"Dia menyukaimu."
"Memang apa yang salah kalau seorang suami mencium istrinya?"
"Bagaimana caranya Elkan bisa menciummu?"
"Jangan bilang dia bahkan belum menyentuhmu?"
"Astaga! Ini patut kita rayakan!"
Ucapan-ucapan Sena dan Haru saat itu terus menggema dan mengulang-ngulang di dalam kepala Kelaya setiap kali Kelaya melihat Elkan melewati dirinya dalam kebisuan, tanpa melirik apa lagi menegurnya. Rasanya terlalu mustahil pria itu tiba-tiba menyukainya, lihat saja bagaimana cara matanya bekerja setiap kali melihat Kelaya, jika tidak melihatnya dengan sorot dingin, maka akan melihat Kelaya dengan sorot mata tajam.
Kelaya lagi-lagi mendesah dan melamun di waktu yang bersamaan.
Memang tidak ada yang salah dengan konteks seorang suami mencium istrinya, tapi dalam kasus rumah tangga yang dijalani Kelaya bersama Elkan, jelas sekali ciuman yang dilakukan Elkan seharusnya mempunyai penjelasan yang panjang, mungkin harus dijelaskan alasan kenapa pria itu menciumnya dalam seribu halaman.
Desahan berat napasnya kembali mengisi ruang dapur. Kedua bahunya turun dan lesu, dia menopang dagunya dengan telapak tangan yang bertumpu di atas meja makan, matanya kosong memandang permukaan meja yang hanya terdapat secangkir teh yang tak lagi hangat.
Aroma sabun yang segar kemudian menghempaskan lamunan Kelaya yang panjang pada sore itu, kehadiran Elkan yang segar dengan rambut pendeknya yang setengah basah membuat Kelaya ingin mengumpat karena ketampanan pria itu membuatnya jengkel.
"Jika membuat minuman tapi tidak kau minum, sebaiknya jangan kau buat." Elkan berucap seraya menyeduh teh untuk dirinya sendiri. "Kau hanya akan membuang-buang stok teh saja."
Kelaya tersentak dan baru menyadari teh yang dibuatnya tadi sudah tidak lagi mengepulkan uap tipis. Dia segera meraih cangkirnya dan menenggak teh dingin itu hingga tandas.
Elkan sudah hendak meninggalkan Kelaya lagi sendirian di dapur, tapi ia menghentikan langkahnya saat Kelaya memanggilnya.
"Elkan,"
Elkan tidak menjawab, hanya melihat Kelaya saja.
"Apa kau sedang marah padaku?" tanya Kelaya, ia memberanikan diri menatap sepasang mata dingin itu.
Ekspresi Elkan yang semula datar, sedikit berubah, tapi kemudian dalam waktu sepersekian detik, ekspresinya kembali datar dan tenang.
"Aku hanya marah jika seseorang melakukan sesuatu yang merugikanku dan membuatku jengkel."
"Jadi, apa aku sudah merugikanmu karena aku membeli beberapa make up dan pakaian?"
"Tidak."
Kelaya menipiskan bibir, teringat kembali ucapan Haru yang mengatakan bahwa ekspresi Elkan memang sudah seperti itu sejak dulu.
"Kalau begitu, terima kasih."
"Hm," Elkan hendak melangkah lagi untuk keluar dari dapur, tapi lagi-lagi suara Kelaya menahannya.
"Jika bukan karena aku merugikanmu, apa kau marah karena aku sudah membuatmu jengkel seharian ini?"
Kali ini kening Elkan menciptakan kerutan tipis. "Aku sedang tidak marah kepadamu." jawab Elkan akhirnya.
"Begitu, kah?"
"Hm,"
"Berarti seharusnya aku yang marah padamu."
Kedua alis tebal pria itu bergerak naik, ekspresi serius dari gadis di depannya itu membuat Elkan memutuskan untuk meletakkan cangkirnya di atas meja dan menarik kursi di depan Kelaya untuk tempatnya duduk di seberang gadis itu.
"Apa yang membuatmu marah?"
"Apa kau tidak merasa berhutang penjelasan kepadaku?"
"Penjelasan apa?"
Kelaya mendengkus, dengan bibirnya yang bergerak membentuk senyuman sinis.
"Kau sudah menciumku kemarin sore, ingat? Dan setelah itu kau pergi begitu saja tanpa memberikan aku penjelasan atau alasan kenapa kau mencuri ciuman pertamaku. Dan sampai sekarang sepertinya kau memang berniat untuk membuatku gila karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi alasan kau menciumku!" Nada jengkel sangat terasa kental dalam suara Kelaya yang mengudara di antara mereka.
Elkan menarik napas tenang, dia bersandar pada sandaran kursinya dan kemudian melipat kedua tangan di depan dada. Tatapannya lurus dan lekat masuk ke dalam manik mata Kelaya.
"Memang kemungkinan-kemungkinan apa yang kau pikirkan?"
"Entahlah, aku hanya berpikir, apakah mungkin kau menyukaiku? Tapi kemudian aku menyadari itu tidak mungkin, mengingat bagaimana tatapanmu yang selalu melihatku dengan kebencian."
Elkan hanya menggerakkan salah satu sudut bibirnya, membentuk senyuman tipis yang nyaris tidak terlihat oleh mata normal manusia.
"Kemungkinan kedua, kau terpesona padaku, entah karena apa, kau hanya terbawa suasana kemudian menciumku tanpa rasa apa-apa." kata Kelaya masih dengan nada jengkelnya.
"Kemungkinan terakhir, mungkin di matamu aku adalah gadis murahan yang bisa kau manfaatkan untuk memuaskan hasratmu saja." Kalimat kemungkinan ini membuat senyum tipis yang nyaris tak terlihat itu menjadi lenyap seutuhnya dari wajah Elkan.
"Kalau aku hanya memanfaatkanmu, aku sudah menyentuhmu sejak hari pertama." Sahutan Elkan yang dingin dan datar membuat Kelaya memalingkan wajahnya.
"Lalu, kenapa kau menciumku? Kau...menyukaiku?"
"Tidak." jawaban Elkan, entah kenapa melukai harga diri Kelaya. Seharusnya dia tidak perlu merasakan sakit dalam dadanya. Dirinya bukan siapa-siapa meski statusnya adalah istri dari pria itu. Namun, dia juga ingat, bahwa ada kontrak diantara mereka, dan Kelaya lah yang membuat kontrak itu.
Miris. Dia yang membuat kontrak, tapi dia malah menyukai pria berhati beku di depannya itu.
"Jadi, kau hanya terbawa suasana saja?"
"Mungkin."
Kelaya terseyum miris menutupi rasa malu dari harga dirinya yang mengharapkan lebih. "Baiklah," katanya kemudian, "kuharap kau tidak melakukan hal seperti itu lagi. Perlu kuingatkan, ada kontrak di antara kita."
Elkan tidak menjawab apa pun, pria itu hanya diam menutup mulutnya, namun sorot mata itu menatap Kelaya dengan tajam.
"Kau menyukaiku?" Pertanyaan bernada datar itu menghentikan gerakan Kelaya yang hendak bangkit dari kursi.
Untuk beberapa saat, kedua mata mereka saling mengunci, saling melemparkan rasa yang sulit untuk dipahami keduanya.
"Apa kau akan membalas perasaanku jika kukatakan aku menyukaimu?"
Tidak ada jawaban dari pria itu. Bibirnya rapat tidak bergerak.
Senyuman miris kembali menghiasi wajah cantik Kelaya sore itu. Ia menyelipkan sejumput rambut panjangnya ke belakang telinga.
"Aku akan berusaha untuk tidak mengusikmu selama sisa waktu kontrak kita." Kelaya meninggalkan dapur setelah mengatakan kalimatnya. Tanpa dia melihat bagaimana perubahan ekspresi pada wajah Elkan, meskipun tidak terlalu signifikan. Hanya saja, pria itu merasa tidak menyukai kalimat terakhir itu.
* * *
Elkan keluar dari dapur setelah beberapa waktu dia menghabiskan waktunya di bengkel, memastikan sekali lagi, kunci pada pintu luar bengkel sudah aman, meski tidak menjamin tidak dapat dibobol orang asing lagi. Kakinya berhenti begitu melihat sosok mungil itu tidur bergelung dengan selimut di atas kursi ruang tengah tanpa perapian yang menyala. Udara dingin tentu saja membuat siapa pun meringkuk di bawah selimut.
Bodoh, kenapa harus kembali tidur di sana. Gerutu Elkan dalam hatinya.
Dia pasti merasa tidak nyaman setelah perbincangan tadi.
Elkan mendekati kursi dimana Kelaya sudah terlelap disana. Wajah tenang gadis itu yang tertidur membuat Elkan memutuskan untuk duduk bersandar pada meja dan memandangi wajah cantik di depannya itu. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang kecil dan tinggi, kulitnya yang lembut, bibirnya yang merah muda dan...manis.
Elkan menghela napas pelan. Dirinya pun juga tidak menyangka bahwa dia akan bertindak sejauh itu. Dia tidak pernah menduga bahwa rasa yang sempat dia sumpahi akan dia kubur sampai dia mati akan kembali muncul dan mempengaruhi pikirannya juga hatinya.
Dia terpesona pada Kelaya, dia mengakui itu dalam hatinya. Tapi ia tidak bisa membiarkan keterpesonaanya itu membawa Kelaya dalam gelapnya hidup yang selama ini dia jalani.
Elkan bergerak perlahan dia menyelipkan kedua tangannya di bawah leher dan di balik lutut Kelaya, mengangkat tubuh itu ke dalam gendongannya. Aroma mawar dan manis menguar dari tubuh yang digendongnya itu. Leher Kelaya yang terekspos dalam gendongannya membuat Elkan sekuat tenaga menahan sesuatu yang mulai mendesak. Hasrat untuk merasai aroma dalam cekungan itu menyerang Elkan dengan sangat brutal.
Ah, sial! Runtuknya.
Dia meletakkan Kelaya dengan sangat perlahan di atas ranjang, gadis itu bergerak meringkuk memeluk guling. Elkan menyelimutkannya hingga leher, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.
Dan malam itu, Elkan memutuskan untuk tidur di ruang tengah, atau dia tidak bisa menahan dirinya dari hasrat yang selama ini dia pendam dalam-dalam.
Ponsel Elkan bergetar, tanda pesan masuk dari Haru.
[Bos, dia kembali. Waspadalah.]
"Apa kau akan membalas perasaanku jika kukatakan aku menyukaimu?"
Kalimat Kelaya kembali berputar di dalam kepalanya.
Kuharap kau tidak menyukai monster sepertiku.
.
.
.
Bersambung~~>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Firli Khalifah
bagus ni ceritanya
2024-10-12
0