**Pendekatan, di fase ini banyak sekali perubahan yang significant. Mulai timbul rasa khawatir yang berlebihan jika salah satu dari kita ada yang tidak memberikan kabar. Aku tidak mengira akan sejauh ini mengenal Tama, aku pun belum bisa sebut yang kita jalani adalah sebuah proses pendekatan, namun ketika sehari saja tanpa kabar dari Tama rasanya aku ingin bertanya pada seluruh manusia di Bumi “ada yang liat Tama gak?” Agak berlebihan memang aku yakin bukan hanya aku yang merasakan hal itu, tapi juga Tama. Waktu itu Tama tau, kalau dihari sabtu sekolahku sedang mengadakan pentas Theater dan Tama pun tau di pentas Theater itu ada mantanku yang juga akan tampil dari sekolah lain.
“Kamu tampil jam berapa?” Begitu pesan dari Tama, dan masih ada beberapa pesan lagi yang belum terbaca, juga beberapa telpon yang tidak terangkat. Melihat Tama yang khawatir, hatiku semakin berdegup kencang. Senyuman tipisku jadi semakin sering terlihat setiap kali aku membaca pesan dari Tama. Is it love,? Tanyaku.
“Kamu lagi sama Pram ya?” Bunyi pesan yang lain dari Tama. FYI, Pram adalah mantanku setelah Adam. Namun, sama seperti ketika aku bersama Adam, dengan Pram pun aku tidak merasakan seperti sedang jatuh cinta. Aku menganggap Adam dan Pram seperti teman lelaki yang bermanfaat untuk mengisi hari-hariku. Dulu, aku tidak pernah merasa khawatir jika Adam atau Pram tidak mengabariku. Beda hal-nya ketika aku dengan Tama.
“Alma..?” pesan terakhir yang Tama kirim. Pada pukul 10.31 aku membacanya pukul 16.48 setelah acara theater selesai.
Aku ingat pada hari itu, Pram masih datang menghampiriku. Dia memberikanku bunga setelah aku baru saja turun dari panggung “Alma..” sahut Pram yang menyapaku dari kejauhan, akupun menghampirinya, kami sudah biasa saja sekarang. Seperti selayaknya teman.
“bagus banget penampilan kamu Al, congrats ya!” Begitu ujarnya, sambil menyodorkan bunga mawar merah. Aku dan Pram memang pernah pacaran, namun Pram belum begitu mengenalku seperti Tama mengenalku. Pram tidak tau kalau aku paling gak suka dikasih bunga. “Thank youu..” jawabku hanya mencoba ramah,
“Abis ini mau kemana al?” Tanya Pram yang ikut berjalan disampingku menuju Lift pintu keluar, tanpa menunggu lama Lift pun terbuka “langsung balik, mau tidur” jawabku singkat ketika berada didalam lift “aku anter kamu pulang ya…?” Pertanyaan Pram terdengar ditelingaku, belum sempat aku jawab pintu Lift sudah terbuka namun langkahku terhenti ketika aku melihat Tama ada dihadapanku, tepat ketika Lift itu terbuka.
“Tam..?” Kalimatku bukan sapa-an, melainkan pertanyaan. Maksudku adalah, kenapa tiba-tiba Tama ada disini? Bukankah harusnya dia sedang kuliah di Bandung? Begitu tanyaku dalam hati. Namun kenyataannya dia hanya tersenyum melihat aku yang kebingungan. Pram saat itu hanya terdiam, “kaget ya?” Tama malah melemparkan pertanyaan lain yang dia pasti sudah tau jawabannya. “Alma, aku duluan keparkiran ya. Kabarin kalo kamu mau pulang bareng. Aku tunggu diparkiran” tiba-tiba Pram mengusap bahuku, belum sempat aku balas Pram sudah pergi duluan. Saat itu aku terkesima oleh cara Tama memperlakukan aku.
“How can?” Tanyaku, kali ini Tama harus menjawab “bisa dong, hari ini kan aku libur. Kamu dari pagi di chat juga gak jawab. Aku tau kamu pasti hectic kan? Makannya aku langsung samperin kamu aja ke bulungan” singkat cerita Tama membuatku semakin terpesona karena tingkah lakunya. “Kamu naik apa? Ehh.. Sumpah.. sumpah.. bingung banget” dengan wajah yang sumeringah dan masih sangat bingung “makannya kamu jangan nganggep bandung itu jauh. Bandung deket banget 3Jam juga nyampe” sedangkan Tama bisa menjawab pertanyaanku dengan santai. Kalau aku jadi Tama, 3 jam itu adalah waktu yang bisa aku manfaatkan untuk tidur daripada harus jalan ke Jakarta untuk hal yang gak penting. Atau saat itu, Tama menganggap aku sesuatu yang penting? “Haha iya juga sih, but still confusing” masih salah rasa aku dibuatnya kala itu. Setiap kali mengingatnya, rasanya aku ingin sekali berterimakasih pada Tama. Karena telah memperkenalkan kisah cinta masa remaja yang indah padaku.
“Terus sekarang kamu mau pulang bareng siapa? Kalo bareng aku, aku naik kereta. Tapi aku pasti anterin kamu sampe depan rumah” waktu itu, aku sulit sekali menyembunyikan kebahagiaan yang terpancar diwajahku. “Hmmm bingung, naik kereta pasti ribet. Tadi ayahku bilang kalo aku udah selesai bakal dijemput sama Pak Rudy” FYI, pak Rudy adalah Supir Pribadi ayahku yang biasa menggantikan Ayah ketika dia tidak bisa menjemputku. “kalo kamu aja yang pulang bareng aku mau gak?” Wajah Tama nampak kecewa mendengar jawabanku “nggak, aku naik kereta aja” jujur, selama hidup aku belum pernah berpergian menggunakan angkutan umum.
Ayahku selalu mengkhawatirkanku jika aku pergi menggunakan angkutan umum. “Oke deh, aku ikut bareng kamu aja. Tapi.. aku bilang ke ayah kalo, aku pulangnya bareng Rissa ya?? Jadi kamu gak perlu anter aku sampe rumah” kami mulai berjalan santai tanpa tujuan yang pasti “emang harus ya bohong sama orang tua? Gapapa, kamu jujur aja sama Ayah kamu kalo kamu pulang bareng aku naik kereta. Aku juga bakal anter kamu sampe depan rumah kamu dan bilang sama Ayah kamu kalo kamu Aman dianter aku” setiap kalimat Tama selalu membuat perasaanku semakin tenang “yaa.. gak harus bohong sih, yaudah aku bilangnya kalau udah sampe rumah aja deh” jawabku, setelah itu kami tau perjalanan kita harus kemana. Yups.. stasiun kereta.
Sebelum akhirnya sampai stasiun kereta, kami naik angkot terlebih dahulu. Tama pula yang pertama kali memperkenalkanku dengan angkutan umum ibukota. Ketika aku melangkahkan kaki untuk masuk kedalam angkot tersebut, kepalaku kepentok pintu angkot, rasanya sakit sekali dan malu. “Eh gapapa Al?” Tanya Tama khawatir “gapapa sih cuma, malu” jawabku tertawa sedikit. “Kamu belum pernah naik angkot ya?” Tanya Tama heran, aku hanya mengangguk.
Setelah turun dari angkot sampailah kami di stasiun. Suasana stasiun sore itu sangat Ramai oleh pengunjung, semua orang berjalan dengan wajah lelahnya masing-masing tapi aku yakin mereka punya tujuan yang sama, untuk sama-sama pulang ke rumah.
“Ini pesen tiketnya gimana?” Tanyaku kebingungan “kamu belum pernah naik kereta?” Tama malah bertanya balik padaku jawabanku pun sama seperti sebelumnya hanya menggelengkan kepala. “Nanti kamu naiknya hati-hati. Soalnya orang-orang suka pada rebutan” setelah mendapatkan instruksi itu dari Tama, aku hanya mengangguk saja. Betul saja, saat kereta tlah tiba dan pintu mulai terbuka, aku pusing melihat mereka yang turun dengan terburu-buru lalu yang lainnya naik dengan sangat cepat. Sedangkan aku malah diam, sampai akhirnya aku sadar pintu kereta sudah tertutup dan Tama sudah ada didalam kereta sendirian. Pengalaman pertamaku naik kereta se-ngakak itu.
“Alma, kamu kenapa gak naik keretanya?” Tama menelponku, ketika aku bingung harus berbuat apa. Sendirian di stasiun kereta. “Aku bingung mereka cepet banget naik nya, aku ke dorong-dorong. Terus ini gimana? Aku bingung” saat itu, mulai gelisah dan sedikit panik, beda dengan Tama dia malah tertawa diujung telpon
“yaudah tunggu disitu, kamu duduk dulu tenang dulu, nanti aku balik lagi” suaranya masih diujung telpon
“Hah? Tunggu dulu gimana? Kamu ke bogor dulu terus balik lagi kesini? Aku harus nunggu berapa jam Tam?” Jawabku, yang waktu itu aku belum mengerti bagaimana jam operasional kereta “hahahaha gak kebogor dulu dong. Jadi kereta tuh berhenti di setiap stasiun. Nih skrg aku udh berhenti di stasiun dan nunggu kereta lagi untuk balik nyamperin kamu” Tama tidak berhenti menertawai kekonyolan yang aku buat hari itu.
*Dari kejauhan, aku melihat Tama sudah berjalan kearahku wajahnya tidak berubah dalam pikiranku. Dia pasti menertawakanku sepanjang jalan. “Ya ampun Al.. al.. aku percaya sekarang kalo kamu gak pernah naik kendaraan umum” yups, masih sambil menertawakanku tentunya. “Apasih Tam, gak lucu!” Jawabku kesal, Tama menyodorkan tangannya lalu menatapku “apaan,?” Tanyaku heran, apa maksud Tama menyodorkan tangannya padaku “pegangan sama aku, biar kamu naik keretanya gak kedorong-dorong” ujar Tama, haruskah saat itu aku menggenggam tangannya? Detak jantungku semakin tidak karuan dibuatnya. Tama seolah tau, love language* ku adalah Act of service. Mungkin karena dari kecil ayahku selalu memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatku merasa bahagia. Tanpa Ragu, dihari yang sudah mulai gelap itu aku menggenggam tangannya. Kali ini berhasil, aku masuk dan turun dari kereta dengan selamat. Sepanjang perjalanan Tama tidak sedikitpun melepas genggamannya.
Kami berdua sampai didepan rumahku dengan selamat dan kakiku cukup pegal hari itu rasanya langkahku sangat banyak dan panjang.
“Akhirnya, sampe dirumah juga” langkah kami berhenti tepat di pagar depan rumahku, Tama tersenyum melihat wajahku yang mulai berkeringat “makasih ya, udah ngasih pengalaman naik kendaraan umum. Seru lah.. ratingnya 4.5” ujarku tersenyum diakhir kalimat, by the way tangan kamu belum lepas “0.5 nya kenapa tuh?” Tanya Tama “capek, pegel. Tapi seru hehe” jawabku tersipu. Kami berdua kaget setelah mendengar pintu pagar yang terbuka. Ternyata yang membuka adalah ibuku.
“Alma.. ya ampun, kamu pulang sama siapa? Kok gak bareng pak Rudy?” Teriak ibuku yang khawatir, gengaman tangan itu masih belum lepas sampai akhirnya ibuku melihat dan Tama langsung melepasnya. Wajah ibuku terlihat bingung, baru pertama kali dia melihat anaknya diantar pulang dengan laki-laki dan jalan kaki.
“Tante, maaf. Saya ajak Alma pulang naik kendaraan umum tadi” dengan nada yang sopan, Tama berani rupanya mengajak ibuku berbicara “oh iya gapapa, sorry tante tadi kaget aja. Karena Alma gak pernah jalan kaki apalagi sama laki-laki. Tapi gapapa, bagus biar Alma belajar. Ayo masuk dulu nak” ibuku memberikan respon yang positive kepada Tama, ini pun kali pertamaku membawa lelaki kerumah.
“Aku malu, aku harus ngomong apa?” Bisik Tama disampingku, kali ini aku yang menertawakannya. “Kamu tumben al gak telpon pak Rudy. Kenapa?” Tanya ibuku, dia langsung berjalan kearah dapur rupanya sambil membuatkan minuman untuk Tama “gapapa buu.. Alma pengen aja naik kendaraan umum” jawabku, duduk menemani Tama
“Silahkan diminum” selayaknya tuan rumah yang memberikan minuman, ibu terlihat ramah
“kamu teman sekolahnya Alma?” Ibu ikut bergabung bersama aku dan Tama diruang tamu
”iya Tante, tapi saya udah alumni. Sekarang lagi libur kuliah, sengaja pengen liat Alma tampil theater” Tama bisa sesantai itu, ngobrol dengan ibu. Padahal harusnya kan lelaki seusia dia, malu-malu. Apalagi Tama bilang dia belum pernah pacaran. Aku heran karena dia bisa dengan tenang mengbrol dengan orang baru. Mungkin karena dia lumayan Extrovert kali ya. Pikirku kala itu.
“Oh gitu.. eh nama kamu siapa tadi? Tante sampe lupa” sebetulnya ibu bukan lupa, Tama memang belum menyebutkan Namanya “saya Tama tante” jawabnya tenang “lanjut kuliah kemana Tam?” Tumben ibu mau mengobrol, gumamku dalam hati “ITB tante.. tan.. saya minum ya” jawab Tama, sambil meminum minuman yang diberikan ibu tadi “silahkan.. silahkan.. wah ITB, sama kayak ayahnya Alma dong. Ambil jurusan apa?” Percakapan ini rupanya berjalan dua arah, aku tidak pernah membayangkan jika Tama adalah orang pertama yang akan aku kenalkan pada ibu “fakultas Matematika dan IPA tante” setelah meneguk minumannya, Tama menjawab lagi pertanyaan ibu. “Wah Alma harus banyak belajar Mathematics nih sama Tama” begitu rupanya respon ibu. Aku hanya tersenyum dan menatap Tama yang juga menatapku. Kami tidak banyak bicara. Setelah mampir sebentar Tama pun langsung pamit pulang.
Setelah pertemuan kita hari itu, rupanya kisah cinta ini berlanjut. Aku menyebutnya Euphoria Phase. Dimana, dua insan ini saling menggebu-gebu untuk membuktikan rasa sukanya masing-masing. Sampai tidak terasa waktu mempertemukan kita pada hari dimana akhirnya Tama mengungkapkan perasaannya padaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments