After breakup

Day one.

Hari pertama setelah memutuskan untuk tidak membaca pesan dari Tama. Berbarengan dengan hari perpisahan SMA ku. Mataku masih sedikit sembab, untung saja MUA kenalan ibu berhasil membuat sembab dari mataku tidak terlihat.

Campur aduk rasanya siang itu, sedih karena berpisah kawanan sekolah, exited karena ingin melanjutkan kuliah. aku menghadiri acara pelepasan dan perpisahan dengan memakai kebaya abu sedikit kebiru-biruan serta kain songket milik ibuku. Dengan rambut yang terurai, hari itu aku memutuskan untuk memotong rambutku dengan model Curtains Bangs untung hair styles ibuku sangat handal. Ini adalah poni pertamaku setelah baru kemarin patah hati, orang bilang potong rambut bisa buang sial. But who cares? Of course me! Haha.

Berkali-kali aku bercermin memastikan penampilanku sudah baik hari ini “udah jangan ngaca mulu, kamu udah cantik banget” ujar ibu, yang dari tadi mondar-mandir sibuk sendiri, biasalah ibu-ibu padahal yang punya acara anaknya. Acara perpisahan jam 15.00 WIB. Tapi ayahku memang seperti itu jam 14.30 dia sudah sampai dilokasi. Biasa, takut macet katanya. He’s on time person.

Orangtuaku duduk dibarisan yang isinya orang tua semua. Sedangkan aku duduk bersama teman-teman sekolahku. Rissa, Remi dan Lingga, siapa lagi kalau bukan mereka. Aku senang karena lagi-lagi aku dapet pringkat ke 3, gak usah ditanya Remi yang pringkat 1, dan Lingga yang pringkat 2. Rissa? Dia Sudah pasti Ranking 4. Memang selalu begitu setiap semester. Gurupun sepertinya bosen. Yang paling atas nama kita-kita lagi.

Setelah acara resmi perpisahan bersama Guru dan murid berakhir dengan penuh haru. Anak-anak muda yang lain melaksanakan after party di Villa ini. Sesuai dengan yang sudah direncanakan. “Ayah sama ibu pulang duluan aja yaa, alma mau ada after party sama anak-anak. Nanti pulangnya alma minta jemput pak Rudy” aku berjalan sambil merangkul kedua orang tuaku, “yaudah, jangan malem-malem pulangnya” ujar Ayahku “have fun sayang” lanjut ibuku, mencium keningku. Setelah melambaikan tangan ke mereka. Akupun kembali masuk ke Villa, dengan DJ yang sudah disiapkan, tenang tidak ada alcohol disana. Tapi tidak tau jika ditengah acara Geng Negativities ternyata membuka botolnya.

Sekolah kami memang gitu, kubu-kubuan. Ada kubu negative ada kubu positive. Tapi aku dan teman-temanku tidak berada dikedua kubu tersebut, kami berempat membuat kubu sendiri, yaitu kubu tanpa negative maupun positive, kubu adalah singkatan untuk kami si “kutu buku”.

Melihat teman-teman yang lain dengan asyik joget bersama menikmati lagu yang diputar oleh Dj. Kami berempat dengan santai minum orange juices sambil membicarakan langkah apa selanjutnya setelah sekolah berakhir? “Mau test kemana abis ini?” Tanya Risa dengan suaranya yang keras mencoba lebih kencang dari suara musik agar tetap terdengar “gue mau coba test Di Ui sama IPB dulu deh Ris” jawabku yang tidak mau kalah dengan suara Rissa “lo gimana Rem? Lingg?” Rissa menatap Remi dan Lingga yang malah asyik push rank “gue mau ke Sydney kan Riss gajadi masuk Ui” ditengah keasyikan Lingga ternyata dia masih multitasking untuk menjawab obrolan Rissa “gue gatau gue kayaknya mau ke ITB kalo enggak yaa UGM” sahut Remi juga asyik main game “yaah udah gak ada lagi dong geng kutu buku” wajah rissa berubah jadi sedih, akupin ikut sedih melihatnya “dimanapun kita, suatu hari harus sempetin waktu untuk ketemu yaa” suara Rissa berubah menjadi lirih. “emang lo mau kemana Ris?” Tanya Lingga, menaruh handphone nya dan ikut mengobrol bersama, disusul oleh Remi yang menaruh hp nya juga. “Gue kuliah di singapore kayaknya. Bokap gue nyuruh sekeluarga pindah kesana” wajahnya semakin sedih, akupun merangkulnya. Lingga dan Remi ikut menepuk-nepuk bahu kita.

Kesedihanpun berlalu, disela-sela malam yang semakin ramai, Rissa bertanya padaku soal Tama “Lo gimana al sama Tama? Putus jadinya?” Perhatian dan Rasa ingin tahu Rissa memang gak beda jauh. Tidak berubah sampai sekarang. Namun kala itu aku tidak menjawab pertanyaannya, akupun masih mempertanyakan hal itu “menurut lo, alasan apa yang cocok biar gue gak putus sama Tama? Duakali Ris dia bohongin gue” ujarku sambil minum orange juice dan snack yang sudah disediakan “iya juga sih, gue jadi semakin percaya kalo Tama tuh players” tapi saat itu aku hanya melihat dari sudut pandangku, bukan Tama. “gapapa Al, dont take it seriously. Lo lebih better kalo gak pacaran sama Tama, I guess” Rissa merangkulku, lagi-lagi sedih tapi aku sudah tidak bisa menangis “tenang Al. Cowok didunia ini masih banyak. Ada Remi” ujar Lingga, becandanya memang cringe. Sampai tidak ada yang tertawa dibuatnya.

Betul saja dugaanku After party ini memang ada beberapa orang dari kubu negative yang membawa alcohol dari luar. Mereka nawarin minuman itu dari satu meja ke meja lain. Hingga berhenti dimeja kami “we’re 18 broo. Come on take it! This is legal” ujar Devan salah satu teman sekolah kami dari kubu negative. Aku dan Rissa saling tatap mata kami seolah mengatakan its ok, it just a water. You only life once alma, take it! Remi mengambil jatahnya, dilanjut dengan Lingga. Aku dan Rissa lagi lagi masih saling tatap seolah lo dulu deh Riss, kalo lo ambil gue ambil al. Kami saling tatap, tersenyum, dan mengangguk gesture yang sering dilakukan oleh beberapa pertemanan wanita, lalu pada akhirnya aku dan Rissa ngambil sloki tersebut bersamaan sambil tertawa. “Apaansih lo cewe tau, gaboleh minum-minum” Remi mengambil sloki yang sudah aku dan Rissa ambil tadi “Rem ayolah.. we’re 18” ujarku resah “we lived in indonesia. 21 is legal. 18 tahun belum cukup umur” balas Remi sambil menatapku tegas “terus kalo cowok meskipun belum 21 tahun, boleh gitu?” Tanyaku wajahku agak sedikit maju mendekat ke wajahnya Remi. Kira-kira jaraknya hanya 5cm. Hingga membuat Remi terdiam. “Udah.. udah.. lagian sloki gitu gak akan bikin mabok juga kok. Gausah lebay deh lo rem” ujar Rissa, Remi pun menjauh dari wajahku.

“Udah rem. Once in a lifetime, gapapa biar kita ngerasain sloki alcohol pertama kita bareng-bareng. Suatu hari nanti kita akan ingat hari ini. Perpisahan kita. Cheers” lingga mengangkat slokinya ke udara, berharap kami semua membalas cheers itu. Then we cheers together. Menyengat, tajam menusuk hidungku. Itulah kesan pertama saat aku mencoba minuman itu. Tidak berpengaruh apa-apa, hanya membuatku merasa lebih hangat sedikit.

Malam itu, kami mengobrol tentang banyak hal, soal Rissa yang ingin mengambil jurusan kedokteran, Remi yang mau ambil jurusan MIPA dan Lingga yang mau masuk jurusan psikolog. Aku yang berbeda, ingin mengambil jurusan Seni dan perfilm-an. harapan kita malam itu, agar selalu dipermudah untuk mencapai itu segala hal baik dalam hidup.

Setelah acara selesai, kami memutuskan untuk pulang. Kebetulan saat itu Remi bawa mobil dan bersedia untuk nganterin kita semua sampe rumah masing-masing, aku tidak perlu minta jemput pak Rudy lagi. Karena rumahku yang paling jauh, aku kebagian jadi penumpang terakhir. Setelah Rissa dan Lingga sudah turun dari Mobil, aku pindah untuk duduk didepan tepatnya disamping Remi, sebelum yang lain turun percakapan kita hanya seputar becanda aja. Tapi ketika berdua, kenapa Remi malah jadi lebih serius nanyanya “Tama masih suka hubungin lo?” Aku anggap Remi penasaran, karena dia satu-satunya temanku yang melihatku menangis karena patah hati “masih, males gue jawabnya Rem. Gue mau fokus kuliah aja” aku menatap wajah Remi, dia tertawa tanpa suara “nah! Gitu dong. That’s Alma” nampak senang rupanya. Entah senang karena aku tidak membalas pesan Tama? Atau senang karena aku memilih untuk fokus kuliah? Responnya tidak mengisyaratkan apapun.

Malam itu, harusnya kami sedih karena pasti ketika kuliah bertemu dengan teman yang berbeda lagi, harus adaptasi lagi. Meskipun kita sudah janji dan yakin kalau tidak akan putus kontak tapi tetap saja. Pasti akan ada massa dimana kita saling merindu, massa sekolah yang tidak bisa kita rasakan saat kita sudah kuliah, banyak yang bilang masa SMA itu golden age nya Teenager.

Sebelum akhirnya aku turun dari mobil Remi, dia bilang “sukses terus ya al, we need to keep in touch” ujarnya diakhiri dengan senyum yang lembut dan manis. Aku agak aneh dengan tingkah Remi malam itu, “pasti lah Rem. Lo udah berjasa banget buat gue, thank youu loh” jawabku membalas senyumnya dan turun dari mobil Remi, melambaikan tangan, perpisahan ini belum berakhir.

Setelah sampai kamar, aku bingung selama liburan hal apa yang akan aku lakukan. Saat ini sudah tidak ada lagi Tama dihidupku. Bagaimana aku menghadapi hari-hariku setelah ini? Would I be Happier?

...****************...

Day Two.

Hari kedua setelah perpisahanku dan Tama. Dia masih berusaha menghubungiku akupun masih berusaha untuk tidak membacanya, apalagi membalasnya. Jadwalku hari ini, mau latihan menyetir bersama Pak Rudy. Ibu bilang, aku harus sudah bisa menyetir dan punya SIM. Agar kuliah nanti aku lebih mandiri.

Setelah selesai lari pagi keliling komplek. Akupun langsung belajar nyetir bersama pak Rudy “siap?” Ujar pak Rudy yang duduk disampingku, kali ini sebagai penumpang “siap dong, aku nyalain dulu ya pak” setelah aku berhasil menyalakan nya. Pak rudy menjelaskan tentang Gas. Rem. Tuas Transmisi. Lampu hazard. Semua ambience lainnya. Untungnya aku tipe orang yang mudah mengerti dan mau diajari.

Ussai dia berhasil menjelaskan, akupun langsung mempraktikan. “Nyetir itu harus pakai perasaan neng al” kata-katanya mulai melancholia, “gas itu diinjaknya harus pelan-pelan, pakai hati dan perasaan” ujarnya “karena ketika menyetir, si supir itu bertanggung jawab atas nyawa seseorang” masih berbicara, aku mendengarkan dan tetap fokus “nah kalo ada polisi tidur kayak gini, gas nya lepas pelan-pelan dan kaki kita ganti injak ke arah Rem dan injeknya juga harus pelan-pelan lalu lepas. Naaah smooth banget nih neng alma” pak Rudy memang mendominasi obrolan kala itu “neng, tau gak. Cara menyetir seseorang itu bisa mendeskripsikan kepribadian seseorang juga loh” aku tersenyum “oyaa? Gimana tuh pak?” Tanyaku masih sambil menyetir “biasanya orang kalo baru diajarin ada yang injek gas nya kasar akhirnya mobil ya loncat. Berarti dia gak sabaran dan kasar. Kalo neng alma mah halus, lembut, pelan-pelan berarti neng alma selalu berpikir dulu sebelum bertindak” ujar pak Rudy, sedikit setuju sih karena menggambarkan sifatku yang positive “haha kan emang harus mikir dulu pak kalo mau melakukan sesuatu” jawabku begitu “tapi ada juga neng, yang gak mikir” seketika, omongan pak Rudy mengingatkanku pada seseorang. Siapalagi kalau bukan Tama, harusnya dari awal pas dia mau anterin temen SMP nya dia mikir dulu. Apakah aku akan kecewa? Ah tapi sudahlah, ini bukan soal Tama. Ini tentang skill driving.

“Neng, denger-denger neng Alma baru putus yah sama cowok yang kemarin?” Tiba-tiba pak Rudy kepo soal itu, aku hanya mengangguk saja. Sebetulnya sudah berusaha lupa, lagi-lagi malah diingatkan. “Pas banget kalo neng Alma belajar mobil. Karena belajar mobil tuh ada filosofinya neng” wah apalagi nih, pikirku “neng alma tau gak kenapa kaca mobil depan itu lebih luas dan cuma 1? Sedangkan kaca spion dibikin kecil tapi ada 3 kanan kiri sama ditengah?” Aku menggelengkan kepala, tandanya belum tau “kaca depan lebih besar biar kita bisa lebih fokus melihat ke masa depan sengaja dibikin satu biar kita tetep fokus sama satu tujuan. Dan Kenapa kaca spion kecil tapi ada 3, ngeliat kebelakang itu memang boleh lebih dari satu kali. Tapi jangan keseringan, karena kalo keseringan lihat kebelakang yang ada kita nabrak. Tapi kalo gak pernah liat kebelakang, itu bakal lebih bahaya lagi” dia diam sejenak, menghela nafasnya dengan sabar. Aku fokus menyetir dan mendengarkan “jadi.. pelajaran yang bisa dipetik adalah… kita harus tetap fokus pada satu tujuan. Masa lalu yang sudah dilewati biarkan jadi pembelajaran agar tidak nabrak dan hancur dimasa depan” begitu ujarnya, dengan penuh kebanggaan. Aku hanya tertawa tanpa bersuara “waah hebat pak Rudy. Kereen” ujarku. Yang dikatakan pak Rudy memang benar, aku setuju. Dengan dia berbagi ilmu filosofi drivernya padaku, aku juga jadi punya ilmu banyak tentang kehidupan.

“Pinter neng alma, langsung lancar gini nyetirnya. Mau belajar kemana lagi?” Saat itu, aku ingin sesuatu yang menantang, “langsung puncak ya pak” ujarku, “wah ajib euy. Jalan puncak kan meliuk-liuk” ujarnya mengiyakan ajakkanku. Waktu itu jalanan dipuncak belum sebagus sekarang. Lagi-lagi pak Rudy dengan kata-kata bijaknya “menyetir itu sama seperti menjalani hidup. Kadang kita melewati jalanan yang mulus, kadang berlubang, kadang berbelok-belok, kadang juga naik turun. Tapi menurut neng alma apa yang bisa membuat kita tetap balance menjalani itu semua?” Kali ini dia bertanya, selaras dengan jalanan jelek dan berlubang yang kami lalui “gatau, apa tuh pak?” Tanya ku, memang benar tidak tau “skill, neng alma. Peran kita didunia ini kan mengendalikan kehidupan kita sendiri. Mau naik mau turun mau belok mau jalanan berlubang. Kalau kita punya skill yang hebat untuk melalui itu semua. Dijamin rintangan yang dilewati juga tidak akan terasa berat, bener kan?” aku tersenyum lebar. Tandanya setuju dengan pak Rudy. “Skill yang paling tepat untuk menjalani kehidupan kira-kira apa pak?” Tanyaku, selayaknya anak remaja kala itu yang belum paham banyak soal kehidupan “sabar, ikhlas. Kalo kata orang jawa mah Legowo” Pak Rudy memang tidak salah, selalu mengajarkan hal baik. Wajar jika ayahku mempercayainya. Ayahku, tipe lelaki yang tidak mudah percaya dengan seseorang, tapi dengan Pak Rudy sudah lama bersinergi bersama. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.

Setelah sampai puncak, aku kembali berhenti diwarung yang dulu pernah aku dan Tama singgahi. Kali ini aku berdua dengan Pak Rudy masih duduk ditempat yang sama seperti saat dengan Tama. Lagi-lagi teringat kenangan dalam kenangan yang telah kulalui. Seketika aku ingat kata pak Rudy. Gapapa mengenang masa lalu, asal jangan sampe gak fokus dan bikin kita jadi berantakan sendiri. Begitu kan filosofinya? Hehe.

Hari sudah semakin petang, demi menghindari macet aku memutuskan untuk pulang lewat jalan Tol. Ditengah jalan Tol pak rudy kaget dengan skill menyetir yang aku miliki. Karena disaat sepi aku bisa menyempatkan waktuku untuk upload di social media “aduh neeng alma, kamu baru hari pertama nyetir. Jangan main hape sambil nyetir. Bahaya” nadanya khawatir dan takut “hahaha iya iya.. sekali doang kok pak” jawabku sedikit membantah lalu kembali fokus menyetir “kalo lagi nyetir usahakan selalu tertanam ada orang-orang tersayang yang menunggu kita untuk pulang kerumah. Jadi kita juga akan selalu hati-hati” lagi-lagi berfilosofi. Tapi gapapa, aku suka. Karena dengan pak rudy, selain aku jadi bisa lancar menyetir hingga hari ini, banyak juga pelajaran tentang kehidupan yang akhirnya aku dapatkan. Seperti rasa sabar, rasa ikhlas dan bersyukur.

Aku berhasil melewati hari kedua Tanpa membaca pesan Tama. Selanjutnya, apalagi yang harus aku lakukan?

...****************...

Another day. Until the day.

Hari ketiga, aku berencana untuk mengambil kelas Gym dan Renang selama satu bulan lokasinya tidak jauh dari rumahku. Aku selalu pergi kesana diantar pak Rudy, tapi sejak aku bisa nyetir aku yang menggantikan pekerjaan Pak Rudy. Dia hanya duduk disebelahku, menungguku hingga kelas Gym selesai.

Olahraga itu membuat diriku menjadi lebih segar lagi. Berlari diatas treadmill sama seperti berusaha lari dari kenyataan. Mau sekeras apapun, mau sekencang apapun, tidak akan merubah apapun. Semakin berusaha, hanya membuat dirimu semakin lelah. Membuang waktu. Membuang tenaga. Waktu itu, saking tidak ada kegiatan yang aku lakukan aku sangat bisa seharian penuh berolahraga. Makan disitu, mandi disitu, ibadah disitu. Sampe bosen, sampe capek, bahkan sampe tempatnya tutup. Aku baru pulang kerumah. Jadi tidak heran setelah sibuk olahraga berat badanku turun 10 kg.

Hari ketiga, keempat, kelima, seminggu bahkan sampai duaminggu. Hal yang aku lakukan hanya olahraga, berenang, puasa, dan berulang setiap hari. Membuat diriku menjadi lebih segar, badanku lebih berbentuk, hidupku jadi lebih sehat. Aku berhasil, membuat diriku menjadi versi lebih baik dari sebelumnya. Aku berhasil, melewati duaminggu tanpa membalas apapun soal Tama. Tanpa ada kabar sedikitpun soal dia.

Diminggu kedua aku sudah harus mulai daftar kuliah karena pendaftaran sudah dibuka. Seperti biasa aku daftar ditemani dengan pak Rudy, tapi tetap aku yang menyetir dari bogor ke depok. Saat itu adalah kali pertama aku menyetir keluar kota meskipun jaraknya gak begitu jauh. Setelah sampai di Universitas idaman orang indonesia, aku melihat kearah gedung gedung pencakar langit yang berlomba-lomba siapa yang paling tinggi diantara mereka, jangankan gedungnya sepertinya pola pikir anak-anak ibukota pun sama semua. Berlomba-lomba untuk menjadi paling hebat.

Kampusnya begitu Ramai setiap jurusan punya gedung yang berbeda-beda. Rasanya tidak sabar untuk langsung masuk kuliah.

Langkahku tidak berhenti, terus mencari dimana gedung untuk mahasiswa baru yang ingin melakukan test. Akupun masuk ke gedung itu dan naik ke lantai 4 melalui lift. Di lift tidak ada orang lain selain aku, namun ketika lift sudah terbuka tepat di lantai 4 aku menoleh ke kanan dan kekiri waah sudah banyak sekali manusia disini. Tetapi pandanganku seketika berhenti, pada lelaki yang ada dihadapanku tepat didepanku ketika lift itu terbuka. Lelaki itu memiliki tatapan yang sama saat dia memandangku, kami sama-sama membisu. Badannya tentu lebih tinggi daripada aku membuatku harus sedikit menenggakkan kepala, lelaki Chindo dengan matanya yang sipit, kumis tipis yang membuat senyumnya semakin manis, dia memiliki tahi lalat diarea hidungnya dan freckles tipis dibagian pipi. Tidak terlupakan wajahnya. Kami terdiam ditengah keramaian, seperti lagu Niki - If there’s nothing left berputar diantara keramaian. Yang lain bergerak, namun kami berdua diam saling menatap. Can you guess who is he?

Seperti dalam lagu Niki yang tiba-tiba berhenti rupanya lelaki itu memanggil namaku “Alma..?” Bahkan dia tidak lupa dengan namaku, sama seperti aku yang masih mengingatnya dengan baik “Adam?” Aku mengerutkan alisku, kenapa aku bisa bertemu Adam dikampus yang sama. Yups, Adam adalah pacar pertamaku. Dan tatapan tadi bukan tatapan jatuh cinta, melainkan aku yang surprised karena pertemuan ini sungguh pertemuan diluar dugaan. Bahkan diluar Nalar. Aku sudah lost contact dengan Adam dalam waktu yang cukup lama.

“Lo kuliah disini juga?” Aku anggap itu adalah pertanyaan basa-basi Adam saat itu “iya, lo juga?” Karena jawabanku juga jawaban basa-basi “hu’uh.. jurusan apa al?” Aku masih kaget sebenarnya dengan pertemuan itu “gue FIB dam, how abou you?” Kamipun mulai berjalan sebelahan “gue ambil FEB al” Adam tersenyum, yang membuatku dulu menerima Adam karena dia memiliki kumis tipis dan senyum yang manis. Chindo kinda my type, and he’s hotty chindo that I ever met “Oh okedeh. Sukses ya test nya” akupun membalas senyuman itu, tidak ingin terlalu lama disana karena aku tak pandai basa-basi “eh al.. gue baru ganti hp. Nomer lo ilang, boleh minta nomer lo lagi gak?” Tanya Adam sambil menyodorkan handphone nya, Adam hanya meminta nomorku. Lagi pula, tidak masalah kan jika aku dan Adam berteman? Akupun menuliskan nomor handphoneku di handphone Adam. Sedikit dejavu, dulu Tama sempat menuliskan nomornya dihandphone ku. But still, what is past let be passed.

Sedikit cerita soal Adam. Kenapa wajah dia sangat Chinese, sedangkan namanya Adam. Dulu, dia pernah cerita padaku kalau Papanya seorang Mualaf. Tetapi papanya sangat open minded about what religion that you’ll hold, ketika adam berusia 17 tahun Adam berhak memilih ingin menganut agama apa lalu setelah Adam banyak belajar dia memutuskan untuk mengubah namanya dari Kevin menjadi Adam saat usianya 17 tahun. Aku tidak pernah tau, siapa saja yang sudah pernah diceritakan soal ini oleh Adam. Yang kutau, setelah putus denganku Adam belum pernah memposting fotonya bersama wanita lain. Sampai hari itu kami bertemu, tak pernah terbayangkan akan satu kampus dengannya.

Setelah pertemuan tadi, Adam memang jadi sering menghubungiku. Meskipun aku lama sekali untuk merenspon pesan darinya. Sampai tidak terasa sudah satu bulan lamanya, aku membiarkan pesan dari Tama. Kukira, Tama akan berhenti menghubungiku. Ternyata tidak.

...****************...

Minggu pagi, ketika aku sedang membaca buku dihalaman depan rumahku. Aku merasakan kalau ada seseorang yang terus memandangiku, aku langsung menoleh kearah pagar betul saja dugaanku ada Tama berdiri diluar sana, kehadirannya seperti hantu yang mengejutkanku. Aku dengar infonya, dia memang sedang liburan semester. Tak heran jika tiba-tiba datang. Aku langsung berdiri menghampirinya

“Jangan kesini lagi deh Tam. Aku gak mau ibu liat kamu samperin aku” tatapannya masih sama, detak jantungku pun berdegup lebih cepat ketika tatapan itu menatapku. Tama masih sama ternyata. “Aku cuma mau ngomong sama kamu al. Aku hancur banget. Aku gak bisa” ujarnya, dengan wajah yang menyedihkan “kamu tunggu di coffee shop biasa aja, nanti aku nyusul” aku melihatnya pun iba. Hatiku tak bisa dipungkiri, namun enggan untuk kecewa lagi.

“Siapa al?” Teriak ibu dari dalam rumah, aku memberikan gesture pada Tama agar segera pergi sebelum ibuku datang “orang buu.. nanya alamat” jawabku, berbohong. Dan akhirnya Tama pun pergi. Sesuai janjiku, aku harus menemuinya bukan? Kurasa Mentalku sudah cukup kuat untuk bertemu Tama lagi, seperinya perpisahan kita kemarin belum jelas menurut Tama.

“Buu.. aku pinjam mobil boleh ya? Mau ketemu Rissa” setelah selesai mandi dan rapih, aku baru minta izin ke ibu agar diizinkan “sama.. pak rudy? Kan?” Tanya ibu tatapannya seolah curiga tau kalau aku berbohong “kali ini gak sama pak Rudy ya buu.. girls talk. Drive thru doang soalnya sambil ngobrol-ngobrol. Gak lama kok” ujarku, sedikit merayu. Ibuku hanya mengangguk pasrah.

Ini pertama kalinya, aku menyetir sendirian dan tidak ditemani oleh pak Rudy. Menghampiri Tama, motornya sudah terlihat di parkiran. Ternyata dia sudah mengganti cat tanki motornya dengan warna favorite ku, maroon. Memakai sedikit lipstick dan turun dari mobil, berjalan dengan banyaknya pertanyaan dikepalaku seperti; wajarkan? Ketemu? Pokoknya cuma nyampein kalo gak usah hubungin gue, dan kita pisah baik-baik. Begitu gumamku dalam hati. Setelah menaiki anak tangga, aku melihat lelaki yang sedang duduk sendirian diujung coffee shop ini, dulunya ini adalah tempat kami menghabiskan waktu berjam-jam.

Akupun duduk dihadapannya, menelan ludah saking degdegan dan canggung.

“Rasanya baru kemarin kita ketemu. Tapi udah banyak yang berubah dari diri kamu”. Ujar Tama, yang menatap wajahku dengan detail “oya? Apa?” Tanyaku, basa-basi saja. “Potongan rambut kamu, kamu juga lebih kurusan sekarang” masih dengan menatapku lebih detail lagi “jam tangan yang kembaran sama aku udah gak dipake lagi?” Sedetail itu, sampai dia sadar kalau jam tangannya sudah tidak kupakai. Sedangkan dia masih memakai jam itu ditangannya “kenapasih? Salah ya?” Tanyaku mengerutkan alis “gak salah kok, aku yang salah kan?” Kami terdiam, beberapa detik. Lalu Tama bilang “aku kesini, mau minta maaf. Kalau kamu memang pengen udahan, yaudah. Aku gak mau maksa. Aku cuma pengen kita pisah secara baik-baik. Aku juga capek, nahan rindu yang gak abis-abis” ujarnya, aku masih terdiam. Bahkan sampai minumanku datang “soal Tiara, dia bukan siapa-siapa. Temen kost ku memang kayak gitu kalo becanda. Aku juga punya otak, gak mungkin terlintas dipikiranku buat selingkuh dari kamu” Tama tidak berhenti bicara “tapi pasti kamu menilai dari apa yang kamu lihat kan” aku setuju dengan ucapannya. “Karena kamu udah kecewa dua kali” lanjut Tama dan aku masih setuju meskipun diam. “makannya, aku samperin kamu karena pengen kita udahannya baik-baik. Kita masih bisa temenan, masih bisa saling tanya kabar. At least, kamu anggep aku sebagai temen” Tama masih mendominasi obrolan, bahkan sampai es kopi ku sudah mencair.

“Aku baca surat dari kamu, dan itu pertama kalinya aku nangis. Mungkin kamu nganggepnya aku payah. Tapi, saat itu aku juga hancur al. Aku ngerasain juga gimana rasanya jadi kamu nyamperin aku sendirian, apalagi aku tau kamu gak terbiasa kemana-mana sendirian. Dan yang kamu dapetin malah liat aku sama Tiara” nada tama terdengar lirih namun aku masih terdiam, “Aku sayang sama kamu, sayang sama hubungan kita. Tapi aku juga gak mau egois. Kalo kamu lebih bahagia kita udahan. Yaudah aku gak mau maksa, tapi aku mohon kita pisah baik-baik” ujarnya, kali ini tangannya yang hangat mencoba untuk memegang tanganku, saat itu aku menolak untuk dipegang lalu menatapnya penuh ketakutan.

“There’s Somethings that you should have known. Hubungan itu kita berdua yang jalanin, Tam. Of course I love you, aku rasa apa yang aku lakukan untuk kamu itu udah jadi perjuanganku yang paling dalam ketika menjalin suatu hubungan, I never do stupid things called love. but for you, I did. Wajar jika akhirnya aku kecewa buat kedua kali. Dan aku bukan cewek yang gampang untuk ngasih kesempatan ketiga. Well, let’s just be friend” ujarku, dengan sangat berat hati namun harus kuungkapkan. “Please.. don’t change” Tama kali ini memegang tanganku yang daritadi berada diatas meja. Kali ini kubiarkan dia menggenggamnya, aku hanya mengangguk. Hatiku sedih sebenarnya, itu tandanya besok mungkin Tama sudah tidak memberikanku pesan seperti kemarin-kemari. Kan?

Dengan berat hati, aku meninggalkannya. Bahkan kopi yang kupesan pun tidak sempat ku minum. Aku biarkan es nya mencair dan menyatu dengan pahitnya kopi. Sudah kuduga, pertemuan terakhirku dengan Tama akan mengundang lagi Air mata. Benar saja, sepanjang perjalanan aku memutar lagu Niki - Ocean and engines tak sengaja liriknya mengundang tangis yang begitu hebat. Untung sudah malam, dan jalananpun sepi. walaupun ramai, tidak ada yang sadar aku sudah memutari bundaran patung kuda yang ada di Bogor Nirwana Residence berkali-kali. I know I’ll be alright, someday I’ll be fine. But just not tonight.

Sedang asik-asiknya memutari bundaran patung kuda, sambil mendalami peran sebagai wanita yang sedang patah hati. Tiba-tiba handphone ku berdering. Nampak dilayar handphoneku, dia Remi yang menelpon. Setelah satu bulan kami tidak bertemu. Remi seolah ditakdirkan untuk mengetahui setiap titik terendah dalam hidupku.

“Hah, kenapa rem?” Suaraku sedikit bindeng, maklum si cengeng ini lagi pura-pura kuat.

“Lagi dimana? Gue bosen banget, anak anak susah banget diajak main” kebetulan sekali, Bogor nirwana residence adalah daerah rumah Remi “lo lagi sakit ya al?” Sahut Remi setelah aku telat meresponnya beberapa detik “enggak, gak sakit kok. Eh gue lagi di BNR, deket rumah lo. Gue jemput dirumah lo ya” aku membersihkan tenggorokanku dengan cara berdeham, memastikan kalau suaraku tidak seperti orang yang baru nangis. “Oya? Sama siapa lu? Naik apaan? Sendiri?” Remi saat itu belum tau aku sudah lancar menyetir, bahkan sudah bisa diajak balap bareng. “Udah lo tunggu dirumah, dikit lagi gue sampe” aku menutup telponnya.

Setelah sampai depan rumah, Remi sudah menungguku didepan pagar rumahnya sambil jongkok menggunakan kaos yang aku beri dan celana pendek coklat. Dia tersenyum lebar dan tepuk tangan ketika melihatku menyetir sendirian akupun membuka jendelaku “kaget kan lo?” Ujarku sambil tertawa “waaah.. gila gila gilaaa.. finally ada partner gantian nyetir selain Lingga” masih tertawa seolah bangga, aku menggigit bibir bawahku sambil tersenyum, Remipun naik dan duduk disampingku kali ini

“Asik.. akhirnya disupirin. Udah kemana aja lo selama ini?” Ujar remi setelah masuk kedalam mobilku “paling jauh depok, itupun waktu pendaftaran kuliah. tetep dianter pak Rudy” meski begitu aku bangga, menurutku bisa menyetir adalah achievement yang bisa kucapai pertama kalinya. “Al.. kayaknya kita bakal satu kampus deh” mendengar berita ini, aku kaget dan juga senang. Akhirnya ada teman yang aku kenal selain Adam yang satu kampus denganku “oyaaa? Kenapa lo gak bilang???” Tanyaku kegirangan “iyaa.. nyokap gue biasalah. Gak ngizinin gue kuliah jauh-jauh. Jadinya yaudah, Ui” jawabnya santai. Mata remi berkeliaran menatap mobilku yang penuh dengan sampah tissu “ko banyak tissu sih al? Abis ngapain lo?” Tanya Remi curiga “nangis ya?” Dia menatap mata yang lagi-lagi sembab kali itu “al???” Aku sesekali menoleh kearahnya, tetap harus fokus nyetir kan? “Lo abis ketemu Tama?” Pertanyaannya seolah cenayang, tatapannya tak mau pergi dan terus menatapku seolah abis itu dia akan tau informasi lebih banyak lagi, aku mengangguk dan memasang wajah sedihku, Remi menghela nafas panjangnya. Seolah lelah dengan kisah cintaku yang itu—itu saja. “Dia ngapain lagi?” Remi membuang wajahnya yang tadi menatapku jadi menatap kearah jalan yang ramai oleh starling dan orang-orang yang sedang nongkrong dipinggiran jalan sana.

“Selama sebulan ini. Gue gak bales chat dia rem. Terus tadi dia tiba-tiba nyamperin gue dirumah. Gue usir dia, dan kita janjian di tempat kopi biasa” biasanya Remi tidak mau dengar cerita yang berbau cinta, tapi kali itu dia serius mendengarkanku, akupun jadi tak segan untuk cerita lebih panjang “yaudah akhirnya ketemu kita disana. Selama sebulan ini, kitakan belum officially pisah, dan tadi… kita udah officially pisah. Rasanya pengen nangis aja buat yang terakhir kali” remi masih terdiam,

“gue tadi muterin patung kuda berkali-kali. Terus nangis sambil dengerin lagu Niki-ocean and engine” setelah selesai bercerita, Remi tertawa tepatnya menertawai ceritaku “hahaha muterin patung kuda sambil nangis. Orangmah muterin ka’bah almaaa” yups, aku merasa bodoh karena membuang air mata untuk hal yang tidak penting pada saat itu. Tapi gak bisa bohong, setelah nangis aku merasa lebih lega. “Iyadeh, lo gak pernah patah hati rem. Makannya lo gak bisa ngerasain” jawabku, seketika membuat tawa Remi terhenti “gak gitu al, sorry bukan mau ngetawain lo. Tapi gue iba juga liatnya, gak mau lo terus berlarut dalam kesedihan yang itu-itu lagi” jawaban Remi sangat bijak dan menyentuh. Saat remaja, meskipun cuman ngobrol sambil muter muter dijalan, gak punya tujuan aja rasanya udah seneng banget. Sampe gak kerasa, aku harus pulang.

“Jangan bosen ya al, bakal satu kampus sama gue lagi. Lo tau kan gue gak gampang bertemen sama orang, pasti nanti gue bakal minta temenin lo mulu” ujar Remi sebelum turun dari mobil “yaelah, kaya kesiapa aja lo. Gue juga lagi, gak gampang buat temenan sama orang. Berkabar aja nanti. Minggu depan kita udah MOS nih. Semangaat” jawabku sambil mengangkat tanganku seperti ini 💪🏻 dan Remi hanya tersenyum

“Gue ada rekomendasi lagu, buat nemenin lo pulang kerumah” Remi mengambil handphone ku yang daritadi memang connect ke bluetooth dan sedang memutar lagu di spotify, Remi langsung memutarkan lagu wave to earth - Seasons tidak heran, tampang Remi memang sangar, manly banget. Tapi selera lagu dia lagu-lagu sendu. Maklum, zodiac Leo memang begitu. Setelah lagunya berputar, Remi menatapku beberapa detik setelah lagunya berhasil diputar. Lalu turun dari mobilku.

Perjalanan pulangku, ditemani rekomendasi lagu dari Remi. Setelah kudengarkan lagunya, dan memahami makna dari liriknya, ternyata deep banget. Jarang sekali Remi memberikan rekomendasi playlist lagunya padaku.

Aku suka lirik pada bagian;

I can't be your love

'Cause I'm afraid I'll ruin your life

While the leaves withered away

And grew again

You have gone far away

I'll be pushing up daisies

And bring all the chances to here

Aku merasakan kalau Remi memang selalu ada untukku, dalam kondisi terpuruku. Bahkan sampai detik ini. Jadi siapa menurutmu? Remi? Adam? Atau adakah karakter lelaki lain yang akhirnya mengubah cara pandangku soal cinta? Karena sudah pasti jawabannya bukan Tama.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!