Sudah sebulan berlalu, aku menjalani hubungan baru bersama Calief sejak hari itu.
Tidak ada yang aneh, semua berawal indah. Aku seperti hidup kembali bersamanya. Selayaknya orang pacaran, kami memang selalu menghabiskan waktu bersama.
Selalu menyempatkan waktu untuk makan bersama saat jam kosong, pulang kuliahpun kami rasanya tidak bosan untuk bertemu. Calief sudah menjadi 24/7 untukku.
Jika sudah hari sabtu. Ini adalah waktunya kita pacaran. Pergi nonton bioskop, photo booth, dan yang terakhir kami makan Steak kebetulan aku dan Calief sama-sama karnivora seneng makan daging.
“Tadi film nya seru yaa..” ujar Calief sambil kita menunggu makanan tiba
“Tapi toxic” jawabku,
“Bukannya wajar ya? Aku kalo jadi cowo juga gak suka lihat cowok lain deketin ceweknya” tak butuh waktu lama, makananpun tiba
“Yaa.. tapikan gak perlu pake cara yang kasar. Lagian bukan maunya si cewek juga dideketin sama cowo-cowo itu” jelasku, malam itu kami malah berdebat soal film yang baru saja kami tonton.
“Ceweknya juga nge respon, jadi wajar sih cowoknya emosi” jawab Calief dengan santai, sambil memotong daging steak nya satu persatu. Cara makan Calief berbeda denganku, kalau aku tipe yang sekali potong langsung makan. Sedangkan Calief, dipotong semuanya sampai habis baru dia lahap.
“Kamu gak langsung makan?” Tanyaku, karena baru kali ini aku melihat orang makan steak dengan cara yang berbeda, kalau kalian Team mana?
“Iya.. aku lebih suka dipotong semua dulu, sampe tuntas. Jadi tinggal makan aja” jawabnya,
“Tapi aku pernah baca, katanya kalo makan steaknya begitu. Artinya psikopat” akupun tertawa bercanda.
“Haha.. sok tau kamu” jawabnya yang ikut tertawa bersamaku.
Ussai selesai makan kami harus segera pulang, perjalanan dari depok ke bogor cukup panjang. Kali ini lagu yang berputar Ayya Anjani - Roman Romansa.
Ditengah perjalanan kami mampir ke rest Area hanya untuk membeli ice cream cone favorite Calief “nih kamu harus coba sayang, ini enak banget” ujarnya sambil memberikanku ice cream cone. Tangan kananku memegangkan miliknya dan tangan kiriku memegang ice cream milikku.
Aku yang jail kala itu, sengaja sekali membuat muka Calief terkena Ice cream. Lalu tertawa “hmm jangan iseng deh” nampaknya dia sedikit kesal meskipun sambil tertawa “nanti aku bales, nangiiis” jawabnya, aku malah semakin tertawa dibuatnya. “Haha sorry sayang” ujarku.
Akhirnya kami sampai dipintu keluar tol bogor, rumahku tidak jauh dari pintu keluar tol. Hanya butuh 10menit saja sepertinya.
“Kalo malam minggu kamu sama mantan biasa pacaran Di Bogor ya? Kemana aja tuh?” Tanya Calief, alisku mengkerut heran tumben Calief menanyakan soal mantan
“Ih apaansih. Pertanyaannya gak asik banget” jawabku sedikit kesal, aku paling gak suka kalau ada cowok yang bahas-bahas soal mantanku.
“Becanda sayang, by the way mantan-mantan kamu kan mau tanding minggu besok. Aku dapet free ticket karena ketua BEM. Gak mungkin kan aku dateng sendiri..???” Seketika, aku ingat. Besok rupanya pertandingan futsal antar kampus.
“Oya? Kan aku udah bilang aku gak mau nonton” jawabku mengalihkan pandanganku ke jalan
“Kan kamu udah officially sama aku. Gapapa dong nonton bareng aku?” Nadanya terdengar sedikit lebih tinggi. Aku menoleh kearahnya sekarang, mungkin Calief sedang butuh validasi.
“Yaudah iya.” Begitu jawabku, jelas.
Kami sampai didepan rumahku, Calief memarkirkan Mobilnya didepan pagar.
“Turun dulu ya.. kenalan sama orang tuaku” begitu ujarku, wajah Calief terlihat malu dan sedikit grogi “duh.. malu aku” benar saja dugaanku “haha! Biasanya juga malu-maluin” jawabku, bercanda agar mencairkan suasana.
Kami berdua berjalan kearah pintu, dan mengetuk pintu rumahku. Malam itu Bibi yang membukakan pintu untuk kami karena memang sudah pukul 10 malam. Biasanya orangtuaku sudah dikamar, ketika Calief duduk diruang tamu tak lama setelah itu ibuku keluar dari kamarnya.
“Sayang..” ujar ibuku, memeluk dan menciumku tanda rindu. disusul dengan ayahku yang ikut keluar juga.
“Sehat sayang…?” Ayahku ikut mencium dan memelukku juga. Sama-sama pelukkan rindu karena aku memang jarang sekali pulang.
“Sehat yaah.. oiya kenalin ini Calief, kakak senior Alma dikampus” aku menggandeng tangan Calief namun tatapan Calief terlihat kebingungan. Meskipun dia dengan sangat sopan mencium tangan orang tuaku sambil bilang “salam kenal om, tante” dia menatap orang tuaku lalu berkata lagi “maaf ya om, tante. Kemaleman anter alma nya” Calief tersenyum.
“It’s okay. Rumahmu dimana?” Tanya ayahku, mungkin khawatir karena sudah malam
“Di Pasar Minggu om..” jawab Calief yang sudah terlihat grogi sepertinya
“Sebaiknya langsung pulang saja ya, sudah malam. Terimakasih sudah mau direporkan, antar anak saya pulang” Ayah terlihat menepuk bahu Calief sambil tersenyum. Aku tidak bisa membaca pikiran ayah, apakah itu tandanya dia setuju aku berteman dengn Calief. Atau tidak?!
“Iya om, tante. Saya langsung pulang. Tenang aja om. Gak merepotkan kok. Saya pamit om. Permisi” begitu jawabnya, Calief tersenyum menatapku. Pertemuan itu berjalan cukup singkat dan sangat cepat. Aku mengantarkan Calief sampai kedepan mobilnya.
Ayah dan ibuku rupanya masih duduk diruang tamu, sepertinya mereka menungguku masuk.
“Itu siapa nak?” Tanya ayahku, nadanya terdengar khawatir.
“Temen deket alma yah..” jawabku, duduk disamping ibu.
“Ayah gak larang kamu mau berteman dengan siapa. Tapi ayah gak suka kalau lihat kamu gonta-ganti cowok, kamu harus lebih selective lagi dalam memilih pasangan” aku diam, mendengarkan apa kata ayah.
“Ibu setuju sama Ayah, bukan apa al. Kami khawatir kamu kecewa lagi. Kami juga gak mau kamu terluka, sayang” dilanjut perkataan ibu sambil mengusap rambutku.
“Iya yaah, buuk. Tenang. Alma pasti jaga diri kok” sedangkan aku berusaha menenangkan mereka, hanya itu yang aku bisa.
...****************...
Malam itu aku kembali kedalam kamar yang penuh dengan kenangan. Kasur, tempat dimana aku dan Tama dulu sering telponan sampai larut malam, kalau Tama sedang dirumahku dia juga biasa ikut beribadah dikamarku. Ah tapi sudahlah, aku kembali pulang bukan untuk mengenang.
Aku membantingkan tubuh ke atas kasur, nikmat sekali rasanya. Seperti, kasurku tau bagaimana memanjakan tubuh yang lelah.
Baru saja memejamkan mata sebentar, handphoneku sudah berdering lagi.
“Iya sayang, kamu udah sampe mana?” Calief yang menelponku,
“Baru masuk tol” jawabnya, lumayan singkat dan nadanya terdengar beda.
“Are you ok?” Tanyaku, karena merasa ada yang tidak biasa dengan Calief malam itu.
“No. I’m not” jawab Calief yang mulai kesal
“Why?” Tanyaku semakin penasaran
“Why?”
“Kamu ngenalin aku sebagai kakak senior kamu keorang tua kamu? Why???” Aku tidak habis pikir kalau itu akan menjadi masalah yang sangat besar untuk Calief. Nadanya terdengar sangat marah.
“Astaga.. terus aku harus bilang apa sama orang tuaku? Kamu pacar aku, gitu? Orang tuaku gak suka liat anaknya pacar-pacaran!” Aku yang ikut terpancing emosipun menjawab dengan nada yang tinggi, ntahlah aku juga baru mengenal diriku yang tempramen seperti ini.
“Yaelah al. Kamu udah gede. Emang kenapa kalo pacaran? Gak ada masalah juga kan?! Aku juga gak akan al nyakitin kamu kayak mantan-mantan kamu itu!” Aku diam, sebenarnya mencoba mengalah saja. Aku tidak suka berdebat.
“Gak sekalian aja kamu kenalin aku sebagai Tukang Ojek! Udah dianterkan? Udah sampe juga. Jangan lupa bintang lima nya ya mba” menurutku itu hal yang spele, tapi kenapa perkataannya sangat menyinggungku malam itu
“Kalau kamu gak mau anter. Besok-besok gausah deh anter-anter. Aku gak pernah MINTA!” Aku yang emosi malam itu, langsung menutup telpon darinya.
Itu merupakan pertengkaran pertama kami. Dengan nada tinggi, sifat buruknya yang Tempramen baru aku ketahui hari itu. Aku biasa saja, aku merasa sebelumnya dengan Tama aku juga pernah bertengkar hebat. Tapi menurutku, persoalan ini sangat spele. Tidak perlu menggunakan nada tinggi.
Aku lebih biasa saja menanggapi Calief yang sedang emosi. Aku bisa meninggalkannya tidur tanpa harus banyak berpikir dan khawatir. Justru jika aku terus meladeni emosinya, pertengaran itu yang ada tidak akan selesai sampai pagi.
...****************...
Esok paginya, aku dibangunkan ibu pukul 8.45. Seperti biasa, ibu selalu mengusap lembut kakiku sambil berkata “bangun sayang, mau sarapan apa?” Begitu perkataannya tidak pernah berubah.
“Iya buu.. gatau bingung. Apa aja deh” jawabku masih sedikit mengantuk
“Sayang, ada Calief didepan. Katanya kalian mau nonton futsal?” Kalimat yang ini rupanya membuatku langsung bangun seketika.
“Hah? Calief? Jam berapa emang ini bu?” Tanyaku, sambil menatap kearah jam dinding yang menunjukkan pukul 8.47
“Pagi banget Calief” ujarku lemas.
“Samperin dulu gih, baru kamu siap-siap” ibu mengusap pahaku, akupun mengangguk.
Kalau sudah ada Calief, tandanya aku harus segera bangun dan menghampiri dia. Terlihat dia sudah sangat rapih duduk di ruang tamu dengan kaos polo warna hitam serta celana hitamnya.
Calief manatapku dengan penuh penyesalan. Dia masih belum mau berbicara.
“Aku mandi dulu ya, gapapakan nunggu?” Tanyaku, sedikit jutek. Calief mengangguk, wajahnya terlihat lebih sabar. Akupun meninggalkan Calief untuk segera mandi dan siap-siap.
Aku tau Calief sedikit tempramen jadi aku tidak ingin mandi lama-lama. Yang ada dia marah-marah lagi karena aku kelamaan dikamar mandi. Akupun segera mengganti pakaianku, sengaja ingin senada dengan Calief sama-sama memakai Outfit dengan warna Hitam. Kali ini memakai Jumsuit hitam dengan Tali tipis dibahunya lalu dibalut menggunakan cardingan cropped warna Cream.
Setelah selesai bersiap-siap, akupun pamit ke orang tuaku. Sekalian kembali pulang kekosan. Liburku memang singkat.
Baru saja aku masuk kedalam mobil Calief, dia langsung mengambil tanganku sambil bilang “Alma.. maafin aku, aku semaleman gak bisa tidur. Aku terus mikirin kamu, aku gak mau kehilangan kamu. Aku takut banget. Maafin aku” dia berkali-kali mencium tanganku, aku malah semakin merasa aneh ketika Calief bertingkah seperti itu.
“It’s okay. Aku udah biasa aja juga kok” jawabku, mengambil tanganku kembali.
“Aku semaleman gak tidur alma, aku takut kamu marah. Makannya aku langsung ke bogor pagi-pagi” benar, ketika aku menatap matanya memang agak sembab pagi itu.
“Lief, come on! Itu masalah spele” ujarku, masih dengan alis yang mengkerut. Merasa aneh.
“Aku janji gak akan marah-marah gak jelas lagi” ini adalah janji pertama yang aku dengar dari seorang lelaki. Jujur, mantan-mantanku tidak pernah menjanjikanku sesuatu. Bahkan ayahku sekalipun, tak pernah menjanjikanku sesuatu. Yang aku tau, jika seseorang sudah berjanji potensi mengingkari janjinya adalah 98.9% aki khawatir Calief akan seperti ini.
“Gausah janji-janji. Aku gak suka” jawabku dengan wajah yang datar.
...****************...
Kamipun akhirnya sampai dilapangan futsal yang ada dikampus. Rupanya banyak sekali yang menonton acara ini. Mungkin karena ini antar kampus. Pendukung dari kampus ITB juga datang nya beramai-ramai menggunakan bus. Aku dan Calief duduk diantara orang banyak, aku yakin para pemain futsal juga tidak bisa melihat kearahku yang duduk bersama penonton lain. Sepertinya aku aman, Tama maupun Adam tidak akan melihatku dari lapangan sana. Begitu pikirku.
Suara gemuruh dan sorakan dari para pendukung sedikit membuatku pusing. Ntahlah semenjak patah hati, aku jadi takut dengan keramaian. Dulu aku tidak begitu.
“Tuh.. kampus kita main. Itu Adam kan?” Tanya Calief, aku hanya mengangguk saja. Males jika sudah membahas mantan.
“Nah itu dari ITB. Mantan kamu yang mana sayang?” Aku melotot kearahnya sambil mendecik kesal.
“Jangan marah dong akukan cuma nanya” lalu memalingkan lagi pandanganku kearah lapangan, sebetulnya penasaran juga apakah ada Tama disana.
Betul saja dugaanku, Tama pasti main karena dia memang anak futsal. Baju futsalnya saja belum diganti. Dia masih menggunakan angka 11 pada nomor punggungnya. Dia pernah bilang tanggal lahirku angka keberuntungan.
“Sayang.. yang mana?? Kasih tau dong..” rupanya Calief betul-betul penasaran
“Cari aja orang yang pake tanggal lahirku buat nomor punggung bajunya” begitu jawabku, karena kesal mendengar pertanyaan calief yang itu-itu saja.
“Tanggal lahir kamu berapa emang?” Akupun menatapnya lagi, baru kali ini aku bersama lelaki yang tidak tau tanggal lahir kekasihnya. Aku saja selalu tau tanggal lahir mantan-mantanku.
“13 ya? Eh 10?” Aku semakin menggelengkan kepalaku. Karena Calief yang benar-benar tidak tau.
“11” jawabku singkat, sedikit kesal.
“Maaf sayang, namanya juga baru jadian. Wajar kalo lupa sedikit” itu hanya sebuah alasan saja. Toh, banyak lelaki diluar sana, gak harus dikasih tau tanggal lahir cewenya mereka udah tau duluan. Bisa karena nanya temen, bisa karena lihat postingannya, bisa karena tiba-tiba lihat biodatanya. Bisa saja. Karena sayang itu sama dengan peduli kan?
“Oh itu yang namanya Tama?.. berapa lama kamu pacaran sama dia sayang?” Rupanya timbul pertanyaan lain
“Setahun” jawabku singkat
“Dia yang bikin kamu muterin bundaran ya?” Belum habis juga rasa penasaran Calief
“Bisa stop gak sih?!” Kali ini nadaku naik
“Sorry”. Calief mencoba merayu dengan mencolek daguku
Kamipun kembali fokus menonton pertandingan. Sudah 15 menit berlalu. Akhirnya ada goal pertama yang masuk ke gawangnya ITB. Aku lihat goal itu dibuat oleh Adam, yang membuatku tersenyum saat itu adalah ketika Adam memberikan Goal, dia melakukan celebration dengan mencium kedua jarinya dan menempelkannya di.. di tattoo gambar zodiac ku? Aneh nya saat aku melihat itu, aku tersenyum dan jantungku berdegup kencang lagi. Aneh sekali, padahal sudah lama aku tidak merasakan degdegan itu.
“Koo senyum? Kenapa?” Nadanya tedengar Sinis
“Hah? Senyum? Siapa yang senyum?” Ekspresiku langsung berubah, khawatir jika Calief akan marah.
“Kamu... Tadi aku liat kamu senyum pas Adam selebrasi” ujar Calief semakin sinis
“Reflek kali… seneng kampus kita udah nge goal-in. Lagian aku juga gak sadar itu Adam yang kasih goal” ini adalah alasan pertama yang aku buat-buat untuk memanipulasi Calief. Niatku baik, agar dia tidak marah.
Pertandingan pun selesai, pemenangnya adalah kampus kami. Sesegera mungkin aku ingin lekas pulang dari tempat ini, sebenarnya khawatir jika Tama akan melihatku. Apalagi kalau dia menyapaku.
“Udah yuk pulang” aku menggandeng langsung tangan Calief, lalu segera berjalan keluar bersama penonton lain yang juga sedang berusaha keluar.
Namun.. ada-ada saja rupanya. Calief disapa oleh Ricco salah satu teman sekelasnya dia berkata; “wih ada ketua BEM nih, ke backstage dulu lah Lief. Ucapin selamat buat para pemenang” Calief menatapku “yah.. cewek gue buru-buru Co” akupun tersenyum, lega mendengar jawaban Calief. “Yaelah, bentar doang Alma. Salaman doang udah gitu pulang” kali ini Ricco yang menatapku, sudah taukan kalau aku sangat people pleaser. “Yaudah gapapa” jawabku pasrah
...****************...
Dalam perjalanan kami menuju backstage, ntahlah mungkin karena memang takdir tuhan. Tiba-tiba saja aku pas-pas-an dengan Tama. Adegannya seperti slow motion. Dia menatapku, tatapan itu terasa lama, lalu Tama tersenyum. Melihatku yang sedang bergandengan mesra dengan Calief. Melihat pakaianku yang kala itu senada dengan Calief. Tama menatap Calief, tapi tatapan itu tidak lama, dia langsung menatap mataku lagi. Sampai akhirnya, Tama berjalan melewati kami berdua. Dia berlalu begitu saja, tanpa menyapa.
“Tadi yang lewat Tama ya?” Ternyata bukan aku saja yang menyadari itu, kami terus berjalan kearah backstage, aku hanya mengangguk saja.
Sesampainya kami di backstage, terlihat seluruh pemain sedang kumpul dan beristirahat disana. Tentunya ada Adam yang sedang duduk bersandar.
“Congrats dam! Gila goal lu keren banget tadi” Calief bersalaman dengan Adam sambil menepuk pundaknya
“Wah.. kalian nonton ternyata. Thank you.. bro. Udah bantu support iklanin... jadi banyak yang nonton” balas Adam sambil tersenyum dan berbincang dengan Calief, Adam tidak menatapku sedikitpun sampai aku menyapanya
“Congrats ya dam..” lalu tersenyum, dia menoleh kearahku dan bilang; “thank you.. duh selebrasi gue ketauan dong jadinya” Adam tertawa, dia terlihat sedikit menyembunyikan rasa malunya.
Wajah Calief nampak heran dan penasaran. Setelah selesai berjabat tangan dengan pemain lain. Tanpa berlama-lama Kamipun memutuskan untuk segera pulang. Tempat ini terlalu ramai dan aku sudah mulai pusing.
“Selebrasi Adam emang ngapain?” Kami berjalan menuju parkiran, namun rupanya ada hal yang masih membuat Calief penasaran.
“Aku gak tau” jawabku berusaha biasa saja.
“Pantes tadi kamu senyum pas liat dia nge-goal-in” Calief terus mencecarku dengan kalimatnya.
Bahkan sampai kita berada didalam mobilpun, Calief terus dengan pertanyaan yang sama.
“Aku gak mau jalan sebelum kamu jawab!” Dia sudah berani membentakku, aku seperti tidak mengenal sisi Calief yang ini
“Terus kalo aku cerita kamu mau apa? Mau marah? Itu udah masa lalu!” Aku membalasnya dengan nada yang tak mau kalah tingginya.
“Masa lalu apa?! Kejadiannya baru tadi?!” Dia malah semakin menyentakku
“Daripada aku mikirnya kamu sama aja kayak cewek MURAHAN” tidak habis pikir perkataan itu bisa dengan mudahnya keluar dari mulut Calief. Aku bahkan tidak menyangka kalau Calief memiliki sifat seperti ini. Reflek tanganku menamparnya kala itu, aku memilih untuk keluar saja dari mobilnya. Meskipun Calief mengejarku, dan menahanku agar tidak pergi.
“Lepas!” Aku berusaha menarik tanganku yang sedang ditarik oleh Calief.
“Maafin aku al, ayo aku anter kekostan” lagi-lagi dia memohon padaku, padahal belum ada lewat satu hari dia baru saja berjanji untuk tidak kasar lagi.
“Gue balik sendiri aja. Udah lo balik aja. Lo tenangin diri lo. Lo mungkin capek karena kurang tidur” aku mencoba lebih sabar lagi
“Gak al.. aku gak mau, ayo pulang” Calief menarik paksa tanganku, dia menggenggamnya dengan sangat kuat sampai aku kesakitan.
Tiba-tiba dari sebelah kananku, ada pria dengan kaos hitamnya menahan Calief sambil berkata; “bro, gausah maksa cewek kayak gitu. Alma gak mau!” Aku melihat, saat itu Tama benar-benar kembali dihadapanku. Menahan Calief yang mungkin saja akan berbuat lebih kejam lagi dari itu.
“Dia cewek gue, gausah ikut campur” ujar Calief, melepas tanganku yang sudah membiru karena genggaman itu.
“Justru karena dia cewek lo. Harusnya lo perlakuin dengan lembut. Bukan malah lo sakitin kayak gitu!!” Tama terlihat marah, dalam lubuk hatiku sebenarnya aku masih rindu. Aku sangat ingin memeluknya dan berlindung dibelakangnya. Saat itu aku sangat takut.
“Alma, udah lo pulang sama gue aja. Gue anterin” Tama menatapku kali ini tatapannya penuh iba, sedangkan saat itu aku diselimuti ketakutan yang mendalam. Baru kali ini, tanganku luka karena lelaki yang aku sayang. Dan katanya menyayangiku.
“Al..” Calief hanya menyapaku, sambil menghela nafasnya. sapaan itu membuatku semakin khawatir kalau dia akan berani berbuat yang tidak-tidak kepada Tama.
Aku menatap mata Calief lumayan lama, “Gausah tam, gue balik sama cowok gue aja” dengan berat hati, aku harus memilih untuk pulang bersama Calief lagi, meskipun rasa takutku menggumpal, tapi aku yakin saat itu Calief tidak akan menyakitiku.
...****************...
“Gede juga nyali nya Tama, sok-sok-an jadi pahlawan kesiangan” ditengah perjalanan Calief tidak berhenti membahas kejadian tadi, aku berusaha diam. tidak ingin merespon apapun
Tapi semakin aku diam, semakin Calief menyetir dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hingga membuatku ketakutan
“Lief stop! Kita bisa mati kalo kamu nyetir nya kayak gini!!!” Aku mulai bersuara, dan Calief mulai menurunkan kecepatannya.
Setelah kami sama-sama diam, beberapa menit setelahnya Calief berkata; “Kamu sayang aku gak sih?!” Ada beberapa faktor yang menyebabkan Pertanyaan ini kenapa dilontarkan oleh pasangan salah satunya adalah; insecurity.
“Kalo kamu kasar kayak gini, aku juga mikir sih” Calief pun terdiam. Emosinya sudah mulai stabil mungkin, aku masih tidak menyangka dengan sifat tantrum nya itu.
...****************...
Calief terus mengikutiku hingga kedepan kamar.
“Boleh tinggalin aku bentar gak?” Ujarku ketika sampai didepan pintu.
“Aku gak mau pulang, aku mau sama kamu dulu disini” ujarnya, lagi-lagi aku membiarkan dia masuk.
Jujur hari itu aku benar-benar lelah dan hanya ingin berbaring diatas kasur tanpa mengganti pakaianku.
“Maaf ya al, hari ini aku bener-bener gak bisa kontrol emosiku” mendengar nadanya yang lirih, aku jadi rada kasihan dan luluh lagi.
Aku memalingkan tubuhku kearah tembok, sengaja tidak ingin menatapnya. sepertinya, Calief sedang duduk dimeja belajarku. Memang disana spot favorite nya.
“Aku cuma lagi capek aja karena banyak masalah dirumah. Ada hal yang belum pernah aku ceritain kekamu Al” begitu ujarnya, aku tidak bisa membedakan mana perkataannya yang jujur, mana yang hanya alasan agar aku tidak marah
“Orang tuaku mau cerai Al.. hampir tiap hari mereka ribut dirumah. Cuma kamu, satu-satunya tempat ternyaman yang aku punya sekarang! Aku sayang kamu al, aku gak mau kamu pergi. Maafin aku” terdengar langkah kaki yang perlahan memghampiriku yang sedang berbaring menatap tembok. Terasa Calief saat itu juga ikut berbaring disampingku, dia memelukku dari belakang. Saat itu, airmatanya terasa hangat mengalir dipunggungku.
Akupun berbalik kearahnya dan menatap wajahnya yang sudah merah karena menangis. Ini adalah kali pertama, aku melihat lelaki yang sedang bersedih sebegitunya.
“Lief.. sorry.. udah kamu gak perlu nangis” aku yang gak tegaan, saat itu hanya bisa menghapus air mata Calief dan mencoba menenangkannya
“Tenang.. aku gak kemana-mana kok. Semua masalah pasti bisa kita laluin bareng-bareng” aku memeluknya, mengusapnya agar dia bisa kembali tenang. Calief menatapku, lalu mencium singkat bibirku dengan sangat lembut.
“Im so sorry, alma. I love you. Really love you. Aku kayak gini karena khawatir kamu bakal balik lagi sama mantan-mantan kamu terus aku ditinggalin. Im so sorry i’m fucked up” masih sambil memelukku, aku tidak bisa berkata apapun kecuali membuatnya lebib tenang lagi. Sampai akhirnya dia tertidur didekapanku.
Aku menatap wajah Calief yang sedang tertidur. Wajahnya tenang, tidak penuh amarah, malah aku senang melihat dia yang lebih baik tertidur saja. Aku tau, yang membuat emosinya jadi tidak stabil mungkin karena ada masalah lain, dan ditambah dengan dia yang belum tidur semalaman. Ntahlah ini rasa sayang atau rasa kasihan.
Pertengkaran pertama itu, aku bisa memaklumi bagaimana keburukan Calief. Mungkin aku yang harus berdamai dengan sifatnya dan menerima Calief apa adanya.
Menerima bahwa Calief adalah Api dan aku harus berusaha menjadi air nya. Yang bisa meredamkan Api dikala membara.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments