Jadi itu alasan Shin Yin marah? Pantas saja tidak ada perasaan murni. karena perasaan murni dipicu secara spontanitas.
Lin Chen pun melangkah masuk kedalam rumah. Didalam rumah, Shin Yin menangis di pelukan ibunya.
"Bu, suamiku sangat jahat padaku!" kata Shin Yin sambil terisak-isak.
"Sudahlah, nanti adik-adikmu yang lain bangun. bicarakan dengan suamimu secara perlahan dikamar, jangan membuat keributan, ya?" kata ibunya memberi pengertian pada putri mereka.
Shin Yin pun berdiri sambil sesenggukan menatap Lin Chen dengan mata memerah dan berkata, "Aku menunggumu dikamar!" kata Shin Yin dengan tatapan galak.
"Maaf bibi, aku benar-benar minta maaf. Aku sendiri tidak tahu akan menjadi seperti ini." kata Lin Chen meminta maaf dan membungkukkan badannya kepada ibu Shin Yin.
"Tidak apa-apa, semua orang pernah melakukan kesalahan. Karena kelak kamu akan menjadi kepala keluarga, kamu jelaskan kepada Shin Yin dengan baik." katanya lagi.
Setelah meminta maaf sama ibunya Shin Yin, Lin Chen pun masuk kedalam kamar. Shin Yin berbaring telungkup dan masih menangis.
[ Apa kamu mau berkultivasi ganda? ] canda Dewi Lin Hua.
"Yang benar saja Dewi, dia masih kecil. Masih berumur 15 atau 16!"
[ Kamu salah ... Kalau dia sudah menstruasi, itu tidak masalah. Baiklah, kalau kamu tidak mau berkultivasi ganda, kita buka saja Meridiannya! ]
"Baiklah ...tapi kalau nanti tidak bisa mengontrol penyerapan energi alam seperti Qianyi dan Feiya, bagaimana?"
[ Kamu tenang saja. Selagi dia masih tetap didalam pelukanmu, aku dapat membantu menstabilkannya.]
Lin Chen perlahan naik keatas ranjang, lalu membalikan badan Shin Yin kemudian menarik kedalam pelukannya.
"Sebenarnya aku disuruh menginap, tapi aku memilih pulang agar bisa tidur disamping kamu." kata Lin Chen sambil memeluk erat tubuh mungil Shin Yin.
Shin Yin masih tetap diam dan tidak menghiraukan perkataan Lin Chen.
Shin Yin yang berada didalam pelukan Lin Chen tidak menyadari bahwa, Meridiannya saat ini sudah dibuka, namun dengan campur tangan Dewi Lin Hua, semuanya berjalan dengan lancar.
Mungkin karena Shin Yin merasa terlalu nyaman, dia pun tertidur dalam pelukan Lin Chen, sebaliknya Lin Chen tidur dengan gelisah. meskipun Shin Yin masih berumur 15 -16 tahun, tapi kedua gunung kembarnya benar-benar tidak menunjukan usianya.
Waktu terus berlalu, matahari menampakan dirinya di ufuk timur, embun pagi masih menetes disela dedaunan.
Lin Chen membuka matanya, namun saat dia menoleh ke kiri dan kanan, dia tidak menemukan sosok Shin Yin. Dia pun ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
...
Diruangan makan ...
Sudah ramai, adik-adik Lin Chen sedang sarapan dan mengenakan pakaian seragam sekolah dengan rapi dan mereka sarapan dengan tertib.
Melihat itu, Lin Chen pun bergabung dengan mereka untuk sarapan.
Shin Yin mengambilkan mangkuk nasi dan dengan agak kasar meletakkannya dihadapan Lin Chen.
Tampaknya dia masih marah pada Lin Chen yang walaupun semalam terlelap dalam pelukannya.
"Kakek, apakah adik-adik mulai sekolah?" tanya Lin Chen kepada kakek Huang.
"Iya! Kamu juga akan mendaftar di universitas, setelah makan kamu harus bersiap-siap kenakan pakaian yang layak!" lanjutnya
Kakek Huang adalah pensiunan pegawai sipil. Karena tidak memiliki keturunan, dia pun mengumpulkan anak yatim diberbagai sudut kota Taohua untuk dirawat.
Dengan uang pensiunan dia berusaha sehemat mungkin dan merawat anak-anak terlantar itu dengan sepenuh hati. Pada akhirnya, anak-anak yang dia rawat semakin banyak, sehingga uang pensiunannya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Karena itu, Lin Chen terpaksa ikut membantu kedua orang tua baik hati itu untuk bekerja mengumpulkan barang bekas.
Setelah memiliki cukup banyak uang, kakek Huang akhirnya merenovasi lantai dua rumahnya untuk dijadikan panti asuhan, yang walaupun masih jauh dari kata layak.
Mendengar perkataan kakek Huang, Lin Chen tidak bisa untuk tidak bertanya, "Maaf kakek, bukannya kita masih kekurangan uang? Uang yang aku kasih kemarin pun, hanya cukup untuk makan beberapa bulan kedepan. Jadi hari ini aku berencana mencari pekerjaan, entah jadi kuli bangunan, tidak masalah!" kata Lin Chen.
"Itu sudah tidak perlu. Kata kakek mertuamu, kamu berhak mendapatkan keuntungan 30 persen keuntungan dari perusahaannya dan semua uangnya sudah ditransfer ke rekening panti asuhan!"
Mendengar kata kakek mertua, Shin Yin mengambil cabai merah dan meletakan ke mangkuk Lin Chen.
"Suamiku, makanlah sayur yang banyak!"
Mendengar itu, Lin Chen hanya tersenyum pahit melihat tingkah istri kecilnya itu.
"Memangnya ada berapa banyak uang itu, kakek?" tanya Lin Chen
"Cukup banyak, jangan kan kamu, uang itu juga cukup untuk biaya adik-adikmu sampai universitas, cukup kamu pakai untuk menikah dengan Shin Yin dan cukup untuk kamu beli rumah." kata kakek Huang
"Pokoknya jumlahnya cukup. Lagi pula, itu akan dikirim setiap tahunnya." sambung kakek Huang.
Lin Chen mengira, jumlahnya tidak seberapa, karena itu dia memutuskan untuk mencari pekerjaan. Namun setelah mendengar penjelasan kakek Huang, dia pun memutuskan untuk kuliah saja.
"Kamu pergilah ke universitas. Saat kamu lulus, universitas Taohua telah memberi kamu beasiswa. Karena waktu itu keuangan kita buruk, dan kamu terpaksa membantu kakek mencari uang, jadi kakek merahasiakan ini darimu."
Kakek Huang memiliki sedikit koneksi dalam dunia pendidikan. Karena saat dia bekerja dulu, dia memang bekerja di departemen pendidikan.
Untuk menyekolahkan dia dan adik-adiknya ke sekolah terbaik, itu adalah hal yang mudah bagi kakek Huang.
"Baiklah, kalau kakek sudah memutuskannya, aku akan ke universitas Taohua untuk mendaftar." kata Lin Chen.
"Suamiku, makan dagingnya!" Shin Yin kembali mengambilkan sesuatu dan meletakkannya ke mangkuk Lin Chen. Kali ini adalah tulang ikan.
"Baiklah!" kata Lin Chen dengan ekspresi pasrah, yang mengundang gelak tawa dari adik-adiknya.
...
Di sisi lain, disudut kota Taohua.
Diatas sebuah pohon yang besar, sekelompok orang dengan pedang dibelakang punggungnya menatap tajam ketengah kota.
Mereka adalah orang-orang dari sekte Pedang Darah.
Pemimpin kelompok itu adalah Long Nan. Dia adalah anak ketua sekte sekaligus pewaris Sekte Pedang Darah dimasa depan.
"Apa kamu yakin, tunanganku lari dan bersembunyi di kota ini?" tanya Long Nan kepada bawahannya.
"Benar Tuan Muda! Saya sangat yakin!" jawab sang bawahan
"Baiklah, kita akan mencari. Tidak peduli siapapun yang melindunginya, bunuh ditempat."
"Baik Tuan Muda ..."
Setelah mendapat perintah dari Long Nan, semua terpencar ke segala arah, dan bergegas menuju pusat kota Taohua.
Di pusat kota Taohua ...
Setelah selesai mendaftar di universitas Taohua, Lin Chen diajak teman seasramanya untuk berkeliling.
Sama seperti Lin Chen, temannya itu juga masuk universitas dengan beasiswa. Tidak heran keduanya menjadi cepat akrab.
Setelah lelah untuk berkeliling, Lin Chen mengajak temannya untuk mencari kedai. Sebagai tanda terimakasih dan perkenalan mereka, Lin Chen berinisiatif untuk mentraktir temannya makan siang.
Tanpa ragu, temannya pun menyetujui ajakan Lin Chen. Karena dia mengira, Lin Chen adalah mahasiswa dengan keuangan pas-pasan, mereka pun akhirnya sepakat untuk makan mie dikedai pinggir jalan.
Menurut teman barunya itu, kedai mie yang terletak disudut depan universitas itu adalah kedai mie terenak, tempatnya bersih dan enak.
"Lin Chen, aku jamin setelah kamu memakannya sekali, kamu akan ketagihan dan akan kembali untuk menikmatinya lagi." ujar temannya dengan penuh semangat.
"Benarkah!"
"Baiklah, ayo pergi. Kamu tidak perlu khawatir makanlah sepuasnya, nanti aku yang bayar." kata Lin Chen sambil tersenyum.
Setelah Lin Chen mengatakan itu pada temannya, tiba-tiba saja seorang gadis merangkul bahunya dan berkata, "Kalau begitu, aku juga ikut, kebetulan aku belum makan beberapa hari." kata gadis itu tanpa sungkan dan tanpa rasa malu.
Sebaliknya, teman sekamar Lin Chen mengira, gadis itu adalah teman Lin Chen. begitu juga sebaliknya, Lin Chen mengira gadis itu teman dari temannya.
Lin Chen pun tanpa curiga mengiyakan dan mengajak gadis itu untuk ikut makan bersama mereka.
Setelah sampai di kedai, mereka pun langsung memesan tiga mangkuk mie. Gadis itu makan begitu lahap, kemudian memesan lagi untuk dirinya sendiri.
Melihat itu, teman kamar Lin Chen tersenyum canggung. Lin Chen mengira, temannya merasa bersalah telah memiliki teman seperti gadis tidak tahu malu itu.
Lin Chen dan temannya menghabiskan mie, tepat ketika gadis itu telah menghabiskan mangkuk kelimanya.
Setelah menghabiskan makan dan minum, gadis itu bangkit berdiri lalu berkata, "Terimakasih teman! sampai jumpa lagi." setelah mengucapkan terimakasih, gadis itu pun berbalik pergi dan menghilang dikerumunan orang yang berlaku lalang.
Lin Chen pun berdiri dan membayar 7 mangkuk mie lalu meninggalkan kedai itu bersama temannya.
"Lin Chen, temanmu makannya banyak, tapi kok tubuhnya tetap langsing!" kata temannya.
"Iya ... Aku curiga semua makanan mungkin bukan masuk ke perut tapi masuk ke gunung kembarnya. Kamu lihatkan, dadanya begitu besar. hahaha!" kata Lin Chen sambil tertawa terbahak-bahak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments