Ke esokan harinya, atasanku memanggilku ke ruangannya. Aku sangat panik dan gugup dan bertanya dalam hati,
"Aduh, kenapa dia memanggilku mendadak begini? Apa aku membuat kesalahan?"
Aku berjalan dengan cepat menuju ruangannya. Dengan tangan yang gemetar aku mengetuk pintu ruangannya.
Kemudian dia memintaku masuk dan menyuruhku duduk.
Raut wajahnya semakin dingin dan tegang. Matanya melotot ke arahku, membuatku tak berani menatap mata besarnya yang indah.
Setelah diam beberapa detik, dia pun memanggil namaku,
"Naomi! Maaf aku belum sempat memeriksa hasil kerjamu. Aku sangat stress dengan masalah keluarga yang kualami saat ini."
Lalu dengan nada suara yang ragu-ragu aku menjawabnya,
"Memangnya ada apa pak?"
Dengan tetap mempertahankan kontak mata, dia kemudian menjawabku dengan suara rendah dan sedikit emosional,
"Aku tidak bisa memahami istriku. Aku sudah bekerja keras demi membahagiakannya. Aku memenuhi semua keinginannya.
Dia bahkan bisa membeli apa saja yang dia inginkan. Tapi dia malah menyakitiku dengan berselingkuh dengan pria lain."
"Maaf pak! Lalu bagaimana selanjutnya?" Pertanyaan itu spontan terlontarkan karena dikuasai perasaan gugup.
"Aku tidak tahu. Dan aku sangat frustasi."
Aku pun tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi. Aku tidak punya pengalaman dalam rumah tangga. Selain hanya bisa mendengarkan curhatannya, aku mencoba menawarkan secangkir kopi hangat untuk mencairkan suasana yang mulai hening dan terasa bodoh.
Aku terus mendengarkan dan memperhatikan setiap perkataannya. Dia bicara panjang lebar sampai sore, sampai rasa bosan dan ngantuk mulai menggerogoti mataku sedikit demi sedikit. Namun demi respek padanya, aku mengerahkan seluruh kemampuan agar bola mataku tetap terjaga.
Kemudian tak berapa lama, atasanku yang dingin itu mulai menangis di hadapanku, yang membuat aku semakin tampak bodoh karena itu adalah pertama kalinya aku melihat orang dingin sepertinya menangis.
Jantungku semakin meledak saat tangannya tanpa kendali memelukku. Hatiku bergejolak dan kaget setengah mati. "Bagaimana mungkin?" Gumamku.
Tubuhku menjadi tegang karena aku tidak pernah merasakan seperti apa rasanya dipeluk lelaki.
Namun di saat yang sama aku mencoba menyesuaikan pola pikirku, "Baiklah, aku harus bisa menerima budaya barat."
Lalu untuk menenangkan suasananya, aku berpikir untuk mengajaknya makan di luar.
"Pak, mungkin bapak sudah lapar. Bagaimana jika kita pergi makan di luar? Mungkin setelah itu bapak akan merasa sedikit lebih baik."
"Yah, mungkin kamu benar. Sejak pagi aku belum makan apa pun.
Baiklah, ayo kita pergi sekarang!"
Kami pergi ke sebuah restoran yang cukup elit di kota itu dan makan makan malam di sana.
Di sana dia bercerita lagi tentang hubungannya dengan istrinya.
Lagi-lagi dengan polosnya aku melontarkan pertanyaan yang begitu saja terlintas di kepalaku,
"Mmm, apakah bapak sudah punya anak?"
"Belum. Aku juga ingin sekali memilikinya. Tapi istriku bilang tidak usah karena aku tidak akan punya waktu untuk mengurusnya."
"Oh begitu. Maaf pak. Aku tidak punya pengalaman tentang rumah tangga. Tapi jika bapak ingin bercerita aku siap mendengarkannya." Aku hanya bisa melontarkan sedikit senyuman untuk menanggapinya.
Karena hal itu, hubungan kami semakin akrab, dan kami semakin mengenal satu sama lain.
Aku juga bercerita padanya bagaimana aku bisa sampai ke kota besar ini dari kota yang kecil.
Aku juga memujinya karena telah memberikan kesempatan untuk berkarir di perusahaannya.
Malam itu kami sangat asyik mengobrol sampai lupa waktu. Aku melihat jam ternyata sudah menunjukkan pukul 12 malam. Dengan sedikit keberanian, aku mencoba menyudahi percakapan itu.
"Pak, aku rasa ini sudah sangat larut. Maaf kalau bapak masih ingin cerita."
"Ah, seharusnya aku yang minta maaf. Baiklah, aku akan mengantarmu pulang."
Namun saat hendak berpisah aku berkata pada atasanku,
"Pak, aku berharap di kantor hubungan kita normal seperti biasa. Yang aku lakukan pada bapak hanyalah sebatas teman. Dan aku melakukan itu karena empati pada penderitaan bapak. Tolong jangan tersinggung dengan perkataanku pak."
"Ok baiklah. Aku akan mengingatnya. Dan terima kasih untuk hari ini."
**********
Begitu aku sampai di apartemen, aku segera pergi mandi dan berendam di bath tub, berusaha menenangkan pikiranku. Meski saat itu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, waktu di mana seharusnya mata terpejam dan beristirahat.
Tapi saat itu, tiba-tiba saja otakku teringat pada apa yang kami lakukan. Hampir saja aku membalas pelukan dan ciumannya. Sentuhan itu membuat otakku beku dan hampir lupa diri.
"Apa yang sudah aku lakukan? Hallo, sadarlah! Dia sudah menikah. Dia melakukannya hanya demi memuaskan dirinya saja.
Jangan sampai kau terjerat dan tak bisa lepas.
Naomi! Kau harus lebih berhati-hati! Sadarlah!"
Belakangan aku tertidur di dalam bath tub. Air hangat itu membuat tubuhku lemah juga mataku.
Hingga hari cerah, barulah aku tersadar saat ponselku berdering berkali-kali. "Astaga! Mampuslah aku! Laki-laki dingin ini sudah meneleponku berkali-kali. Jam berapa sekarang?" Saat aku melihat jam di ponselku, otakku semakin gila karena waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi.
"Maafkan aku pak. Aku tidak masuk kerja karena sedang flu." Jawabku terbata-bata
"Ok, baiklah! Tapi besok kau harus masuk kerja! Ada banyak project yang menantimu!" Bentaknya di telepon dan segera menutupnya.
Mendengar itu aku semakin syok dan tak habis pikir.
"Ini orang aneh sekali. Tidak punya belas kasihan sedikit pun. Pantas saja istrimu selingkuh. Dasar orang aneh!"
Kemudian aku melilitkan handuk dan berganti pakaian lalu pergi berbaring.
Aku lapar namun tidak punya selera makan sama sekali.
Aku berusaha memaksa mata untuk terlelap.
Tapi baru beberapa menit aku memejamkannya, aku mendengar bunyi bel pintu berkali-kali.
"Siapa yang datang di jam sibuk seperti ini?
Apakah pengantar makanan?
Agh,,, tidak,,, tidak,,, Aku merasa tidak memesan makanan.
Tapi sudahlah, aku lihat dulu siapa yang datang. Belnya berisik sekali."
Dengan kaki yang malas aku beranjak lalu melihat dari kamera yang menempel di pintu. Mataku terbelalak menyaksikan sesuatu yang menurutku mustahil terjadi.
"Untuk apa laki-laki kulkas yang aneh itu datang kemari?
Menganggu jam tidur saja. Aku sudah bilang kan aku sedang sakit.
Baru tadi dia membentakku di telepon, dan sekarang dia datang ke sini?
Apa dia akan mencekikku?
Oh tidak! Lebih baik aku tidak usah buka pintu. Biarkan saja. Nanti juga dia pergi."
Sekitar sepuluh menit aku tetap di sana tapi dia tak kunjung pergi. Karena rasa penasaran, aku terpaksa membuka pintu.
Begitu pintu dibuka, dia langsung membentakku,
"Kenapa lama sekali dibuka?
Kamu mau aku menunggu sampai kering di luar sini?"
Aku jadi semakin tidak mengerti dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah.
kemudian dia berkata lagi,
"Aku membawakan makanan untukmu. Ini sangat bagus agar kau cepat sembuh dan segera bekerja.
Aku tidak suka dengan karyawan yang bermalas-malasan.
Sekarang ayo duduk! Aku akan menyuapimu."
Disisi lain aku sangat senang namun tak habis pikir. "Bagaimana mungkin seorang bos membawakan makanan untuk pegawainya?" Gumamku.
Tapi karena saat itu aku sangat lapar, aku menurutinya sekaligus bilang,
"Pak, tidak perlu repot seperti ini.
Aku jadi tidak nyaman.
Aku bisa makan sendiri. Dan penyakitku tidak parah. Besok juga bisa kembali bekerja."
Tapi atasanku tetap memaksa. Dia membuka bungkus makanan itu dan memindahkannya ke piring lalu mengambil sendok.
"Cepat buka mulutmu dan makan!"
Aku terpaksa membuka mulut dan makan dari suapan tangannya sampai makanan itu habis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments