Hari ini ia tidak perlu buru-buru. Tidak ada waktu yang mengejarnya. Jam 8 pagi ia baru saja mau mandi tidak seperti saat masuk kerja jam segini ia sudah harus siap sedia berada di depan mesin kasir.
Pagi ini seperti yang sudah direncanakan ia akan pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya. Ia harus mendapatkan surat keterangan sehat untuk formalitasnya supaya besok bisa kembali masuk kerja.
Seperti biasa yang namanya perempuan apalagi berprofesi yang menuntut menyajikan penampilan ciamik diri sebagai salah satu bentuk perwujudan pelayanannya Wati pun berdandan di depan kaca riasnya yang ia taruh di atas meja di dalam kamar kosnya.
Hari ini make up nya biasa saja. Tidak ada bedak yang berlebih sampai harus terlihat tebal putih. Cukup tipis-tipis saja untuk melindungi kulit mulusnya dari paparan panas sinar matahari serta menyembunyikan guratan raut lelahnya.
Hari ini juga tidak ada diperlukan lipstik tebal merah merona seperti tajamnya warna buah naga. Cukup tipis-tipis saja untuk melengkapi hiasan wajah ayunya yang natural.
Wati berangkat ke puskesmas terdekat. Meski sudah sengaja berangkat pagi tapi tetap saja ia harus rela untuk mengantri.
Setelah menunggu berjam-jam mengikuti alur pemeriksaan dan padatnya panjang antrian akhirnya ia menyelesaikan keperluannya di pusat kesehatan masyarakat itu dengan lancar.
Hasil pemeriksaan dokter mengatakan bahwa Wati dalam keadaan yang baik-baik saja. Tidak ada penyakit tertentu yang dideritanya. Ia hanya kelelahan saja. Dianjurkan lah untuk banyak beristirahat, makan teratur, jangan begadang, dan minum vitamin. Ia juga mendapatkan surat keterangan sehat yang paling ia butuhkan.
Saat berada di puskesmas yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat kosnya itu Wati kembali mengalami gangguan. Meskipun hanya sebatas sekelebat-sekelebat saja ia melihat beberapa kali sosok perempuan berbaju putih menampakkan diri kepadanya.
Saat ia sedang menuju ke toilet ia merasa ada yang mengikutinya. Kemudian saat ia hendak memasuki ruang pemeriksaan ia sekilas melihat sosok itu sudah terlebih dahulu menunggunya di sana. Ketika Wati masuk sosok itu langsung pergi.
Bukannya tidak takut. Tentu saja perempuan yang masih muda dan awam dengan hal-hal semacam itu merasakan takut.
Tapi karena didukung dengan suasana yang ramai dan berisik ia pun menjadi berani. Beda ceritanya kalau ia seorang diri dan di malam hari.
***
Besok harinya Wati sudah kembali ke rutinitas biasanya. Bekerja sebagai kasir di Supermarket. Ia juga sudah memantapkan diri untuk pindah indekos.
Kemarin sewaktu pulang dari puskesmas Wati sekalian mencari kos baru. Tidak sulit untuk menemukan tempat kos-kosan di daerah yang memang banyak dihuni oleh perantau dan pekerja-pekerja dari luar kota.
Tempat kos baru Wati lebih dekat dengan Supermarket tempatnya bekerja. Letaknya tepat berada di sebuah kompleks yang berlokasi di belakang wilayah bangunan besar tersebut.
Di tempat kos yang baru juga ada beberapa teman Wati sesama karyawan supermarket yang indekos di sana.
Tidak perlu sampai 10 menit, kini dengan 5 menit saja berjalan kaki ia sudah bisa sampai ke tempat kerja. Artinya kini ia tidak takut telat lagi. Jarak yang dekat inilah yang dijadikan oleh Wati sebagai alasan untuk pindah dari tempat kosnya yang lama dan berpamitan dengan penghuni kos di sana yang sudah akrab dengannya.
Sejatinya Wati pun sudah betah tinggal di kos pertamanya yang lebih dari satu tahun telah ditempatinya. Tapi karena gangguan mistis yang baru-baru ini dialaminya menjadi semakin ekstrem ia pun memutuskan untuk pindah. Ia ingin permasalahan gaib ini sesegera mungkin enyah dari hidupnya.
