The in Between.

Sabtu.

Setelah dua hari tidak bertemu. Dihari sabtu ini, adalah hari terakhir kami menikmati liburan berdua. Hari itu tidak ada yang istimewa. Siang itu Tama mengajakku pergi ketempat Kopi favorite nya.

Kami memang betah berdiam lama ditempat yang sama. Berbincang, bertukar pikiran, bercanda. Dan main game. Saat Tama meninggalkan ku sendirian dimeja bersama ponselnya, tiba-tiba saja aku melihat notif pesan masuk dari Handphone Tama dengan nomor yang tidak dikenal.

+628****** : Tam, ini nomerku. Save ya -Anjani

Anjani? Namanya baru terdengar ditelingaku. Tangan ku keringat dingin setelah membaca pesan itu. Berusaha meyakinkan diriku kalau perempuan itu bukan siapa-siapa. Namun sulit rasanya, otakku berpikir terlalu jauh. Apakah ini artinya perang kedua dimulai?

Tama kembali duduk dari kamar mandi dengan wajahnya yang masih sama. Dia mungkin tidak tau, kalau aku sebenarnya ada hal baru yang aku ketahui. Ketika Tama duduk dan mengambil ponselnya, dia langsung menatapku dan menyadari kalau sikapku berbeda “Alma, kamu kenapa?” Tanya Tama sembari menghampiri wajahnya kehadapanku “Anjani?” Tanyaku, dengan nada yang tegas dan Lantang. Saat itu aku emosi, segera berdiri dan berjalan keluar berniat ingin pulang.

“Alma tunggu, kamu salah paham” Tama berusaha memberhentikan langkahku “yaudah, coba bales sms nya depan aku” kamipun kembali keposisi awal, “oke.. oke..” Tama duduk, dan aku kembali duduk dihadapannya. Handphone nya lebih condong kearahku “aku harus bales apa?” Tanya Tama kebingungan “how she get your number?” Aku bertanya dengah wajahku yang sedikit sinis dan tegas “aku gak tau dia dapet nomerku dari mana” jawab Tama sedikit panik “yaudah tanya” nadaku santai namun sangat serius.

Tama : dapet nomer gw dari mana?

Begitu bunyi pesan yang dibalas Tama ke perempuan bernama Anjani itu. Cukup lama kami menunggu jawaban dari Anjani, kami berdua diam tidak ada diantara kamipun yang bicara. Sampai akhirnya, Anjani membalas pesan Tama 20menit kemudian

+628****** : dari grup SD, by the way makasih ya udh anter gue pulang waktu itu. Sorry baru sempet chat lo sekarang.

Suasana seketika berubah menjadi semakin panas, “kamu gak bilang Tam kalo kamu nganter dia? Kapan?” Nadaku mulai gemetar, kali pertama aku dibuat kecewa “Alma, please jangan marah dulu. Aku bisa jelasin” rasanya apapun yang keluar dari mulut Tama, aku tidak mau dengar. Yang aku rasakan sore itu, aku hanya ingin pulang.

“Oke. Let me go home, Tam” suaraku lirih menahan rasa sakit dan tangis, saat itu Tama masih menuntunku. Hingga masuk kedalam mobilnya, sepanjang perjalanan pandanganku kosong kearah jalan. Sampai akhirnya suara Tama memecah keheningan “al, aku anterin Anjani karena waktu itu posisinya udah malem banget dan rumah kita searah. Udah itu aja. Tolong, besok aku udah mau pergi lagi ke bandung. Jangan bikin aku kepikiran” mendengar kalimat yang dia lontarkan membuat hatiku semakin sakit, perasaan ini bukan hanya soal Tama. Hubungan ini bukan cuma punya dia, jika dia bisa memikirkan dirinya, bagaimana dengan perasaanku? Bagaimana dengan ujian praktik ku? pikirku.

“Jangan kayak gini dong Alma, jangan diemin aku. Ngomong!” Nadanya naik satu tingkat lebih tinggi. Aku membiarkan Tama terus berbicara

“Lo tuh egois Tam! Hubungan ini bukan cuma punya Lo! Lo inget gimana sikap lo waktu tau gue ditugasin nyari Vila sama Remi? Lo pikir deh! Siapa yang lebih sakit! Lo anterin Anjani pulang, lo gak bilang ke gue. Dan sekarang menurut lo gue yang salah karena udah ngediemin lo? What the fuck!” Ingin sekali aku teriak balik, aku ungkapkan semua kalimat diatas itu. Tapi sebaiknya, aku simpan itu untuk nanti saja.

“Bisa gak gausah ngomong terus?” Hanya ini yang mampu aku ucapkan. Tatapanku tegas menatapnya. “Aku minta maaf” ujar Tama, aku masih menatapnya namun seperti tuli. Lalu kembali diam. “Yang aku penasaran, temen-temen kamu tau gak sih kalo kamu punya pacar?” Kali ini pertanyaanku serius “taulah Al, udah jelas-jelas di social mediaku juga isinya kamu semua. Photo profile ku juga isinya kamu banget Al” jawab Tama dengan santai “kamu bisa gaksih gak usah terlalu baik, gak usah terlalu ramah sama cewek?” Tanyaku tetap dingin “aku bukan tipe cowok seperti itu juga al. Tapi aku punya adik perempuan, gak mungkin aku biarin perempuan pulang sendiri jam 2 pagi” lanjut Tama “salah perempuan itu sendiri, ngapain main sampe jam 2 pagi. Gak usah jadi pahlawan kesiangan Tam, jaman sekarang banyak ojol kok” aku belum mau menatap Tama kali ini. Pandanganku masih kosong kearah jalan.

“Iya aku tau aku salah, makannya aku minta maaf” kali itu aku berani menatapnya lagi, namun tetap saja dadaku masih sesak. Rasa kecewa itu semakin mencekik diriku. “Bisa gak sih kamu gak perlu terlalu baik sama cewe lain? Ya aku tau mungkin niat kamu baik, tapi kalo ceweknya anggep hal itu serius gimana? Kamu mikir gak sih perasaan aku?” Tanyaku, membuat Tama tidak bisa berkutik. “Terus, apa susahnya sih kabarin aku, bilang kalo kamu mau anter temen kamu dulu. Kenapa gak ngabarin? Kamu gak ngabarin tuh sama aja kayak kamu berusaha nutupin sesuatu dari aku Tam” aku menghela nafas panjang. Saking sesak dadaku dibuat sakit untuk pertama kalinya.

“Yaudah kalo kamu mau block nomernya, block aja. Aku gak mau kehilangan kamu. Aku gak mau kamu marah. Besok aku ke bandung al, tolong jangan kayak gini” aku menatapnya, lagi-lagi bandung dijadikan alasan “kamu yang bikin kayak gini Tam!” Sentakku. Lalu membuang muka kembali ke pandangan kosong menatapi jalan. Suara hembusan nafas Tama terdengar seperti sebuah penyesalan. Sudah sampai depan rumah, tanpa pamit aku langsung keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke rumah. Tama tidak mengejarku, dia mungkin bingung harus berbuat apa. sedangkan aku berjalan cepat menuju kamar dengan wajahku yang dari tadi menahan air mata agar tidak meluber kemana-mana.

“Alma.. kamu kenapa sayang?” Ibuku mungkin heran, kenapa sore itu aku tidak menjawab pertanyaannya, kenapa sore itu aku langsung berlari kearah kamar dan menguncinya. “Alma are you okay?” Teriak ibu dari luar pintu kamarku “i’m fine mam, just tired” teriakku dari dalam kamar.

Actually, im not fine. “Ok, take your time sayang”

Jika ibu sudah bilang begitu, biasanya dia tau kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Dia memberikan waktu untukku menangis seharian didalam kamar. Beberapa kali Tama mencoba menghubungiku, namun sengaja aku tidak ingin menggubrisnya kali itu. Aku hanya tidak ingin merasakan rasa sakit karena terlalu dalam mencinta. Benar kata Ayah, apapun itu aku harus terima kepahitan yang terjadi.

Ponselku berdering lagi, kali ini Rissa yang menghubungiku. Tak bisa dipungkiri saat itu aku memang butuh sekali Rissa ada disampingku “almaaa ya ampun! Susah banget lo dihubungin. Where are you?” Suara panik khas Rissa memang selalu terekam dengan baik dikepalaku

“gue dirumah” jawabku lemes karena menangis berjam-jam membuatku lelah

“Loooh, gue kira lo malem mingguan sama Tama” entah itu pertanyaan atau ungkapan “yaudah gue tau lo lagi kenapa, gue di coffee shop deket rumah lu nih, sama Remi sama Lingga juga” sejujurnya aku sedang tidak ingin pergi kemana-mana, tapi aku sangat butuh sekali gengges ku kala itu. Melihat kearah jam dinding yang ternyata masih jam 7.35 tanpa ragu akupun langsung menghampiri mereka.

Setelah berjam-jam mengurung diri didalam kamar aku keluar dengan sedikit mataku yang sembab, tentunya jadi pertanyaan baru untuk Ibu “kamu kenapa alma?” Dia terlihat mengkerutkan dahinya dan khawatir “gapapa bu.. Alma mau samperin Rissa di tempat kopi depan boleh yaa bu” kali ini aku sedikit merayunya “kamu izin sama ayah sana” namun ibuku tidak bisa berbuat apa-apa. “Ketemu Rissa? Boleh sayang, diantar pak Rudy ya” ujar Ayahku yang sedang berada diluar namun nadanya sampai dalam “deket loh yaah didepan doang. Di coffee shop depan perumahan” jawabku berusaha untuk tidak diantar pak Rudy “ya gapapa, Pak Rudy drop seperti biasa” akupun mengalah, demi tetap bisa bertemu gengges.

Setelah turun dari mobil, aku masuk kedalam coffee shop yang disana sudah ada Remi, Rissa dan Lingga. Aku langsung duduk bergabung dengan mereka.

“Lo kenapa al? Abis nangis lo ya?” Begitu teriak Rissa setelah melihat kondisi wajahku yang sedikit sendu. “Tuh kan udah gue bilangin jangan pacaran sama anak motor” Perkataan Lingga menyambar seperti petir “eh gua juga anak motor! Gak semua anak motor kayak gitu” sahut Remi. “Cyaa belain Tama” ledek Lingga “gue gak belain Tama, gue belain anak motornya!” Sentak Remi sambil menyenggol bahu Lingga.

Sedangkan aku masih terdiam belum ingin bercerita “cerita dong al. Jangan bikin gue berasumsi kalo Tama selingkuh dari lo????!!!” Aku masih terdiam mendengar perkataannya Rissa “bener al?” Sebetulnya saat itu aku hanya sedang mengumpulkan nyaliku untuk bicara.

“Sabar Riss, kejadiannya masih anget banget. Baru tadi siang” ujarku, seraya dengan sampainya Red velvet pesananku “lo diapain?” Menurutku Remi hanya penasaran saja kala itu. Tapi Rissa dan Lingga malah kaget dengan ekspresi Remi yang terlihat khawatir. Remi biasanya bodo amatan soal apapun, apalagi cinta-cintaan.

Long story short, aku langsung menceritakan kejadian yang baru saja aku alami dengan Tama siang tadi kemereka secara detail. “Lo yakin? Dia reouni SD ramean? Gak berduaan ama tu cewek doang kan?” Pertanyaan Rissa harusnya menjadi sebuah pertanyaan juga untukku, kenapa aku tidak kepikiran sejauh itu. “Kalo emang rame-rame reouni nya. Kenapa dia gak angkat telpon lo? Sekarang gue tanya sama lo al, kalo lo lagi sama kita main, atau istirahat sekolah. Lo angkat telpon dari Tama gak?” Sial, apa yang diutarakan Rissa ada benarnya. “Iya juga,” semakin takut aku menerima kenyataan “almaa.. almaa.. gue udah bilangin pokoknya ke lo. Cowok yang gak buaya cuman gua sama Remi doang” lagi lagi Lingga sambil membakar rokoknya “kata siapa, gua buaya dong. Buaya kan setia” Remi pun membalasnya, tentu sambil membakar rokok yang sama “iyee buaya darat maksud gue. Ah elah”

“Terus? Lo mau gimana Al?” Rissa memang selalu serius dengan pertanyaannya, “gatau Riss, I have no idea” sedang asik berbincang dengan kawananku, handphone ku bergetar, siapa lagi kalau bukan Tama orangnya yang menelponku dan memohon untuk dimaafkan. “Angkat aja al, lo gak boleh sama kayak dia!” Tegas Rissa, aku mengangguk. tanpa ragu aku langsung mengangkatnya

“Alma.. aku mau pulang ke bandung loh ini” begitu ujarnya setelah kuangkat

“terus?” I mean, so whatt?

“Ya tolong jangan kayak gini”

“rame banget, lagi dimana kamu?” Tama sadar ternyata, aku sedang tidak dirumah

“di coffee shop deket rumah” jawabku singkat

“sama siapa?” Suaranya mulai berubah

“sama temen-temenku lah, bukan kamu doang kan yang boleh punya temen disini?” Nadaku sedikit tinggi. “Yaudah. Aku kesana!” Tama mematikan telponnya, lalu timbul pertanyaan baru dari Rissa

“Apa katanya?” Rissa sudah seperti Love Advisor untukku “dia mau kesini, gue bingung kalo dia disini apalagi yang harus gue bahas?” Pertanyaanku terutama untuk Rissa karena dua sahabat lelakiku kurang memperdulikan kisah cinta. “Dia kesini juga paling cuma minta dimaafin al” she’s right.

Tidak lama setelahnya, Tama datang dengan kaos hijau garis-garis, aku tidak bisa melihat kebahagiaan diwajahnya kala itu. Tama menghampiri mejaku yang berisi teman-teman sekolahku. Tatapannya sangat tajam saat menatap Remi. Untungnya Remi biasa saja, tidak menganggap itu serius. “Diluar yuk, aku pengen kita ngobrol. Gak didepan temen-temen kamu” ujar Tama mengambil tanganku, dia masih menuntunku, tangannya hangat. Cuaca diluar rupanya lebih dingin, karena tadi baru saja hujan. Langsung saja, apa yang ingin dikatakan Tama

“Aku gak bisa ninggalin kamu kalo kamu masih kayak gini” kalimat Tama mengundang kesunyian setelahnya “Al.. kamu ngapain sih ketemu Remi segala?” Kali ini Tama dengan pertanyaannya yang lain. Wajahku menatapnya dengan aneh “Tam?? Are youu serious with that question?” Tanyaku “kenapa harus ada Remi?” Nada Tama lumayan tinggi “sebelum aku kenal kamu juga Remi udah jadi temen aku. Yang harus dirubah tuh pertemanan kamu sama anjani. Bukan aku sama Remi” aku kembali masuk lagi kedalam Coffee shop, yang aku sesalkan adalah kenapa Tama malah membahas hal lain yang bukan masalah utama dari pertengkaran kita? Dia malah seolah mencari masalah baru agar masalah miliknya terlupakan.

“Dia nunggu lo tuh kayaknya” ujar Rissa sambil melihat kearah luar “biarin aja deh, gue juga baliknya mau sama pak Rudy” wajahku muram sekali saat itu “dia bilang apa tadi?” Rissa nampaknya penasaran “biasalah begging. Cowok kalo udah ketauan salah kan gitu” aku kembali minum redvelvet yang hampir setengah habis.

Sudah hampir jam 9. Tama kembali masuk untuk menghampiriku “ayo pulang” dia tiba-tiba menarik tanganku “ish! Apaan sih, kalopun pulang juga aku dijemput pak Rudy” jawabku dan merebut tanganku kembali “aku anter!” Tama memaksa, teman-temanku tercengang melihat pertengkaran kami “gausah paksa alma lah bro, biarin dia pulang sama pak Rudy. Lebih aman juga. Daripada sama lo dengan kondisi emosi yang lagi gak stabil gini” tiba-tiba suara Remi terdengar diantara kita “yaudah, kalo mau kamu kayak gitu al” sebelum akhirnya Tama pergi, dia meninggalkan tatapan penuh kebencian pada Remi yang tidak tau apaapa.

Akupun pulang dengan aman, dijemput oleh pak Rudy sepanjang perjalanan mataku sedikit sendu akibat lagu yang kuputar sendiri. Dengan pesan Tama yang masih belum mau aku balas “neng, kunaon atuh cembetut wae?” Pak Rudy bertanya, mungkin menurut dia sikapku tidak seperti biasa. “Gapapa pak” jawabku lirih, tidak ingin menatapnya. Masih dengan pandangan kosong yang sama.

Tama : mau sampe kapan kamu begini? Besok aku pulang ke Bandung. Aku cuma mau tegasin lagi ke kamu. Kalo aku sama Anjani gak ada apa-apa. Aku gak mau juga sama cewek lain selain kamu. Maaf, aku udah bikin perpisahan kita jadi gak berkesan juga. Tapi aku yakin kamu bakal kangen kalo aku udah gak disini. Inget ya Al, aku cuma sayang sama kamu.

Remember that a relationship goes through different phases. Terkadang, aku dan Tama diselimuti kebahagiaan yang menggebu, kekhawatiran yang deras, keresahan yang menyebalkan. Dan mungkin, saat ini aku sedang berada diantara Fase haruskah lanjut dan menerima rasa sakit itu. Ataukah menyerah, dan mulai rasa sakit yang baru? Begitu bukan? Perjalanan cintaku masih panjang. Tidak sekedar berhenti disini.

Aku berjalan kearah kamar dengan kondisi tubuhku yang mulai lemas. Baru kali itu aku merasakan dampak dari kekecewaan yang sangat dalam. Setelah aku menutup pintu, tiba-tiba ada suara ketukkan dari luar “ibu boleh masuk gak?” Ternyata ibuku dari luar sana “iya buu..” jawabku yang sudah duduk di kasur. “Hari ini banyak sekali pertanyaan dikepala ibu, tapi sepertinya hanya kamu yang bisa jawab. Anak ibu satu-satunya hari ini mukanya gelisah sekali. Kira-kira dia lagi kenapa? Ibu khawatir” ujarnya lembut, sambil mengusap rambutku. Lalu aku menatapnya, tak tertahankan lagi airmataku menetes saat itu.

“Tama ya?” Tebakkan ibu kali ini benar “kenapa sayang?” Ibu bertanya lagi, seolah meyakinkanku kalau dia benar khawatir. “Buu.. memang wajar ya jatuh cinta sesakit ini?” Tanyaku masih dengan mata yang berlinang “seharusnya sih enggak ya, hanya saja.. ketika kamu sudah melalui fase-fase tertentu ada kala nya kamu merasakan rasa sakit terdalam. Dan rasa sakit itu, cuma kamu yang bisa tentukan. Lebih sakit mana, kehilangan Tama, atau dikecewakan oleh Tama” ini kali pertamaku untuk terbuka tentang pasangan pada ibu. Biasanya, aku tidak pernah menceritakan apapun selain tugas sekolah.

“Memang apa masalahnya?” Ibu berusaha menggali lagi apa permasalahanku dan Tama “ada cewek lain yang chat Tama. Cewek itu bilang makasih karena Tama udah anterin dia pulang. Pas alma Tanya kenapa Tama mau nganter dia pulang, Tama bilang kalo dia gak tega liat cewek pulang sendiri malem-malem” akupun dengan luwes menceritakan masalah itu ke ibu “itu tandanya, kamu cemburu. Sebenarnya Tama tidak sepenuhnya salah, itukan bentuk kalo dia punya sifat peduli terhadap wanita, mungkin karena dia pun sadar ibunya dia wanita, dia punya adik wanita, dia juga sedang mencintai wanita saat ini. Menurut ibu sih, Tama tidak sepenuhnya salah. Selama, dia tidak berbuat hal yang melebihi batas wajar. Selingkuh dari kamu misalnya” tenang sekali rasanya jika ibu sudah bicara “tapi Tama gak bilang ke aku kalo dia nganterin cewek lain” ujarku, masih sedikit kesal “mungkin Tama awalnya berpikir kalau itu bukan hal yang harus dipermasalahkan. Jadi dia biarkan hal itu mengalir, sampai akhirnya kamu sendiri yang tau kalo cewek itu chat ke Tama kan? Selama Tama gak mulai dan gak ngeladenin cewek itu. Menurut ibu, apa yang dilakukan Tama sudah benar. Dia juga sudah mengakui kesalahannya, sudah minta maaf juga sama Alma. Apalagi yang harus disesali?” Pertanyaan ibu memang membuatku benar-benar berpikir malam itu. “Sekarang ibu mau tau, lebih sakit mana? Kamu kehilangan Tama, atau berusaha ikhlas menerima kesalah pahaman yang sebenarnya Tama sendiri gak ada niat untuk nyakitin kamu?” Yap, kini aku percaya ibuku lebih berpengalaman soal cinta dan kehidupan.

“Kamu ingat lagi, apa yang sudah Tama korbankan untuk kamu. Apa mungkin dia nyakitin kamu sesimple itu? Rugi sih kalo menurut ibu, apalagi anak ibu cantik, pinter, baik hati dan tidak sombong” pelukkan ibu menghangatkanku malam itu. Benar, aku mungkin akan lebih sakit jika kehilangan Tama. “Aku gengsi deh kalo chat Tama duluan” ujarku setelahnya “yaudah nanti ibu bilang Tama untuk chat kamu, sebenernya Tama daritadi chat ibu. Dia khawatir sama kamu tau” bisa-bisanya Tama merayu ibuku “yaudah, sekarang kamu tidur, istirahat. dia besok mau kembali ke Bandung kan? Kamu anter dia gih, kasian. Biar dia semangat kuliahnya” ibupun berdiri dari duduknya, mencium keningku dan membiarkanku sendiri dikamar.

Malam itu setelah ibu benar-benar keluar dari kamarku, aku sangat berpikir. Aku tidak ingin hubunganku dan Tama berakhir sia-sia. Akupun memberanikan diri untuk membalas pesannya seperti ;

Alma : besok kamu berangkat jam berapa? Naik apa?

Tidak lama setelah pesan itu terkirim, Tama menelponku. “Aku tau kamu pasti gak bisa lama-lama ngediemin aku. Aku aja kangen al” suaranya lirih, ini sebenarnya aku atau Tama sih yang salah. Kenapa aku jadi merasa bersalah kala itu “yaudah, maaf aku terlalu berlebihan” ujarku pasrah “nggak kok, aku yang terlalu berlebihan ngasih perhatian ke cewek lain. Maaf kalo itu nyakitin kamu. Aku janji, gak akan aku ulangi lagi” kalimat Tama seperti penenang.

Sulit memang jika rasa sayangnya sudah berlebihan, semua hal akan terlihat seolah berlebihan juga. Cemburunya, khawatirnya, marahnya. Because there is connected. “Aku tadinya mau pulang hari senin, terus izin buat gausah ngampus ke bunda. Tapi bunda nyaranin buat aku naik travel besok jam 10 malem. Biar paginya, aku bisa samperin kamu dulu. Aku punya satu hadiah lagi buat kamu, karena kemarin anniversary aku belum sempet kasih hadiah kekamu” aku sadar ketika aku mencoba untuk tidak menghubungi Tama, ternyata aku yang sedang menyakiti diriku sendiri, dengan menahan rindu yang sudah berlebihan ini. Mana bisa aku menjalani hidup Tanpa orang seperti Tama. Saat aku sedang marah saja dia masih berpikir bagaimana untuk terus bisa bertemu denganku esok hari. “Duh mepet banget dong paginya langsung berangkat kuliah? Gapapa kamu ke bandung aja. Nanti kalo libur kan bisa kesini lagi. Bandung deket kan kamu bilang” ujarku, sebenarnya dari hati terdalam pengennya Tama tetap disini “gabisa, aku udah beli Tiket konser Maliq & The essential buat besok nonton bareng sama kamu. Kamu maukan?” Hadiah yang Tama berikan padaku memang selalu membuatku terkesan. Maliq & the essential memang selalu berhasil membuat anak remaja kala itu dimabuk asmara oleh lirik didalamnya.

...****************...

Minggu.

Esok paginya, Tama sudah siap didepan rumahku duduk manis menunggu. Dengan dandananku ala-ala konser coachella menggunakan kaos body fit warna ungu dan celana cutbray warna putih. Rambutku di curly tipis dengan sticker shimmer yang sengaja aku tempel di area mataku. “Cantik banget sih” ujar Tama tersenyum menatapku. Kamipun pamit ke Ayah dan Ibu untuk nonton konser jam 10 pagi ini ke jakarta. Untungnya saja ayahku tidak bikin drama untuk melarangku pergi hari itu.

Aku dibuat senang oleh Tama yang ikut menyanyikan lagu Maliq & the essential - Dia lagilagi tangan Tama tidak mau lepas dari genggamanku, sesekali dia mencium tanganku dan merangkulku dengan mesra, kami bahagia, melompat bersama, tertawa. Apalagi ketika lagu Maliq & the essential - Pilihanku diputar. Tama hampir tidak memejamkan matanya padaku, dia terus memandangiku dan bernyanyi bersama, sesekali tertawa tanpa suara.

“Izinkan aku, memilikimu. Mengasihimu. Menjagamu. Menyayangimu. Memberi cinta. Memberi semua yang engkau inginkan! Selama aku mampu aku akan, Berusaha. Mewujudkan semua impian dan harapan tuk menjadi kenyataan” pada lirik bagian ini Tama menatapku, mengusap pipiku dan memberikan kecupan mesra dibibirku. Detak jantungku kembali berirama, aku yakin hanya Tama yang mampu membuatku seperti itu.

Acara musiknya sudah selesai namun sepanjang perjalanan Tama jadi terus mendengarkan lagu Maliq & the essential - pilihanku masih dengan menggenggam tanganku dan mengecupnya berkali-kali. Aku kira, hari itu Tama akan mengantarkanku kerumah. Ternyata tidak, Tama membawaku untuk datang kerumahnya “tam inikan arah kerumah kamu” ujarku setelah baru sadar memasuki gapura perumahan Tama “iya, aku mau ngenalin kamu ke Bunda” aku sedikit terkejut. Ini pertama kalinya Tama membawaku kerumah dia, tanpa persiapan apalagi buah tangan. Pakaian ku masih pakaian konser. “Serius? Dandanan aku kayak gini Tam” ujarku setengah panik “ya gapapa. Bundaku juga waktu muda kayak kamu koo dandanannya” jawab Tama menyetir dengan santai sedangkan aku panik karena sudah sampai depan rumahnya.

Pikiranku, apakah Bundanya Tama akan menerimaku? Aku khawatir, dia galak tidak ya.. namun kusimpan saja pikiranku dan menghadapi kenyataan. Setelah Tama memarkirian mobilnya, kamipun berjalan masuk kerumahnya, Tama menggenggam tanganku erat sekali “tenang aja Al” ujarnya meyakinkanku kalau semua baik-baik saja

“Assalamualaikum” teriak Tama dari luar. Lalu tidak lama setelahnya, keluarlah seorang perempuan dengan rambut pendeknya memakai kaos Band Rock AC/DC dan celana cargo pendek. Bundanya Tama ternyata sangat santai “eehh anak Bunda udah pulang” aku menelan ludahku. Ketika Bunda Tama menatapku, Tubuhku bergetar hebat, namun berusaha santai. Bunda Tama tersenyum padaku “pasti ini Alma, yang kemaren bikin Tama jadi gak mau pulang” dia tersenyum sambil menunjuk kearahku. Aku tersenyum malu-malu “Tama banyak cerita soal kamu” tanpa basa basi Bunda Tama langsung merangkulku“Oya? Cerita apa aja tante?” Aku berusaha menanggapi percakapan Bunda, meskipun sedikit canggung.

“Banyaakk.. katanya kamu penggemar Led Zeppelin, katanya suara kamh mirip Raisa” wajahku merona, mana ada suaraku mirip Raisa meskipun sering Tama bilang begitu. Aku duduk berdua dengan Bunda sedangkan Tama sibuk menyiapkan minuman untukku “jangan panggil Tante dong, panggil Bunda aja” aku mengangguk dan tersenyum, ternyata Bunda Tama sangat welcome.

“Diminum al, ini es jeruk. Tapi gak manis. Soalnya yang manis cuma kamu” Tama datang membawa es jeruk yang dibuatnya. Kali ini aku baru mendengan Tama dengan rayuannya “idih.. kok kamu mau sih al, sama cowok tukang gombal kayak Tama” ujar bunda, sambil tertawa dan meninggalkan kami berdua “Haha Tama juga baru Bun ngegombalin cewek. Ke Alma doang” Tama menatapku lagi akupun tersenyum. Ntahlah saat itu aku tidak banyak bicara. “Jangan lupa prepare, jam 9.30 travelnya datang” teriak bunda dari kejauhan. “Aku pulangnya dijemput pak Rudy aja ya Tam. Biar kamu gak usah anter aku, gapapa kok” ujarku, sengaja ingin membiarkan Tama bersiap-siap “kamu dianter pulang sama Bunda aja al” jawaban Tama cukup mengagetkanku “iya sayang, kamu pulang sama bunda aja yaa” teriak bunda lagi dari kejauhan, rupanya dia mendengar obrolanku dan Tama. Aku menatap kearah Tama yang sedang tertawa lagi-lagi tanpa suara. Sebetulnya aku canggung, dan bingung harus ngapain.

Waktupun berlalu, sebentar lagi Tama kembali ke Bandung. Memang deket sih, tapi rindu. “LDR itu memang cobaannya banyak ya al” begitu ujar Bunda menemaniku menunggu Tama yang sedang prepare barang bawaannya “iya bener bun” jawabku “makannya jangan sesekali kamu ikuti pikiran kamu, tapi ikuti kata hati kamu. Karena pikiran itu cuma memberikan hal yang negative nya saja. Sedangkan hati, dia gak bisa berbohong” setelah bunda menatapku, aku tau darimana matanya Tama berasal. “Bunda juga LDR loh al” lanjut bunda lagi, berusaha memancingku untuk bicara “oyaa? Ayahnya Tama memang dimana bun?” Tanyaku penasaran, aku melihat ada foto keluarga yang terpajang bersar sekali disana. “Ayahnya Tama disurga. Bunda sudah 3tahun LDR” senyuman yang diperlihatkan Bunda seolah mengatakan bahwa dia kuat “sorry bun..” aku jadi tidak enak “you don’t have to be sorry alma..” bunda mengusapku. “Tasya dimana bun?” Tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan “Tasya tidur, dia biasa tidur jam 8 al. Tapi tadi pagi kakaknya udah pamitan kok”

Waktupun berlalu, hari itu aku dibikin bahagia. Sangat bahagia. Meskipun akhirnya aku harus menerima kenyataan kalau Tama harus pergi. “Take care yaa.. gonna miss youu” mataku berkaca-kaca. Tama memelukku, sangat erat. Dia mengusap pundakku, aku tau diapun berusaha tegar agar akupun juga kuat “sabar, aku pasti pulang” malam itu, aku tidak ingin melepas pelukannya, tapi harus. Aku sadar Tama pergi karena punya tujuan. Akupun melihat Tama yang sudah masuk kedalam mobil, dia sengaja membuka jendelanya dan melambaikan tangannya kearahku dan Bunda. Sampai akhirnya mobil itu tak terlihat lagi.

“Yuk.. sudah malam alma, giliran kamu yang Bunda antar pulang” bunda merangkulku, diapun nampaknya terlihat sedih. Karena harus berduaan lagi dengan Tasya dirumah “gak ngerepotin bun?” Tanyaku khawatir “gapapa sayang, justru bunda khawatir kalau kamu pulang sendirian”

Didalam mobil, aku hanya berdua dengan Bunda Tama. Dengan playlist lagu-lagu rock jaman 80an “kamu berapa bersaudara al?” Pertanyaan bunda kala itu memecahkan kesunyian malam “aku anak pertama dan satusatunya bun” jawabku sambil tersenyum “waah.. enak gak enak ya kalau anak satu-satunya” jawab bunda “makannya waktu Tama bilang dia punya adik, aku seneng” ujarku menatap bunda yang sedang fokus menyetir. “Jangankan Tasya. Kalo kamu mau anggep bunda sebagai Bunda kamu juga gapapa” aku hanya tersenyum, karena masih canggung. Setelah perjalanan yang cukup canggung itu akhirnya aku sampai didepan rumah, Ayahku terlihat sedang duduk didepan rumah berdua dengan ibu.

“Assalamualaikum” begitu ujar Bunda, tersenyum kepada kedua orang tuaku “waalaikumsalam” ibu dan ayahku bengong, mungkin mereka penasaran kenapa yang mengantarku bukan Tama “Alma, Tamanya mana?” Tanya ibuku yang langsung berdiri dari duduknya memghampiri kami “Tama udah kebandung bu, saya Bundanya Tama. Maaf ya, kalau kemaleman” jawab bundanya Tama dengan santai “it’s okay bu.. silahkan duduk dulu” lanjut ibuku dengan ramah “sepertinya lain kali saya atur waktu ya bu untuk bisa lebih lama lagi. Sudah terlalu malam, saya juga harus pulang. Masih ada adiknya Tama dirumah yang saya tinggal” begitu perbincangan ibu-ibu “oh yasudah, terimakasih ya sudah antar Alma” ibuku tersenyum, “terimakasih sudah antar Alma” ayahku berdiri menghampiri bundanya Tama sambil tersenyum dan berjabat tangan “gapapa pak, sudah kewajiban saya sebagai orang tua. Kalau begitu, saya pamit dulu yaa.. Alma cucimuka langsung istirahat ya nak” ujar Bunda sambil tersenyum. “Terimakasih bun” ujarku, dan mencium tangannya “assalamualaikum” bundapun pamit, dan langsung pulang. Sedangkan ayah dan ibuku menatapku. Ibu mengusap bahuku, seolah aku harus sabar menghadapi hubungan jarak jauh lagi. Ibu tau, kadang aku tidak bisa mengontrol sifat keras kepala yang sejak lama berada dalam diriku ini.

Aku tidak pernah menebak-nebak akan kemana larinya hubungan ini. Aku dan Tama hanya menikmati kebahagiaan-kebahagiaan yang tuhan berikan untuk kami berdua. Meskipun jarak dan waktu kadang membatasi kami untuk bisa selalu bertemu. Selanjutnya aku biarkan semua berjalan sesuai kehendak Tuhan. Walaupun aku tau, Jalannya pasti tidak akan selalu mulus.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!