Insecurity phase.

Sekiranya 10 bulan hubunganku dengan Tama bejalan. Tidak mudah, karena kami tidak punya banyak waktu untuk selalu bertemu. Apalagi akhir-akhir ini aku sibuk dengan acara perpisahan dan Tama pun sibuk dengan tugas serta kuliahnya disana.

Tama memang selalu aktif dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan kampus, seperti Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) salah satunya. Dia bilang esok dia akan camping ke Gunung Semeru selama 3 hari. Jujur, saat itu aku khawatir, karena dulu banyak sekali berita seliweran tentang pendaki yang hilang. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa, kan? hobby Tama memang Hiking. Dia pernah bilang lebih baik main gunung, main motor daripada mainin kamu. Dan setelah itu, aku tidak pernah melarangnya.

Siang itu seperti biasa aku masih aktif ke sekolah hanya untuk bertemu teman-teman dan membicarakan tentang acara perpisahan yang akan dilaksanakan. Tapi entahlah, ketika sampai disekolah otakku tidak fokus memikirkan acara perpisahan. malah memikirkan tentang ulang tahun Tama minggu depan. Setelah pulang dari Campingnya, bertepatan dengan hari ulang tahun Tama.

“Al, menurut lo tema nya apa nih? Talking booth jadi?” Siapa lagi yang bertanya kalau bukan Rissa ditengah kesibukan yang sedang kita bertiga Alami. Ada Lingga yang sedang membuat rundown acara, ada Remi yang sedang merancang dekorasi dan aku yang malah mencari ide untuk surprise-in Tama. “duuuh. Itu tanya Remi deeh, dia yang ngusulin ada Talking Booth” ujarku, dengan handphone yang terus sibuk scrolling ide surprise “ih apaan sih gue nanya, lo malah nyari ide surprise. Tama mau ultah ya?” Rissa melirik kearah handphoneku dan menatapku tegas dengan mata sipitnya

“gue lagi bingung Ris kasih surprise apa ke Tama. Jadi tolong, jangan. Bikin gue makin bingung dulu” akupun menatap balik kearahnya, sedikit risih dengan pertanyaan Rissa “ih kalo lo nyari surprise dari google mah, udah pasaran banget. Mending nih yaa.. lo cari tau Tama dibandung tinggalnya dimana. Terus lo dateng deh kesana” hmmm… kupikir Rissa akan marah karena aku tidak membantunya memecahkan solusi untuk acara Perpisahan nanti, ternyata dugaanku salah, Rissa malah memberikan solusi untuk permasalahanku. “Terus gue pake apaan kesana? Naik kereta? Sendiri?” Wajahku kebingungan, alisku sedikit mengkerut “gimana kalo kita kebandung guyss? Temenin Alma???” Spontan ide cemerlang itu keluar dari mulut Rissa, perkataan Rissa sontak membuat Remi dan Lingga diam seperti patung “wah ide bagus tuh sekalian liburan sebelum perpisahan” sedangkan aku sangat mendukung ide cemerlang itu “duh gak ada yaa!! Gue mau belajar buat masuk ui” judes, begitu kesan Lingga “setuju!!” Remi juga sama saja “please kali ini ajaaa sebelum kita sibuk kuliah masing-masing” aku senang melihat Rissa yang memohon ke Remi dan Lingga, demi membantuku. aku tidak perlu berusaha terlalu keras untuk merayu dua lelaki itu “tau lu rem, gak kasian apa ama Rissa, dia pengen jalan-jalan” aku berusaha menjadi kompor dalam perbincangan ini “urusan percintaan lo itu gak ada untungnya dibanding gue masuk ui Al” ujar Lingga dengan serius, kali ini aku dan Rissa yang diam seperti patung. Perkataan Lingga membuat kami skakk matt.

...****************...

Tama memang sedang tidak intens menghubungiku, dia bilang di Gunung tidak ada sinyal. Sebisa mungkin aku tidak ingin mengkhawatirkannya, meskipun dalam lamunanku selalu terlintas pertanyaan seperti; sedang apa dia disana? Cuaca disini sangat buruk, bagaimana disana? Apakah kau aman? Takut gak sih? Gunung kan gelap? Namun aku simpan pertanyaan itu semua di Notes hand phone ku.

Hari kedua, Tama masih berada di Gunung. Ketika berhasil dapat sinyal, dia berusaha langsung menghubungiku dan bilang kalau akan segera turun. Dia tetap mengingatkanku untuk jangan khawatir. Hari itu aku baru saja selesai mendekorasi acara perpisahan sekolah yang akan dilaksanakan hari senin nanti. Setelah semua urusanku selesai, Aku membujuk Remi agar dia mau menemaniku mencari hadiah buat Tama, karena kebetulan hanya ada Remi disana “Reem, anterin gue bentar mau gak?” Tanyaku pada Remi yang sedang bersantai dengan sebatang rokok ditangannya “kemana?” Tanya Remi dia tidak menatapku, melainkan matanya fokus menatap layar handphone “beli kado buat Tama.. lo kan sesama cowok nih, pasti bisa ngasih saran kan” aku duduk disebelahnya dan terus memandang Remi “gamau! nanti kemaleman, besok aja” kali ini Remi menatapku tegas, dan bangun dari duduknya “yaaahhh.. besok gue berangkat ke bandung. Jam 12 siang” Remi mengabaikan perkataanku dan terus berjalan lambat hampir meninggalkanku “ayolah Rem.. please kali ini ajaaa” nadaku memohon dengan lirih, aku berhasil membuat langkah Remi berhenti, Dia menoleh kebelakang tepatnya kearahku “pleaseee..” kali ini aku memasang wajah sedih agar Remi iba padaku dan mau mengantarkanku “untung lo temen gue al, males banget sebenernya. Tama lagi” dia menggelengkan kepalanya Remi tidak berkutik, seolah pasrah. Kamipun akhirnya jalan bersandingan kearah parkiran Motor.

Setelah sampai disebuah distro, aku sibuk memilih baju untuk Tama. Ditengah kesibukanku yang sedang memilih, Remi menegurku “yakin kadoin baju? Nanti putus, nangis” suaranya berbisik namun jelas sekali ditelingaku, karena Remi memang lebih tinggi daripada aku. Akupun mendecik kesal “apaansih! Itu tuh mitos tauga!” Sentakku seolah tidak terima ungkapan Remi tadi “oya? Kalo bener gimana?” Aku menoleh kearah Remi melihat wajahnya yang lagi tersenyum meledekku. Sedangkan aku semakin kesal dan khawatir akan perkataan Remi barusan. Namun tetap kuhiraukan.

“Menurut lo mending long sleeves, T-shirt atau Polo T-shirt? Bagus mana yah..” aku meminta saran dengan menunjukkan beberapa kaos dengan Style yang sering dipakai Tama sehari-hari. “Kenapa harus saran dari gue sih?!” Alis Remi mengkerut, seolah tidak ingin memberikan saran, wajahku berubah menjadi jengkel seketika, membuang wajah dan mengesampingkan lirikkan mataku atau yang dikenal dengan Bombastic side eye. “Yaudah yaudah. T-shirt lebih bagus buat dipake sehari-hari” Remi menjawabnya dengan datar. Hanya karena dia tidak ingin melihatku jengkel. Tapi akhirnya, aku ikuti juga saran dari Remi. Dengan membeli kaos biru navy, hitam dan juga putih serta kemeja flanel. Akhir-akhir ini Tama suka pakai kemeja Flanel.

“Banyak banget beliin baju buat Tama” ujar Remi setelah kami berdiri didepan meja kasir “biar tiap hari pake baju dari gue, biar dia inget gue terus” jawabku yang sedang kasmaran saat itu diiringi dengan senyuman tipis. “Idiiiih” sedangkan Remi mengedikkan badannya seolah jijik. “Tenang Reem, gue juga beliin kaos satu buat lo. Karena lo udah nganterin gue” akupun menepuk bahu Remi, agar dia berhenti mengejekku “pilihan lo?” Tanya Remi menatapku “iyalah” jawabku “aneh, giliran buat Tama lo gak bisa milih. Tapi ngasih kaos buat gue, lo bisa tuh milih sendiri” akupun mendecik lagi “udahlah, gausah banyak omong. Yang penting niat gue kan baik” ujarku setelah selesai transaksi dan berjalan keluar toko tersebut. Remi tidak membiarkanku untuk pulang sendirian, dia mengantarkanku sampai depan rumah “thank youu ya..” aku melepas helm milik Remi yang sepanjang jalan melekat dikepalaku “thank youu juga kaosnya.. take care besok. Kalo ada apa-apa, telpon gue” Remi menatapku, tatapannya agak berbinar kala itu, “tumben lo.. telpon doang kan? Belum tentu bantu” nadaku sedikit ketus seolah menyepelekan perkataannya. Remi mendecik kesal dan menghiraukanku “Dipake bajunya! Jangan dipajang doang!” Ntahlah tanganku ringan banget untuk memukul lembut bahu Remi berkali-kali, “iyalah. Yaudah gue balik ya. Bye” Remi menutup kembali helm full face berwarna dope black miliknya itu, akupun melambaikan tangan dan masih berdiri didepan rumah. Sampai bayangan Remi tak terlihat lagi. Lalu masuk kedalam rumah dengan hati yang berdegup kencang memikirkan agenda esok hari, aku tidak sabar untuk menemui Tama. Bagaimana reaksinya ketika Tama melihatku yang tiba-tiba ada didepan kost-an nya? Namun hal yang harus aku persiapkan lebih dulu adalah membungkus kado-kado yang sudah aku beli hari itu.

Sama seperti Tama, akupun ingin menuliskan sepercik surat untuk Tama didalam Kado-ku.

Happy 18th birthday my Beloved Tama.

Diumur yang semakin hari semakin menua, aku harap kamu tetap jadi Tama yang aku kenal. Yang selalu baik dan memberikan perhatian-perhatian kecil namun bermakna untuk aku.

Makasih ya Tam.. kamu dilahirkan untuk membuat orang-orang disekelilingmu bahagia. Termasuk aku. Makasih udah jadi orang yang sangaat manis, Makasih udah memperkenalkanku banyak hal, maaf kalau aku belum terlalu sempurna untuk bisa jadi kayak kamu yang penuh dengan kejutan. Semoga kamu suka surprise kecil-kecilan dari aku. Lagi-lagi, kamu orang pertama yang membuatku kebingungan harus bikin surprise kayak gimana supaya kamu seneng. Aku harap kamu selalu seneng sama apapun yang aku lakukan!

-With Love, Al

Setelah selesai menulis surat dan membungkus kado untuk Tama, akupun bisa tertidur dengan lelap. Malam itu tidak ada mimpi baik ataupun buruk yang mengganggu tidurku, rasanya cepat sekali rembulan malam digantikan mentari pagi. Dengan segar dan suasana hati yang tenang, akupun mandi dan mempersiapkan semua keperluanku selama satu hari dibandung.

Aku benci ini, tapi lagi-lagi Tama pun orang pertama yang membuatku berbohong ke Ayah dan Ibu, soal aku yang ingin menghampirinya. Aku Bilang pada orangtuaku bahwa aku pergi bersama Rissa, Lingga dan Remi naik kereta. Kalau tidak begitu, Ayahku sudah pasti tidak akan mengizinkanku pergi sendiri.

“Hati-hati ya sayang perginya, kalo ada apa-apa kamu telpon yaa” ibuku duduk disampingku sambil mengusap lembut bahuku, aku hanya tersenyum dan mengangguk. Sebetulnya berat hati karena telah berbohong.

Ibuku berjalan keluar kamar. Dari dalam kamar, samar-samar kudengar suara ibu yang sedang berbincang berdua dengan ayah “yah.. Alma tuh kayaknya harus belajar nyetir deh. Ibu khawatir kalo dia kemana-mana naik angkutan umum begitu” nadanya seperti merayu Ayahku agar aku diizinkan untuk membawa mobil sendiri. “Iyaa.. baru juga 17 tahun, nanti kalau sudah kuliah baru ayah izinkan” masih dari dalam kamar, aku mendengar jawaban Ayah kali ini, sangat girang sekali aku mendengar berita itu.

Akupun pamit, diantar Pak Rudy ke stasiun. Ayah dan Ibuku taunya kami janjian di stasiun. Meskipun nyatanya setelah Pak Rudy meninggalkanku di stasiun kereta, aku sendirian. Seperti orang hilang tapi masih punya tujuan. Akupun mencetak tiketku dan menunggu keretaku tiba, sambil sibuk membuka social media.

Pukul 10.45 tepat keretaku sudah tiba dihadapanku. Menunggu kereta itu benar-benar berhenti dan pintu dibuka. Aku segera memasuki ruangan yang sudah dingin karena AC tersebut. Berjalan mencari dimana Kursiku, bahkan aku ingat nomor kursiku adalah 11D tepat berada disebelah jendela, posisi favoritku agar bisa melihat pemandangan. Mendengarkan album Taylor Swift dan tenggelam dengan lamunan bersama pemandangan hijau dari luar jendela.

Aku melihat kearah sekelilingku, orang-orang banyak yang tertidur. Berbeda denganku yang sepanjang perjalanan boro-boro tidur, bahkan memejamkan mata sebentarpun tidak bisa. Mungkin karena penuh rasa khawatir? Atau karena ini adalah perjalanan terpanjangku untuk pertama kalinya. Dan sendiri. Tak apa, aku menikmati setiap perjalanan, pemandangan dan pengalaman yang telah kulewati.

Tidak terasa pukul 12.40 didalam kereta sudah mengumumkan kalau sebentar lagi akan tiba di stasiun Bandung. Tersenyum, degdegan, campur aduk perasaanku saat itu. Tetap berusaha tenang, agar tidak ada barang yang tertinggal. Setelah akhirnya kereta benar-benar berhenti, akupun berjalan kearah pintu keluar kereta tersebut, melangkah kearah peron dan haaahh.. nafasku menghirup udara yang sama dengan Tama hari ini, udara Bandung. Sama saja sih, sebetulnya.

Langkahku masih tidak berhenti, terus mencari dimana pintu keluar berada. Tidak begitu jauh sampai akhirnya aku melihat banyak tukang jualan disekitar stasiun, karena sedikit lapar dan Siomay bandung saat itu sangat mengganggu isi kepalaku yang sedang bertengkar dengan perut kosongku akhirnya aku membeli siomay itu untuk aku makan dihotel nanti.

Aku memesan Ojol dari stasiun menuju hotel yang sudah aku pesan kemarin melalui aplikasi online. Setelah Ojol sampai, dia dengan cepat dan tepat mengantarkanku ketempat tujuan. Masuk kedalam Hotel, lalu check in. Dan sampailah aku pada kamar yang sudah aku pesan. Tanpa basa-basi, aku makan dulu siomay yang baru saja aku beli, enak. Masih hangat. Setelah itu, baru aku lanjut untuk mandi dan mempersiapkan diriku agar tampil menarik dihadapan Tama nanti.

Sejak aku sampai di Bandung, aku memang berkomunikasi melalui chat Line dengan teman Tama yang bernama Edgar. Sengaja, agar aku tau jadwal dia hari ini ngapain aja. Dan ada dikostan jam berapa. Menurut info yang Edgar berikan, Tama akan dikostan pukul 17.00. Untung, jarak dari hotelku menuju kostan Tama hanya 7menit saja kalau naik ojol.

Aku memilih memakai dress hitam dengan panjangnya sedengkul kakiku, spatuku memakai boots hitam dan Jam tangan Casio Hitam yang sengaja beli couple dengan Tama. Yaa.. hitam memang salah satu warna favoritku juga, aku merasa lebih bening saja dengan warna itu. Tidak lupa untuk meng-curly rambutku, tetap make up namun tampil natural. Sudah siap dengan kado yang aku bawa, akupun siap memesan ojol lagi dengan destinasi ke Kostan Tama. Tapi sebelum sampai kostan Tama, ada satu hadiah lagi yang belum aku beli, yaitu kue ulang tahun. Untung saja searah dengan perjalananku menuju kostan Tama ada Toko kue. Akupun membelinya disana, memang aku tidak seperti Tama yang menyiapkan surprise untukku satu minggu sebelum aku ulang tahun. Tapi semoga saja semua yang serba dadakan ini mampu membuatnya bahagia, begitu pikirku dahulu kala.

Setelah sampai depan kostan Tama, akupun turun dari ojol dengan tanganku yang dipenuhi kado dan kue tadi. Aku ingat chat Edgar, Rumah Kost Kembang kamar No 13 di Lantai 2. Edgar bilang ada dua pintu masuk, pintu masuk sebelah kanan adalah kost-an cewek dan pintu masuk sebelah kiri adalah kostan Cowok. Tentu aku masuk melalui pintu Kiri, Edgarpun bilang setelah masuk pintu kiri ada resepsionis yang akan meminta data diri. Yups.. benar saja disana sudah ada lelaki yang badannya seperti satpam disekolahku.

“Mau kemana neng? Ada perlu apa ya?” Begitu ujar lelaki yang berotot dan sedikit sangar, kostan Tama memang bukan Kostan yang semua orang bisa masuk. “Mau ngasih surprise ke Tama pak. Dikamar 13. Tapi.. boleh gak, kalo bapak jangan bilang-bilang ke Tama kalo saya dateng. Saya nunggu didepan kamarnya aja kok pak. Gak akan masuk” ujarku lagi-lagi memohon. “Ohh mas Tama, yaudah sok atuh neng langsung naik aja ke lantai 2. Tapi Jangan masuk kamar ya neng. Disini memang gak ada cctvnya, tapi ada Alloh” ujar bapak resepsionis tersebut sambil tertawa garing, akupun hanya mengangguk dan awkward. Degdegan, takut ketauan langkahku terus berjalan ke lantai dua. Dari atas sini terlihat pemandangan langsung kearah kampus Tama, dan dibawahnya langsung kearah parkiran yang ada di depan kosan tadi. Sedangkan aku duduk dikursi tepat didepan Kamar Tama, No 13.

Aku menatap kearah jam tangan, Sudah jam 17.45 tapi Tama kok belum pulang juga ya, pikirku. sempat khawatir. Tapi aku berpikir inikan hari ulang tahun nya, pasti Tama sedang diberikan surprise oleh teman-teman kampusnya. Edgar juga sulit sekali dihubungi. Akupun sabar menunggu Tama sampai akhirnya, aku dengar suara gaduh dari bawah pukul 18.05 samar-samar ku dengar suara Tama yang teriak dari bawah “kan gua udah feeling bakal di surprise in” setelah aku mengintip sedikit memastikan, dia benar adalah Tama. Beberapa temannya keluar dari kostan pintu cewek, teman Tama memang banyak ada cewek dan ada cowok. Tapi tidak semuanya aku kenal. Anehnya, aku melihat ada cewek yang membawakan kue untuk Tama, senyumannya beda dari cewe-cewe yang lain. Aku masih mengintip dari lantai dua, berusaha agar tidak terlihat, sampai aku melihat Tama yang diceplokin pakai terigu, telor dan lain-lain oleh teman-temannya, sangat ramai memang. Aku memutuskan untuk turun, namun tetap keep quiet agar tidak ketauan.

Setelah turun dari lantai dua pun, ada bapak resepsionis disana yang menatapku. Tanganku berdiri didepan mulutku dan bilang “sshhhh” agar bapak tersebut juga tidak mengeluarkan suara. Aku masih mengintipnya, dari belakang tembok pintu masuk kost cowok. Tapi, kali ini agak aneh. Perempuan yang kubilang memiliki senyuman berbeda itu, tiba-tiba menyodorkan handuk ke Tama dan membantu Tama membersihkan noda-noda terigu dan telor sambil tertawa, diiringi teman-teman mereka yang bersorak “cieee.. cieee” jujur bingung what that means?, siapa perempuan itu. Kenapa teman-teman kostan Tama menyorakinya seperti itu? Kenapa Tama malah tertawa seolah menikmati sorakan mereka? What happened?

Akupun berjalan menghampiri Tama, berdiri Tepat didepannya dan membuat Tama berhenti tertawa. Semua seperti Diam. Bingung. Mungkin dia juga heran kenapa aku bisa sampai didepan kostan nya. Mereka bahkan tidak mengenal siapa aku. Siapa aku dihidup Tama. Aku meninggalkan Tatapan Tajam lalu pergi meninggalkan Tama tanpa berkata apapun. Meskipun aku tau, Tama pasti mengejarku dan mencoba memberhentikanku dengan beribu alasan seperti yang sudah pernah terjadi waktu itu “alma.. al.. ini gak kayak yang kamu pikirin al, anak-anak kostan emang becandanya suka kayak gitu. Alma” begitu perkataan yang keluar dari mulut Tama sambil mengejarku, tapi aku juga semakin kencang berlari. Tidak peduli semua kado dan kue yang kutinggalkan didepan kamar kostannya.

Aku pikir, lariku sangat kencang saat itu saking kesalnya sehingga Tama tidak bisa mengejarku.

Setelah kurasa Tama tidak mengejarku, akhirnya aku memesan ojol lagi untuk kembali pulang ke hotel. Tidak mungkin aku ke hotel dengan berjalan kaki sejauh itu, menyedihkan.

Ribuan telpon dan pesan dari Tama menghantui perjalananku. Tak pernah terbayangkan jika surprise yang serba dadakan ini ternyata membuatku jantungan. Tama memang selalu mengejutkanku, bahkan ketika aku ingin memberikannya kejutan.

Sampai hotel, Kukira air mataku akan habis dan segera berhenti menangis. Tapi salah, nyatanya semakin kencang tangisanku ketika sendirian. Tiba-tiba saja, aku ingat pesan Remi dia bilang aku boleh menghubunginya jika terjadi Apa-apa. Tanpa ragu, aku langsung mengambil handphone ku, namun bukan untuk menghubungi Tama

“Rem” nadaku tidak baik-baik saja setelah Remi mengangkat telponku

“Alma.. lo kenapa? Lo nangis?” Remi terdengar mengkhawatirkanku, aku masih menangis seperti sulit sekali untukku bercerita saat itu

”lo dimana al? Gue samperin lo ya!” Nadanya semakin cemas “share location lo sekarang al! Gue kesana!” tidak berhenti bicara dan akupun tidak berhenti menangis. Aku pikir Remi bercanda akan menghampiriku kesini. Ternyata setelah dia matikan telponnya dan aku mengirimkan lokasi terkini, Remi langsung pergi menghampiriku pukul 8.48 dari Bogor.

Malam itu chat dari Tama tidak berhenti, dalam pesan nya Tama mencoba menjelaskan siapa perempuan itu dan menyesali perbuatannya. Apa yang perlu disesali? Aku yang harusnya menyesal bukan? Sudah membuang-buang waktuku untuk menghampiri Tama, melihat Tama bersama perempuan lain membersihkan pakaiannya dengan mesra? Menurutmu? Apa itu tidak menyakitkan untukku? Pikirku dengan penuh amarah.

Tengah malam pukul 11.58 handphoneku berdering. Aku mengangkatnya karena itu telpon dari Remi “Gue udah didepan, ada Tama disini” begitu ujar Remi, aku sudah merapihkan bajuku dan pergi keluar hotel untuk check out lalu pulang. Sepanjang aku berjalan menuju lobby hotel aku terus bertanya pada diriku, dari mana Tama tau kalau aku ada disini? Sial, aku baru ingat Tama pasti tau dari Edgar.

Aku melihat ada Remi yang berdiri bersama Tama disana, entah apa yang telah mereka obrolin sebelum aku datang “alma, please maafin aku al. Dengerin penjelasanku dulu!” Tama masih memohon, aku hanya menggelengkan kepala “Tiara gak seperti yang kamu pikirin Al” nadanya lirih, matanya pun sembab. Aku sangat kenal mata Tama jika abis menangis. Tapi untuk apa saat itu aku memperdulikannya? “Udah ya Tam, gue mau balik! Gak usah lo ganggu gue lagi” suaraku lemas, selaras melepas tangan Tama “alma please” namun Tama tidak berhenti memohon “biarin Alma tenang dulu bro, mungkin terlalu sakit buat dia” Remi berusaha menjadi penengah untuk keributan kami malam itu. Tama pun mengerti, dia menjauh dariku. Akupun masuk kedalam mobil Remi dan melihat dari kaca spion wajah Tama yang juga sedih melihat kepergian dan kekecewaan yang aku rasakan.

Saat itu mungkin kami sama-sama kecewa, tapi apakah Tama tau kecewa yang aku rasakan lebih dalam daripada miliknya. Mungkin, terdengar simple. Atau bahkan terdengar egois. Mungkin saja wanita itu hanya teman Tama, meskipun sorakan teman-temannya masih terngiang-ngiang sepanjang perjalanan. Sorakan itu seolah menertawakanku.

Setelah Remi masuk kedalam mobilnya, dia menatapku dengan iba. “It’s okay Al” dia menepuk bahuku dengan lembut, aku malah bersandar disana, semakin menangis lagi ketika tepukkan itu berubah menjadi usapan. Lagi-lagi, aku membasahi bahu Remi dengan air mataku “Gue gak expect bakal kayak gini rem” ujarku masih dengan air mata. Ini patah hati pertamaku.

Malam itu, aku memutuskan untuk tidak pulang kerumah. Sepanjang perjalanan, aku hampir tidak berbicara apa-apa, melamun dengan tatapan kosong menatap lampu jalan yang terang Remi mungkin mengerti keadaanku, dia sengaja ikut diam. Suara keroncongan dari perutku memecah kesunyian malam itu, aku ingat baru siomay saja yang berhasil kutelan hari itu “kita berhenti dulu ya di rest area. Gue laper al” disusul dengan suara Remi yang entah benar lapar atau karena dia mendengar suara perutku barusan. Sialnya, aku hanya mengangguk malu.

Rest area malam ini cukup ramai, mungkin karena sudah memasuki waktu liburan sekolah, pikirku begitu. Remi yang mengantri untuk membelikanku makan, aku duduk manis saja dimeja menunggu Remi yang akhirnya datang bersama nampan berisi makanan. Kami menyantapnya dengan lahap. Sehabis makan, Remi merogoh kantong yang ada di jaketnya dan mengambil rokok disana “emang ngerokok enak ya?” Tanyaku “apaansi al, gak ada ya lu ngerokok-ngerokok” ujar Remi kesal “guekan cuma nanya, enak atau enggak” balasku “gaenak” jawab Remi singkat “tadi pas lo di lobby sama Tama, dia ada cerita apa?” Aku mengalihkan pembicaraanku soal rokok tadi, ada hal yang membuatku lebih penasaran dibanding mana yang lebih enak, satu batang rokok. Atau wanita yang sedang dilanda patah hati. “Tama kaget tadi, kok bisa ada gue disana. Yaudah gue ceritain aja, lo nelpon gue. Dan gue khawatir” ujar Remi, masih dengan asap rokok yang dengan bebas mengapung diudara “emang khawatir ya Rem?” Mataku masih sembab kala itu, ntah kenapa suhu tubuhku juga menjadi naik dan demam “ya iyalah, lu temen gue, semalem kita masih ketawa-tawa, lu exited banget mau kasih surprise buat Tama. Terus tiba-tiba nelpon gue nangis-nangis??? Siapa yang gak khawatir al? Ini patah hati pertama lo kan? Kalo tiba-tiba lo nekat gimana? Lokan out of the box banget anaknya” dari nada suaranya, aku yakin Remi benar khawatir. Kalimat itu membuatku tertawa sedikit “out of the box ya rem, gak bego” ujarku tertawa diakhir kalimat, Remi hanya menganggukkan kepala saja “gue bukan belain Tama sih al, tapi mungkin lo cuma salah paham” setelah beberapa detik terdiam, suara Remi terdengar lagi “salah paham gimana? Dia di lap-lap sama tu cewek, temen-temennya pada nyorakin cieee-ciiieee terus gue salah paham??” Nadaku mempraktekan bagaimana kejadian tadi terjadi “ya mungkin aja itu temennya Tama. Cuma temennya yang lain pada iseng aja?? Who knows? Kalo Tama tau lo bakal dateng juga dia gak akan kayak gitu al” Remi memang begitu, selalu memberikan masukkan yang positive “untung gue gak bilang kalo gue mau dateng. Kalo gue bilang, gak akan ketauan tuh ternyata si Tama Friendly ke semua cewek” Remi diam, tapi aku sangat emosi “duakali Rem. Pertama dia nganterin temen sekolahnya pulang pas lagi reouni. Dia gak bilang sama gue, dan kedua hari ini. Dia juga gak bilang sama gue kalo temen cewek dia sebanyak itu. Gue tanya lo deh, temen cewek lo siapa aja selain gue sama Rissa?” Nadaku masih menggebu “yaaa.. banyak sih. Gue friendly sama cewek juga. Tapi gue milih buat gak pacaran” jawab Remi membuatku terdiam “iya juga sih, lo gak pacaran. Gak akan ada juga yang marah atau cemburu sama lo kalo lo deket sama cewek manapun” jawabku, lalu mengalihkan wajah “nah itu” jawab Remi wajahnya tersenyum.

Padahal kalaupun dia ingin memacari cewek satu sekolahan juga bisa. Remi punya Tampang blasteran indo/belanda alisnya tebal bahkan saking tebalnya ada garis halus diantara alis yang saling bersebrangan itu, bulu matanya lentik aku yang cewek aja iri melihatnya, matanya coklat bening dan belo sempurna, kulitnya putih saking putihnya ketika upacara saja wajah dia bisa memerah seketika seperti udang rebus, meskipun dia perokok tapi bibirnya pink kemerahan, Remi juga mempunyai senyum yang lebar dan suara yang berat, apalagi jika dia sudah tertawa giginya terlihat rapih dan bersih. Selain itu, dia juga pinter. Matematikanya juga jago. Harusnya gak ada alasan buat gak pacaran. Tapi sejak patah hati pertamaku, aku banyak belajar dari Remi benar dia bilang. Pacaran tuh buang-buang waktu. Karena pada akhirnya, belum tentu dia yang bersama dipelaminan hingga tua nanti.

“Jadi lo mau pulang kemana?” Remi mengagetkanku yang sedang asik melamun otakku memang seperti itu, selalu memikirkan hal random “gatau, bingung” tatapanku masih kosong “mau tidur di mobil aja? Nanti pagi baru balik?” Aku menatap Remi, “emang boleh?” Tanyaku, Remi mengangguk sambil mengedipkan matanya “sorry ya, gue ngerepotin banget. Lo nanti gue tlaktir deh mau makan dimana?” Niatku hanya becanda kala itu, “dih gue bukan orang yang transaksional gitu al. Santai aja” dia mengusap kepalaku, lebih tepatnya mengacak-acak rambutku. Remi memang selalu seperti itu. “Aah jangan gitu dong. Kusut rambut gue” ujarku kesal.

Kami berjalan lagi menuju tempat dimana mobil kita berhenti, lalu kembali masuk. Membiarkan Ac tetap menyala dengan lagu-lagu yang sengaja diputar “nih lo pake jaket gue. Jadiin selimut biar gak kedinginan” kami sudah didalam mobil saat itu, Remi melepaskan jaketnya untukku “hihi thank you” ujarku kegirangan. Saat itu, aku sangat lelah dan memang butuh tidur. Menangis rupanya melelahkan, seperti aku habis lari marathon saja.

Pagi itu aku dibangunkan dengan sinar mentari yang sangat silau. Agak sedikit gerah, ternyata mobil Remi mati. Aku menengok kearah Remi, licik sekali dia tidur dengan penutup mata. Aku berusaha membangunkan Remi meskipun masih setengah mengantuk “reem.. mobil lo mati reem” menggoyangkan tubuh Remi perlahan, untung dia tipe orang yang gampang dibangunin “hmm. Aki” ujar Remi, rupanya dia masih mengantuk juga “hah aki?” Dia melepas penutup matanya dan segera bangun dari tidur “iya Aki al. Gawat nih aki nya abis” Remi panik, jahatnya aku hanya menertawakannya saat itu. Seolah nyawa Remi langsung kumpul dan segera keluar mobil untuk mengecheck aki nya, aku menyusulnya dari belakang meskipun gak ngerti soal mobil “Aki nya abis?” Tanyaku “iya.. hahhaa” jawab Remi malah tertawa, akupun malah ikut tertawa melihat dia tertawa “semalem niatnya gue mau matiin mobilnya kalo lo udah tidur, terus buka jendela sedikit. Ehhh gue juga ketiduran hahahaha” yaa begitulah sarapan kita dipagi hari. Ada saja yang bikin tertawa, aku bahkan lupa kalau saat itu sedang kecewa. Untung di rest area ada shop and drive. Kami bisa mengganti aki nya disana. Cuma, aku jadi punya hutang budi aja sama Remi. Karena udah mau nolongin ketika aku hampir saja tenggelam.

Benar-benar dua hari yang melelahkan. Capek hati capek fisik. Setelah sarapan bubur, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor “thank you ya rem” ditengah jalan tol yang lumayan sepi karena masih pagi, aku menatap wajah Remi lusuh, matanya berkantung karena kurang tidur, wajah capek karena pulang—pergi menyetir “thank you apaansih al, chill” sesekali Remi menatap wajahku “gue janji, kalo gue udah bisa nyetir. Gantian lo yang bakal gue setirin” senyum Remi melebar setelah ku tepuk bahu sebelah kirinya. Setelah menempuh 1 jam perjalanan dari rest area akhirnya kami sampai didepan rumahku dengan selamat. Sebelum turun tentunya aku berterimakasih ke Remi karena sudah dengan baik hati membantuku “istirahat, gausah mikirin apa-apa. Inget, besok prom night” aku hanya mengangguk dan wajahku semakin cemberut saat itu, baru sadar kalo besok adalah hari perpisahan. Kenapa pas banget setelah aku berpisah dengan Tama? Meskipun aku dan Tama belum officially berpisah sih sebenernya.

Setelah turun dari mobil Remi, aku baru merasakan lelah yang sebenarnya. Didepan Remi mungkin aku bisa pura-pura kuat. Meskipun nyatanya ketika sampai dirumah, aku sangat lemah.

“Are youu okay?” Tanya ibu, menyambutku dengan rasa khawatir yang terpancar diwajah cantiknya aku menggelengkan kepala, that’s mean I’m not okay. “Almaa kamu kenapa sayang? Hey kok nangis gini?” Sesampainya aku dirumah, aku hanya ingin bersandar dipelukkan ibu “kenapa lagi sayang?” Tanya ibuku mengusap punggungku dipenuhi rasa penasaran “aku udahan bu sama Tama” tidak ada respon dari ibuku selain hembusan nafasnya yang panjang dan terus mengusap punggungku sangat lembut, kali ini ibu melepaskan pelukkannya dan menatap wajahku yang sudah dipenuhi airmata sambil bilang “it’s okay. Let it be” lalu menghapus air mata yang sudah berhasil membuat pipiku merah dan basah “kamu cantik, kamu pinter, kamu baik. Apa yang sudah terjadi, Jadikan pelajaran. Kamu wanita, harus lebih selective lagi cari pasangan. Gapapa sedih, gapapa kecewa. Tapi cukup hari ini saja sayang” masih mengusap pipiku, menyisiri rambutku, dan menatapku dengan mata ibu yang ikut berkaca-kaca seolah dia merasakan kecewa yang sama. Satu hal yang akan selalu kuingat dari ibu, saat itu dia bilang “setiap orang, pasti akan melalui massa dimana mereka mengalami sakit hati terhebat dalam hidupnya. Dan nantinya, sudut pandang kamu soal cinta pasti tidak akan sama lagi. Setelah ini semua terjadi, kamu tidak perlu terburu-buru dalam mencari pacar. Biarkan hati dan pikiran kamu juga tenang. Jadi nanti dimassa yang akan datang kamu gak merasakan kekecewaan yang sama berulang kali. Suatu saat nanti kamu akan lahir kembali dengan Alma yang lebih kuat lagi, lebih mandiri lagi dan lebih hebat lagi dari hari ini. Take your time sayang, nikmati dulu masa muda kamu” aku setuju dengan omongan ibu, 1000% sangat setuju. Rasa lelah itu, akhirnya terbayarkan setelah aku mandi pakai air hangat. Seolah rasa kecewaku pun luntur terbasuh air shower yang hangat. Dengan penuh perhatian ibuku membawakan madu yang sudah diseduh dengan air hangat serta buah-buahan. Aku harus tetap bugar sampai hari perpisahan besok.

Meskipun Tama berkali-kali masih menghubungiku, sepertinya aku tidak punya alasan untuk membalasnya. Lebih baik aku mengumpulkan energy ku untuk esok hari, kan? Sudah lelah dengan kekecewaan yang Tama berikan untukku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!