ELKAN: Menaklukkan Hati Sedingin Es
Klak! Brak! Prek!
Suara itu terdengar dari arah dalam bengkel tempat biasa Elkan mengerjakan kerajinan kayu yang sudah dia tekuni selama delapan tahun terakhir. Bunyi berisik dari dalam bengkel seperti itu memang bukan kali pertama terjadi. Bukan sekali dua kali rampok datang meski tidak pernah berhasil mendapatkan apa-apa kecuali luka. Tapi yang membedakan dari sebelum-sebelumnya adalah adanya suara rintihan.
Elkan bukannya tidak percaya dengan adanya hantu, dia hanya tidak mempunyai waktu untuk merasa takut pada sesuatu yang bahkan tidak dapat menyentuhnya. Ia menajamkan lagi pendengarannya, sebelum tangan beruratnya memutar kenop pintu yang menghubungkan dapur dan bengkel. Tidak lagi terdengar suara rintihan atau pun benda-benda yang berjatuhan, tapi Elkan tetap haru memeriksanya.
Pintu kayu itu bergerak terbuka dengan sangat perlahan, ruangan di dalam bengkel tidak terlalu terang, hanya ada satu pencahayaan dari sebuah bohlam yang berpendar lemah, yang biasa dia nyalakan sepanjang malam. Pendar lemah dari bohlam itu memang tidak menjangkau setiap sisi ruangan bengkel itu, namun mata setajam elang miliknya dapat melihat beberapa barang dan peralatan yang terjatuh dan berserak di atas lantai kayu, kursi yang biasa diduduki Elkan saat bekerja pun juga sudah terjatuh dengan posisi miring pada sisi kiri dimana pendar bohlam tidak mencapainya.
Elkan melangkah pelan, waspada dan hati-hati setelah sebelah tangannya mengambil sepotong kayu sisa dari pembuatan lemari yang dia kerjakan siang tadi. Dia sudah siap menghajar perampok yang mungkin bersembunyi di kolong meja. Namun, ketika kakinya sampai pada sisi itu, Elkan malah tertegun. Tubuhnya bahkan sempat membeku sejenak. Ia dengan cepat menguasai diri. Apa yang dilihatnya bukan perampok apa lagi hantu, melainkan seorang wanita yang tergeletak tak sadarkan diri.
* * *
Elkan mengulurkan kayu yang dipegangnya untuk menyentuh dan menggerakkan tubuh wanita itu, kedua alis matanya bergerak naik saat kembali terdengar suara rintihan yang dia dengar sebelumnya tadi. Ada perasaan lega mengetahui wanita asing itu masih bernyawa, karena akan sangat merepotkan jika tidak. Wajah wanita itu tertutup helaian rambutnya yang panjang. Elkan menyalakan lampu utama ruangan itu, setelah terang benderang, barulah elkan dapat melihat betapa kotornya penampilan wanita itu, kakinya bahkan hanya mengenakan sebelah alas kaki, entah kemana satunya lagi, Elkan tidak melihatnya dimana pun di dalam ruangan itu.
Elkan berjongkok untuk menyadarkan wanita itu, tapi tubuh wanita itu terasa gemetar.
Dia kedinginan.
Tak heran, dengan hanya mengenakan selembar kaus dan celana jins di wilayah perbukitan yang udaranya semakin malam semakin menggigit. Tangan Elkan terulur untuk menyingkirkan helaian yang menutupi wajah tamu tak diundangnya itu. Lagi, Elkan tertegun. Tak lama, namun dia tidak menapik, meski dekil namun tidak menutupi fakta bahwa wanita itu mempunyai wajah yang cantik. Bulu matanya yang lentik menghiasi kelopak matanya yang tertutup rapat, kedua alisnya melengkung sempurna, tulang hidungnya tinggi dan ramping, bibirnya pucat namun memiliki garis yang pas. Elkan mengalihkan pandangannya dari wajah itu, dan menggendongnya masuk ke bagian dalam rumah melalui pintu yang menghubungkan bengkel dan dapur. Ia tidak mungkin tetap membiarkan wanita itu terus tergeletak di lantai bengkel.
Menguar aroma tak sedap dari wanita itu, tak heran karena penampilannya yang lusuh dan kotor itu, entah apa yang sudah dilalui wanita itu. Tapi, Elkan tak perduli. Bukan urusannya. Yang menjadi urusannya saat ini adalah, membuat wanita itu sadar dan pergi dari rumahnya. Ia tidak suka dibuat repot oleh orang lain.
Di atas sebuah kursi kayu buatan tangannya, Elkan meletakkan tubuh wanita itu dan menyelipkan sebuah bantal di bagian bawah kepalanya. Ia kemudian menyalakan kembali perapian yang apinya mulai padam untuk menghangatkan ruangan tengah pondok yang telah menjadi huniannya selama bertahun-tahun. Lia belas menit berlalu, saat Elkan baru saja selesai menyeduh teh dengan campuran susu dan sedikit tambahan bubuk kayu manis, wanita asing itu akhirnya membuka kedua matanya.
Elkan diam di tempatnya, tetap berdiri dengan cangkir teh yang masih dipegangnya. Matanya mengawasi bagaimana wanita itu terlihat bingung, dia duduk, bola matanya bergerak-gerak mengamati ruangan sekitarnya, hingga matanya bertemu dengan sorot mata dingin milik Elkan.
"Siapa kau? Dimana aku?" Pertanyaan dengan nada menuduh seolah Elkan menculiknya keluar dari bibir wanita itu.
Elkan mendengus. Ia bergerak, meletakkan cangkir yang sedari tadi dipegangnya itu di atas meja, tepat di depan wanita itu duduk. Sebuah baskom berisi air hangat dan sebuah handuk bersih yang dilipat juga mengisi kekosongan di atas meja itu.
"Minumlah supaya tidak kedinginan. Kemudian bersihkan wajahmu, lalu pergi dari rumahku." kata Elkan dengan nada datar tanpa melihat kepada wanita itu.
"Minuman apa itu?" Tanya wanita itu dengan nada curiga.
"Teh susu. Minum. Mumpung masih hangat."
Tapi kedua mata wanita itu malah memicing, menatap Elkan dengan tatapan skeptis yang penuh kecurigaan.
"Aku tidak mungkin menolong jika ingin meracuni minuman itu." Ujar Elkan masih dengan nada datarnya. "Minum, tubuhmu kedinginan."
Slurp!
Akhirnya wanita itu menyeruput cairan kecokelatan yang hangat dan harum itu..Matanya terpejam ketika tubuhnya mulai merasakan kehangatan yang berasal dari teh yang ditelannya itu. Rasa manis membuat kedua sudut bibir pucat itu bergerak membentuk senyuman.
"Bersihkan dirimu sedikit kalau kau mau." Elkan mengarahkan dagunya yang berbelah itu kearah baskom di atas meja. "Setelah itu pergi dari sini."
"Kau mengusirku?"
"Ya."
"Kalau akhirnya aku diusir, untuk apa kau menolongku?"
"Apa kau memilih aku membuangmu di tengah hutan dalam keadaan pingsan?"
"Ya tidak begitu juga. Tapi, kan, seharusnya jika kau menolongku, setidaknya kau bertanya siapa namaku, kenapa aku bisa sampai pingsan di rumahmu, atau apa yang terjadi padaku."
"Itu semua bukan urusanku." jawab Elkan singkat, jelas dan datar.
Wanita itu menipiskan bibirnya kemudian menghela napasnya. Dia menyeruput kembali tehnya.
"Terima kasih telah menolongku, tapi bisakah aku menginap sementara disini?"
"Tidak." Jawab Elkan tanpa ragu sedikit pun. "Lagi pula apa kau tidak takut menginap di rumah orang asing?"
"Tidak, karena aku butuh pertolongan."
"Aku tidak bisa menolongmu."
"Tapi kau sudah menolongku tadi."
"Dan sekarang aku menyesalinya."
Wanita itu malah tersenyum mendengar ujaran bernada dingin dan datar dari seseorang yang telah menyeduhkan teh dengan rasa yang enak dan hangat agar tubuhnya tidak kedinginan lagi.
"Omong-omong," Wanita itu melanjutkan, seolah tidak mendengar jawaban Elkan sebelumnya. "namaku Kelaya. Namamu siapa?"
"Aku tidak memperkenalkan diri pada orang asing."
"Apa kau sudah menikah?" Sepertinya wanita bernama Kelaya itu tidak memperdulikan sikap dingin yang jelas ditunjukkan secara terang-terangan oleh Elkan. Alih-alih menjawab pertanyaan random Kelaya, Elkan memilih untuk meninggalkan wanita itu dan masuk ke dalam dapur.
Kelaya mencelupkan handuk ke dalam baskom hingga basah, ia memerasnya lalu membersihkan wajahnya dari debu dan kotoran apa pun yang menempel pada wajahnya. Rasanya begitu segar setelah dua hari ia merasakan wajahnya tebal dengan berbagai jenis debu yang menempel pada kulitnya. Setelah merasakan sedikit kesegaran pada wajahnya, dia menyusul Elkan masuk ke dalam dapur. Ruangan itu terang, lebih terang dari pada ruang tengah, mungkin karena pencahayaan di ruang tengah itu hanya berasal dari perapian saja.
"Apa mungkin kau seorang duda? Apa kau mempunyai kekasih? Atau ada seseorang yang sedang kau tunggu?" Kelaya melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya, tapi tidak ada satu pun pertanyaan itu yang mendapatkan jawaban.
"Baiklah, karena kau tidak menjawab satu pun, akan aku anggap kalau kau belum menikah, tidak mempunyai kekasih atau pun sedang tidak menunggu siapa pun."
Dan Elkan tetap acuh. Dia menyibukkan dirinya di depan kompor, memasak sesuatu yang berkuah dengan aroma yang menguar lezat hingga membuat perut kosong Kelaya terdengar bunyi keributan.
Elkan mematikan kompor, dia menyiapkan sebuah mangkuk dan menuangkan mie instan berkuah yang tadi dimasaknya ke dalam mangkuk kemudian meletakkan mangkuk itu ke atas meja makan.
"Makanlah."
"Kau memasakkan makanan untukku?" Suara Kelaya terdengar bersemangat.
Sebelah alis mata Elkan bergerak naik, "Tidak takut aku racun sekarang?" Sindir Elkan.
"Kau pasti sudah melemparku ke tengah hutan kalau kau berniat jahat padaku, ya, kan?" Kelaya menarik kursi lalu mendudukinya dan mulai menyantap mie instan ternikmat yang pernah dia makan. Mungkin karena dia memang sangat kelaparan.
"Cepat habiskan, lalu pergi dari rumahku."
"Astaga, kau mengusirku lagi?" Kelaya memperhatikan punggung lebar Elkan dari belakang saat pria itu sibuk mencuci panci bekas memasak tadi.
"Jadi, apa kau hidup sendirian di tengah hutan seperti ini?"
"Bukan urusanmu." Jawab Elkan dengan nada dingin.
"Tapi kurasa ini sangat tepat. Kau lajang, aku juga lajang. Bagaimana kalau kau dan aku menikah saja?"
.
.
.
Bersambung~~>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments