NovelToon NovelToon

ELKAN: Menaklukkan Hati Sedingin Es

Chapter 1. Wanita Asing Yang Pingsan

Klak! Brak! Prek!

Suara itu terdengar dari arah dalam bengkel tempat biasa Elkan mengerjakan kerajinan kayu yang sudah dia tekuni selama delapan tahun terakhir. Bunyi berisik dari dalam bengkel seperti itu memang bukan kali pertama terjadi. Bukan sekali dua kali rampok datang meski tidak pernah berhasil mendapatkan apa-apa kecuali luka. Tapi yang membedakan dari sebelum-sebelumnya adalah adanya suara rintihan.

Elkan bukannya tidak percaya dengan adanya hantu, dia hanya tidak mempunyai waktu untuk merasa takut pada sesuatu yang bahkan tidak dapat menyentuhnya. Ia menajamkan lagi pendengarannya, sebelum tangan beruratnya memutar kenop pintu yang menghubungkan dapur dan bengkel. Tidak lagi terdengar suara rintihan atau pun benda-benda yang berjatuhan, tapi Elkan tetap haru memeriksanya.

Pintu kayu itu bergerak terbuka dengan sangat perlahan, ruangan di dalam bengkel tidak terlalu terang, hanya ada satu pencahayaan dari sebuah bohlam yang berpendar lemah, yang biasa dia nyalakan sepanjang malam. Pendar lemah dari bohlam itu memang tidak menjangkau setiap sisi ruangan bengkel itu, namun mata setajam elang miliknya dapat melihat beberapa barang dan peralatan yang terjatuh dan berserak di atas lantai kayu, kursi yang biasa diduduki Elkan saat bekerja pun juga sudah terjatuh dengan posisi miring pada sisi kiri dimana pendar bohlam tidak mencapainya.

Elkan melangkah pelan, waspada dan hati-hati setelah sebelah tangannya mengambil sepotong kayu sisa dari pembuatan lemari yang dia kerjakan siang tadi. Dia sudah siap menghajar perampok yang mungkin bersembunyi di kolong meja. Namun, ketika kakinya sampai pada sisi itu, Elkan malah tertegun. Tubuhnya bahkan sempat membeku sejenak. Ia dengan cepat menguasai diri. Apa yang dilihatnya bukan perampok apa lagi hantu, melainkan seorang wanita yang tergeletak tak sadarkan diri.

* * *

Elkan mengulurkan kayu yang dipegangnya untuk menyentuh dan menggerakkan tubuh wanita itu, kedua alis matanya bergerak naik saat kembali terdengar suara rintihan yang dia dengar sebelumnya tadi. Ada perasaan lega mengetahui wanita asing itu masih bernyawa, karena akan sangat merepotkan jika tidak. Wajah wanita itu tertutup helaian rambutnya yang panjang. Elkan menyalakan lampu utama ruangan itu, setelah terang benderang, barulah elkan dapat melihat betapa kotornya penampilan wanita itu, kakinya bahkan hanya mengenakan sebelah alas kaki, entah kemana satunya lagi, Elkan tidak melihatnya dimana pun di dalam ruangan itu.

Elkan berjongkok untuk menyadarkan wanita itu, tapi tubuh wanita itu terasa gemetar.

Dia kedinginan.

Tak heran, dengan hanya mengenakan selembar kaus dan celana jins di wilayah perbukitan  yang udaranya semakin malam semakin menggigit. Tangan Elkan terulur untuk menyingkirkan helaian yang menutupi wajah tamu tak diundangnya itu. Lagi, Elkan tertegun. Tak lama, namun dia tidak menapik, meski dekil namun tidak  menutupi fakta bahwa wanita itu mempunyai wajah yang cantik. Bulu matanya yang lentik menghiasi kelopak matanya yang tertutup rapat, kedua alisnya melengkung sempurna, tulang hidungnya tinggi dan ramping, bibirnya pucat namun memiliki garis yang pas. Elkan mengalihkan pandangannya dari wajah itu, dan menggendongnya masuk ke bagian dalam rumah melalui pintu yang menghubungkan bengkel dan dapur. Ia tidak mungkin tetap membiarkan wanita itu terus tergeletak di lantai bengkel.

Menguar aroma tak sedap dari wanita itu, tak heran karena penampilannya yang lusuh dan kotor itu, entah apa yang sudah dilalui wanita itu. Tapi, Elkan tak perduli. Bukan urusannya. Yang menjadi urusannya saat ini adalah, membuat wanita itu sadar dan pergi dari rumahnya. Ia tidak suka dibuat repot oleh orang lain.

Di atas sebuah kursi kayu buatan tangannya, Elkan meletakkan tubuh wanita itu dan menyelipkan sebuah bantal di bagian bawah kepalanya. Ia kemudian menyalakan kembali perapian yang apinya mulai padam untuk menghangatkan ruangan tengah pondok yang telah menjadi huniannya selama bertahun-tahun. Lia belas menit berlalu, saat Elkan baru saja selesai menyeduh teh dengan campuran susu dan sedikit tambahan bubuk kayu manis, wanita asing itu akhirnya membuka kedua matanya.

Elkan diam di tempatnya, tetap berdiri dengan cangkir teh yang masih dipegangnya. Matanya mengawasi bagaimana wanita itu terlihat bingung, dia duduk, bola matanya bergerak-gerak mengamati ruangan sekitarnya, hingga matanya bertemu dengan sorot mata dingin milik Elkan.

"Siapa kau? Dimana aku?" Pertanyaan dengan nada menuduh seolah Elkan menculiknya keluar dari bibir wanita itu.

Elkan mendengus. Ia bergerak, meletakkan cangkir yang sedari tadi dipegangnya itu di atas meja, tepat di depan wanita itu duduk. Sebuah baskom berisi air hangat dan sebuah handuk bersih yang dilipat juga mengisi kekosongan di atas meja itu.

"Minumlah supaya tidak kedinginan. Kemudian bersihkan wajahmu, lalu pergi dari rumahku." kata Elkan dengan nada datar tanpa melihat kepada wanita itu.

"Minuman apa itu?" Tanya wanita itu dengan nada curiga.

"Teh susu. Minum. Mumpung masih hangat."

Tapi kedua mata wanita itu malah memicing, menatap Elkan dengan tatapan skeptis yang penuh kecurigaan.

"Aku tidak mungkin menolong jika ingin meracuni minuman itu." Ujar Elkan masih dengan nada datarnya. "Minum, tubuhmu kedinginan."

Slurp!

Akhirnya wanita itu menyeruput cairan kecokelatan yang hangat dan harum itu..Matanya terpejam ketika tubuhnya mulai merasakan kehangatan yang berasal dari teh yang ditelannya itu. Rasa manis membuat kedua sudut bibir pucat itu bergerak membentuk senyuman.

"Bersihkan dirimu sedikit kalau kau mau." Elkan mengarahkan dagunya yang berbelah itu kearah baskom di atas meja. "Setelah itu pergi dari sini."

"Kau mengusirku?"

"Ya."

"Kalau akhirnya aku diusir, untuk apa kau menolongku?"

"Apa kau memilih aku membuangmu di tengah hutan dalam keadaan pingsan?"

"Ya tidak begitu juga. Tapi, kan, seharusnya jika kau menolongku, setidaknya kau bertanya siapa namaku, kenapa aku bisa sampai pingsan di rumahmu, atau apa yang terjadi padaku."

"Itu semua bukan urusanku." jawab Elkan singkat, jelas dan datar.

Wanita itu menipiskan bibirnya kemudian menghela napasnya. Dia menyeruput kembali tehnya.

"Terima kasih telah menolongku, tapi bisakah aku menginap sementara disini?"

"Tidak." Jawab Elkan tanpa ragu sedikit pun. "Lagi pula apa kau tidak takut menginap di rumah orang asing?"

"Tidak, karena aku butuh pertolongan."

"Aku tidak bisa menolongmu."

"Tapi kau sudah menolongku tadi."

"Dan sekarang aku menyesalinya."

Wanita itu malah tersenyum mendengar ujaran bernada dingin dan datar dari seseorang yang telah menyeduhkan teh dengan rasa yang enak dan hangat agar tubuhnya tidak kedinginan lagi.

"Omong-omong," Wanita itu melanjutkan, seolah tidak mendengar jawaban Elkan sebelumnya. "namaku Kelaya. Namamu siapa?"

"Aku tidak memperkenalkan diri pada orang asing."

"Apa kau sudah menikah?" Sepertinya wanita bernama Kelaya itu tidak memperdulikan sikap dingin yang jelas ditunjukkan secara terang-terangan oleh Elkan. Alih-alih menjawab pertanyaan random Kelaya, Elkan memilih untuk meninggalkan wanita itu dan masuk ke dalam dapur.

Kelaya mencelupkan handuk ke dalam baskom hingga basah, ia memerasnya lalu membersihkan wajahnya dari debu dan kotoran apa pun yang menempel pada wajahnya. Rasanya begitu segar setelah dua hari ia merasakan wajahnya tebal dengan berbagai jenis debu yang menempel pada kulitnya. Setelah merasakan sedikit kesegaran pada wajahnya, dia menyusul Elkan masuk ke dalam dapur. Ruangan itu terang, lebih terang dari pada ruang tengah, mungkin karena pencahayaan di ruang tengah itu hanya berasal dari perapian saja.

"Apa mungkin kau seorang duda? Apa kau mempunyai kekasih? Atau ada seseorang yang sedang kau tunggu?" Kelaya melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya, tapi tidak ada satu pun pertanyaan itu yang mendapatkan jawaban.

"Baiklah, karena kau tidak menjawab satu pun, akan aku anggap kalau kau belum menikah, tidak mempunyai kekasih atau pun sedang tidak menunggu siapa pun."

Dan Elkan tetap acuh. Dia menyibukkan dirinya di depan kompor, memasak sesuatu yang berkuah dengan aroma yang menguar lezat hingga membuat perut kosong Kelaya terdengar bunyi keributan.

Elkan mematikan kompor, dia menyiapkan sebuah mangkuk dan menuangkan mie instan berkuah yang tadi dimasaknya ke dalam mangkuk kemudian meletakkan mangkuk itu ke atas meja makan.

"Makanlah."

"Kau memasakkan makanan untukku?" Suara Kelaya terdengar bersemangat.

Sebelah alis mata Elkan bergerak naik, "Tidak takut aku racun sekarang?" Sindir Elkan.

"Kau pasti sudah melemparku ke tengah hutan kalau kau berniat jahat padaku, ya, kan?" Kelaya menarik kursi lalu mendudukinya dan mulai menyantap mie instan ternikmat yang pernah dia makan. Mungkin karena dia memang sangat kelaparan.

"Cepat habiskan, lalu pergi dari rumahku."

"Astaga, kau mengusirku lagi?" Kelaya memperhatikan punggung lebar Elkan dari belakang saat pria itu sibuk mencuci panci bekas memasak tadi.

"Jadi, apa kau hidup sendirian di tengah hutan seperti ini?"

"Bukan urusanmu." Jawab Elkan dengan nada dingin.

"Tapi kurasa ini sangat tepat. Kau lajang, aku juga lajang. Bagaimana kalau kau dan aku menikah saja?"

.

.

.

Bersambung~~>>

Chapter 2. Wanita Gila.

"Bagaimana kalau kau dan aku menikah saja?"

"Apa kau sudah gila?" tanya Elkan sambil mematikan aliran air. Dan menghadap wanita itu.

"Tidak juga. Coba kau pikir, kau lajang dan aku butuh seorang suami, pas, kan?"

"Bagaimana bisa kau ajak orang asing yang baru kau temui untuk menikahimu?"

"Pasangan suami istri pada hakikatnya berawal dari orang asing, kan?"

Elkan sampai menggelengkan kepalanya, tak percaya sama sekali dengan cara wanita itu berpikir.

"Tidak apa-apa kalau kau menganggapku gila, asalkan kita menikah, bagaimana?"

"Tidak!"

"Tapi aku harus segera menikah."

"Silahkan, tapi bukan denganku."

"Tapi kau satu-satunya kandidat."

"Aku tidak mendaftar sebagai kandidat apa pun!"

"Dengar, aku juga tidak mau seperti ini. Tapi situasi dan kondisi memaksaku. Apa kau ingin tahu apa yang menjadi alasanku berada disituasi seperti ini?"

"Aku tidak peduli."

"Jadi," Kelaya tetap mulai bercerita meski dengan jelas Elkan tidak memperdulikan apa pun alasan wanita itu. "aku kabur dari rumah karena pamanku menjodohkanku pada seorang pebisnis yang sudah tua."

Elkan meninggalkan dapur untuk masuk ke dalam bengkel, Kelaya tidak putus asa, dia membawa mangkuknya dan mengikuti kemana pun Elkan pergi.

"Kakek itu memiliki tiga orang istri, anak-anaknya sangat banyak, bahkan sudah ada cucunya yang seumuran denganku." Kelaya terus bercerita meski Elkan terlihat acuh sama sekali. Sesekali dia berhenti untuk menyuap mie instannya yang sudah tidak lagi terlalu panas.

"Cucunya itu bahkan pernah mengancam kalau aku menjadi neneknya, dia akan datang setiap malam untuk memuaskanku. Gila, kan?! Dan pamanku sama sekali tidak peduli dengan ancaman yang aku terima, yang penting bisnis tetap berjalan lancar."

Setelah Elkan selesai merapihkan kekacauan barang-barang yang berserak di atas lantai, dia kembali ke dapur, Kelaya terus mengikuti tanpa berputus asa. Elkan menutup dan mengunci pintu, setelah itu dilihatnya mangkuk yang dibawa Kelaya sudah kosong.

"Karena itu aku kabur. Aku hanya membawa bebarapa lembar uang cash dan KTP, supaya pamanku tidak bisa melacakku. Aku naik bis ke bis, tidak tahu kemana bis itu membawaku. Aku menyelinap masuk di atas truk pengangkut sayuran sampai truk pengangkut kambing saat uangku habis. Tapi sialnya, aku ketahuan dan dikejar. Jadi aku berlari masuk ke dalam hutan dan menemukan rumah ini." Kelaya menatap Elkan dengan tatapan memelas, ia menyatukan kedua telapak tangannya, bersikap memohon pengertian dari Elkan.

"Aku tidak bisa pergi lagi, aku juga tidak bisa kembali. Jadi, kumohon, menikahlah denganku."

Elkan mengambil mangkuk kosong itu lalu meletakkannya begitu saja di dalam wastafel cuci piring, lalu menatap Kelaya dengan tatapan matanya yang sejak awal selalu memancarkan sorot yang dingin.

"Sebaiknya kau pergi sekarang." Ujar Elkan dengan nada datar.yang tidak perduli sama sekali dengan kisah yang diceritakan wanita itu.

Kelaya memejamkan matanya, menahan rasa kesal karena ceritanya panjang lebar itu tidak menggugah hati Elkan sedikit pun.

"Tapi ini masih malam dan di tengah hutan." kata Kelaya akhirnya dengan nada nelangsa.

"Kau sudah berhasil lari masuk ke dalam hutan ini juga tadi."

"Tapi-"

Kelaya tidak dapat meneruskan kalimatnya, karena Elkan sudah menarik lengan wanita itu, sedikit menyeretnya agar Kelaya cepat bisa dia keluarkan dari dalam rumahnya.

Gawat! Berpikirlah Kelaya!

Ide pun muncul, Kelaya tiba-tiba terjatuh hingga membuat Elkan juga tepaksa berhenti.

"Akh! Kakiku sepertinya terkilir." katanya sambil menunjukkan ekspresi kesakitan yang meyakinkan umat manusia, meski Kelaya tidak berharap banyak pria dengan mata yang menyorot dingin itu akan percaya pada kebohongan recehnya.

Elkan menghela napas panjang. Ia melepaskan cekalan tangannya pada tangan Kelaya dan memperhatian wanita itu dengan tatapan tajam seraya melipat tangan di depan dada.

"Oke, oke, aku tidak akan memintamu untuk menikah denganku lagi. Tapi, kumohon biarkan aku beristirahat disini, setidaknya sampai pagi. Setelah itu aku akan mencari cara untuk kabur lagi sampai ke ujung dunia."

Elkan masih terdiam dengan tatapannya yang menghunus, tapi Kelaya harus menebalkan hati juga pertahanannya.

"Baiklah. Hanya sampai nanti pagi."

"Siap! Ah, terima kasih!" Senyum di wajah Kelaya merekah. Dia tahu, pria asing yang dingin itu mempunyai hati yang baik. Mungkin kesendirian yang membuatnya menjadi terkesan tidak bersahabat.

Elkan hendak beranjak tanpa berniat untuk membantu wanita yang kakinya sedang terkilir itu untuk berdiri.

"Mau kemana?"

"Tidur."

"Boleh aku mandi dan pinjam baju?"

Elkan mengernyit. "Apa kebaikanku membuatmu melunjak?"

"Bukan begitu, tapi untuk memulai hari esok yang berat, setidaknya aku harus terlihat bersih agar ada orang yang mau mengasihaniku. Aku akan mencuci pakaianku dan menjemurnya disana." Kelaya menunjuk ke arah perapian dimana api masih menari di atas tumpukan kayu bakar. Namun, tidak ada jawaban apa pun dari Elkan, dia hanya terus melangkah hingga masuk ke dalam kamarnya.

Kelaya tersenyum miris. Ia beranjak dari tempatnya menuju kursi tempat pertama kali da terbangun dari pingsannya. Ia mengambil handuk yang tadi dia gunakan untuk membersihkan wajahnya, lalu dia gunakan lagi handuk itu untuk membersihkan leher, lengan dan betisnya.

Tak memungkiri, rasanya Kelaya sangat ingin menangis. Dia tidak pernah berada diposisi yang sangat mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Bahkan sampai rela menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Tapi hanya dengan cara itu, pamannya akan berhenti memaksanya menikah dengan para pebisnis-pebisnis tua pilihan pamannya.

Jika saja papa dan mamanya masih hidup, dia tidak akan pernah berada disituasi sulit dan menyedihkan seperti ini. Kemana lagi dia harus pergi besok? Uang sudah tidak punya.Tapi tekadnya sudah bulat, dia tidak akan kembali pulang. Meski kini dia tidak tahu bagaimana nasibnya, setidaknya dia tidak akan dijadikan tumbal bisnis oleh pamannya yang tamak.

Pintu kamar kembali terbuka, Elkan keluar dengan membawa pakaian, selimut dan handuk bersih yang dia letakkan di atas meja begitu saja.

Kelaya bahkan sampai tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya dan saking terharu, hanya air mata yang akhirnya lolos dari kedua sudut matanya. Melihat Kelaya yang meneteskan air mata, Elkan pun memalingkan wajahnya.

Kelaya mengusap pakaian bersih itu dengan perasaan hangat. "Terima kasih." katanya kemudian.

Tapi Elkan tidak menjawab. Dia kembali meninggalkan Kelaya dan masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu, tidak lagi keluar hingga pagi menjelang.

* * *

"Hei, bangun!" Elkan menendang kaki kursi yang ditempati Kelaya untuk bergelung di bawah selimut. Langit sudah cerah, api di dalam dinding perapian juga sudah padam, menyisakan kayu-kayu bakar yang menghitam. Pakaian luar hingga pakaian dalam wanita itu dijemur tepat di depan perapian.

Elkan berdecak seraya menggelengkan kepalanya. Wanita gila mana yang menjemur pakaian dalamnya di tengah ruangan dari rumah milik seorang pria dewasa sepertinya?

"Bangun!" Kali ini Elkan menendang kaki kursi cukup kuat hingga akhirnya membuat Kelaya terbangun dari tidurnya yang terasa singkat.

"Ada apa?" Kelaya merenggangkan kedua tangannya ke atas. Refleks gerakan itu menggerakkan sesuatu yang tidak terjaga oleh penutupnya dari balik kaus Elkan yang dikenakan Kelaya, gerakan itu tentu saja tertangkap oleh mata dewasa Elkan.

Sial!

Elkan langsung beranjak dari tempatnya. "Cepat bagun, ganti pakaianmu dan pergi dari rumahku!"

"Ah, sudah pagi, ya? Cepat sekali, rasanya aku baru tidur sebentar."

Elkan beranjak ke dapur, dia butuh pengalihan pikiran dari benda yang bergoyang dari balik kaus yang dikenakan Kelaya. Ia memilih membuat kopi. Kegiatan rutinnya setiap pagi setiap bangun tidur sebelum menjalani aktifitasnya.

"Kau membuat kopi?" Sialnya, wanita itu malah masuk ke dalam dapur, masih dengan pakaian yang sama. Lagi-lagi Elkan mengumpat, mencoba untuk mengalihkan pikirannya kepada kopi yang sedang digilingnya.

"Kenapa masih memakai pakaianku? Apa kau tidak takut di depan pria sepertiku?"

"Memangnya apa yang akan kau lakukan?" tanya Kelaya dengan nada menantang.

"Aku pria dewasa yang normal, aku bisa saja khilaf dan memperko- melecehkanmu."

"Nah!" Satu kata yang tiba-tiba diucapkan dengan nada penuh semangat itu malah membuat Elkan mengernyit. "Dari pada kau khilaf dan malah terjadi tindakan pelecehan, lebih baik menikah denganku. Kau bebas melakukan apa pun padaku jika aku istrimu. Tidak perlu acara khilaf segala."

Entah sudah berapa kali pagi ini Elkan menggelengkan kepalanya. "Cepat pakai pakaianmu, atau aku akan menyeretmu keluar dengan pakaian seperti itu!" Kali ini, nada rendah dan sorot gelap mata Elkan membuat nyali Kelaya sedikit menciut. Entah bagaimana, Kelaya dapat merasakan kesungguhan dalam ancaman pria itu.

Akhirnya Elkan berhasil membuat Kelaya beranjak dari dapur. Kepalanya benar-benar dibuat pusing oleh satu wanita asing. Ini lebih merepotkan dari pada menghadapi segerombolan perampok. Wanita itu muncul tiba-tiba, mengacaukan waktu tidur malamnya, mengganggu ketenangan paginya dan membuat fokus pikirannya terpecah oleh sesuatu yang bergoyang...ah sial! Elkan harus membuat Kelaya pergi secepatnya.

Tok! Tok! Tok!

"Astaga, apa lagi sekarang!" Elkan menggerutu. Dia beranjak dari dapur. Tidak ada lagi pakaian Kelaya di depan perapian, wanita itu pun sepertinya menurut kali ini. Elkan berdeham sebelum membuka pintu rumahnya.

"Jang, ini pesanannya. Maaf kemarin sore belum bisa antar ke sini, istri mendadak ngidam." Seorang pria dengan rambut yang terbelah klimis berdiri di depan pintu rumah Elkan. Dia Pak Hendra, salah satu warga desa yang biasa dimintai tolong oleh Elkan untuk menitip barang-barang keperluan dapur atau rumah lainnya.

"Iya, Pak, tidak apa-apa. Terima kasih." Jawab Elkan dengan bahasa daerah yang sudah fasih dia ucapkan seraya menerima dua kantong belanjaan yang diberikan Pak Hendra.

Elkan meletakkan dua kantong itu ke dalam, lalu kembali ke depan pintu dengan membawa amplop berisi uang untuk membayar upah Pak Hendra seperti biasa. Setelah menerima upahnya, Pak Hendra hendak pergi, tapi sepertinya Kelaya tidak bisa membuat pagi Elkan benar-benar tenang.

"Pakaian dalamku masih basah, apa boleh aku tetap disini dulu sampai-" Kalimat Kelaya menggantung ketika matanya melihat ada orang lain di depan pintu yang juga melihatnya balik dengan tatapan bingung. Kelaya terkesiap, ditangannya dia masih memegang bra-nya yang dia katakan masih basah tadi, sementara dirinya masih mengenakan kaus milik Elkan.

Menyadari kemana tatapan mata Pak Hendra pada bagian depan kaus yang dikenakan Kelaya, Elkan pun bergerak dan berdiri tepat di depan Pak Hendra, untuk menghalangi pandangan pria itu.

"Itu siapa, Jang?"

"Teman."

"Tapi kenapa tidak pakai..." Ucapan Pak Hendra pun juga menggantung di udara, kemudian menatap Elkan dengan tatapan menuduh. "Apa kalian sudah berbuat yang tidak-tidak?"

"Tidak Pak, ini sama sekali tidak seperti yang Pak Hendra pikirkan." Elkan mencoba bersikap tenang untuk menjelaskan situasinya, tapi sepertinya, apa yang sedang dipegang Kelaya lebih menyakinkan bahwa Elkan dan wanita itu telah melakukan 'sesuatu'.

"Lalu kenapa dia tidak memakai dalaman? Wah, Jang! Kamu sudah sangat melanggar aturan desa kita! Saya sama sekali tidak menyangka kamu seperti ini!"

"Dengarkan dulu, Pak, ini tidak-"

"Hei, kamu, kenapa bisa ada di rumah si Ajang? Apa yang sudah kalian perbuat?!" Pak Hendra berusaha melihat Kelaya dari balik bahu Elkan yang tinggi berdiri di depannya.

Tangan Kelaya menyentuh bahu Elkan agar membuat pria itu menyingkir sedikit agar dia bisa bicara atau setidaknya membantu meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.

"Aduh, maaf, Pak, saya tidak mengerti bahasa daerah sama sekali. Tapi saya lihat, sepertinya Bapak salah paham dengan kehadiran saya disini." kata Kelaya dengan sopan. Di dadanya kini dia tutupi dengan bantal yang dia ambil dari atas kursi.

"Oalah, orang kota rupanya." kata Pak Hendra, terdengar nada mencemooh dari suaranya. "Pantas saja tidak tahu aturan. Heh!"

"Maaf, Pak, tapi Pak Hendra memang salah paham, kami tidak melakukan apa-apa." Elkan kembali mencoba untuk menenangkan Pak Hendra.

"Benar, Pak, kami tidak melakukan apa-apa. Semalam kami hanya tidur-"

"Semalam? Tidur?" Nada suara Pak Hendra pun mendadak naik tiga oktaf. Elkan sampai harus memejamkan matanya untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia sudah pasrah!

"Kalian sudah melanggar aturan di desa ini!"

"Melanggar aturan bagaimana, Pak? Kami hanya tidur, istirahat, bukan tidur ber-"

"Mungkin bagi orang kota sepertimu, kumpul kebo bukan hal yang salah, tapi bagi warga desa disini, hal yang kalian lakukan itu sangat melanggar aturan yang harus dikenakan sanksi!"

"Jadi hanya tidur di bawah atap yang sama sudah dikategorikan kumpul kebo?" Tanya Kelaya dengan nada polos yang ingin sekali Elkan bekap mulutnya dengan bantal yang dibawanya itu. Karena semakin Kelaya berusaha menjelaskan, semakin dalam Pak Hendra salah paham pada mereka berdua.

"Tentu saja, bagi pasangan yang belum menikah, itu termasuk kumpul kebo!"

"Oke, tapi kami akan segera menikah, kok, Pak, jadi tidak perlu lah diberikan sanksi segala." Jawaban Kelaya sontak membuat kedua mata Elkan melotot lebar. Dari sorot matanya Elkan seolah mengatakan agar Kelaya menutup mulutnya, tapi wanita itu hanya mengedikkan bahu.

"Wah, jadi kalian benar-benar berbuat mesum, ya?!"

"Tidak, Pak, bukan begitu maksudnya." Elkan benar-benar frustasi, apa lagi melihat sorot kekecewaan dan marah dalam tatapan Pak Hendra yang selama ini sudah banyak membantunya.

"Saya akan telepon kepala desa saat ini juga!" kata Pak Hendra yang sudah menjauh dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang yang baru saja dia sebut.

Elkan memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Apa kita akan dinikahkan secara paksa?"

Elkan terjebak dalam situasi yang tidak pernah terlintas dalam bayangannya sedikit pun. Dia menatap dingin dan tajam wanita itu. Sepertinya, mulai pagi ini, hari-harinya akan berbeda.

.

.

.

Bersambung~~>>

Chapter 3. Mendadak Nikah

Elkan hanya bisa pasrah tanpa banyak pembelaan, karena dia merasa percuma. Setiap kata yang keluar dari bibirnya malah semakin memancing kesalahpahaman semakin runcing. Jadi, Elkan memilih untuk diam dan menerima ide gila Kelaya yang sepertinya akan menjadi nyata bagi wanita itu. Tidak seperti Elkan yang tentu saja merasa tidak nyaman dengan situasi itu, Kelaya malah terlihat lega. Ck, wanita aneh itu malah tersenyum membalas tatapan sinis dan gunjingan masyarakat desa yang telah mendengar berita tentang 'kumpul kebo' yang terjadi. Entah dia tersenyum-senyum saja karena dia tidak mengerti apa yang diucapkan orang-orang, atau karena memang dia sesenang itu dinikahkan paksa oleh masyarakat. Entahlah, kepala Elkan berdenyut. Situasi ini sama sekali tidak tertulis dalam daftar rencana hidupnya.

Mereka sudah berada di balai desa, setelah kedatangan kepala desa ke rumah Elkan sebelumnya, dan Pak Hendra menjelaskan dengan sangat berapi-api ditambah pembelaan yang dilakukan Kelaya malah menciptakan kata-kata ambigu yang membuat kepala desa memutuskan untuk membawa Elkan dan Kelaya ke balai desa untuk segera dinikahkan oleh pemuka agama di desa itu.

Nikah siri menjadi jalan keluar yang dititahkan oleh kepala desa. Setelah itu, baru lah Elkan dan Kelaya wajib menyiapkan dokumen legal untuk mensahkan pernikahan mereka nantinya dimata hukum negara. Elkan masih tidak banyak bicara kecuali mengangguk dan menuruti apa yang dikatakan kepala desa untuk meredakan situasi. Disisinya, Kelaya terlihat senang-senang saja memakai tudung kepala yang diberikan salah satu penduduk desa untuk menutupi sebagian rambutnya yang tergerai.

"Apakah sudah dapat ijin menikah dari wali nikah?" tanya pemuka agama itu kepada Elkan dan Kelaya.

"Saya yatim piatu, Pak." jawab Kelaya yang membuat kepala Elkan menengok kepadanya.

"Apakah tidak ada wali yang lain?"

"Tidak ada, Pak."

Kerutan tercipta samar pada kening Elkan. Meski pun terlihat acuh, Elkan masih ingat semalam wanita itu bercerita tentang pamannya yang ingin menjodohkannya dengan pria tua.

"Apa sudah ada maharnya?" Pertanyaan itu kini ditujukan kepada Elkan.

Elkan yang sedari tadi diam pun baru menyadari tentang mahar.

"Bagaimana, Nak Elkan, sudah ada maharnya?" Mendengar pemuka agama menyebut nama Elkan dengan jelas, wanita itu semakin melebarkan senyumannya. Akhirnya dia bisa tahu nama calon suami mendadaknya itu, karena sebelumnya Pak Hendra, kepala desa dan penduduk desa lainnya selalu berbicara dengan bahasa daerah dan tidak ada yang benar-benar memanggil nama Elkan.

"Apa sudah ada mahar untukku, Mas Elkan?" Suara Kelaya yang dibuat lembut dan penuh penekanan intonasi saat memanggil namanya dengan tambahan embel-embel 'Mas' seketika membuat bulu kuduk Elkan merinding.

Elkan mendengus. Dia mengeluarkan dompet dari saku celana trainingnya, membukanya lalu mengeluarkan sebuah cincin emas yang kemudian diletakkan di atas meja.

"Cincin emas murni 45 gram." ujar Elkan tenang dan datar. Namun ucapannya mampu membuat semua warga desa yang hadir di balai itu bergumam, menggumamkan keterkejutannya dengan emas murni 45 gram yang dijadikan mahar dadakan olehnya, terlebih lagi, cincin itu hanya disimpan di dalam dompet.

Kelaya bahkan sampai menaikkan kedua alisnya tak percaya. Laki-laki mana yang menyimpan cincin emas murni di dalam dompet uang?

"Baiklah kalau begitu, kita mulai saja proses ijab qobulnya."

Elkan mendengus. Sementara Kelaya terlihat sudah sangat siap. Wanita itu menegakkan duduknya hingga terlihat anggun dengan kaus dan celana jinsnya. Sementara Elkan duduk tanpa semangat hanya dengan mengenakan kaus tidur dan celana training panjang, dia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan kepala desa yang akan menjadi wali bagi Kelaya. Hingga pertanyaan pemuka agama itu dijawab oleh semua penduduk desa yang ada disana menyaksikan proses itu.

"Saaaaaaah!"

Senyum pada wajah Kelaya mengembang seperti adonan roti yang siap untuk dipanggang. Binar pada sorot mata wanita itu terpancar sangat jelas ketika Kelaya mencium punggung tangan Elkan sebagai suaminya.

* * *

Kelaya mengangkat jarinya tinggi sembari menyusuri jalan setapak setelah mereka diturunkan oleh Pak Hendra karena istrinya yang menelepon. Perjalanan mereka menuju rumah masih sekitar dua puluh menit lagi dengan berjalan kaki. Tapi sepertinya hal itu tidak mampu memudarkan senyuman pada bibir Kelaya.

"Kembalikan cincin itu." kata Elkan tiba-tiba.

"Eh, mana bisa begitu." Kelaya refleks melipat tangannya. "Ini adalah mahar yang kau berikan kepadaku. Mana bisa diambil lagi."

"Nanti kuganti dengan emas yang lain."

Kelaya menggeleng. "Aku tidak mau emas yang lain."

Elkan mendengkus sebal. Malas berdebat, Elkan tidak lagi bersuara. Dia hanya meneruskan langkahnya tanpa memperdulikan Kelaya yang kesulitan melangkah karena mengenakan sandal jepit kebesaran milik Elkan.

"Hei, tunggu aku, dong! Masa istrinya ditinggal begitu saja? Kalau ada penculik yang menculikku, bagaimana?"

"Bagus lah, aku akan berikan dia ongkos untuk membawamu pergi." Sahut Elkan dari depan Kelaya.

"Kejamnya suamiku."

Lagi-lagi Elkan hanya mendengkus mendengar sebutan itu. Ia sempat mendengar suara gedebuk di belakangnya, tapi dia berusaha untuk tidak perduli dan tetap berjalan lurus tanpa menoleh, sampai dia menyadari tidak ada suara langkah kaki lagi mengikuti dirinya.

Jangan menoleh! Jangan menoleh! Elkan berusaha menguatkan dirinya agar tidak menoleh kebelakang, tapi rasa penasaran mengalahkan dirinya. Dia berhenti, memejamkan mata dan menarik napas panjang sebelum menoleh ke belakang.

"Kemana dia?" tanyanya pada diri sendiri ketika dia menoleh dan tidak ada siapapun di belakangnya. "Ah, sial! Apa dia benar-benar diculik? Ck, merepotkan sekali." Elkan menggerutu, namun tubuhnya bergerak kembali untuk mencari Kelaya yang saharusnya ada di belakang.

Hari semakin siang, tapi karena pohon-pohon tinggi disekitarnya membuat sengatan sinar matahari tidak terlalu menusuk kulitnya. Meski begitu, keringat sudah terasa mengalir di punggungnya. Ah, dia lapar. dia juga belum memberi makan hewan-hewan ternaknya karena kejadian di luar prediksi ini.

Langkahnya berhenti ketika akhirnya dia melihat Kelaya duduk di atas batang pohon yang sudah tumbang. Kedua kakinya lurus, dengan jins bagian lulutnya sobek, tak hanya itu, tali karet dari sandal yang dikenakan Kelaya juga putus. Ia terlihat menyedihkan.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Elkan. Suara pria itu menyentak lamunan Kelaya, tangannya mengusap wajahnya asal dan ia menyunggingkan senyuman saat Elkan semakin mendekat.

"Menunggumu." jawabnya.

"Dengar, aku tidak bisa selamanya membuang waktuku gara-gara kau. Jadi cepat berdiri dan jalan."

"Tapi-"

"Apa?!" Tak sadar, Elkan menyela Kelaya dengan bentakan yang sangat membuat mahkluk apa pun yang mendengarnya bisa kehilangan jantung mereka. Kelaya sampai terdiam. Ini bukan bentakan pertama yang Kelaya terima selama hidupnya. Pamannya sering membentaknya karena Kelaya selalu menolak aturan konyol pamannya. Tantenya sering meneriakinya karena menganggap Kelaya pembawa sial. Tapi semua itu tidak sampai menusuk hatinya.

Namun, satu bentakan dari pria asing yang telah menolongnya tanpa pamrih itu - entah bagaimana - sangat melukainya. Ini lebih menyakitkan dari bentakan dan teriakan paman dan tantenya.

"Aku...aku... tidak apa-apa."

"Bagus!" kata Elkan dingin. Pria itu kembali memutar tubuh dan berjalan lagi.

Kelaya susah payah menelan rasa sesaknya, menahan sebisa dan sekuat yang dia mampu agar air matanya tak lagi menetes. Dia berdiri, menahan perih pada lututnya yang luka, dan pergelangan kakinya yang benar-benar terkilir kali ini. Tangannya membawa sandal jepit yang sudah putus sebelah itu. Ia berjalan terpincang-pincang di belakang Elkan, dengan perut yang lapar.

Apa dia tidak melihat lututku luka? Sandalnya putus, kakiku terkilir? Mama, Papa... Kelaya ingin bersama Mama dan Papa saja...hiks!

Kepala Kelaya yang menunduk - meski kakinya susah payah melangkah di atas jalan setapak yang tidak rata - menubruk sesuatu yang keras yang membuat tubuhnya limbung karena kakinya yang nyeri tidak mampu menahan bobot tubuhnya.

Tangan kekar itu terulur meraih pinggang Kelaya hingga wanita itu selamat tanpa harus membenturkan bokongnya di atas jalan setapak yang berkerikil. Dada bidang dan keras Elkan berada tepat di depan wajah Kelaya, dia mendongakkan wajahnya dan mendapati sorot mata dingin itu sedang menatapnya.

"Kusuruh kau jalan, bukannya menangis."

"Ini juga aku sedang berusaha berjalan, tahu!" Kelaya mendorong dada Elkan untuk melepaskan dirinya dari lingkaran tangan pria itu.

Elkan melihat ke bawah, lebih tepatnya ke lutut dan sandal yang ditenteng Kelaya tanpa berkomentar apa pun.

"Aku tahu jalan pulang, kalau kau mau duluan, duluan saja, tak perlu menung-"

Grep!

Seperti membawa sebuah guling, Elkan sudah menggendong Kelaya dengan mudah tanpa kesulitan apapun, seolah bobot tubuh Kelaya seringan kapas.

"Hei, aku-"

"Diam! Jangan bicara apa pun!"

.

.

.

Bersambung ~~>>

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!