Hati Belle seakan tercubit ketika dia melihat mata ibunya yang sama sekali tak mau menatapnya. Wanita itu bahkan berbalik memunggunginya saat Belle mencoba berbicara padanya. Hatinya lebih sakit lagi saat ia melihat Percival mendapatkan elusan di bahunya.
“Kamu pasti bisa menemukan Percy, Caspian,” kata Mrs. Atfable. “Kamu jangan pulang kalau belum menemukannya.”
Lalu, Caspian melihat Belle yang mematung di pintu. Keduanya sama-sama mengalihkan pandangan dari satu sama lain dengan angkuh.
Mereka sungguh-sungguh berangkat. Belle menyeret koper yang ia lilitkan syal merah muda di gagangnya. Musim gugur akan segera tiba dan cuaca akan mendingin. Ia harus menyiapkannya.
Ia melambaikan tangannya pada sang ayah yang mengantarkan hingga halaman rumah. Felix baru berada di rumahnya, namun ia berjanji akan menunggu di halte omnibus. Belle berjalan di belakang Caspian sepanjang perjalanan, dan tentu saja, seperti sudah ditebak, keduanya tidak berbicara apa-apa.
Belle mengangkat kopernya ketika mereka berjalan melewati rerumputan. Koper itu sangat berat dan hanya mengangkatnya sebentar saja membuat keringat menetes di dahi Belle. Ia akhirnya menyerah dan hanya menyeretnya saja. Rodanya berkelotakan terantuk oleh kerikil dan batu yang tersebar di jalan yang mereka lalui.
“Kamu akan membuat rodanya rusak,” kata Caspian tiba-tiba. Kemudian dia berputar dan meraih koper Belle. Ia melayangkan tatapan tajamnya yang menyebalkan kepada Belle, kemudian berjalan lagi.
Belle menganga. Hei, apakah itu karena dirinya yang terlalu banyak bermain dan bersantai-santai dan Caspian yang selalu berlatih fisik dengan mentornya setiap hari? Caspian terlihat mudah sekali mengangkat dua koper di tangan kanan dan kirinya.
Belle berdehem. “Aku sedang mencoba mengangkatnya.”
Tentu saja Caspian tak menjawab. Ia tak menoleh ke arah Belle sekali pun, namun ia tetap membawa koper gadis itu meskipun sudah mencapai jalan tanah yang mengelilingi desa. Mereka akhirnya tiba di halte omnibus. Felix Atfable sudah berada di sana. Ia melambaikan tangannya pada mereka dengan senyum lebar.
‘Dih, itu adalah wajah terbodoh seseorang yang pernah aku lihat. Ini kopermu,” kata Caspian sambil meletakkan koper itu di jalan.
Belle mendecak kesal. Apa-apaan? Kenapa Caspian sangat tidak sopan seperti itu? Felix di matanya baik-baik saja. Pemuda itu sudah sangat tampan dan sikapnya yang ceria pagi itu membuatnya terlihat manis. Dia bahkan berjalan mendekati Belle sekarang dan menawarkan diri untuk membawa kopernya.
“Ayo, Belle, aku akan membawakan kopermu,” kata Felix. “Sebenarnya ini sangat menyenangkan. Aku tidak menyangka suatu hari nanti aku akan pergi ke High Elia untuk berkuliah.”
“Santai saja, Felix. Kamu belum diterima jadi simpan energimu sampai hari pengumuman tiba,” kata Caspian yang melewati pemuda itu.
“Waah, dia benar-benar minta dipukul. Oh, tentu saja aku tidak akan memukul kembaran istriku,” kata Felix ketika ia menyadari kalau Belle ada di hadapannya.
Belle tersenyum. “Tidak apa-apa memukulnya. Tapi ... dia akan menyimpan dendam padamu. Dia punya mentor segala jenis olahraga yang mengerikan, seeprti bergulat, tinju, dan memanah,” kata Belle.
Mereka menunggu di tempat pemberhentian omnibus. Tempat itu sebenarnya hanyalah tepi jalan biasa. Bedanya, sebuah plakat kayu berdiri di satu titik yang bertuliskan nama jalan tersebut, yaitu Willow Lane.
Omnibus berwarna hitam datang tidak lama kemudian. Dua ekor kuda berwarna cokelat menariknya. Seorang kusir dengan topi hitam menyapa mereka dengan ramah. Asap mengepul di ujung cerutunya, namun berusaha menghindarkan asapnya dari mereka ketika ia membantu membukakan pintu belakang omnibus dan menurunkan tangganya.
“Ke mana tujuan kalian?” tanyanya.
“Kita akan pergi ke stasiun Fernwick,” kata Felix.
“Oh, baiklah. Ada beberapa penumpang juga yang bertujuan ke sana. Tidak akan takut ketiduran sampai terlewat,” katanya dengan ramah.
Belle tersenyum. Meskipun itu terdengar lebih seperti sarkasme karena kursi yang ada di dalam bus adalah kursi yang sangat keras yang terbuat dari kayu pohon pinus. Tidak ada seorang pun yang bisa tidur di bus kecuali dia habis bergulat dengan sembilan monster siang dan malam.
Bus itu mulai melaju. Angin kencang memasuki jendela membuat rambut Belle yang telah dijalin rapi bergoyang-goyang. Ia melihat pemandangan dan semakin lama bus melaju hatinya semakin muram.
Mulanya, ia memang memimpikan pergi jauh dari Swanfield seperti anak-anak lainnya, tetapi di akhir masa SMA, hasrat itu sudah tertutup oleh banyaknya tugas yang harus ia hadapi. Menjadi istri Felix yang hidup dengan nyaman adalah kehidupan terbaiknya.
Bus akhirnya menjauhi Swanfield. Kini berbelok dan melaju menuju jalan utama Catfield yang dinamakan Hickory Lane. Belle melihat danau yang memantulkan cahaya matahari di permukaannya.
“Aku harus mengerjakan tugasku sepanjang perjalanan ini,” kata Belle. Ia mengeluarkan pena dan membaca kembali suratnya. Palefaith University mengirimkan satu surat tebal yang berisi surat ucapan selamat serta tagihan biaya, selain itu, mereka juga mengirimkan berlembar-lembar tugas yang perlu ia kerjakan.
Itu gila.
Itulah mengapa kepalanya hampir meledak.
“Banyak sekali, Belle, tugasnya,” kata Felix yang duduk di sampingnya. “Apakah kamu mau aku membantumu?”
Belle menatap Felix dengan terharu, matanya sampai terasa panas. “Bolehkah? Kamu akan membantuku? Tentu saja aku mau,” katanya. Ia ingat Felix adalah anak dengan nilai tinggi di kelasnya. Ia memasang senyumnya. “Aku sudah mengerjakan setengahnya, Felix. Setelah kamu melamarku, aku kira aku bisa kabur darinya, ternyata ... aku harus mengerjakan tugas-tugas ini lagi.”
“Hmmm, sini biar aku baca soal-soalnya. Kalau aku mau masuk universitas yang sama denganmu, nanti aku juga harus mengerjakannya, ‘kan?” kata Felix.
Mereka bekerja sama dengan tekun. Jarak menuju stasiun Fernwick memang cukup jauh. Felix membantu Belle mengerjakan jawaban-jawaban yang bisa dikerjakan tanpa perlu melihat referensi. Belle takjub bahwa pengetahuan Felix mengenai sastra lumayan bagus.
“Oh, kamu membaca Bluebell Pasture? Itu buku yang sangat kuno dan menjemukan dan memuat terlalu banyak jenis tanah yang ... aku tidak peduli sedikit pun,” ucap Belle, kemudian ia meringis. “Kamu sangat keren, Felix.”
Felix membuka mulutnya dan tertawa pelan, matanya berkilau dan rona merah menjalar ke telinganya. “Kamu berpikir seperti itu?” tanyanya, kemudian ia berdehem. “Aku membacanya karena aku sekalian bisa belajar mengenai cara mengelola lahan pertanian. Well, kamu sendiri tahu kalau gambaranku di masa depan adalah segera bisa membantu ayahku di kebun. Jadi, aku tidak bisa menyia-nyiakan waktuku—oh, bukan berarti novel-novel lain ini adalah kegiatan yang sia-sia.”
“Tidak apa-apa, Felix. Aku mengerti,” kata Belle yang terlalu senang mendapatkan bantuan. Ia menuliskan informasi yang diberikan oleh Felix pada kolom jawaban dari pertanyaan ‘Apa yang kamu ketahui tentang novel klasik Bluebell Pasture?’ Belle mau tak mau takjub karena Felix bahkan menghafal tahun terbit dan nama penerbitnya dan nama tanaman yang ditanam oleh tokoh utamanya.
Tentu saja, pernikahan punya banyak manfaat dan Belle bersemangat sekali mendapatkan semua manfaat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments