Bus Hantu

Pagi masih buta Rafina sudah sampai di terminal. Ia harus naik bus pagi-pagi untuk sampai di kota A. Di kota itulah sehari-hari ia berjualan.

Janda anak satu itu meneruskan usaha mendiang ibunya yang berdagang jajanan traditional di pasar. Selain karena ditinggal oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sangat disayangkan apabila kue-kue buatan resep keluarganya yang sudah banyak pelanggan tidak diteruskan. Lagi pula mau kerja apalagi? Tidak mudah mencari lapangan kerja.

Setiap pagi dari rumah menuju ke terminal Rafina diantar oleh sang adik yang masih sekolah. Kemudian ia akan naik bus menuju ke kota A. Selama perjalanan ia menyempatkan diri untuk tidur. Lumayan sekitar satu jam bisa untuk mengistirahatkan badan.

Rutinitas Rafina sebagai seorang penjual kue-kue pasar yang ia buat sendiri tidaklah semudah kelihatannya. Ia pulang siang hari. Sore harinya ia menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue jualannya. Jika ada pesanan ia bisa lembur sampai malam. Jam empat pagi ia sudah harus bangun lagi untuk bersiap-siap berangkat.

*

Pagi itu tidak seperti biasanya. Jam lima subuh sampai di terminal belum banyak bus yang datang seperti biasanya. Jangankan bus. Orang pun tak ada.

Hanya ada satu bus yang sudah menunggu di sana. Tapi Rafina takut keliru karena bus itu adalah bus yang belum pernah sama sekali ditumpanginya.

“Bis nya baru apa mas?”, tanya Rafina kepada kondektur bus.

“Iya mbak baru. Masih mulus catnya”, balasnya.

“Ke kota A ndak mas?”. Tanya Rafina.

“Iya mbak ke kota A. Naik”, kata kondektur.

Rafina pun naik bus yang masih kosong penumpang. Ia memilih duduk di dekat pintu supaya nanti kalau sudah sampai tujuan tidak susah untuk turunnya. Belum lagi untuk memudahkan membawa dagangannya yang cukup banyak di hari itu.

Tidak lama berselang satu per satu penumpang yang lain mulai menaiki bus berwarna hijau kuning itu. Setelah sudah penuh akhirnya pak sopir yang datang belakangan menyalakan mesin lalu bus pun berangkat.

*

Rafina terbangun. Ia masih berada di dalam bus yang sama. Tapi anehnya kenapa pintu busnya tertutup. Biasanya kondektur berdiri di depan pintu yang terbuka sambil mencari penumpang yang berada di pinggir jalan. Ia sama sekali tidak melihat kondektur yang diajaknya bicara tadi.

Ia mulai memperhatikan sekelilingnya. Rafina mendapati sebuah kejanggalan. Semua penumpang yang berada di dalam bus itu berpakaian sama. Semua orang di sana berpakaian rapi batik dan kebaya. Hanya ia sendiri yang tidak seragam.

“Mau kemana Pak?”, tanya Rafina kepada salah seorang penumpang yang duduk di bangku sebelahnya.

“Ngiring manten mbak”, jawab bapak itu.

Rupanya bus itu adalah bus rombongan orang-orang yang hendak mengiring pengantin.

Seketika itu Rafina menjadi panik. Ia melihat ke luar jendela. Kiri kanannya hutan belantara. Tiba-tiba lirih suara bunyi gamelan mulai terdengar. Semakin kencang. Diikuti suara tembang yang dilantunkan khas oleh seorang sinden. Suasana menjadi menyeramkan.

Rafina berontak. Ia menuju pintu bus lalu menggedor-gedor pintu itu sambil berteriak,

“Tolong… tolong….!”,

“Berhenti…. buka pintunya!”, teriak Rafina.

“Tenang mbak. Sebentar lagi sampai”,

Ucapan itu keluar dari bapak yang duduk di bangku sebelah Rafina. Bapak itu juga menepuk pundak Rafina berusaha untuk menenangkannya.

Ketiak Rafina menoleh ke arah belakang untuk melihat bapak itu, ia langsung jatuh pingsan. Bapak itu menghampiri Rafina tanpa kepalanya.

*

Rafina kembali terbangun. Kali ini ia bisa tersenyum. Ia melihat kondektur yang berdiri tepat di hadapannya di sebelah pintu yang terbuka.

Namun Rafina kembali dibuat gelisah. Ketika ia melihat ke luar jalan ia melihat jalanan yang asing baginya. Ia paham betul jalan yang setiap hari dilewatinya.

“Lewat mana ini mas?”, tanya Rafina kepada kondektur muda itu.

Tapi kondektur itu sama sekali tidak menjawab. Menoleh ke arahnya pun juga tidak.

“Kita mau kemana sih mas?”,

“Saya turun di kota A”,

Rafina dengan tegas kembali mengajak kondektur berkomunikasi setelah beberapa saat yang lalu ia diabaikan.

“Karyawisata”, akhirnya kondektur itu buka suara sambil memandang Rafina dengan tatapan yang dingin.

Karyawisata? Jawaban itu membuat Rafina tertegun. Apa jangan-jangan ia salah naik bus?

Lamunan Rafina buyar setelah ia mendengar suara ramai anak-anak yang berada di dalam bus yang ia tumpangi.

Ia dibuat tidak percaya. Semua penumpang di bus itu kecuali dirinya adalah anak-anak TK yang hendak pergi berkarya wisata.

Dari tempat duduk paling belakang satu anak laki-laki berlari menghampiri Rafina. Tanpa mempedulikan Rafina anak kecil itu membuka dagangan bawaan Rafina yang hendak ia jual di hari itu. Lalu anak yang tidak tahu diri itu mengambil satu kue lalu dimakannya. Kemudian anak kecil itu memanggil teman-temannya yang lain yang langsung datang menyerbu jajanan yang beraneka macam dan rasa.

Rafina mencoba untuk menghentikan anak-anak itu. Tapi tubuhnya terdorong tidak kuasa menahan keganasan bocah-bocah itu.

*

Rafina kembali terbangun untuk ketiga kalinya. Ia membuka mata dengan keringat yang membasahi wajahnya. Ia juga merasakan rasa lelah yang teramat sangat.

“Kenapa mbak?”, tanya mas kondektur.

“Ndak apa mas”, jawab Rafina.

Kali ini wanita muda yang sudah mendapat gelar janda itu benar-benar memperhatikan sekelilingnya. Ia merasa lega setelah mengetahui ia berada di dalam bus yang tepat. Para penumpangnya adalah orang-orang yang sama yang ia lihat ketika ia sudah terlebih dahulu masuk ke dalam bus.

Rafina mengeluarkan sebuah buku yang biasa ia gunakan untuk mencatat keperluan jualannya. Ia gunakan buku itu untuk dijadikan sebagai kipas. Dua mimpi buruk beruntun membuatnya gerah kepanasan.

“Pakai ini mbak”,

Tiba-tiba dari bangku belakang ada orang yang menawarkan kepada Rafina untuk memakai koran. Surat kabar yang lebar itu bisa ia gunakan untuk dijadikan kipas menghasilkan angin yang lebih besar dan mudah diaplikasikan karena bahannya yang tipis.

“Tidak dibaca Pak?”, tanya Rafina.

“Sudah selesai saya bacanya”, jawab bapak yang duduk di kursi belakang Rafina.

“Makasih ya pak”, jawab Rafina menerima kebaikan orang itu.

Hasilnya memang angin yang dihasilkan jauh lebih besar tekanannya. Lebih sejuk jadinya untuk mendinginkan rasa gerah.

Ketika Rafina mengibas-ngibaskan surat kabar itu secara tidak sengaja matanya menangkap sesuatu yang ia baca. Cetakan yang membuatnya tersadar. Koran yang terasa masih baru di telapak tangan itu dipublikasikan waktu dulu. Rabu, 17 November 1987.

Rafina tersadar. Ia masih berada di alam mimpi. Tempat yang seharusnya ia tidak berada di sana.

*

“Bangun mbak”,

“Bangun mbak”,

“Bangun”,

Rafina ditemukan oleh orang-orang terminal menjelang magrib. Perempuan penjual jajanan kue pasar itu ditemukan tidur di dalam bangkai bus yang mangkrak di terminal lama.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!