Wati pulang malam hari sehabis kerja sif siang. Lewat jam 10 malam memang jalan gang di belakang gedung terbilang sepi. Selain jalannya yang sempit lampu yang terpasang di sepanjang jalan gang itu jaraknya jauh-jauh. Wati yang untuk pertama kali melewatinya di malam hari sukses dibuat merinding.
Tiba di tempat kos barunya ia harus terlebih dahulu menaiki anak tangga ke lantai dua karena di sanalah kamar Wati berada. Tapi sialnya belum juga genap satu minggu ia menetap di kos barunya sesuatu yang dikiranya sudah pergi malah muncul kembali.
Setelah menaiki tangga dan sampai di depan pintu kamarnya Wati yang hendak membuka pintu terlebih dahulu mengambil handuk yang ia jemur di tali jemuran yang membentang di depan kamar-kamar lantai dua itu.
Tak sengaja Wati melihat sosok perempuan berbaju putih berambut panjang sedang duduk di pegangan anak tangga sambil mengayun-ayunkan kakinya dengan memasang senyum memperlihatkan wajahnya kepada Wati.
Langsung saja tanpa basa-basi Wati masuk ke dalam kamar dan untuk kesekian kalinya ia mengurungkan niatnya untuk mandi.
Wati benar-benar dibuat pusing. Tidak hanya takut. Kejadian-kejadian seram itu membuatnya stres yang berdampak pada penurunan peforma dirinya dalam beraktivitas sehari-hari.
Apa benar ia sengaja diikuti oleh kuntilanak itu? Tapi salahnya dimana? Apa yang ia lakukan hingga makhluk halus yang jenisnya sangat terkenal itu selalu mengikutinya? Pindah kos nyatanya tidak menyelesaikan masalah.
Tapi Wati juga enggan untuk membesar-besarkan persoalan hantu ini sampai ke paranormal atau pun ustadz. Apalagi jika sampai harus mewajibkannya melakukan ritual-ritual aneh-aneh segala. Ia tidak mau. Untuk sementara ini ia pendam sendiri permasalahan ini.
Sejenak untuk menetralisir keadaan Wati memilih pulang kampung. Selama beberapa hari ia akan meninggalkan untuk sementara ingar-bingar kota dan kesesakannya.
Wati mengambil jatah cutinya selama dua hari. Ia berharap kembali ke rumah bisa membuatnya sejenak melupakan segala kesibukan dan menjauh dari gangguan-gangguan gaib yang belum juga berhenti menghantuinya. Meski pun rumahnya kini sudah tidak lagi sama karena tidak ada siapa pun yang menunggu kepulangannya.
Selesai sif pagi Wati yang sudah bersiap dari kos langsung pulang ke kampung. Dari kota tempatnya bekerja menuju ke alamat tempat tinggalnya tidaklah jauh. Naik kendaraan satu jurusan selama kurang dari dua jam ia akan langsung sampai di kota kecil tempat desanya berada.
Bus yang ditumpangi Wati berhenti di pinggir jalan raya. Wanita itu pun turun. Di sanalah rumah Wati berada. Ia hanya perlu berjalan sedikit lagi untuk sampai ke kampungnya.
Sore hari Wati berjalan memasuki gang-gang rumah yang sudah dari kecil ia kenali. Setiap harinya jalan-jalan itulah yang sejak dulu selalu ia lewati. Begitu pun dengan orang-orang yang masih sama yang selalu ia temui di sana tetangga-tetangga warga kampungnya.
“Nah gitu. Sekali-kali pulang”, kata teman Wati yang sedang berada di teras rumah.
Teguran teman semasa kecil itu dijawab oleh Wati dengan lambaian tangannya.
“Permisi Bu”, kata Wati ketika ia melewati kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul.
“Eh mbak Wati. Libur?”, sapa para ibu-ibu tetangga kepada Wati.
“Iya Bu”, kata Wati terus berjalan menyusuri gang-gang kecil untuk sampai ke rumahnya.
“Main-main ke tempat ibu ya”, kata mereka.
“Ya Allah yang sabar ya cah ayu”, sayup-sayup suara orang-orang membicarakan kepulangan Wati.
Warga kampung yang paham dengan situasi Wati bersimpati dan memaklumi perangai anak perempuan yang masih jauh dari kata dewasa itu. Sebisa mungkin teman-teman dan para tetangga akan menjaganya dengan cara menjaga sikap dan tidak terlalu mengusik perempuan yang sedang berduka dan kini tinggal seorang diri itu.
