pasti belum ya Nif”, tanya Nisa.
“Belumlah. Mana aku sempat? Aku harus jaga adikku”, Hanif beralasan.
“Alasan kamu Nif. Kamu aja yang malas”, kata Nisa.
“Aku besok nyontek punyamu ya”, bujuk Hanif.
“Iya. Biasanya juga gitu”, kata Nisa.
Di sela-sela mereka asyik mengobrol. Nisa teringat sesuatu. Rasa-rasanya ada yang kurang.
“Nif. Beni mana ya?”,
“Sejak pulang dari lapangan aku belum melihatnya”, tanya Nisa.
“Beni?”,
“Beni yang anak baru?”, tanya Hanif.
“Nisa. Jangan-jangan dia pergi ke sumur”, kata Hanif panik.
“Ayo kita susul”, kata Nisa tak kalah panik.
*
Beni sangat girang. Baru kali ini ia bermain balap sepeda ramai-ramai di lapangan. Apalagi dengan kondisi lapangan yang becek. Lebih seru meski kaki harus belepotan dan pakaian jadi kotor.
Saat hendak pulang dari lapangan Beni melihat sebuah bangunan kosong yang tampaknya sudah tidak dipergunakan. Sebuah rumah yang telah terbengkalai tidak berbentuk. Pintunya tidak ada. Atapnya hanya separuh. Dinding-dinding yang telah rubuh dengan batu bata yang berserakan dimana-mana.
Tapi di tempat itu ada sebuah sumur. Lengkap dengan timba dan tali karet untuk menyauk air yang telah terpasang.
Karena kakinya penuh lumpur Beni pun mendatangi sumur yang terletak di seberang lapangan untuk membersihkan diri.
Syukurlah sumur itu tidak terlalu dalam dan airnya juga melimpah. Ketika Beni sampai di sana, ia pun segera memasukkan timba ke dalam sumur lalu menariknya untuk mengambil air.
Timba atau ember yang berukuran kecil memudahkan Beni untuk mendapatkan air. Belum juga sempat menggunakan air yang baru saja diperolehnya dari dalam sumur Beni tertahan. Tiba-tiba ada orang yang memeluknya dari belakang. Mengunci pergerakan anak kecil itu.
Beni ketakutan. Ia tidak mengenal orang itu. Orang itu kurus. Kulitnya cokelat usang kehitaman dekil tidak pernah mandi. Baunya bau matahari. Orang itu hanya mengenakan celana kolor yang sudah rusak.
Beni tambah takut ketika orang itu menaruh wajahnya tepat di depan mukanya. Bentuk mukanya tirus. Tulang wajahnya menonjol. Matanya juling. Giginya kuning tidak beraturan. Rambutnya keriting jarang-jarang.
Lebih menakutkan lagi ketika orang itu mulai berbicara merancu tidak jelas,
“jdjajou%0dlamml@@^^<<@@@ %%&*$$$!!djijoj2mhio… nuggkajlnljh^&nkn;kan;a”,
“mjladnlblaj )00OOOPPlL (00mll0 ndaljlaj… TyUKlm>?`[}|}{~/’’;;:”?ljkdhlaka;;,”
Beni berteriak lantang minta pertolongan. Ia benar-benar takut setengah mati. Beni sampai ngompol. Sekarang orang itu mulai menjilati Beni dengan lidahnya yang kering lagi kasar.
“Tolong…. Tolong….”
“Tolong… Tolong…….”,
Nisa dan Hanif bersama adiknya datang. Mereka lalu mengambil pecahan genting yang berserakan di sana. Nisa dan Hanif melempari orang yang sedang mendekap Beni dengan pecahan genting tersebut.
“Pergi… pergi…”
“Lepaskan teman kami”,
Tetapi orang itu malah semakin menjadi-jadi. Ia memeluk Beni semakin erat dan terus menjilatinya.
Akhirnya orang itu melepaskan Beni dan berlari pergi ketika orang dewasa datang.
“PERGI… PERGI…”,
Rupanya itu adalah ayah Hanif.
“Bapak kan sudah bilang jangan main ke sumur”, kata bapak Hanif.
“Beni masih belum tahu Pak”, jawab Hanif.
“Memangnya orang tadi siapa?”, tanya Beni yang sekarang sudah bisa bernafas bebas.
“Orang gila”,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments