Rejected of Love II

Penolakkan ke dua.

Aktivitasku setiap hari adalah kuliah, kuliah dan kuliah lagi. Orang bilang, semester pertama memang api nya masih membara. Semangatnya juga masih menggebu. Boro-boro berani titip absen, telat sekali aja gak bisa tidur. Kepikiran terus karena takut dapet nilai E.

Waktu itu adalah hari kedua aku berangkat kekampus dengan baju bebas, finally. Dulu pas SMA aku tidak pernah membingungkan soal outfit apa yang harus aku pakai karena setiap harinya sudah ada seragam yang berbeda. Tapi lain cerita saat aku sudah kuliah, dari malem sebelum tidur bahkan aku sudah mempersiapkan baju apa yang akan aku pakai esok hari. Yap, aku memang well—prepared banget anaknya. Menurutku penampilan itu nomor satu, pada saat kita pertama kali bertemu dengan orang baru yang dilihat pertama pasti penampilan, visual-nya dulu. Setelah itu baru vokal, bagaimana nada kita ketika berbicara. Dari vokal, baru ke Verbal, bagaimana cari kita menyusun kosa kata. Motto hidupku adalah; be refined, polite, well—Spoken, well—Dressed.

Hari itu, aku memutuskan memakai pakaian yang casual saja. Celana blue jeans dengan cuttingan cutbray dipadukan dengan kaos broken white Rolling Stones dengan font yang warna-warni bertuliskan daydreamer serta ciri khas logo bibir dengan lidah yang menjulur keluar. Kaos ini aku beli karena edisi kolaborasi Daydreamer X Rolling stones, Ntahlah aku sangat suka Rolling Stones. Aku selalu memakai jam tangan ditangan kiriku, kubiarkan jemariku kosong tanpa cincin. Tidak lupa membawa tas. Lalu memakai sepatu Converse Run Star Hike model high. Satu hal yang kusuka saat kuliah adalah, aku bisa dengan bebas mengekspresikan Outfitku. Terbebas dari seragam putih abu—abu.

Seperti biasa aku berjalan kaki untuk pergi kekampus, sengaja berangkat lebih pagi agar tidak terburu-buru. Aku mampir ke mini market sebentar untuk membeli segelas kopi hangat dan roti agar bisa kunikmati dikelas nanti. Masih sambil berjalan, menikmati suasana kampus yang ramai dengan isi otak mereka yang berbeda-beda tentunya. Ada yang bergandengan, ada yang berbondong-bondong dengan teman-teman ada juga yang berjalan sendirian sepertiku.

Sedang menikmati jalan kaki, aku dibuat emosi ketika seseorang jalan terburu-buru hingga menabrak tubuhku dan membuat kopiku sedikit tumpah, menodai bajuku. untung hanya dikit saja “duh, lain kali hati-hati ya” aku membersihkan bajuku, lalu menoleh kearahnya. Wajahnya tidak asing bagiku. “Sorry.. sorry duh. Jadi gak enak. Bentar gue ada tissue” lelaki itu berusaha mencari tissu dalam tasnya, aku masih berusaha mengingat karena wajah dan aroma nya tidak asing bagiku. Tidak butuh waktu lama untuk mengingat siapa lelaki itu. Dia Calief, seniorku yang memberikan karet ketika MOS waktu itu. Penampilannya berbeda ketika dia memakai kaos putih yang dilapisi dengan kemeja flanel, lebih casual dan tetap berkharisma. “Thank youu” ujarku, sambil mengambil tissue yang dia berikan. Tanpa berkata apapun, dia pergi begitu saja. Terlihat dari wajahnya memang sedang terburu-buru padahal masih sangat pagi. Sok sibuk sekali, gumamku.

Aku melanjutkan perjalananku menuju kelas. Didalam kelas, wajah-wajahnya terasa sangat asing bagiku. Baru ada beberapa orang saja yang sudah datang, aku sengaja duduk dibarisan kedua paling belakang posisi ini aman dan nyaman menurutku. “Disini kosong gak?” Lalu seorang perempuan menyapaku, rambutnya ikal, kulitnya agak exotic manis, wajahnya tidak asing seperti orang indonesia bagian Timur “kosong kok, duduk aja” ujarku, sambil tersenyum “gue Alma” sambil menyodorkan tangan, berharap dapat teman baru lagi hari ini “Sherly..” dia menjabat tangan ku sambil tersenyum “lo asli orang sini?” Tanya sherly “gue tinggal di Bogor sih, gak jauh. By the way, lo asli sini juga?” Terdengar basa-basi ya pertanyaanku, sebetulnya canggung. “Pasti lo ngiranya gue orang papua kan?” Dia malah balik nanya, aku hanya tertawa tipis seolah membenarkan perkataanya “iya lagi, emang bukan ya?” Sherly menggelengkan kepalanya, dengan ekspresi wajahnya tertawa “terus? Orang mana dong?” Penasaran aku dibuatnya “orang Bandung, papaku yang orang papua. Tapi lama tinggal di Bandung” ntahlah, setiap kali mendengar kata Bandung. Aku ingat ada Tama disana, menjengkelkan bukan?! “Bisa bahasa sunda dong?” Bukan pertanyaan melainkan sebuah tantangan “tiasa atuh sakedik mah” kamipun tertawa, lebih tepatnya aku menertawakan logat sunda yang diucapkan oleh perempuan bergaya Timur. “Ssstttt udah udah gausah ngakak gitu dong” Sherly boleh juga. Ternyata Humoris dia, aku kira dia akan jutek. Dan galak.

Disela-sela jam kosong, niatnya aku ingin pulang kekostan dan rebahan sebentar. Takdir berkata lain, ditengah perjalanan menuju kostan, lagi-lagi aku bertemu Adam. Dia menepuk pundakku dari belakang “alma” sahutnya lalu ikut berjalan disampingku “kelas kita sebelahan ternyata” outfit kita senada hari itu aku dan Adam memakai outfit dengan warna yang sama. Satu hal yang aku suka dari Adam dan tidak berubah yaitu tangannya. berisi, putih dan banyak urat-urat biru—kehijauan yang terlihat. Tangannya sexy. “Oya? Gue baru ngeh kalo kelas kita sebelahan” Adam masih berjalan disampingku “lo ada kelas lagi gak abis ini?” Dia menoleh kearahku “gak ada sih, abis ini gue free sampe jam 3. Baru ada matkul lagi” jawabku, “makan bareng yuk” saat itu aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Lagipula, aku dan Adam berpisah bukan karena kita saling kecewa. Tapi karena dulu kita mikirnya pacaran dan temenan gak ada bedanya. dulu juga kita mau ujian kenaikkan kelas, jadi kita berdua sepakat buat sama-sama selesai biar fokus ujian. Itu hanya ada dalam pikiranku sih, aku gak tau bagaimana perasaan Adam setelah putus denganku. Lagipula, dulu itu cinta monyet Adam juga sepertinya tidak pakai hati untuk memacariku dulu. Back then again, only on my mind.

Siang itu aku dan Adam makan dibelakang kampus. Namanya Tenda Biru, memang disini banyak sekali pilihan makanannya. Dari banyaknya pilihan makanan, saat itu aku memilih untuk makan gado-gado “mau pedes gak?” Gesture ku yang menggelengkan kepala mampu menjawab pertanyaan Adam tadi “minumnya mau apa?” “Air putih” jawabku lalu tersenyum, ketika Adam sedang menuliskan pesanan aku malah salah fokus dengan urat-urat di tangannya “tangan lo kenapa berurat gitu sih dam, sekarang?” Kali itu, aku yang penasaran

“Biasalah, lakik. selama liburan sekolah kemarin gue sibuk nge Gym sama futsal al. Makannya otot gue jadi, masih belom all out sih” Adam memperlihatkan otot di tangannya yang sudah mulai tumbuh sekalian memamerkan kulit putihnya “gue juga nge Gym. Tapi fokus treadmill doang, sama ngecilin pinggul, naikin pantat” ujarku, seolah tak mau kalah “tumben, dulu kamu diajak lari bareng di sempur selalu nolak” Adam tertawa, seperti dejavu dia memanggilku dengan sebutan aku—kamu. “I dont want to be center, you know” balasku tertawa diakhir kalimat “emang kalo lari disempur berasa jadi center?” Kami mengobrol Sambil menunggu makanan datang “yea I guess. Karena dipinggiran track nya tuh suka banyak orang banget. Dan kalo kita lari pasti berasa diliatin, jadi pusat perhatian. I don’t like it” tersenyum respon ku “bener sih, tapi cuma lapangan itu yang deket sama rumahku. Tinggal jalan kaki juga nyampe” rumah Adam memang di daerah Sempur. Jadi gak heran kalo dia selalu mengajakku untuk jogging disana.

“Kamu inget gak sih dulu kita bisa kenal gara-gara apa?” Makanan sudah landing dengan sempurna dimeja kami. Tapi, semakin lama obrolannya semakin nostalgia. Kiranya aku dan Adam sudah hampir dua tahun tidak bertemu setelah putus waktu kelas 1 SMA dulu. Dengan lantang aku bilang “Inget—inget, awalnya dari facebook. Lo nge add gue, ternyata lo satu SMA sama temen SD gue, Lyana. Iyakan? Haha” aku mengaduk gado-gadoku sambil berusaha membuka lagi kenangan-kenangan lama “bener lagi, Lyana tuh dulu nyomblangin aku sama kamu. Dia maksa banget biar aku nge add kamu. Awalnya aku gak mau, gak suka pacaran-pacaran gitu” Adam mulai memakan suapan pertamanya, akupun ikut menyusul. Mengunyahnya, lalu aku telan “terus, kenapa akhirnya bisa pacaran?” Kali itu penasaran “lo cantik” jawabnya, singkat, padat, dan membuatku senyum-senyum sendiri. “picky banget ya lo” aku tertawa santai demi mencairkan suasana “tapi selain cantik, ternyata obrolan kita juga nyambung. Lo bilang lo suka Manchester United kan? Dulu?” Aku mengangguk, Adam masih ingat rupanya club sepak bola favorit ku “lo pernah cerita, lo suka bola karena bokap lo gak punya anak laki-laki. Jadi lo berusaha suka bola biar bokap lo gak ngerasa kesepian nonton sendirian” selain ingat club sepak bola, Adam juga ingat alasanku kenapa suka bola. “Wah.. sangat berkesan bangetkah? Sampe diinget gitu” kami masih makan tapi tetap diiringi obroln ringan “lo pacar pertama gue al. Lo pernah bikin hidup gue jadi berkesan. Mana mungkin gue lupa” Adam tidak ingin menatapku, dia fokus memandangi makanannya. Tapi aku berharap pertemuan kita saat itu tidak lebih dari sekedar teman saja.

“Haha buktinya apaan? Kalo gue pacar pertama lo?” Pertanyaanku bukan penasaran, tapi kayak butuh pembuktian aja. Selama ini Tama bilang padaku kalau aku cewe satu-satunya, padahal nyatanya dia sangat Ramah ke teman-teman cewek lainnya. Gesture Adam mengambil kakinya, dia menarik celana dari bawah kakinya hingga ke betis, lalu menurunkan sedikit kaos kakinya dan bilang “look at my knees” akupun mengintipnya lewat bawah meja, aku melihat dibagian kakinya ada Tattoo warna merah dengan gambar Zodiac sagittarius, tidak berlebihan gambarnya. Hanya berupa garis yang membentuk silhouette The Archer saja. Aku kaget dibuatnya, karena aku tau itu lambang zodiac ku. tapi aku tidak merasakan getaran-getaran saat aku jatuh cinta pada Tama. Is that mean I feel numb?

“Seriously? Emang boleh?” Begitu ujarku usai melihat Tattoo di kakinya, warna merah di tattonya terlihat semakin menyala karena kulitnya yang putih. “Yaa.. yang tau tau aja, sih. Makannya kalo kekampus gue pake celana panjang sama kaos kaki biar gak keliatan” dia tertawa, gesture nya mengambil lalu membuka botol minuman, dan membukakan milikku. He’s over act of service “kenapa lu Tatto zodiak sagittarius?” Masih penuh dengan pertanyaan “kan tadi lu nanya, buktinya apa kalo gue pacar pertama lo. Ya itu tadi buktinya, setelah putus sama lo. Gue kepikiran buat bikin Tattoo pertama gue” begitu penjelasan Adam, lalu minum “kenapa harus Tattoo? Sakit kan? Gabisa ilang juga” ujarku, “iya, for making new Tattoos is like punishment for me. Biar jadi penanda juga kalo semakin sering pacaran, semakin merugikan diri sendiri” boom! Im speechless. ternyata alasan Adam membuat Tattoo pertamanya lumayan membuatku tersentuh. Bukan bangga, melainkan aku menyesal kenapa harus aku yang jadi wanita pertama untuk melukai hati Adam?! Aku berpikir mungkin aku, orang pertama yang membuat pandangan Adam soal cinta jadi berbeda?! Semua yang aku rasakan seperti, hukum tabur tuai?!

Makanpun selesai, tapi obrolan kami, belum “mau tau gak gimana ceritanya aku bisa gambar Tattoo pertamaku?” Aku tertawa sambil jawab “gimana.. gimana?” Lalu serius menatapnya dan memasang telingaku lebar-lebar untuk mendengarkan ceritanya “jadi.. waktu itu aku lagi nongkrong dirumah Rey. Nah.. dia punya kakak, kakaknya tuh Tattoo Artist gitu, terus aku bilang gini ke abangnya Rey; bang, gue abis putus nih. Gambarin zodiac mantan gue dong. Dia malah ngakak sambil bilang; njir, gue baru ngeliat bocah SMA galau sampe bikin Tattoo, ketawa terus dia. Tapi akhirnya dia mau gambarin, malah dia juga yang usul buat bikinnya ditempat tertutup. Gimana-gimana hasilnya, bagus gak?” Tatapan itu seolah bertanya padaku “bagus kok, gue suka filosofi nya, sih” lalu tersenyum how can I be guilty as sin?!

Setelah selesai makan, kami berdiri didepan meja kasir. Adam mengeluarkan uang dari dalam kantongnya “split bill aja ya” ujarku, sambil mengeluarkan uang milikku “gausah aku aja” jawabnya, aku mendecik kesal lalu berkata “dam.. jangan gitulah, gue gak suka” seperti dejavu, tapi kali ini personil nya berbeda. “Oke, split bill” Adampun mengalah. Wajahnya nampak pasrah.

Istirahat hampir berakhir, Adam bilang dia masih ada kelas dan harus segera kembali kekampus. Begitu juga denganku. Setelah jalan menuju kampus, kamipun pisah gedung. Lalu melambaikan tangan.

...****************...

Hari-hari yang aku lalui terasa begitu cepat, kuliah, begadang mengerjakan tugas. Persentasi. Begitu terus sampai aku bisa bernafas lega diujung weekend. Aku menghubungi ibu kalau minggu ini aku tidak pulang kerumah, ingin istirahat saja dikostan, rebahan, nonton, begitu terus sampai bosan. Sedang asik-asiknya menonton film berjudul Dark aku merasakan getaran dari handphoneku, jelas sekali namanya Remichael.

“Hmmm? Gabut ya lu? Malem minggu nelponin gue” aku tidak suka basa-basi lewat telpon

“nggaklah, malem ini gue mau balap sama Kemal. Kali aja lo mau nonton” sedikit kaget, aku kira waktu itu Kemal bercanda “hah? Kalian jadi? Gue udah bilang kan rem, gue gak mau ikut-ikutan!” Sentakku, sedikit marah. Tidak berhenti bicara “Lo bilang lo gak akan balap lagi. Sekarang kenapa lo mau!” Aku masih membentaknya “karena kemal yang ngajak” balasnya santai “oke. Gue bilang kemal kalo gausah ngajak lo balap. Dia tuh caper doang karena lo temen gue rem! Gausah diladenin bisa kan?” Aku masih kesal dan langsung mematikan telpon itu, segera mencari instagram Kemal

Alma : kak, lo ada masalah apa sih ngajak Remi balap? Dia udah berhenti Balap dari dulu!

Tidak ada jawaban apa-apa dari kemal, bahkan aku tunggu hingga sore pun. Masih tidak ada jawaban. Aku langsung menelpon Remi

“Yaudah Rem, lo jemput gue dikosan!” Begitu ujarku via telpon “gak bisa. Gue pake motor balap. Mitosnya kalo motor balap dibonceng cewek bakal kalah katanya” Shit! “Yaudah gue sama temen gue paling” setelah telponnya berakhir aku bingung, temen yang mana yang akan kuajak?! Kayak punya aja.

Ditengah pikiranku yang kosong, menurutku satu-satunya orang yang bisa diminta tolong saat itu adalah Sherly, teman sekelasku. Akupun langsung menelponnya

“Sher lo dimana?” Aku mendengar suara musik yang keras dari ujung telpon “gue lagi di kemang al, kenapa?” Suara sherly agak teriak, karena musik yang terlalu kencang. Sepertinya aku bisa menebak sherly lagi dimana “yaudah deh gak jadi” ujarku, dan mematikan telponnya. Hmmm siapa lagi? Pikirku begitu. Tuhan memang selalu kasih jalan ketika umatnya mulai kehabisan ide. Tiba-tiba saja ada Chat dari Adam

Adam : al.. dimana? Nobar yuk, malam ini Manchester United lawan Chelsea loh

Alma : pas banget lagi.. gue juga mau ngajak lo Nobar. Tapi bukan bola

Adam : nobar apa?

Alma : balap, temen gue mau Balap. Lo mau temenin gue gak?

Adam : boleh, sekarang?

Lagi-lagi.. dari dulu, Adam memang tidak pernah menolak jika aku minta anter. Tapi setiap kali Adam meng-iyakan kemauanku, aku semakin merasa bersalah padanya. Aku segera bergegas dari tidurku. Mandi. Langsung ganti pakaian, malam ini aku ingin mencepol rambutku dengan jedai. Memakai loose pants berwarna hitam, rib knit putih dan cropped leather jacket yang dibelikan oleh ayahku tahun lalu.

Malam itu, Adam langsung menjemputku dikosan. Dengan motor Vespa GTS super sport miliknya berwarna abu. Style Adam memang berbeda dari mantan-mantanku yang lain, mungkin karena dia sedikit cina. Melihatnya memakai celana pendek hitam dan kaos abu saja menurutku sudah bisa dibilang ganteng.

Aku memakai Helm yang sengaja Adam bawa dari rumah untuk kupakai. Dalam perjalanan, kami ngobrol lumayan banyak. Seperti;

“Kenapa nge kost sih al? Bogor kan deket banget” helm Adam canggih, bahkan suara jalanan yang lumayan berisik tidak mengganggu obrolan kami, tanpa harus teriak suara dia terdengar sangat jelas. “Biar gue gak capek kata bokap” jawabku “gue siap jemput deh biar lo gak capek” apalagi sih ini, setiap kali ada cowok yang memberikan perhatiannya padaku, aku menganggap kalau mereka terlalu berlebihan. Padahal sebetulnya mereka bisa aja becanda kan? Atau hanya basa-basi agar ada obrolan. Respon ku kala itu hanya tertawa karir. Haha.

Tak terasa kamipun telah sampai ditempat yang Remi bilang. Sudah ramai memang disana. Ada Remi juga yang berjalan menghampiriku, dia kaget ketika aku datang bersama lelaki lain, kala itu Remi belum tau kalau aku diantar Adam. Remi juga belum kenal Adam. Hanya tau ceritanya, tapi belum pernah bertemu.

“Rem.. ini Adam. Adam, ini Remi. Temen SMA gue yang hobbynya BALAP.” Aku memperkenalkan mereka, mereka langsung berjabatan tangan didepanku, wajah Adam tersenyum. Tapi Remi tidak, dia dingin seperti biasa.

“Udah gitu maksa banget lagi minta di tonton” lanjutku usai mereka bersalaman, Adam tertawa “gak maksa. Kalo lo gak mau nonton juga gapapa. Inikan yang ngajak Secret Admirer lo” nada Remi terdengar meledek. Tatapanku kesal “yaudah lo tunggu disini ya, gue bakal menangin ini buat lo. Chill” sebelum akhirnya Remi pergi, dia menepuk bahu Adam sambil bilang; “bro titip alma bentar. Dia suka cengeng kadang” ledeknya sambil tertawa, Adam hanya mengangguk saja “siap.. siap” lanjutnya.

Ditengah keramaian, aku tau Adam kebingungan. Ini bukan dunia Adam, dia gak suka balap-balapan, dia gak suka keramaian yang gak jelas kayak gini. Aku langsung bertanya karena wajahnya sudah mulai bosan “Bete ya dam?” Aku memang gaenakan orangnya, jadi wajar saja jika pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku “nggak kok, santai aja lagi” senyumannya melegakan, namun tetap saja aku tidak bisa dibohongi. Aku tau Adam sebenarnya kurang suka ada disini. “Jelasin dong inituh temen kamu lawan siapa, sih? Biar aku ngerti dikit gitu” iya jugasih, mungkin Adam terlihat gak suka, karena dia belum mengerti

“aku juga baru pertama kali nonton balap. Jadi katanya ini Remi lawan Kemal. Remi itu temen aku di SMA, kalo kemal dia kakak kelasku di SMA” begitu cerita singkatku, tapi sepertinya Adam masih belum paham “terus. Kenapa mereka bisa balap? Kenapa Remi bisa bilang bakal menangin ini demi kamu?” Buktinya, pertanyaan itu keluar dari mulut Adam “kalo kenapa Remi bilang mau menangin ini buat aku juga aku gak ngerti, sih. Tapi sebelum akhirnya mereka balap. Kemal sempet ngirim surat kaleng kerumahku. Dia bilang suka. Tapi aku tolak. Terus, temen akukan cuma Remi, Lingga, sama Rissa. Waktu itu yang bisa nemenin aku buat ketemu Kemal yaa cuma Remi. Nah, terus abis pertemuan itu. Besoknya kemal ngajak balap. Yaudah.. hari ini akhirnya mereka balap” kali ini ceritaku cukup panjang, “hmm kayaknya si Kemal itu salah paham kali ya. Terus kalo kemal tau hari ini yang nemenin kamu, aku? Kira-kira aku diajak balap juga gak ya? Mana aku gak punya motor gituan lagi, ngebut doang sih bisa” wajahnya sangat komedi sekali waktu itu, responnya malah tertawa setelah mendengar ceritaku. Aku juga ikut tertawa bersamanya.

Pertandingan pun dimulai. Katanya mereka akan bertanding 2x putaran. Entah siapa yang akan menang. “Menurut kamu, siapa yang bakal menang? Chelsea atau Manchester United?” Pertanyaanya lawak banget, sampe bisa bikin aku ngakak. Mungkin aku yang terlalu receh? “Haha come on Dam. Beda server dooong” aku menepuk halus bahu Adam, reflek sekali menggandeng tangannya, sempat ada moment dimana kita saling tatap Adam mungkin kaget karena aku tiba tiba menggandengnya, akupun canggung dan bingung kenapa gerakan itu terjadi begitu saja. Setelah beberapa detik moment canggung itu terjadi, akupun melepasnya “sorry.. sorry..” lalu tersipu malu.

“Its okay” dia tersenyum, manis pula senyumnya “jadi siapa menurut kamu yang menang? Kemal atau Remi? Menurutku Remi sih” Adam berusaha melupakan moment tadi, dan mengalihkan pembicaraannya agar aku tidak canggung. Wajahnya terlihat serius berpikir, seperti emoticon ini 🤔 lalu tersenyum, giginya terlihat rapi, dan matanya seperti hilang. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Tidak suka menebak-nebak.

Sudah satu putaran berlalu, putaran pertama dimenangkan oleh Kemal. “Remi pasti sengaja nih, ngebiarin Kemal menang dulu di awal. Karena dia udah tau diputaran kedua dia pasti menang” begitu kata Adam, gayanya sudah seperti fortune teller saja. Aku tidak berhenti dibuat tertawa olehnya.

Tipis sekali jarak antara Remi dan Kemal saat itu. Setelah melalui degdegan yang begitu lama. Akhirnya Hasil membuktikan kalau Remi pemenangnya. Kami bersorak gembira. Lagi-lagi, aku reflek memeluk Adam malam itu. Tidak lebih sebatas mengekspresikan kebahagiaanku saja. Meskipun lagi-lagi, canggung setelahnya.

“Eh.. Kok bisa bener sih nebaknya?” Itu pertanyaan pengalihan sebenarnya, karena tiba-tiba dia merah pipinya setelah aku dengan sadar namun tidak sengaja memeluknya. “Soalnya kan keliatan kalo dari awal Remi yang paling ambisius untuk menang” jawab Adam masih sambil menahan malunya, meskipun malam itu pipinya seperti tomat yang baru matang dan siap dipetik.

Ditengah kecanggungan itu, tiba-tiba Remi datang, dari kejauhan tepatnya dibelakang Remi. Aku melihat wajah kemal, dia tersenyum seolah menyapaku. Akupun membalas senyumnya. Lalu menatap kearah Adam “oh itu kemal, kalo udah buka helm mukanya kayak gak asing gitu ya” begitu kata Adam, ternyata dia ikut memperhatikan juga.

Remi bergabung bersama kami, lelaki memang gampang akrab ya rupanya, baru kenal beberapa jam yang lalu mereka sudah salaman lagi “congrats bro!” Adam menepuk bahu Remi seperti sudah lama kenal. “Thank you, bro! Lo suka balap juga gak?” Pertanyaan Remi seperti basa-basi “duh, gak dulu deh bro. Kalo balapannya di game sih ayo” balasnya, Adam memang sedikit introvert dan mysterious. Kalo cowok-cowok pada umumnya senang main motor, beda dengan adam yang hobby-nya Photography, main Game, dia juga suka motor tapi lebih ke Vespa, baru itu sih yang aku tau sejauh ini.

“Wah.. suka main game dong lo? Game apa nih?” Kalo Remi lain lagi, dia lelaki yang banyak tau. Main motor ngerti, main game juga ngerti, Remi selalu self improvement tiap hari. “Banyak sih, PS 5 gue main, Point Blank, Mobile Legends, yaa mungkin hampir semua game gue main” jawabnya begitu, Remi hanya mengangguk saja. Sok-sok-an. Ngerti.

Kalau bicara soal Adam, dia berbeda dari cowok-cowok yang kukenal sebelumnya. Adam tuh lebih nyambung ngobrol sama aku karena dia selalu ngerti apa yang aku maksud. Contoh kecil; kalau bahas film sama Adam, dia pasti ngerti karena dia juga penikmat film of course karena hobby dia videographer, photographer. Film favorite kita salah satunya 500Days of Summer and One Piece. Selain itu kalo ngobrol sama Adam yang dia pake tuh logika sama perasaan, we all actually know that, biasanya cowok pakenya logika doang kan? Tapi Adam, tidak. He used both of it. Adam, lelaki kedua selain ayahku. Yang kukenal bisa sangat menghargai wanita. Not patriarchy. Aku bengong, mendominasi pandanganku ke Adam ketika dia sedang ngobrol bersama Remi.

“Lo mau balik sama siapa al?” Suara Remi seketika menyadarkanku kalau obrolan mereka sudah selesai “gak mungkin sama lo kan? Nanti motor lo kena kutukan. Bakal kalah terus kalo balap” jawabku dengan nada yang sedikit meledek “yaa enggak lah. Kan gue udah menang sekarang. Lo mau gue bonceng ampe mana juga ayo” sedangkan Remi dengan gayanya yang over confidence karena telah memenangkan balapan tadi. Ditengah ke exited-an kami malam itu. Tiba-tiba aku dan Remi dibuat diam karena tingkah Adam malam itu “Yaudah gue aja yang anter” Adam, menggenggam tanganku seolah aku harus pulang dengan Adam malam itu. Remi melihat adegan ini dan diam. Akupun juga terdiam melihat tangan Adam yang sudah menggenggam tanganku, Remi berdeham lalu bilang “oke” dia tersenyum pasrah “aah.. lebih baik gue yang anter kan rem, daripada motor lo kena kutukan?!” Nadanya, nada Adam itu lucu. Terdengar seperti orang polos yang gak ngerti apa-apa padahal sebenarnya dia paling pintar baca situasi. “Gak juga sih dam, ini balapan terakhir gue” seketika suasana menjadi sunyi “oke, gue balik ya. Hati-hati kalian.” Gesture Remi menepuk bahu Adam lalu berbisik ke arahku sambil bilang “Kabarin gue al kalo ada apa-apa”

Aku mengangguk.

Sepanjang perjalanan, rupanya tumbuh beberapa pertanyaan dari Adam yang akhirnya dia tanyakan padaku. “Remi kayaknya suka deh sama kamu” begitu kudengar suara Adam dari dalam helm canggihnya itu, jelas sekali suaranya seperti sedang telponan. Respon ku hanya tertawa setelah mendengar pernyataan Adam “gak lah, kita tuh udah temenan dari kelas 1 SMA. Gak mungkin kalo dia suka” jawabku berusaha mengabaikan tanggapan Adam soal Remi, “tadi dia nawarin buat nganterin kamu pulang setelah dia selesai balap kan?” Aku jawab “hu’uh” lalu adam melanjutkan kalimatnya lagi “Dia bilang dia mau nganterin kamu karena dia udah menang, kan?” jawabku lagi “hu’uh” lalu Adam lanjut lagi “Berarti kan kekhawatiran dia udah ilang. Malah dia sempet bilang mau bonceng kamu kemanapun juga dia siap, dia juga ada bilang kalo setelah kemenangan tadi dia gak akan balap lagi. Bahkan Sebelum balap juga dia bilang, dia bakal menang buat kamu. Masa sejauh itu kamu gak bisa ngerasain sih? Aku aja tadi liatnya kayak lagi nonton film romance drama. Gitu loooh” penjalasan Adam memang sedetail dan logis juga menurutku mungkin karena dia pandai menganalisa. Sedangkan, aku typical orang yang bodo amatan sama orang lain.

“Gak lah. Dia tuh bercandanya memang kayak gitu. Aku kenal Remi. Boleh bahas yang lain aja gak Dam?. I’m lost interests for talking about love” ujarku sedikit resah “oke.. I I’m sorry” jawabnya terbata-bata mungkin dia merasa tidak enak padaku.

“Eh helm nya bisa dengerin lagu loh, kamu mau denger lagu gak?” Adam berusaha untuk tidak membuatku merasa bosan di perjalanan “boleh” jawabku “nih, aku ada lagu enak. Menurutku sih kamu bakal suka” aku menunggu lagu apa yang akan diputar Adam setelah beberapa detik musiknya mulai terdengar Billy Eilish - Birds of a Feather lagu ini memang cocok untuk menempuh perjalanan yang panjang. lagunya masih berputar, tangan adam tiba-tiba kebelakang mencari dimana tanganku. Seolah menuntunku untuk melingkarkan tangan itu pada pinggangnya agar tidak jatuh. Akupun memeluknya, seraya kecepatan motornya pun bertambah. Lagu terus berputar menemani perjalanan kami. Hingga tak terasa motornya berhenti didepan kostan ku

“Akhirnya sampe juga, thank you dam. Udah mau nemenin gue. Next time, kalo ada Nobar bola lagi. Jangan lupa ajak gue ya” aku merasa hutang budi saat itu, tapi tetap aku menganggap Adam hanya sekedar temanku saja, gak lebih. “Haha gapapa Al, jangan dipaksa. Makasih juga loh, udah selalu ngenalin hal baru” dia tersenyum, kali ini senyumannya disertai tatapan yang beda. “Oke.. bye” akupun tersenyum sambil melambaikan tangan “Eeeh.. al.. helm nya” saat itu aku tidak bisa membedakan mana salah tingkah dan malu keduanya nampak sama saja “astaga, sorry” aku berusaha membuka helm tersebut tapi rasanya susah sekali “sini.. sini.. aku bantu” tangan Adam membantuku membukakan helmnya “hehe kalo helm mahal emang susah dibuka gitu ya?” Sedangkan aku masih salah tingkah “gampang kok, ini tinggal di click aja sebenernya” semakin malu sudah, karena Adam bisa dengan sangat mudah membukanya. Komedi sekali malam itu. “Good night. Al” “night” hari ini dipenuhi dengan rasa canggung yang tiada henti.

Aku seolah suka dengan Rhyme yang diberikan tuhan saat itu. Merasa tidak sendirian, merasa ada yang memperdulikan, merasa disayang. Namun, jika untuk pacaran rasanya jiwa ku menolak itu. Dipenolakkan kali ini, aku menolak diriku untuk, kembali jatuh cinta.

Aku sudah berada didalam kamar kostanku dengan lampu tidur yang baru aku pasang kemarin. Warnanya ungu. Membuat kamarku semakin ceria. Aku harus segera istirahat, karena apa yang terjadi hari ini sudah terjadi. We’ll back soon tomorrow.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!