Di pemukiman padat penduduk itu rumah Wati berada di lokasi tengah-tengah diantara rumah-rumah warga yang lain.
Semakin berjalan mendekati rumahnya Wati tidak bisa membendung lagi luapan perasaannya. Beberapa langkah sebelum sampai di rumahnya gadis itu pun tak kuasa untuk menahan air matanya yang mengucur kian deras ketika mendekati rumah berwarna kuning madu itu.
Wati membuka pagar rumahnya yang tidak terkunci. Ia mengeluarkan kunci rumah dari dalam tasnya. Ia membuka pintu utama rumah itu.
Terbukalah semua kenangan-kenangan yang masih mengakar kuat di pikirannya.
Terlihatlah gambaran-gambaran masa lalu yang tertanam dalam di hatinya.
Wati langsung masuk ke dalam kamar. Ia menjatuhkan tubuhnya tengkurap di atas kasur.
Ia menumpahkan semuanya. Wati menangis sejadi-jadinya. Di kamar ibunya.
***
“Wati”,
“Ini aku Wati. Rizal. Sepupumu yang paling tampan”,
Mendengar kepulangan saudara perempuannya Rizal yang merupakan sepupu Wati dari garis keturunan anak dari paman atau adik kandung dari ibu Wati yang sudah meninggal segera datang ke rumah Wati yang masih satu kampung.
Waktu sudah menjelang isya. Dari dalam kamar masih terdengar sisa-sisa tangisan lirih Wati yang terisak-isak. Rizal pun menghampiri sepupunya itu.
“Heh. Ayo bangun”, katanya.
“Ini aku bawakan nasi goreng kesukaanmu. Nasi Goreng babat pete”, kata Rizal.
Wati beranjak dari tempat tidur. Ia dan Rizal menuju ruang tamu dimana sudah ditunggu dua bungkus nasi goreng extra pedas favorit mereka sejak dulu. Mereka berdua pun makan dengan lahap nasi goreng porsi jumbo itu.
Setelah ibu Wati meninggal otomatis rumah Wati kosong tidak ada yang menghuni karena Wati bekerja di kota. Secara bergantian Rizal atau pun ayahnya yaitu paman Wati setidaknya setiap seminggu sekali pergi ke rumah Wati sekedar untuk mengecek kondisi rumah kerabat dekat mereka.
“Ndak bawa minum Zal?”, tanya Wati disela-sela mereka makan.
“Duh lupa Wat”, jawab Rizal.
“Huuu…”, kata Wati.
“Untung aku ada”, Wati mengambil air mineral dari dalam tasnya.
“Kamu libur berapa hari?”, tanya Rizal.
“Dua hari. Lusa sudah berangkat”, jawab Wati.
“Duh libur kok cuma dua hari. Mbok ya seminggu gitu lho Wat”, celetuk Rizal.
“Maunya juga begitu Zal. Sekalian tidak usah kerja tapi punya banyak uang”, ucap Wati.
“Ya kalau begitu….”, kata Rizal tertahan.
“Diam. Tidak usah diteruskan. Aku tahu arah omonganmu mau kemana”, kata Wati.
“Bapak sama anak sama saja”, ujar Wati.
“Bukan begi…”, Rizal batal mengutarakan kata-kata yang sudah dipersiapkannya ketika Wati mengacungkan kepalan tangan kepadanya.
Wati memang bukanlah primadona desa. Wanita muda itu juga tidak masuk dalam rangking 3 besar perempuan tercantik di kampungnya jika dilakukan survey kepada para pemuda desa. Tapi Wati yang berkepribadian mandiri dan energik mempunyai bentuk tubuh yang sintal. Tidak sedikit juga pria-pria yang menaruh hati kepadanya. Salah satunya adalah Pak Bagio.
Siapakah Pak Bagio?
Semua orang di kampung itu pasti mengenalnya. Ia adalah seorang tuan tanah. Tak terbayang seberapa banyak jumlah kekayaan yang ia miliki begitu juga dengan usaha-usaha yang ia punyai.
Sudah sejak dari zaman Wati masih sekolah pria tua itu matanya tidak pernah bisa lepas dari kemolekan tubuh gadis yang dahulu setiap harinya selalu lewat di depan rumah megahnya.
Tapi tentu saja Wati sama sekali tidak tertarik dengan pria yang umurnya jauh lebih tua darinya. Punya rencana menikah di usia muda pun juga tidak ada niatan sama sekali.
Kurang nafsu apa Pak Bagio terhadap Wati? Beberapa hari setelah kematian ibunya laki-laki tua itu mengutarakan niatnya untuk mempersunting Wati lewat paman Wati.
Tentu saja Wati yang masih dalam keadaan berduka sangat marah dan menolak mentah-mentah lamaran itu. Siapa juga yang mau menjadi istri ketiga dari laki-laki yang usianya sudah hampir kepala lima?
Orang-orang tua itu berniat mengambil momen lemah Wati saat itu yang emosinya sedang berkecamuk.
Untungnya meskipun Wati masih muda tapi ia punya pendirian yang teguh sehingga tidak mudah untuk dimanipulasi.
“Kamu mau aku tidur di sini?”, tanya Rizal.
“Aku bisa tidur di kursi”, kata Rizal.
“Ndak usah. Aku berani sendiri”, kata Wati.
“Yakin tidak takut?”, tanya Rizal.
“YAKIN ZAL”, ucap Wati dengan suara besar.
“Kok ngomongnya gitu?”, tanya Rizal.
“Mukamu MESUM”, jawab Wati.
“MEMANG DARI DULU”, jawab Rizal ngebanyol.
“Ya sudah aku pulang dulu ya. Jangan lupa pintu dikunci. Kalau perlu apa-apa tinggal ngabari” ujar Rizal pamit meninggalkan Wati seorang diri di rumahnya karena tidak mau ditemani.
***
Sudah makan enak, perut kenyang, badan lelah karena perjalanan pulang pastinya tidur di waktu malam akan menjadi sangat lelap pikirnya.
Tapi faktanya tidak demikian. Lewat tengah malam Wati terbangun. Ia terbangun karena harus pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Rasanya nyeri memang kalau perempuan harus berlama-lama menahan.
Sambil jongkok. Terguyur lah lantai kamar mandi itu dengan air berwarna kuning pekat yang baunya sangat menyengat. Wangi khas dari buah petai.
Keluar dari WC Wati merasa lega. Ia siap kembali untuk melanjutkan tidur cantiknya.
Keluar dari kamar mandi Wati berjalan melalui dapur yang harus dilewatinya sebelum sampai ke kamar.
Sebelumnya tidak ada apa-apa di dapur rumahnya itu. Hanya meja makan kotak yang polos dengan empat kursi yang tertata rapi melingkarinya.
Langkah kaki Wati terhenti di dapur. Kali ini dapur itu terasa berbeda. Kursi di meja makan itu tidak semuanya kosong.
Ada yang duduk di sana. Sosok perempuan berbaju putih berambut panjang. Sosok itu duduk di kursi meja makan yang langsung menghadap ke arah Wati.
Sosok itu kembali memperlihatkan wajahnya yang tidak asing bagi satu-satunya penghuni rumah yang tersisa itu.
“Wati”,
Untuk pertama kalinya sosok itu berbicara kepada Wati.
Wati semakin merinding dibuatnya. Tidak hanya wajah sosok kuntilanak itu yang familier baginya. Suara hantu yang baru saja memanggil namanya itu juga sangatlah akrab terdengar di telinganya.
Wajah yang hanya terlihat lebih pucat itu sangat persis dengan wajah mendiang ibunya. Begitu juga suara yang menyebut namanya itu terdengar sama dengan suara ibunya yang sudah meninggal.
“Ibu”,
Dalam ketakutannya Wati pun mewek. Ia menangis sedih.
Ia kedatangan hantu ibunya sendiri yang masih selalu dirindukannya. Wati bingung mau maju memeluk sosok itu tapi ia juga diselimuti rasa takut.
“Aku bukan ibumu. Tapi aku dari dulu sudah selalu mengikuti ibumu”, kata sosok itu berkata kepada Wati.
“Wati, sekarang izinkanlah aku untuk menjagamu”, kata kuntilanak itu.
Setelah menyampaikan maksudnya sosok makhluk berbeda alam yang mirip dengan ibu Wati itu pun undur diri dengan menghilang.
Wati segera berlari masuk ke dalam kamar dengan semua bulu tubuhnya yang merinding berdiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments