Ke esokan harinya, aku membulatkan tekad ku dan memastikan suami ku tentang keputusan kami menemui orangtua ku setelah sekian lama.
"Sayang, kita jadi pergi kan?"
"Iya. Tapi tidak sekarang. Aku masih memiliki banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Lagi pula kita pasti akan tinggal lama disana kan? Jadi aku harus membereskan semua urusan agar kita bisa berangkat dengan tenang."
"Wah, ternyata suami ku ini sangat bijaksana."
"Hei, kau baru tahu yah? Kemana saja kau selama ini?" Balasnya sambil merangkul ku.
"Sayang, sudahlah. Lepaskan pelukan mu ini. Aku akan turun untuk menyiapkan makanan. Cepatlah bersiap-siap. Jangan sampai kamu terlambat."
"Iya, baiklah istri ku yang cerewet."
Kemudian aku segera turun dan menyiapkan makanan. Tapi aku tidak bisa melayaninya seperti dulu karena perhatian ku harus terbagi untuk putra ku.
"Sayang, makanan mu sudah aku siapkan. Cepatlah turun. Aku tidak bisa menemani mu, karena anak kita menangis." Teriak ku lalu pergi dari meja makan.
Sesampainya di kamar, aku segera menggendong putra ku yang tengah menangis dan memberinya ASI. Sembari menyusuinya, aku mengelus-elus rambutnya sambil memikirkan nama yang cocok untuknya. Karena sejak dia lahir, kami belum mendapatkan nama yang bagus untuknya. Aku ingin neneknya atau pun kakeknya yang akan memberinya nama. Karena mereka sangat menginginkannya sejak dulu.
Sementara sedang menyusu suami ku datang menghampiri ku.
"Sayang, aku berangkat yah.
Oh yah, hari ini aku akan pulang terlambat. Jadi kau tidak usah menunggu ku. Kau tidur saja duluan.
Ok."
"Baiklah. Hati-hati yah sayang. Aku akan mengantar mu keluar."
"Agh, tidak! Tidak! Kau disini saja. Kau urus putra ku dengan baik.
Ok! Dia adalah penerus ku, pewaris ku, yang sudah lama ku nantikan."
"Mmm, baiklah."
**********
Setelah suami ku pergi, dan putra ku sudah tertidur, aku mengambil ponsel dan mencari nomor orangtua ku. Aku mencoba menghubungi mereka. Setelah sekian lama aku tidak pernah menanyakan kabar mereka sejak aku menikah.
Dengan nada suara yang berat dan sangat gugup, aku berbicara dengan ayah ku. Orang yang sangat aku takuti.
"Hallo ayah, apa kabar?"
"Ayah baik-baik saja nak. Ibu juga begitu. Kemana saja kau selama ini? Sudah lama kau tidak memberikan kabar pada kami. Kau tahu? Ibu mu sering cemas memikirkan mu. Ponsel mu tidak bisa dihubungi. Apa kau baik-baik saja disana?"
"Iya, ayah. Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaan ibu disana? Apa dia sehat?"
"Yah, kami baik-baik saja. Kan tadi ayah sudah bilang, Kenapa kamu tanyakan lagi? Apa kau punya masalah? Katakan pada ayah."
"Tidak ada ayah. Aku baik-baik saja."
"Benarkah? Atau kau mencoba menipu ayah mu ini sekarang? Nada suara itu. Ayah tahu nak. Setiap kali kamu menyembunyikan sesuatu, nada suara mu akan menunjukkannya. Nak, ayah sudah kenal kamu sejak lahir. Jadi jangan mencoba menipu ayah mu ini."
"Iya ayah. Aku tidak menyembunyikan apapun. Ngomong-ngomong dimana ibu?"
"Ibu ada di samping ayah, sedang mendengarkan suara mu. Kau mau biacara dengannya?"
"Iya."
"Hallo nak, ini ibu. Bagaimana keadaan mu disana? Semuanya baik-baik saja kan?"
"Iya bu. Semua baik-baik saja. Dan semua yang aku inginkan, sudah aku dapatkan bu."
"Benarkah? Tapi bagaimana dengan keinginan ibu dan ayah mu ini? Apa kami bisa mendapatkannya segera? Atau kami masih harus menunggu lagi?"
"Keinginan? Apa keinginan ibu dan ayah?"
"Apa kau lupa atau pura-pura tidak tahu? Nak, kami menginginkan seorang cucu. Kapan kau akan memberikannya nak. Usia kami sudah cukup tua. Kami ingin segera menimang cucu selagi kami masih memiliki tenaga untuk menggendongnya. Apa kau tega melihat kami harus menunggu lebih lama lagi?"
"Agh... itu... Mengenai itu..." Jawab ku terbata-bata.
"Iya kenapa nak? Mengenai apa? Katakan saja.
Oh yah, ibu sudah menemukan calon untuk mu nak. Dia anak teman ibu sendiri. Dia sangat baik dan mapan. Dia anak satu-satunya. Akhir tahun ini dia akan datang kesini untuk menjenguk orangtuanya. Kamu pasti tahu kan siapa orang yang ibu maksud?"
"Tidak bu. Siapa?"
"Dia teman masa kecil mu juga, Frans. Kau ingat? Dulu kalian sangat kompak sekali. Kalian juga sering bilang pada ibu kalau suatu saat kalian akan menikah. Masa kau lupa."
"Oh, Frans. Bagaimana kabarnya sekarang bu? Sudah lama sekali, sejak aku meninggalkan kampung halaman, aku tidak pernah berkomunikasi dengannya."
"Kau tahu, sekarang dia sudah jadi pengusaha sukses. Kabarnya dia akan membuka cabang baru di kota ini. Itu dia lakukan untuk membantu anak-anak muda disini. Agar mereka punya kesibukan dan kesempatan untuk berkarya juga."
"Memangnya dia buka usaha apa bu?"
"Kabar yang ibu dengar, dia memiliki usaha di bidang Pakaian. Apa itu namanya yah..."
"Maksud ibu, usahanya di bidang Fashion?"
"Ah, iya, iya. Fashion. Katanya dia sangat menyukainya sama seperti dirimu nak.
Wah, kalian punya banyak kesamaan yah. Ini menandakan kalau kalian itu berjodoh. Jadi bagaimana nak? Kapan kamu bisa pulang dan bertemu dengannya? Aku dengar banyak wanita yang tertarik padanya. Jangan sampai dia direbut orang lain. Dia adalah menantu ibu."
Aku hanya diam saja dan tak tahu harus merespon apa lagi. Orangtua ku sangat ingin menjodohkan ku dengan pilihannya, sementara aku sekarang sudah menjadi milik orang lain. Aku bahkan sudah memiliki seorang putra. Bagaimana aku harus menjelaskannya pada mereka.
"Nak, hallo...
Hallo...
Nak, kenapa kau diam saja?
Apa teleponnya putus?" Balasnya sambil melihat layar ponselnya.
Tidak.
Hallo...
Hallo nak..."
"Kenapa bu? Kenapa dia tidak menjawab?" Tanya ayah ku.
"Entahlah. Aku juga bingung. Dari tadi ga ada suara. Apa jangan-jangan dia tidak suka saat aku membicarakan Frans?"
"Yah... Mungkin. Ibu sih..." Balas ayah ku menggerutu.
"Tuh kan, ibu salah lagi."
Aku masih mendengarkan pembicaraan mereka dengan mulut yang terkunci rapat. Rasanya sangat berat membalas perkataan mereka. Hati ku semakin sakit hingga akhirnya aku memutuskan telepon itu. Perlahan aku menangis karena telah menghancurkan harapan mereka dan keinginan masa kecil kami dulu.
Aku melupakan itu semua karena aku berpikir itu hanyalah perkataan anak kecil yang tidak perlu dianggap serius. Aku tidak menduga ibu ku begitu menginginkan Frans sebagai menantunya. Ibu ku dan Ibunya Frans, mereka berdua bersahabat sejak masih gadis.
Aku bertanya pada diriku sendiri dan menjawabnya sendiri. Semua kebingungan ku dan kegalauan ku. Lalu tiba-tiba putra ku bangun dan menangis. Aku segera berlari dan menggendongnya. Aku melihat wajah kecilnya dan perlahan air mata ku jatuh. Karena nenek dan kakeknya tidak mengetahui kelahirannya. Mereka tidak memberinya ucapan selamat, dan senyum kebahagiaan. Putra ku dan nasib ku sekarang, membuat hati ku pedih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments